Share

Bab 3 : Kenduri

GITA POV

Membawanya ke tempat ini benar seperti yang ku duga. Apa dia mulai gila memanggil sembarang orang sebagai ayahnya? Beruntung Celine dengan cepat bisa membawa Riana menjauh dari lokasi. Saat ini aku hanya bisa diam di depan Altezza yang menatapku penuh tanya.

"Apa kamu sudah gila? Ini acara besar bagi pengantin, Gita. Kenapa kamu harus mengejarnya?"tanya Altezza memijat pelipisnya.

Suasana mungkin sudah beralih kondusif, namun beberapa wajah pembesar perusahaan ternyata ada disini sudah cukup membuatnya malu.

"Aku tau salah, Altezza. Sungguh, anak kecil merepotkan,"ucapku hanya pasrah jika saja ada ultimatum masuk melalui emailnya.

Bahkan aku sekarang juga sudah kehilangan nafsu makan. Sekalipun di ajak Altezza, kali ini aku benar-benar tidak nafsu makan. Saat ini yang ku butuhkan hanya ruangan sepi untuk menenangkan diri.

"Permisi, Mbak. Saya boleh duduk di sini?"tanya seorang pria tampaknya salah satu pembawa pedang tadi di susul temannya yang lain.

"Aku bukan pemilik kursi, duduk saja,"ucapku cuek.

"Mbak, nggak makan? Nanti sakit,"ucap salah satu pria itu sebelum dibarengi dengan pertanyaan tidak berguna lainnya.

"Mbak, suka es buah, ya. Soalnya manis".

"Makanannya ntar nangis loh, Mbak. Kalau nggak dimakan sama orang cantik kayak Mbak".

"Mbak, mau makan apa nih biar Abang ambilkan?".

Sepertinya kali ini aku harus memberi pelajaran untuk mereka. Bukan latar belakang melainkan etika dan ada baiknya tidak menjual latar untuk mempermainkan perempuan manapun.

"Apa setiap perempuan juga akan ditanya pertanyaan itu, Mas kerabat mempelai laki-laki?"tanyaku tersenyum lebar.

Seolah terkejut dengan kalimat yang ku utarakan, mereka saling pandang sejenak. Entah bualan apalagi yang akan mereka keluarkan dari bibirnya itu. Aku bahkan sudah muak jika harus mendengar kalimat membosankan ini.

"Eh, enggak. Bukan begitu maksud kami, Mbak. Kalau dilihat, Mbak ini cocok jadi calon istri untuk komandan. Sama seperti sebuah rumah, sebuah batalion juga perlu ada ratu untuk membantu tugasnya,"ucap salah satunya.

"Cih, jika raja saja tidak bisa membangun dan menjaga sendiri rumahnya. Untuk apa dijadikan raja. Karena sejatinya kedudukan ratu bukan pembantu raja,"ucapku tak bisa menahan kekesalan.

Mana mungkin istri dijadikan pembantu di rumah. Mereka seharusnya dijadikan ratu dan dimuliakan. Apa yang dikerjakan pun tidak berbicara tentang kedudukan tapi tentang tanggung jawab. Sedangkan ketika dia berjalan di sebuah kerumunan, dia akan selalu terlindung dan tidak semua orang bisa melihatnya.

"Pasti Mbak umurnya di atas 27 tahunan, nih". Aku tersenyum kecil mendengar penuturan mleset seperti demikian.

"Apa hubungannya dan mengapa Anda harus menanyakan sesuatu yang bersifat pribadi?"tanyaku menatapnya serius.

"Karena mereka perempuan cerdas malah tersisih di masyarakat dan yang sok tau malah dijunjung tinggi. Bahkan belum tau apa-apa di lapangan seolah sudah menyabet gelar cumlaude. Padahal sebenarnya yang banyak tersisih itu bisa melahirkan anak emas di kemudian hari,"ucapnya lugas terdengar berbeda dari yang lain.

Seorang pria mendekat membuat pria yang lain berdiri memberinya hormat. Apa dia atasan dari semua pria playboy jalanan ini?

Mungkin.

Apa peduli ku? Masalahnya, apa Altezza sedang berusaha menghabiskan makanan di meja prasmanan? Atau apa perempuan di sana membuatnya tertarik? Aku sudah bosan duduk diam mendengarkan ocehan tidak berguna mereka.

"Izin, silahkan duduk, Ndan,"ucap mereka bergantian.

Ck, duduk saja butuh izin darinya. Memangnya siapa dia? Akh, semoga saja ada yang bisa menyelamatkan ku dari sini. Aku sungguh sudah bosan saat ini.

"Nona, saya Dirga Hadiraja Atmaja-,"

"Maaf menyela. Tapi apa tujuan Anda memperkenalkan diri?"tanyaku tak ingin berbelit.

Sontak membuat wajah para pria di meja mendadak pucat. Memangnya apa salahnya hanya ingin to the point? Aku sangat tidak suka dengan bertele-tele karena hanya membuang waktu saja.

"Baiklah, Nona. Saya ayah dari anak perempuan yang Anda bawa tadi,"ucap Dirga membuatku mendongak.

Oh, ini pria yang menjadi pokok permasalahan ku seharian ini. Membuat kekacauan dan mempermalukan diriku sampai ke tulang-tulang. Sungguh, ayah yang tidak bertanggung jawab.

"Apa Anda sudah gila membiarkan anak sekecil itu di bandara? Terlebih memberikan pada orang yang bahkan tidak Anda kenal. Seharusnya Anda terkena pasal perlindungan anak. Hah, Anda sudah membuat saya gila hanya karena anak itu merengek. Seolah saya orang yang tidak bertanggung jawab. Padahal saya bahkan tidak kenal anak itu,"ucapku berapi-api.

"Ada apa ini, Gita? Kenapa kamu sangat marah?"tanya Altezza baru tiba dengan dua piring makanan.

"Saya tau ada kesalahan, Nona. Saya mohon tetap tenang agar tidak mengundang perhatian,"ucap Dirga.

Aku menarik nafas panjang meredakan kepala ku yang sudah mulai memanas. Bahkan aku sudah kehilangan akal sehat kh saat menyentuh titik emosi tertinggi seperti saat ini. Tampak dari siluet selongsong pedang mereka yang berkilauan wajahku memerah menahan emosi.

"Nona Dyah Anggita"

Panggilan itu terdengar tidak asing membuatku segera berdiri bersamaan dengan Altezza menatap seorang pria berpakaian formal dengan perempuan disebelahnya.

"Untuk apa Diana disini?"bisik Altezza membuatku menginjak pelan kakinya.

Bagaimana bisa dia berbisik sementara orang yang dibicarakan berada di depannya? Diana, adalah sekretaris pemilik perusahaan, Pak Ramli. Penampilannya bak model tak kalah cantik dibandingkan Celine maupun Stela. Akh, tidak. Semua sekretaris di perusahaan memiliki wajah menawan.

Tapi bukan itu yang sedang membuatku tertarik saat ini. Pertanyaan dalam benak ku sama dengan pertanyaan yang dilontarkan Altezza.

"Pak, dia orang yang Anda cari,"ucap Diana membuatku membulatkan mata kaget.

Apa ini tentang yang ku lakukan tadi? Aku bahkan sudah tidak bisa berpikir jernih tentang bahasan yang sedang dibahas dua manusia di depan ku.

"Oh ya. Nona Dyah Anggita ternyata masih muda. Membuat sesuatu dengan kompeten yang biasa dimiliki pegawai lama mampu Anda kerjakan. Saya tertarik dengan penyajian presentasi yang Anda lakukan nanti,"ucap pria itu membuatku menghela nafas lega.

"Terima kasih, Pak,"ucapku tidak ingin berbasa-basi.

Tampak pria itu berbisik pada Diana membuat hati kecilku kembali bergejolak. Jangan sampai pria ini menanyakan tindakan ku yang tidak kompeten hari ini. Aku tidak punya jawaban lain untuk menjawab pertanyaannya.

"Saya ingin membicarakan mengenai presentasi besok jika Anda berkenan, Nona,"ucapnya membuatku bergidik ngeri.

"Anda bisa berpindah ke meja kami jika berkenan,"ucap Diana membuatku menoleh menatap Altezza khawatir.

"Tentu. Nona Gita akan kesana,"ucap Altezza membuatku mengangguk pelan menyetujui.

"Silahkan, Nona. Ladies first,"ucap pria itu mempersilahkan berjalan lebih dulu ke mejanya.

Belum sempat beranjak, seorang pria menahan langkah ku.

"Tapi saya masih ada urusan dengan Anda, Nona,"ucapnya menahan ku.

Astaga.

Selain putrinya, apa pria ini berusaha merusak karier yang ku bangun? Apa tidak ada yang bisa menahannya sebelum berdiri di depan ku?

"Akh, Anda bisa menemui saya saja dulu, Pak. Nona Gita sedang ada urusan mendesak. Anggap saja saya pengganti asistennya,"ucap Altezza menarik pria itu membuatku menghela nafas lega.

Entah itu di kantor, atau di tempat umum seperti disini atasan memang selalu berbeda. Bahkan bukannya ikut mengantri, di meja ini semuanya sudah disediakan. Hah, apalah dayaku yang hanya remahan rengginang.

"Diana, saya ingin berbicara dengan Nona Dyah Anggita,"ucapnya membuatku menghela nafas pelan.

"Baik, Pak,"ucap Diana berlalu.

Bahkan saat ini suasananya seolah menjadi hening. Suara MC yang memandu acara saja bahkan tidak berpengaruh padaku. Aku saat ini benar-benar tidak bisa berpikir jernih.

"Nona, Anda sudah lebih dahulu di perusahaan dibandingkan dengan saya. Tentu Anda tahu karakter general manager operasi begitu buruk dan tidak kompeten,"keluhnya membuatku mengingat perlahan.

"Pak Daniel maksud Anda,"ucapku membuatnya mengangguk pelan.

Pria itu bukan hanya sangat meresahkan kaum hawa karena sering menggoda para sekretaris maupun karyawati tapi juga kinerjanya kurang optimal. Dirinya tidak punya kemampuan selain menyuruh ku atau Altezza saja. Selain itu dia kerap mengomentari gaya pakaian dan bentuk tubuh seluruh karyawati.

"Jika mengenai kinerja, mungkin bisa diperbaiki. Namun, saya rasa hampir seluruh karyawati di divisi laboratorium juga menaruh kritik mengenai sikapnya, Pak. Dari Pak Altezza juga melaporkan hal yang sama mengenai kritik karyawatinya,"ucapku.

"Lalu apa yang menjadi masalah jika kedua divisi bawahannya juga sudah tahu?"tanyanya membuatku berpikir sejenak sebelum berbicara.

"Bukannya Anda sendiri tahu, Pak Daniel adalah teman Pak Ramli. Kami tidak ingin kehilangan pekerjaan karenanya,"ucapku membuatnya mengangguk pelan.

"Tetapi pekerjaan tidak bisa dicampur aduk dengan kekuasaan. Mereka yang berkuasa tidak akan berpikir sebagai anggota keluarga. Karena itu termasuk KKN. Apalagi saat ini Papa tidak lagi memegang perusahaan. Besok biar saya tangani masalah ini,"ucapnya membuatku menghela nafas lega.

Setidaknya ada solusi untuk satu masalah di antara banyak masalah yang ada. Sepertinya bersama pria muda ini perusahaan Pupuk Anumerta akan tumbuh pesat lagi ke depannya.

"Anda sedang ada pekerjaan mendesak, Nona Dyah Anggita Anindyaswari?"tanya nya membuatku menoleh.

"Saya saat ini sedang tidak ada pekerjaan yang mendesak, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"tanyaku penasaran.

"Akh, tidak. Sebenarnya saya juga hanya datang saja. Terkadang kita juga perlu datang di acara orang yang tersayang, Nona Dyah Anggita Anindyaswari,"ucapnya membuatku mencerna kalimatnya.

"Anda bisa memanggil saya Gita saja, Pak. Tapi maaf, maksudnya, Pak?"tanyaku enggan berpikir keras untuk hal yang tidak penting.

"Sebelum saya mendapatkan posisi saat ini, saya punya hubungan dengan Stela. Saat itu saya sedang melanjutkan pendidikan di Jerman sembari meneruskan cabang usaha disana. Sebuah hubungan jarak jauh tentu lebih banyak rintangan, Nona. Dan mungkin saja pria itu lebih baik dariku,"ucapnya seperti sad boy.

Bahkan pemilik perusahaan juga bisa galau hanya karena ditinggal nikah? Astaga, dunia memang sudah dipenuhi dengan percintaan. Lihatlah, wajah lesunya. Apa menurutnya Stela akan sedih? Dia bahkan akan senang ada laki-laki yang mengharapkannya.

"Anda tidak bisa begini, Pak. Maafkan saya,"ucapku menarik lengannya mendekati bagian musik.

Kaget dengan tindakan ku, bukannya menolak pria yang ku tarik malah ikut begitu saja seolah tidak berdaya.

"Anda bisa menyanyi, Nona Gita?"tanyanya membuatku berpikir sejenak.

"Sebenarnya tidak bisa, Pak,"ucapku menatapnya.

"Anda pernah dengar kalau suara vokal grup terdengar merdu karena dilakukan bersama. Tidak perlu cemas,"ucapnya membuatku mencerna pelan.

Beberapa wedding organizer segera memakaikan mic wireless seolah sedang melakukan presentasi di lapangan. Semoga tindakan ini bisa menutup tindakan konyol ku sebelumnya. Aku berharap besar untuk itu.

"Pak, Anda yakin melakukan ini? Nona Gita tidak terlalu baik dalam menyanyi,"ucap Diana menghampiri.

"Tidak masalah, Diana. Anda hafal lagu Give Me your Forever?"tanyanya membuatku menggeleng cepat.

"Bagaimana kalau Photograph dari Ed Sheeran,"ucapku menawarkan salah satu yang cukup ku hafal.

Pria itu hanya mengangguk paham sebelum akhirnya mengajak ku berjalan ke tengah. Sontak membuat MC segera mengerti maksud kehadiran kami sebelum akhirnya mempersilahkan.

"Selamat malam, semuanya. Saya Dhito ditemani kekasih saya, Gita ingin menghibur Anda sekalian,"ucapnya membuatku melirik sekilas wajah syok Stela.

Maafkan aku, Stela. Ini demi karier dan juga menghibur pria yang sudah kau tinggalkan. Lagipula sekarang kamu tidak berhak senang ataupun sedih atasnya. Karena kamu juga sudah memiliki pria lain, batin ku sebelum menyambut kata-katanya.

Suara merdu Dhito hanya membuatku membatu. Pria ini bukan lagi menyanyi tapi tengah konser. Apa tidak ada jasa lipsync disini? Rasa khawatir ku kian memuncak begitu telah mencapai reff yang dinyanyikan bersamaan.

🎶So you can keep me

Inside the pocket of your ripped jeans

Holding me closer 'til our eyes meet

You won't ever be alone, wait for me to come home🎶

Benar katanya. Semoga suara sumbang ku tidak terdengar oleh suara tamu undangan yang di arahkan Diana ikut bernyanyi dan menyalakan lampu senter nya. Hah, Dhito kau cerdas. Akh ya kalau tidak cerdas dia akan lengser oleh para komisaris pembesar perusahaan.

Sementara mataku selalu mencuri-curi lirik pada wajah Stela yang mulai kehilangan semangat. Bahkan dibujuk berulang kali oleh suaminya. Jika dia tidak termakan cemburu tidak bergunanya pasti akan tenang. Karena dirinya juga mengenal ku baik tidak akan kencan ataupun pacaran dengan siapapun.

Dia bahkan sudah cukup tau hubungan yang kerap dianggap seluruh kantor sepasang kekasih bersama atasannya, Altezza itu hanya sepasang sahabat saja.

"Anda tidak keberatan dengan yang saya lakukan, Pak?"tanyaku berbisik pelan.

"Tidak, saya pikir itu cara baik untuk bahagia datang kemari. Terima kasih, Nona,"ucapnya mempersilahkan ku segera kembali ke tempat duduk.

"Nak Dhito, kenapa nggak bilang kalau lagi disini? Ini anak gadis tante,"ucap istri ketiga pemilik saham terbesar mengenalkan putrinya sebelum kalimat sejenis kian bermunculan.

"Nak Dhito, kapan milih pacarnya? Kok sudah ada aja. Tante kira masih sendiri?"

"Mama mu sudah akrab sama anak Tante, loh. Main ke rumah yuk,"

Rentetan pertanyaan itu hanya membuatku jengah ingin segera beranjak saja. Namun tatapan Dhito memintaku tetap berada di tempat membuat tubuhku hanya membeku di tempat menulikan telinga. Tapi aku juga tidak heran untuk hal ini. Dhito adalah pemilik perusahaan saat ini.

Bayangkan hidup putrinya bersama crazy rich mungkin sudah cukup membuat tentram hari tua. Terlebih tabungan dan deposito yang di kantongi. Sayangnya kegalauan Dhito bahkan tidak dilihat para gadis muda yang mereka bawa. Stela ku akui memiliki wajah yang manis rupawan.

Tentang masa lalunya dan Dhito yang bermain di belakang saat melanjutkan pendidikan di luar negeri bukanlah urusan ku. Selama ini dia selalu baik, lalu untuk apa memendam dalam sesuatu tidak berbudi seperti itu? Mengherankan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status