Share

Murid Kesayangan
Murid Kesayangan
Penulis: Ayunina Sharlyn

Bab 1. Apa Maumu?

Mata bulat dan lentik itu menatap tajam padaku. Dengan wajah merah dan bibir terkatup rapat, pandangan kekasihku menghujam dalam. Aku tahu, Lola sangat marah. Ini yang kesekian kalinya setiap aku mengajak Lola bicara, hanya pertengkaran saja yang terjadi di antara kami.

"La, kamu dengarkan aku dulu. Jangan selalu saja kamu emosi dan menyalahkan aku." Aku pun ingin meluapkan kekesalanku. Tapi itu tidak akan ada gunanya. Aku memilih menekan rasa marah yang terus menggelitik di dadaku.

"Siapa yang mau menyalahkan? Kenyataannya kamu memang salah! Ga mau terima?!" Lola makin meledak. Rambutnya yang dia cat pirang sebahu, ikut bergoyang saat dia dengan tegas menggelengkan kepala.

"Bukan begitu, Lola. Sudah tiga minggu kita ga ketemu. Aku mau gunakan waktu ini buat kita evaluasi apa yang terjadi dengan hubungan kita. Kamu paham ga?" Aku geram sekali.

"Hubungan kita ga ada masalah, Vin. Kamu pacar aku, aku pacar kamu. Kita sama-sama tahu. Sudah jelas. Aku masih banyak urusan dan kita ga bisa ngabisin waktu bareng. Kenapa kamu maksa mesti kita ketemu?!" sentak Lola.

Tanganku refleks mengepal, kiri dan kanan, di kedua sisi tubuhku. "Satu atau dua jam saja, La, kita bicara. Sesibuk apa, sih, kamu sampai ga bisa meluangkan waktu denganku? Nanti kalau aku sedang ada kerjaan, kamu akan maksa minta aku datang bertemu. Aku salah lagi. Ga bisa kayak gitu, Lola!" Nada suaraku pun meninggi. Aku makin ga bisa menahan hati rasanya.

"Shit! Kamu membentakku? Kamu tega, ya?" Lola melotot dengan wajah makin merah. Tubuhnya yang tinggi dan ramping sedikit condong ke arahku, dengan tangan terayun ke depan, seolah ingin memukulku.

"Aku cuma mau kamu juga dengar aku!" tegasku.

"Kamu jangan minta aku yang dengarkan kamu terus! Emang kamu selama ini dengerin aku?! Apa maumu sebenarnya, Vin!?" Masih dengan mata melotot, makin keras Lola berteriak.

"Aku mau kita bisa saling mengungkapkan yang ada di pikiran dan hati kita, lalu mencoba mencari miss dari hubungan kita itu di mana. Kamu masih ingin terus dengan hubungan kita, bukan?" Aku mencoba membuka pikiran Lola melihat kenyataan yang ada di depan kami.

"Maksud kamu apa bicara begitu? Kamu mau kita bubar? Begitu?" Tatapan tajam kekasihku yang berhidung mancung itu makin dalam ke arah dua mataku. Aku sangat tidak suka dengan sikapnya yang jujur saja, benar-benar keras kepala.

"Siapa yang bilang mau putus?! Kamu saja terlalu jauh menyimpulkan, La. Makanya, kita harus bicara agar ga salah paham terus. Kamu ngerti nggak, sih? Kurasa aku bicara sama kamu pakai bahasa normal, bukan bahasa dewa," tukasku tidak sabar lagi dengan Lola.

Lola tidak memperhatikan aku. Terdengar suara ponsel berdering dan dia sibuk menerima panggilan dari benda pipih itu. Dengan cepat dia menempelkan ponsel di telinganya.

"Hai, Jod! Gimana?" Suara tajam dan ketus Lola berubah seketika, menjadi riang dan manis. Dia menjawab orang yang menelponnya dengan nada begitu enak didengar. Beda sekali dengan saat Lola bicara padaku.

"Oh, oke. Fine, got it ... Ya, ini aku otewe. Ga sampai setengah jam aku sampai ... Oke, bye ...." Lola mematikan panggilan dari ponsel.

"La, kamu dengar aku tidak?" tanyaku ingin sekali menonjok kepalan tanganku ke dinding di samping Lola.

"Bodo! Gara-gara meladeni kamu urusanku tertunda. Aku sudah telat!" Lola meraih tasnya yang tergeletak di kursi, lalu juga jaket jeans hitam, kemudian berjalan begitu saja meninggalkan ruangan.

"Lola! Kamu pergi gitu aja?!" sahutku keras. Serius, aku tidak terima dia perlakukan aku seperti ini.

"Ga penting kalau cuma akhirnya ribut! Serah kamu mau apa, Vin!" Kalimat itu Lola ucapkan tanpa dia menoleh, langkah kakinya terus menuju pintu.

Aku masih bisa menangkap suara Lola yang menjawab geram, meskipun makin kecil dan menjauh. Aku menatap ke arah pintu ruang tamu keluarga Lola. Lola sudah tidak tampak lagi. Terdengar suara mesin mobil menyala, lalu menjauh dan menghilang. Lola benar-benar pergi, tidak peduli denganku. Dia tidak mau tahu aku sangat ingin berhadapan dengannya dan menyelesaikan kemelut di dalam hubungan kami, yang kurasa tidak harus terjadi.

"Aku lelah sekali. Benar-benar lelah. Sampai kapan kayak gini, La?" Aku menarik nafas panjang. Dadaku terasa penuh. Sangat lelah dengan hubungan aku dan Lola yang makin tidak jelas.

Duduk di ruang tamu, di rumah Lola, aku ditinggalkan. Dia pergi entah ke mana, dengan siapa. Aku seperti makin tidak mengenal siapa Lola, kekasihku yang manis ketika awal aku mengenalnya dan perlahan hatiku menyayanginya.

"Nak Avin ...."

Panggilan itu membuat lamunanku buyar. Aku menoleh ke sisi kanan. Seorang wanita setengah baya dengan rambut mulai memutih berjalan ke arahku. Wajahnya sedikit pucat tetapi ada senyum di bibirnya. Namun aura cantik dari wajahnya tidak pudar. Tante Merlin, mama Lola.

"Lola sudah pergi?" tanya Tante Merlin sambil melangkah ke kursi di depanku. Dia duduk di sana.

"Iya, Tan. Lola pergi." Aku berusaha bicara dengan nada wajar, tapi aku tidak bisa menutupi ada resah dan kesal di sana.

"Yang sabar sama Lola, Nak. Dia lagi keasyikan dengan pekerjaannya. Nanti dia pasti akan datang mencarimu lagi. Lola butuh pria baik seperti kamu. Kamu pasti bisa membimbing Lola." Suara Tante Merlin sedikit bergetar. Kondisi fisiknya yang lemah, sangat tidak mendukung dia untuk lama beraktivitas di luar kamar.

"Iya, Tan. Aku mengerti." Aku berkata lirih dengan hati perih.

Bukan sekali ini Tante Merlin meminta aku sabar dengan Lola. Ini yang kesekian kali, aku bahkan sudah enggan menghitung.

"Avin, mungkin kalau kalian segera menikah, Lola akan berubah. Menjadi seorang istri, dia akan belajar diam di rumah, menata diri, dan tidak sebebas seperti sekarang. Kamu mengerti maksudku, kan?" Tante Merlin memandang padaku dengan mata lesu. Dia tampak lelah.

"Menikah?" gumamku pelan, aku bahkan hampir tidak mendengar suaraku sendiri.

"Lola bukan tidak sayang kamu, Avin. Bukan juga bermaksud tidak menghargai kamu. Dia hanya belum paham, jika hubungan kalian harusnya jadi prioritas. Dia terlalu senang bisa bergabung dengan manajemen tempat dia bekerja dan merasa maksimal dengan potensinya." Panjang lebar Tante Merlin bicara. Aku tahu dia ingin meluluhkan hatiku.

Sedikit banyak Tante Merlin benar. Lola punya kesempatan besar mengembangkan karir dengan bergabung pada salah satu rumah produksi di bidang entertainment. Pintu terbuka lebar untuk cita-cita Lola tercapai.

"Kamu jangan patah semangat. Yang sabar pada Lola. Cuma itu yang aku minta. Dia tidak punya kasih sayang seorang ayah. Dan kamu, kamu cukup dewasa untuk bisa mengayomi Lola." Kembali nasihat yang hampir sama aku dengar.

"Iya, Tan." Hanya itu kata yang bisa aku ucapkan.

"Nyonya, makan malam sudah siap!" Terdengar suara seorang pelayan rumah itu memanggil.

"Iya, aku datang!" Tante Merlin memaksa sedikit berteriak, hingga suaranya bergetar. Dia memandangku. "Nak Avin, kita makan sama-sama, ya?"

"Maaf, Tan, aku harus balik. Lain kali aku ikut makan malam bareng. Terima kasih." Aku memilih pergi. Tidak bisa aku menikmati makan malam hanya dengan Tante Merlin, apalagi suasana seperti ini.

Aku meninggalkan rumah besar itu. Dengan motor kesayanganku, menyusuri jalanan kota Bandung yang ramai di senja hari. Tujuanku adalah rumah. Rumah mungil tempat aku bisa segera merebahkan badan dari semua penat yang mendera.

Di tengah perjalanan, saat aku berbelok hendak masuk ke perumahan, seseorang menyeberang tiba-tiba tanpa memperhatikan jalan. Dengan terkejut dan hampir hilang kendali aku mengerem motorku.

Ciitt!!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status