Share

Bab 5. Kejutan dari Kekasih

Aku menunggu murid itu membuka suara, menyebutkan apa lagu favoritnya. Tidak ada pergerakan. Wajahnya datar, tatapannya lurus ke arahku.

"Josephine. Benar, panggilan kamu Josephine?" tanyaku akhienya.

"Josie." Pendek Josie menjawab.

"Oke, Josie. Apa lagu favoritmu?" tanyaku lagi.

"Ga ada." Datar, itu jawabannya.

"Hm?" Aku cukup kaget dengan ucapan pendek itu. Pertanyaanku berlanjut. "Kamu ga suka musik?"

"Apa harus punya lagu favorit?" Nada suaranya makin dingin.

Aku bisa merasa seketika kelas menjadi sedikit tegang. Beberapa siswa tampak berbisik-bisik. Dari reaksi mereka jelas bukan tanggapan baik dengan sikap Josie.

"Anak baru ini, belagu banget, sih. Sopan dikit ama guru, ga bisa?" Salah satu murid dari deretan kiriku angkat bicara.

Dugaanku benar, saat bertemu dengan Josie di dekat taman, aku tahu dia mengenakan seragam baru. Dia memang murid baru. Tapi tidak mengira, dia langsung masuk kelas teratas di sekolah ini.

Josie melirik ke arah gadis itu, tapi tidak menimpali apapun.

"Emang apa bagusnya kasih tahu lagu favorit? Wasting time." Josie bicara dengan pandangan balik ke arahku.

"Ih, bener-bener, ya?" Yang lain mulai ribut.

"Oke, ga apa-apa. Kita lanjutkan saja. Hetty Angelina!" Aku melanjutkan mengabsen kelas.

Hatiku tetap tidak nyaman. Baru hari pertama mengajar, masih di babak pendahuluan, sudah muncul situasi tidak terduga. Aku harus bisa tetap tenang. Salah bersikap, bisa berantakan ke depan. Apalagi aku guru baru harus pandai mengambil hati para siswa.

Selesai mengenal isi kelasku, aku melanjutkan dengan silabus. Aku menjelaskan apa saja yang akan dilakukan di kelas selama satu semester. Respon luar biasa aku terima dari para siswa. Sebagian besar mereka antusias dengan apa yang aku paparkan.

Sedang Josie, dia seperti tidak sedang ada di dalam kelas. Dia hanya duduk memandang lurus ke depan, melamun dan masuk ke dunia lain meskipun tubuhnya ada di dalam kelas. Sepertinya dia akan menjadi masalah di kelasku jika aku tidak menanganinya dari awal.

Teettt!! Bunyi tanda usai kelas berbunyi nyaring. Aku pun menyudahi pertemuan.

'"Oke, Semuanya! Cukup untuk hari ini. Mengawali kelas minggu depan, silakan kalian siapkan satu lagu pendek untuk dimainkan!" Aku mengingatkan lagi tugas untuk pertemuan berikutnya.

"Siap, Pak!" Terdengar sahutan dari beberapa anggota kelas.

Para siswa membereskan perlengkapan mereka dan satu per satu meninggalkan kelas, pindah ke kelas lain untuk pelajaran berikutnya. Sekretaris kelas datang menyodorkan lembar daftar hadir dan meminta aku bubuhkan tanda tangan.

"Pak, Josephine itu murid baru. Rada aneh. Harap maklum ya, Pak," kata gadis berkacamata dengan rambut lurus sebahu itu.

"Ga apa-apa, Monika. Masih baru, pasti perlu penyesuaian. Dia tinggal di asrama?" tanyaku sambil mengambil pena di meja.

"Iya. Ga mau kenal siapapun. Ga ada juga yang mau dekatin dia. Mukanya asem mulu," jawab Monika sambil mencibir.

Aku tersenyum. Makin membuat aku penasaran saja terhadap Josie. Ada apa dengannya sehingga bertingkah lain dari remaja seusianya? Monika membawa lembar daftar hadir yang sudah aku tanda tangani. Mataku melihat lagi ke bangku tempat Josie duduk. Dia masih di sana, bengong di tempatnya.

Hampir aku melangkah ke arahnya, Josie berdiri dan dengan cepat keluar kelas. Tidak menengok kiri kanan atau berbasa-basi dengan beberapa temannya yang juga mulai bergerak meninggalkan kelas. Aku pun membawa peralatanku, keluar kelas dan menuju ke kantor.

*****

Jam dua siang, aku sampai di ruko berlantai tiga dengan papan nama Music for Kids School. Tempat aku mengajar selain di sekolah, tempat les anak-anak dari usia sekolah dasar. Tempat les itu sudah menjadi seperti rumah buatku. Aku mengajar di sana sejak masih kuliah.

"Siang, Kak Avin!" Salah satu muridku menyambutku dengan ceria.

"Hai, sudah sampai?" Aku melambai padanya.

Kami masuk bersama ke ruangan kelas. Beberapa anak juga sudah datang. Segera kelas aku mulai. Anak-anak kelas 3 dan 4 SD. Kelas bermain gitar. Sampai dua jam kemudian, selesai sudah kami belajar.

Anak-anak berhamburan keluar kelas, aku menuju ke ruangan untuk tutor. Ada dua temanku di sana. Aku ikut duduk dan mulai bicara dengan mereka. Dari soal kelas, murid, lagu, film, sampai akhirnya masalah cewek.

"Apa kabar kamu? Masih sama Lola?" Diki memandangku. Agak heran juga aku mendengar pertanyaan itu.

"Masih. Kenapa?" tanyaku balik.

"Uffhhh, hee ... hee ...." Diki melebarkan bibirnya, tersenyum hingga giginya terlihat. Tapi senyum itu tidak enak kupandang.

"Vin, kamu yakin sama dia?" Arka, yang ada tepat di depanku ikut bicara.

Aku mengangkat kedua alisku. "Kalian kenapa, sih?" tanyaku makin heran.

"Kami udah kenal kamu lama. Sebelum kamu sama Lola, kita udah berteman, kerja bareng-bareng. Bukan apa, sih, kamu segitu sayangnya sama dia? Ga masalah kalau dia mainnya ke club mulu?" Diki mengatakan sesuatu yang membuat aku terbelalak tak percaya.

"Kamu tahu dari mana?" tanyaku cepat. Aku harus memastikan jika yang Diki katakan benar.

"Kamu ga tahu?" Arka menyahut. Dia setengah melotot melihat padaku.

"Dulu, dia memang suka main ke sana. Sebelum aku jadian sama dia. Tapi sejak sama aku, Lola udah ga pergi lagi. Kalau dia pergi pun pasti urusan kerja. Gimana juga kerjaan dia bisa jadi nyerempet ke area club." Aku menjelaskan yang aku tahu.

"Kamu ini lugu banget jadi cowok." Diki menggeleng. "Main tuh jauhan dikit, Avin."

"Aku dan Diki kadang main band juga di club. Nah, paling nggak, tiga kali kami lihat Lola di sana. Awalnya kupikir sama kamu. Tapi, ternyata bukan. Soalnya ... agak mirip sih, cowoknya," ujar Arka.

"Apa? Cowok?" tandasku.

"Bukan berdua saja memang. Ada teman-temannya yang lain. Tapi ya ... gitu, deh ..." Arko menaikkan kedua bahunya. Entah kenapa dia urung menyelesaikan kata-katanya.

"Kamu ngomong yang jelas, jangan digantung gitu," kataku. Jujur saja, kabar ini membuat banyak pertanyaan muncul di benakku.

"Sorry, Vin, bukan mau provokasi. Boleh jujur, kan?" Arka memandang padaku. Dia tampak lebih serius.

"Ya mestinya gitu. Apaan, Ka?" Aku makin penasaran.

"Si Lola, sama tuh cowok, berduaannya beda. Lebih dari teman menurutku. Kita ini bukan remaja, udah pada dewasa. Kamu paham kan, bedanya kalau aku bilang dekat sebagai teman dan yang lebih itu gimana?" Arka mencoba menjabarkan. Tidak sangat gamblang tapi aku tahu yang dia maksud.

"Lola main sama cowok itu?" ujarku dengan dada terasa panas.

"Vin, serius, aku ga bermaksud merusak hubungan kamu sama Lola. Tapi kita ini teman. Sebenarnya ga enak banget aku bicara soal ini, tahu nggak?" Arka memajukan badannya dan menepuk lenganku.

"Sorry, Vin. Aku dan Arka yang tahu ini, kayak ada beban. Maju mundur mau tanya sama kamu. Cuma, aku ga mau temanku yang baik ternyata ketemu yang ga pas. Beneran, sorry ...." Diki ikutan serius. Senyum di wajah kedua temanku benar-benar lenyap.

Ini kejutan luar biasa buatku. Kejutan dari kekasihku yang kukira masih sayang padaku. Aku terdiam. Pikiranku berputar ke mana-mana. Aku harus serius bicara dengan Lola. Dan harus secepatnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status