Share

Bab 8. Tentang Josie

"Iya, Pak, aku tahu," ucap Josie. "Terlalu banyak yang aku pingin skip, tapi nyatanya harus aku jalani. Biarpun semua ga adil."

Kalimat itu memaksa aku menatap lebih lekat pada Josie. Dia tidak menjelaskan apa yang dia maksud, tapi aku bisa mengerti, dia protes dengan keadaan dirinya.

"Boleh kamu jelaskan?" tanyaku.

Kedua mata cantik Josie mengerjap beberapa kali. "Ntar PR-ku ga selesai. Mending aku kerjain. Kasih waktu lima belas menit, boleh?"

Josie menghindar, tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia segera menunduk melihat pada lembaran tugas dan mulai fokus mengerjakan.

Ada iba di hatiku muncul. Gadis ini menyimpan sesuatu. Malam itu, saat hampir bertabrakan dengan motorku, dia tidak takut dan menangis. Justru kesal karena tidak benar-benar tertabrak. Saat di kelas, dia tidak peduli apapun. Lalu hari ini, dia bingung karena tidak bisa mengerjakan tugas dan hampir menangis tiba-tiba entah karena apa.

"Sudah, Pak. Kayak gini, ta?" Nada medok Jawa Timur Josie muncul lagi.

Aku memajukan badan, merapat ke meja dan memperhatikan hasil kerja yang dia sodorkan. Aku membacanya dengan teliti. Lalu aku tunjukkan bagian yang dia kerjakan dengan benar dan mana yang dia masih belum paham. Aku mencoba menjelaskan agar Josie tahu di mana kesalahannya.

"Gimana? Udah jelas?" tanyaku sambil mencermati wajahnya.

"Hm, lumayan. Udah lebih ngerti. Pak Avin pintar juga Math. Kenapa jadi guru musik?" Mata Josie menatap padaku. Kembali tatapan ketus muncul, nada suaranya juga menjadi dingin.

"Tersesat. Tapi aku menikmatinya sekarang," ujarku sambil tersenyum simpul. "Sayang, ada murid yang ga suka musik."

Aku mengingatkan Josie, dia tidak mau menyebut lagu favoritnya saat pelajaran di kelas. Josie melirikku. Aku yakin dia paham yang aku maksudkan.

"Bapak sotoy." Josie menjawab sambil tangannya meraih penghapus. Lalu dia menghapus bagian yang salah dan mulai meneruskan lagi mengerjakan.

Aku lagi-lagi tersenyum. Unik juga nada bicara Josie. Jarang aku mendengar aksen Jawa Timuran.

"Boleh tau, kenapa kamu sekolah sampai jauh ke sini? Di kota asalmu ga ada sekolah bagus?" Aku penasaran. Mudah-mudahan Josie tidak menghindar dari pertanyaan ini.

Josie melirik sekilas, lalu meneruskan menulis. Aku mengangkat kedua bahuku. Benar dugaanku, Josie memilih diam, tidak mau menjawab.

"Gimana rasanya jauh dari keluarga? Kamu ga kangen orang tua kamu?" Pertanyaanku berlanjut.

Josie memandangku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Tangannya menutup buku dan menumpuk dengan buku lainnya. Dia bereskan peralatan tulisnya, lalu berdiri bersiap pergi.

"Bukan menjawab, mau pergi?" ujarku. Makin penasaran aku dengan murid baru ini.

"Udah selesai. Makasih banyak udah bantuin. Aku balik asrama, Pak." Tanpa merasa sungkan atau segan, Josie mengangkat semua buku dan peralatannya, kemudian berjalan meninggalkan aku sendirian.

Gadis itu terus berjalan tanpa menoleh lagi. Aku hanya bisa menggeleng heran dengan kelakuannya yang ajaib.

"Kenapa, Pak?" Suara seseorang terdengar dari sisi kananku. Aku menoleh.

Ibu Liani, ibu asrama sekolah. Dia melihat aku sambil tersenyum ramah di bibirnya.

"Josie. Gimana dia di asrama, Bu?" tanyaku. Mungkin saja aku bisa mendapat satu jawaban dari rasa penarasanku dengan gadis antik itu.

Bu Liani kembali tersenyum. "Bingung mau menjelaskannya, Pak. Dia super cuek. Yang penting tidak mengganggu orang lain. Dan jangan sampai orang lain mengganggunya. Itu kesimpulan saya sejak dia datang."

"Wow." Aku menaikkan kedua alisku mendengar jawaban itu.

"Sampai sekarang tidak ada yang mau mendekat pada Josie. Dia selalu sendirian dan ga punya teman." Bu Liani melanjutkan.

"Ibu tidak coba bicara dengannya?" tanyaku.

"Sudah, Pak. Dijawab sedikit, seperlunya. Saya malah hampir yakin dia tidak jujur dengan jawabannya." Bu Liani akhirnya duduk di depanku, di tempat yang Josie tadi duduki.

"Ibu serius?" ujarku heran.

"Saya ingin menolongnya, Pak. Karena dengan sikap dan sifatnya itu, Josie sedang membentengi diri dari banyak kebaikan dan menjerat dirinya dengan banyak kesulitan di masa depan. Tapi satu yang saya akui, dia sangat mandiri." Kesimpulan lain dari ibu asrama.

"Ibu sempat bertemu orang tuanya saat dia datang pertama kali?" Aku bertanya lebih jauh.

"Josie datang sendirian, tidak ada yang mengantar. Hanya surat dari orang tuanya yang dia serahkan. Sebenarnya itu orang tua wali. Kedua orang tuanya sudah tidak ada," jawab Bu Liani.

"Oya?" Aku kembali terkejut. "Jadi Josie yatim piatu. Walinya adalah ..."

Aku sengaja menggantunkan kalimatku, meminta Bu Liani meneruskannya.

"Tante. Josie mengatakan adik ayahnya yang merawat dia sejak orang tuanya tidak ada," jawab Bu Liani lagi.

"I see ..." Aku mulai menghubungkan beberapa kali kejadian aku bertemu Josie dan sikap Josie. Pikiranku mulai menduga ini dan itu, menyimpulkan mengapa Josie begitu aneh.

Pikiranku berkelana, muncul pertanyaan dan juga pengandaian. Terlalu banyak kemungkinan. Entah kenapa aku semakin ingin tahu tentang Josie. Unik, menarik, dan misterius.

"PR saya bertambah, Pak." Senyum Ibu Liani kembali melebar. "Mengurus gadis-gadis seusia mereka, tidak mudah. Masing-masing datang dengan latar belakang berbeda. Punya tujuan dan kemauan yang berbeda. Jika menurut dan taat, mudah diatur. Jika merasa dia yang paling benar, ya ..."

"Seperti Josie?" tebakku.

"Boleh dikatakan begitu. Mungkin bukan menganggap dia yang paling benar, tapi lebih pada ... kalau pas dan wajar menurutku, oke, aku ikut. Kalau tidak, jangan paksa aku akan melakukannya," jelas Bu Liani.

Aku tersenyum sedikit kecut. Kurasa Josie juga akan jadi PR-ku. Mudah-mudahan aku segera bisa menemukan cara menkalukkan murid baru yang unik itu.

"Baiklah, Pak, saya harus segera balik. Saya akan pastikan mereka yang tinggal di asrama weekend ini sudah balik ke asrama sebelum jam makan malam," ucap Bu Liani.

"Baik, Bu. Silakan," sahutku.

Bu Liani meninggalkan aku sendiri. Aku melirik arloji di tangan kiriku. Hari sudah hampir jam lima sore. Aku bangun dan menuju ke tempat parkir lagi. Kali ini aku akan benar-benar pulang. Hanya lima menit perjalanan dari sekolah, aku sudah sampai di rumah.

Di depan rumah, aku melihat Kak Lili dan calon suaminya, Edo, sedang bersiap akan malam mingguan.

"Hai! Pak Guru!" Bang Edo menyapaku. Senyumnya lebar dia lepaskan.

"Halo, Bang! Jam segini udah jemput aja. Ga sabaran banget." Aku menggodanya.

"Haa ... haa ..." Tawa Bang Edo terdengar bebas. "Kakakmu selalu bikin kangen. Beneran ga sabar aku, mau cepat nikahin."

"Kalau niat pasti jadilah. Abang yang terlalu sibuk. Luar kota mulu. Gimana mau urus nikah?" Kak Lili melirik Bang Edo sambil mencibir.

"Aihh, aku salah nanya. Kalian bisa ribut, nih," ujarku.

"Hee ... heee ..." Lagi-lagi Bang Edo melepas senyumnya.

"Kami jalan, Vin. Kamu kenapa ga malam mingguan?" tanya Kak Lili sambil menggandeng kekasihnya.

"Pacarku galak, bikin ogah. Mending nonton aja di rumah," jawabku sembarangan, meski sedikit benar.

"Hmm ... masih ga kelar juga urusanmu sama Lola?" Ucapan itu terdengar ada nada sedih.

Aku cuma nyengir dan garuk kepala. Kak Lili dan Bang Edo masuk ke dalam mobil hitam di halaman dan segera berlalu. Aku meneruskan langkah masuk ke rumah. Aku berniat mandi sebelum makan malam. Terdengar ponselku berdering.

Nomor yang aku ga kenal. Tapi dari gambar yang muncul seorang gadis yang menelpon.

"Sore, Pak Avin!"

Aku mengerutkan kening. Suara itu tidak asing, tapi siapa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status