Share

Bab 7. Lebih Baik Pisah?

Jujur, aku makin merasa tidak dihargai oleh Lola. Sikapnya yang terus saja mau menang sendiri membuat aku benar-benar lelah.

"Oke, bicara saja, terserah," ujarku. Aku mundur dan menyandarkan punggung di kursi.

Lola mulai bicara ini dan itu yang tidak jelas juntrungannya. Aku sudah ogah mendengar semua yang Lola katakan. Yang aku lakukan mengangguk atau menggeleng, atau hanya menatap saja. Tidak ada niatan aku mendesak Lola mendengarkan aku. Aku benar-benar lelah dengan semuanya.

"Paham?" kata terakhir Lola. Matanya masih menyala menatap padaku.

"Ya, oke." Aku menjawab dengan lesu.

"Avin!" Lola tidak lega dengan jawaban yang aku berikan.

"Sudah aku dengar semuanya. Aku paham, kurasa cukup." Aku berdiri dan bersiap pulang.

Tidak ada gunanya. Lola tidak mau jujur, tidak mau melihat sisi yang salah dari hubungan kami dan menimpakan semua padaku. Dan menilai aku yang terlalu lebay. Fine.

"Kalau gitu aku ga mau kamu ungkit-ungkit soal pekerjaanku, apa saja yang aku lakukan. Aku mau kita jalan baik-baik seprti dulu. Oke?" Suara Lola sedikit merendah.

"Aku lelah, La. Aku ga tahu bisa lanjut apa nggak," ucapku. Aku meraih jaketku dan mengenakannya.

"Maksud kamu?" Lola mengerutkan keningnya.

"Jika seperti ini terus ... lebih baik kita pisah," kataku pelan. Tidak ada semangat di sana.

"Apa?" Lola tidak percaya dengan yang aku ucapkan.

"Aku pergi, aku pingin tenang," kataku.

"Avin!" panggil Lola.

"Kalau nanti aku siap, kita bicara lagi." Aku berjalan tanpa menoleh dan terus meninggalkan teras rumah besar itu.

Aku naik ke atas roda dua andalanku dan segera meluncur di jalanan. Aku tidak tahu akan ke mana. Pikiranku penat. Jika boleh, aku ingin menyingkir sejenak dari semua yang berhubungan dengan Lola, bahkan dari hal yang lain juga, untuk aku bisa menarik napas dengan sedikit lega.

Motorku terus saja melaju tanpa tujuan. Entah kenapa aku juga tidak paham, aku membawa motorku menuju ke sekolah. Sampai di tempat parkir baru aku sadar, aku ada di SMA tempat aku mengajar.

"Ngapain ke sini?" gumamku heran dengan diri sendiri.

Tapi aku juga tidak berniat meninggalkan sekolah. Ini hari Sabtu, murid-murid libur. Bahkan di sekitarku tidak terlihat siapapun.

Aku turun dari motor dan berjalan ke arah taman di tengah sekolah. Tempat yang aku sukai. Duduk di gazebo dan menikmati suasana. Mungkin saja semua suntukku akan lenyap.

Sepi. Tak terlihat siapapun. Ya, murid-murid sebagian besar pasti pulang ke rumah mereka. Khususnya mereka yang tinggal di sekitar Bandung. Mereka yang berasal dari kota yang jauh atau pulau lain, tentu tidak pulang. Meskipun kadang mereka ikut dengan teman yang pulang saat weekend.

"Apa memang lebih baik aku pisah?" batinku kembali bergelut.

Percakapanku dengan Lola ... bukan, lebih tepat kalau aku boleh sebut, pertengkaran, semua muncul dan berkelana di kepalaku. Aku makin merasa yakin tidak mungkin meneruskan hubungan dengan Lola. Kami tidak bisa sejalan dan sepaham. Lalu apa yang perlu dipertahankan?

Lola memilih semaunya, buat apa aku memaksa diri di sampingnya kalau hanya makin jauh jarak hubungan kami. Soal Tante Merlin? Dia sangat berharap aku bisa terus bersama Lola hingga ke pelaminan. Aku punya janji dengannya dan tidak ingin mengingkari janjiku tentu saja. Tetapi apakah bisa dengan hubungan seperti ini aku dan Lola masuk ke sebuah pernikahan?

"Ya Tuhan, kenapa begitu membingungkan? Beri aku petunjuk-Mu. Memang Lola yang Kau hadirkan untuk menjadi pendamping hidupku, atau seseorang yang lain? Tanda apa yang perlu aku minta agar aku yakin dan tidak salah mengambil keputusan?" Aku memejamkan mata dan menaikkan doa di dalam hati.

"Menyebalkan! Baru juga seminggu sekolah, sudah dikasih tugas ribet kayak gini."

Aku menoleh cepat mendengar suara seseorang dari arah belakangku. Dan aku mulai hafal suara itu. Logat Jawa Timuran.

Gadis dengan bola mata sayu itu sedang berjalan ke arahku. Rambutnya yang hitam tebal terurai indah di punggungnya. Beberapa helai jatuh ke depan sedikit menutup wajahnya.

"Josie?" Aku menyebut namanya. Tidak bermaksud menyapa sebenarnya, hanya memastikan aku tidak salah mengenali orang.

Josie berhenti dan melihat ke arahku. Wajahnya ketus. Cantik, tapi mahal sekali senyum dari bibirnya yang bagus itu.

"Pak Guru? Ngapain libur gini ke sekolah?" Dia memandangku dengan tatapan aneh.

Aku tersenyum.

"Kamu lagi kerja tugas apa? Kenapa sewot? Kamu ga liburan juga?" Aku balik bertanya langsung tiga sekaligus.

"Kepo. Bagus kalau bisa bantuin." Jawaban tajam terdengar.

Aku kesal juga jadinya. Murid yang satu ini tidak ada sopan-sopannya sama guru.

"Wanna bet? Let's try." Aku jadi terpancing. Aku ingin tahu gimana kalau aku bisa menolong Josie menyelesaikan tugasnya. Apa dia masih tetap ketus? setidaknya jika aku bisa sedikit menaklukkan dia, gangguan di kelas akan berkurang.

Josie memandang dengan tatapan aneh. Aku tidak bisa menjelaskan seperti apa. Aku pasang wajah dengan senyum lebar, berharap dia merasa nyaman lalu berani membuka diri.

"Oke. Penasaran aja, guru musik bisa ngerjain soal math?" Josie mendekat, dia memilih kursi di depanku dan meletakkan tumpukan buku di tangannya di atas meja yang ada di antara kami.

Aku kembali tersenyum. Apa gadis dengan dagu lancip ini lupa, kalau guru musik juga pernah jadi murid SMA?

"Coba lihat, sesulit apa soal yang harus kamu selesaikan. Kenapa kamu sampai pasang muka panjang gitu?" Aku memandang Josie. Wajahnya unik. Cantik Indonesia banget, tetapi warna matanya tidak benar-benar hitam. Ada bias sinar menimpa, terlihat coklat terang, bagus sekali.

Josie tidak menyahut. Dia membuka bukunya dan menunjukkan PR yang harus dia selesaikan. Aku membaca deretan soal di sana. Bukan soal yang terlalu susah. Aku melirik Josie. Dia tajam menatap padaku.

"Mana yang kamu belum paham? Ini kamu baru kerjakan dua nomor tapi belum kelar juga." Aku menunjuk ke lembaran yang ada di depanku.

"Pak, otakku ini mandeg kalau disuruh mikir angka. Ga mood," ucapnya santai. Nada jutek masih terasa. 

Aku tersenyum. "Oke, berarti kamu punya kecerdasan di bidang lain. Bukan di Matematika. Tidak masalah, sih, kita semua punya kelebihan dan kekurangan. Tapi, persoalannya, pelajaran ini ga bisa kamu skip. Jadi mesti berjuang, Josephine," kataku serius.

Josie tidak bereaksi. Aura wajahnya berubah. Bukan jutek dan ketus. Ada sendu muncul tiba-tiba di sana. Dia mengerjap beberapa kali, seperti menahan air mata yang akan segera tumpah. Ada apa dengan gadis ini sebenarnya? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status