Home / Young Adult / Murid Kesayangan / Bab 7. Lebih Baik Pisah?

Share

Bab 7. Lebih Baik Pisah?

last update Huling Na-update: 2022-07-26 11:59:53

Jujur, aku makin merasa tidak dihargai oleh Lola. Sikapnya yang terus saja mau menang sendiri membuat aku benar-benar lelah.

"Oke, bicara saja, terserah," ujarku. Aku mundur dan menyandarkan punggung di kursi.

Lola mulai bicara ini dan itu yang tidak jelas juntrungannya. Aku sudah ogah mendengar semua yang Lola katakan. Yang aku lakukan mengangguk atau menggeleng, atau hanya menatap saja. Tidak ada niatan aku mendesak Lola mendengarkan aku. Aku benar-benar lelah dengan semuanya.

"Paham?" kata terakhir Lola. Matanya masih menyala menatap padaku.

"Ya, oke." Aku menjawab dengan lesu.

"Avin!" Lola tidak lega dengan jawaban yang aku berikan.

"Sudah aku dengar semuanya. Aku paham, kurasa cukup." Aku berdiri dan bersiap pulang.

Tidak ada gunanya. Lola tidak mau jujur, tidak mau melihat sisi yang salah dari hubungan kami dan menimpakan semua padaku. Dan menilai aku yang terlalu lebay. Fine.

"Kalau gitu aku ga mau kamu ungkit-ungkit soal pekerjaanku, apa saja yang aku lakukan. Aku mau kita jalan baik-baik seprti dulu. Oke?" Suara Lola sedikit merendah.

"Aku lelah, La. Aku ga tahu bisa lanjut apa nggak," ucapku. Aku meraih jaketku dan mengenakannya.

"Maksud kamu?" Lola mengerutkan keningnya.

"Jika seperti ini terus ... lebih baik kita pisah," kataku pelan. Tidak ada semangat di sana.

"Apa?" Lola tidak percaya dengan yang aku ucapkan.

"Aku pergi, aku pingin tenang," kataku.

"Avin!" panggil Lola.

"Kalau nanti aku siap, kita bicara lagi." Aku berjalan tanpa menoleh dan terus meninggalkan teras rumah besar itu.

Aku naik ke atas roda dua andalanku dan segera meluncur di jalanan. Aku tidak tahu akan ke mana. Pikiranku penat. Jika boleh, aku ingin menyingkir sejenak dari semua yang berhubungan dengan Lola, bahkan dari hal yang lain juga, untuk aku bisa menarik napas dengan sedikit lega.

Motorku terus saja melaju tanpa tujuan. Entah kenapa aku juga tidak paham, aku membawa motorku menuju ke sekolah. Sampai di tempat parkir baru aku sadar, aku ada di SMA tempat aku mengajar.

"Ngapain ke sini?" gumamku heran dengan diri sendiri.

Tapi aku juga tidak berniat meninggalkan sekolah. Ini hari Sabtu, murid-murid libur. Bahkan di sekitarku tidak terlihat siapapun.

Aku turun dari motor dan berjalan ke arah taman di tengah sekolah. Tempat yang aku sukai. Duduk di gazebo dan menikmati suasana. Mungkin saja semua suntukku akan lenyap.

Sepi. Tak terlihat siapapun. Ya, murid-murid sebagian besar pasti pulang ke rumah mereka. Khususnya mereka yang tinggal di sekitar Bandung. Mereka yang berasal dari kota yang jauh atau pulau lain, tentu tidak pulang. Meskipun kadang mereka ikut dengan teman yang pulang saat weekend.

"Apa memang lebih baik aku pisah?" batinku kembali bergelut.

Percakapanku dengan Lola ... bukan, lebih tepat kalau aku boleh sebut, pertengkaran, semua muncul dan berkelana di kepalaku. Aku makin merasa yakin tidak mungkin meneruskan hubungan dengan Lola. Kami tidak bisa sejalan dan sepaham. Lalu apa yang perlu dipertahankan?

Lola memilih semaunya, buat apa aku memaksa diri di sampingnya kalau hanya makin jauh jarak hubungan kami. Soal Tante Merlin? Dia sangat berharap aku bisa terus bersama Lola hingga ke pelaminan. Aku punya janji dengannya dan tidak ingin mengingkari janjiku tentu saja. Tetapi apakah bisa dengan hubungan seperti ini aku dan Lola masuk ke sebuah pernikahan?

"Ya Tuhan, kenapa begitu membingungkan? Beri aku petunjuk-Mu. Memang Lola yang Kau hadirkan untuk menjadi pendamping hidupku, atau seseorang yang lain? Tanda apa yang perlu aku minta agar aku yakin dan tidak salah mengambil keputusan?" Aku memejamkan mata dan menaikkan doa di dalam hati.

"Menyebalkan! Baru juga seminggu sekolah, sudah dikasih tugas ribet kayak gini."

Aku menoleh cepat mendengar suara seseorang dari arah belakangku. Dan aku mulai hafal suara itu. Logat Jawa Timuran.

Gadis dengan bola mata sayu itu sedang berjalan ke arahku. Rambutnya yang hitam tebal terurai indah di punggungnya. Beberapa helai jatuh ke depan sedikit menutup wajahnya.

"Josie?" Aku menyebut namanya. Tidak bermaksud menyapa sebenarnya, hanya memastikan aku tidak salah mengenali orang.

Josie berhenti dan melihat ke arahku. Wajahnya ketus. Cantik, tapi mahal sekali senyum dari bibirnya yang bagus itu.

"Pak Guru? Ngapain libur gini ke sekolah?" Dia memandangku dengan tatapan aneh.

Aku tersenyum.

"Kamu lagi kerja tugas apa? Kenapa sewot? Kamu ga liburan juga?" Aku balik bertanya langsung tiga sekaligus.

"Kepo. Bagus kalau bisa bantuin." Jawaban tajam terdengar.

Aku kesal juga jadinya. Murid yang satu ini tidak ada sopan-sopannya sama guru.

"Wanna bet? Let's try." Aku jadi terpancing. Aku ingin tahu gimana kalau aku bisa menolong Josie menyelesaikan tugasnya. Apa dia masih tetap ketus? setidaknya jika aku bisa sedikit menaklukkan dia, gangguan di kelas akan berkurang.

Josie memandang dengan tatapan aneh. Aku tidak bisa menjelaskan seperti apa. Aku pasang wajah dengan senyum lebar, berharap dia merasa nyaman lalu berani membuka diri.

"Oke. Penasaran aja, guru musik bisa ngerjain soal math?" Josie mendekat, dia memilih kursi di depanku dan meletakkan tumpukan buku di tangannya di atas meja yang ada di antara kami.

Aku kembali tersenyum. Apa gadis dengan dagu lancip ini lupa, kalau guru musik juga pernah jadi murid SMA?

"Coba lihat, sesulit apa soal yang harus kamu selesaikan. Kenapa kamu sampai pasang muka panjang gitu?" Aku memandang Josie. Wajahnya unik. Cantik Indonesia banget, tetapi warna matanya tidak benar-benar hitam. Ada bias sinar menimpa, terlihat coklat terang, bagus sekali.

Josie tidak menyahut. Dia membuka bukunya dan menunjukkan PR yang harus dia selesaikan. Aku membaca deretan soal di sana. Bukan soal yang terlalu susah. Aku melirik Josie. Dia tajam menatap padaku.

"Mana yang kamu belum paham? Ini kamu baru kerjakan dua nomor tapi belum kelar juga." Aku menunjuk ke lembaran yang ada di depanku.

"Pak, otakku ini mandeg kalau disuruh mikir angka. Ga mood," ucapnya santai. Nada jutek masih terasa. 

Aku tersenyum. "Oke, berarti kamu punya kecerdasan di bidang lain. Bukan di Matematika. Tidak masalah, sih, kita semua punya kelebihan dan kekurangan. Tapi, persoalannya, pelajaran ini ga bisa kamu skip. Jadi mesti berjuang, Josephine," kataku serius.

Josie tidak bereaksi. Aura wajahnya berubah. Bukan jutek dan ketus. Ada sendu muncul tiba-tiba di sana. Dia mengerjap beberapa kali, seperti menahan air mata yang akan segera tumpah. Ada apa dengan gadis ini sebenarnya? 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Murid Kesayangan   Extra Part - Semua Sudah Selesai, Ke Mana Setelah Ini?

    Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar

  • Murid Kesayangan   Extra Part - Bulan Madu dan Klarifikasi

    Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg

  • Murid Kesayangan   Bab 133. Murid Kesayanganku

    "Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika

  • Murid Kesayangan   Bab 132. Tidak Akan Berpisah Lagi

    Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku mencoba membuka mataku tapi pedih sekali. Aku mencoba menggerakkan tubuh, hampir tidak mampu. Aku mengerjap beberapa kali dan tampak dinding putih di depanku. Aku di mana? Aku mengernyit karena pusing begitu kuat mendera. Pandanganku mulai lebih jelas. Rumah sakit. Dinding putih dan bau obat, khas rumah sakit. Seketika aku ingat apa yang terjadi. Aku mengalami kecelakaan karena tidak memperhatikan jalan saat aku menyeberang. Josie ... ya, aku meninggalkan Josie di rumah kos karena kecewa dia tidak mau menerimaku. Josie memintaku pergi, hatiku hancur rasanya. "Kak Avin ..." Suara Josie memanggilku. Terasa tangannya menyentuh lenganku. Ada isakan dari suara itu. Aku memaksa memutar kepala sedikit, menoleh ke sisi kanan, Josie duduk di sana sambil menatap ke arahku dengan pandangan cemas. Air mata membasahi kedua pipinya. "Kak ..." Melihat aku membuka mata dia mengangkat tubuhnya dan mendekat padaku. "Kak Avin udah bangun? Ya Tuhan ... teri

  • Murid Kesayangan   Bab 131. Mata Sayu dan Sendu Itu

    Lembut suara Josie, aku mengikuti yang dia katakan. Aku menoleh ke sisi kanan. Refleks aku berdiri. Berjarak kira-kira lima belas meter dari tempatku, Josie berdiri memandang ke arahku. Sebelah tangannya masih memegang ponsel di telinga dan satu tangan lagi membawa serangkaian bunga berwarna putih dan kuning.Aku menurunkan ponsel dan melihat benarkah Josie yang menelpon. Bukan. Itu bukan nomor Josie, tapi ..."Jono?" Aku berucap lirih. Nomor yang masuk adalah nomor Jono. Josie masih mematung di tempatnya. Aku juga belum bergerak. Aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku mengangkat kembali ponsel ke telinga. "Apa ini Jono?" tanyaku. Detak jantungku melaju. "Ya, ini Jono." Jawabannya jelas. Suara yang kudengar suara Josie. Suara yang lama tak pernah mampir di telingaku.Hampir tak percaya aku mendengar jawaban Josie. Jadi selama beberapa waktu terakhir ini, orang tak dikenal yang menghubungi aku adalah Josie? Josie tahu aku ada di Malang? Josie sengaja memakai nama Jo

  • Murid Kesayangan   Bab 130. Siapa Jono?

    Alarm berbunyi nyaring membuat aku tersentak dan segera bangun. Jam lima pagi. Tidak kukira aku ketiduran hingga berganti hari. Aku bahkan tidak ingat jam berapa tidur dan bahkan tidak juga mimpi apa-apa. Aku meraih ponsel dan mematikan alarm. Seketika tampak pesan dari Jono yang dia kirim tadi malam yang belum sempat aku baca. - Galau, bro? Ini soal hati ka? - Wah, galau berat nih, ga sempat balas - Jangan dipelihara rasa galau. Yang ditunggu bisa jadi ga lama nongol. Masih ada matahari akan terbit Aku tersenyum. Aku perhatikan jam kapan Jono membalas pesanku. Dari yang pertama ke pesan kedua kira-kira sepuluh menit. Lalu ke pesan ketiga lebih setengah jam. Jadi dia menunggu aku bercerita. Aku makin penasaran, teman baruku ini seperti apa. Segitunya dia care sama aku. - thank you udah kasih semangat, bro. Menurut kamu bagaimana bisa menemukan seseorang yang memang ingin menjauh, tetapi kita yakin dia takdir kita? Sedang jejaknya sudah begitu dekat. Aku mengirimkan pesan itu, ten

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status