Jujur, aku makin merasa tidak dihargai oleh Lola. Sikapnya yang terus saja mau menang sendiri membuat aku benar-benar lelah.
"Oke, bicara saja, terserah," ujarku. Aku mundur dan menyandarkan punggung di kursi.
Lola mulai bicara ini dan itu yang tidak jelas juntrungannya. Aku sudah ogah mendengar semua yang Lola katakan. Yang aku lakukan mengangguk atau menggeleng, atau hanya menatap saja. Tidak ada niatan aku mendesak Lola mendengarkan aku. Aku benar-benar lelah dengan semuanya.
"Paham?" kata terakhir Lola. Matanya masih menyala menatap padaku.
"Ya, oke." Aku menjawab dengan lesu.
"Avin!" Lola tidak lega dengan jawaban yang aku berikan.
"Sudah aku dengar semuanya. Aku paham, kurasa cukup." Aku berdiri dan bersiap pulang.
Tidak ada gunanya. Lola tidak mau jujur, tidak mau melihat sisi yang salah dari hubungan kami dan menimpakan semua padaku. Dan menilai aku yang terlalu lebay. Fine."Kalau gitu aku ga mau kamu ungkit-ungkit soal pekerjaanku, apa saja yang aku lakukan. Aku mau kita jalan baik-baik seprti dulu. Oke?" Suara Lola sedikit merendah.
"Aku lelah, La. Aku ga tahu bisa lanjut apa nggak," ucapku. Aku meraih jaketku dan mengenakannya.
"Maksud kamu?" Lola mengerutkan keningnya.
"Jika seperti ini terus ... lebih baik kita pisah," kataku pelan. Tidak ada semangat di sana.
"Apa?" Lola tidak percaya dengan yang aku ucapkan.
"Aku pergi, aku pingin tenang," kataku.
"Avin!" panggil Lola.
"Kalau nanti aku siap, kita bicara lagi." Aku berjalan tanpa menoleh dan terus meninggalkan teras rumah besar itu.
Aku naik ke atas roda dua andalanku dan segera meluncur di jalanan. Aku tidak tahu akan ke mana. Pikiranku penat. Jika boleh, aku ingin menyingkir sejenak dari semua yang berhubungan dengan Lola, bahkan dari hal yang lain juga, untuk aku bisa menarik napas dengan sedikit lega.
Motorku terus saja melaju tanpa tujuan. Entah kenapa aku juga tidak paham, aku membawa motorku menuju ke sekolah. Sampai di tempat parkir baru aku sadar, aku ada di SMA tempat aku mengajar.
"Ngapain ke sini?" gumamku heran dengan diri sendiri.
Tapi aku juga tidak berniat meninggalkan sekolah. Ini hari Sabtu, murid-murid libur. Bahkan di sekitarku tidak terlihat siapapun.
Aku turun dari motor dan berjalan ke arah taman di tengah sekolah. Tempat yang aku sukai. Duduk di gazebo dan menikmati suasana. Mungkin saja semua suntukku akan lenyap.
Sepi. Tak terlihat siapapun. Ya, murid-murid sebagian besar pasti pulang ke rumah mereka. Khususnya mereka yang tinggal di sekitar Bandung. Mereka yang berasal dari kota yang jauh atau pulau lain, tentu tidak pulang. Meskipun kadang mereka ikut dengan teman yang pulang saat weekend.
"Apa memang lebih baik aku pisah?" batinku kembali bergelut.
Percakapanku dengan Lola ... bukan, lebih tepat kalau aku boleh sebut, pertengkaran, semua muncul dan berkelana di kepalaku. Aku makin merasa yakin tidak mungkin meneruskan hubungan dengan Lola. Kami tidak bisa sejalan dan sepaham. Lalu apa yang perlu dipertahankan?
Lola memilih semaunya, buat apa aku memaksa diri di sampingnya kalau hanya makin jauh jarak hubungan kami. Soal Tante Merlin? Dia sangat berharap aku bisa terus bersama Lola hingga ke pelaminan. Aku punya janji dengannya dan tidak ingin mengingkari janjiku tentu saja. Tetapi apakah bisa dengan hubungan seperti ini aku dan Lola masuk ke sebuah pernikahan?
"Ya Tuhan, kenapa begitu membingungkan? Beri aku petunjuk-Mu. Memang Lola yang Kau hadirkan untuk menjadi pendamping hidupku, atau seseorang yang lain? Tanda apa yang perlu aku minta agar aku yakin dan tidak salah mengambil keputusan?" Aku memejamkan mata dan menaikkan doa di dalam hati.
"Menyebalkan! Baru juga seminggu sekolah, sudah dikasih tugas ribet kayak gini."
Aku menoleh cepat mendengar suara seseorang dari arah belakangku. Dan aku mulai hafal suara itu. Logat Jawa Timuran.
Gadis dengan bola mata sayu itu sedang berjalan ke arahku. Rambutnya yang hitam tebal terurai indah di punggungnya. Beberapa helai jatuh ke depan sedikit menutup wajahnya.
"Josie?" Aku menyebut namanya. Tidak bermaksud menyapa sebenarnya, hanya memastikan aku tidak salah mengenali orang.
Josie berhenti dan melihat ke arahku. Wajahnya ketus. Cantik, tapi mahal sekali senyum dari bibirnya yang bagus itu.
"Pak Guru? Ngapain libur gini ke sekolah?" Dia memandangku dengan tatapan aneh.
Aku tersenyum.
"Kamu lagi kerja tugas apa? Kenapa sewot? Kamu ga liburan juga?" Aku balik bertanya langsung tiga sekaligus.
"Kepo. Bagus kalau bisa bantuin." Jawaban tajam terdengar.
Aku kesal juga jadinya. Murid yang satu ini tidak ada sopan-sopannya sama guru.
"Wanna bet? Let's try." Aku jadi terpancing. Aku ingin tahu gimana kalau aku bisa menolong Josie menyelesaikan tugasnya. Apa dia masih tetap ketus? setidaknya jika aku bisa sedikit menaklukkan dia, gangguan di kelas akan berkurang.
Josie memandang dengan tatapan aneh. Aku tidak bisa menjelaskan seperti apa. Aku pasang wajah dengan senyum lebar, berharap dia merasa nyaman lalu berani membuka diri.
"Oke. Penasaran aja, guru musik bisa ngerjain soal math?" Josie mendekat, dia memilih kursi di depanku dan meletakkan tumpukan buku di tangannya di atas meja yang ada di antara kami.
Aku kembali tersenyum. Apa gadis dengan dagu lancip ini lupa, kalau guru musik juga pernah jadi murid SMA?
"Coba lihat, sesulit apa soal yang harus kamu selesaikan. Kenapa kamu sampai pasang muka panjang gitu?" Aku memandang Josie. Wajahnya unik. Cantik Indonesia banget, tetapi warna matanya tidak benar-benar hitam. Ada bias sinar menimpa, terlihat coklat terang, bagus sekali.
Josie tidak menyahut. Dia membuka bukunya dan menunjukkan PR yang harus dia selesaikan. Aku membaca deretan soal di sana. Bukan soal yang terlalu susah. Aku melirik Josie. Dia tajam menatap padaku.
"Mana yang kamu belum paham? Ini kamu baru kerjakan dua nomor tapi belum kelar juga." Aku menunjuk ke lembaran yang ada di depanku.
"Pak, otakku ini mandeg kalau disuruh mikir angka. Ga mood," ucapnya santai. Nada jutek masih terasa.
Aku tersenyum. "Oke, berarti kamu punya kecerdasan di bidang lain. Bukan di Matematika. Tidak masalah, sih, kita semua punya kelebihan dan kekurangan. Tapi, persoalannya, pelajaran ini ga bisa kamu skip. Jadi mesti berjuang, Josephine," kataku serius.
Josie tidak bereaksi. Aura wajahnya berubah. Bukan jutek dan ketus. Ada sendu muncul tiba-tiba di sana. Dia mengerjap beberapa kali, seperti menahan air mata yang akan segera tumpah. Ada apa dengan gadis ini sebenarnya?
"Iya, Pak, aku tahu," ucap Josie. "Terlalu banyak yang aku pingin skip, tapi nyatanya harus aku jalani. Biarpun semua ga adil." Kalimat itu memaksa aku menatap lebih lekat pada Josie. Dia tidak menjelaskan apa yang dia maksud, tapi aku bisa mengerti, dia protes dengan keadaan dirinya. "Boleh kamu jelaskan?" tanyaku. Kedua mata cantik Josie mengerjap beberapa kali. "Ntar PR-ku ga selesai. Mending aku kerjain. Kasih waktu lima belas menit, boleh?" Josie menghindar, tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia segera menunduk melihat pada lembaran tugas dan mulai fokus mengerjakan. Ada iba di hatiku muncul. Gadis ini menyimpan sesuatu. Malam itu, saat hampir bertabrakan dengan motorku, dia tidak takut dan menangis. Justru kesal karena tidak benar-benar tertabrak. Saat di kelas, dia tidak peduli apapun. Lalu hari ini, dia bingung karena tidak bisa mengerjakan tugas dan hampir menangis tiba-tiba entah karena apa. "Sudah, Pak. Kayak gini, ta?" Nada medok Jawa Timur Josie muncul lagi. Aku mema
Aku masih mencoba menerka siapa yang sedang menghubungi aku. Salah satu orang tua murid lesku? Tapi semua aku punya nomornya. Atau ada orang baru mau kasih les musik anaknya? Biasanya langsung lewat admin tempat les. Tapi suaranya rasanya aku pernah dengar. "Ya, halo. Maaf, ini dengan siapa?" Aku bertanya. "Ih, si Bapak, terlalu. Sama murid sendiri aja ga kenal." Suaranya sedikit cempreng dan ringan. Murid katanya. Murid SMA? "Kamu murid kelas 12?" tanyaku lagi. "Iyesss, Pak! Ayo, siapa?" Ruang sekali ini cewek ngomong. "Resti?" tebakku. "Horee!! Berhasil. Pak Guru keren!!" Makin girang suara Resti. "Ada apa? Liburan, kok nelpon? Aku mau malam mingguan." Aku menjawab santai. "Pak, aku di depan rumah." Resti bicara juga dengan santai. "Ngapain?" ujarku. Bingung dengan maksud Resti. "Depan rumah Bapak." Resti melanjutkan. "Apa?!" Aku kaget bukan main mendengar itu. "Haa ... haaa ..." Tawa Resti lepas tanpa kontrol. "Aku mau malam mingguan sama Bapak!" "Resti?!" Aku hampir te
Resti mengeluarkan ponsel dan membuka galeri. Dia menunjukkan satu foto. Aku memperhatikan foto itu. Tampak seorang gadis duduk di atas pohon. Tidak terlihat wajah gadis itu karena foto diambil dari belakang. "Ini Josie?" tanyaku tidak yakin. Gambar diambil dari jarak agak jauh, tidak jelas siapa yang ada di foto. Apalagi kepala gadis itu tertutup penutup hoodie yang dia kenakan. "Emang ga keliatan, Pak. Tapi aku ga mungkin salah. Kamar Josie sebelahan sama aku. Jadi lumayan sering kami ketemu. Mana si Monika, sohib aku, sekamar sama dia. Hafal banget, Pak, aku." Resti meyakinkan aku. "Ini tinggi juga dia naik ke atas pohon. Pohon mangga, kan? Yang di belakang sekolah?" Aku memastikan lagi. "Betul. Dia naik pohon itu bisa tiga sampai empat kali seminggu. Kayak ritual aja. Aku beneran heran." Resti menambahkan. Aku langsung teringat malam kejadian aku hampir menabrak Josie. Gadis itu mengatakan ingin mati. Jangan-jangan ini salah satu cara dia ..."Kamu ga tanya, halangi, atau apa
Tatapan yang Josie tujukan padaku sangat jelas menunjukkan dia tidak suka aku menyebut namanya. Sayangnya aku tidak mungkin menarik kata-kataku. Dan aku memang sengaja ingin tahu hasil kerja Josie. Jujur saja, aku mengambil resiko Josie akan makin tidak menyukai guru musik yang keren ini. Bisa jadi setelah ini, justru Josie akan membentengi diri lebih kuat dan tidak ingin disentuh atau sebaliknya. "Pak, saya mulai sekarang?" Monika mengangkat tangan. "Ya, oke. Silakan." Aku mengangguk dan meminta Monika maju ke depan kelas. Dengan gitar di tangan, Monika maju duduk di kursi di depan tak jauh dari mejaku. Monika terlihat tenang. Dia mulai memetik gitarnya dan terdengar dentingan lagu daerah Sumatera Barat. Kambanglah Bungo. Manis juga dia memainkan lagu itu. Lumayan juga permainan gitar Monika. "Oke! Pembukaan yang baik dari Monika. Thank you sudah menyiapkan diri dengan baik." Aku cukup puas dengan apa yang Monika tampilkan. Segera arah pandangku bergeser, pada Istanti yang sudah
Langkahku begitu cepat menuju ke belakang sekolah. Kebun cukup luas terhampar di depanku. Beragam tanaman dari jenis perdu hingga pohon besar ada di sana. Sebagian tanaman buah seperti rambutan, jambu, dan juga mangga. Mataku segera mencari deretan pohon mangga yang tinggi. Aku masih ingat jelas, di foto yang Resti tunjukkan seperti apa posisi pohon dan dahan tempat Josie duduk di atasnya. "Sepertinya bagian paling belakang. Memang jarang orang datang ke sana. Tempat paling nyaman untuk bersembunyi dari keramaian," kataku dalam hati. Aku kembali melangkah, makin dalam menjelajahi kebun sekolah. Pohon-pohon mangga mulai gampak di depanku. Dan ... aku menghentikan kakiku. Pohon yang paling ujung dan paling tinggi, di atas sana terlihat Josie. Dia duduk di atas dahan yang lumayan besar dan kokoh, di bagian tengah pohon itu. Posisi Josie membelakangi aku. Dia tidak mungkin sadar ada yang datang ke tempat dia menyepi. Perlahan aku mendekati pohon itu. Saat hampir sampai di bawah pohoh,
Aku tak bergeming, masih menatap mata bulat dan indah di depanku. Rambut indah dan halus Josie, membuat wajahnya semakin cantik. Apalagi tidak ada tatapan ketus yang hampir selalu dia munculkan. "Pak ..." Josie memanggilku. "Ya?" ucapku masih dengan posisi sama. "Aku mau turun. Aku ga mungkin lompat," ujar Josie. Tangannya menunjuk ke arah tanah di bawah pohon. "Oh, ya, oke." Aku seperti tersadar. Segera aku bergerak dan mulai menuruni pohon. Josie dengan cepat juga mengikuti langkahku. Dia lincah sekali, ringan saja dia membawa dirinya turun dari pohon yang lumayan tinggi. Tapi tiba-tiba, saat dia hampir mencapai tanah, kaki kirinya sedikit salah menapak. Josie berusaha meraih dahan paling dekat, ternyata tidak terjangkau. Josie pun nekat melompat. Aku dengan sigap menangkap tubuh Josie agar jangan terjerembab ke tanah. Josie berada dalam pelukanku seketika. Wangi lembut menyapa penciumanku. Parfum khas remaja. Harum yang menyegarkan. Tangan Josie memeluk pinggangku. Kami sali
Aku tidak percaya dengan yang Resti ucapkan. Resikonya bisa sampai Josie dikeluarkan dari sekolah? Sebenarnya seserius apa masalah yang terjadi pada murid antik itu? "Kamu yang bener, Res. Masak iya, sampai bisa keluar sekolah?" ujarku dengan alis menyatu. "Pak, aku juga ga yakin. Tapi kemungkinan itu bisa aja, kan? Orang dia ada di sini, tapi kayak tubuhnya doang. Jiwanya entah ngabur ke mana. Makanya kayak ada di dunia lain, tuh anak," tukas Resti. "Kamu bisa nggak jadi temannya? Dengan begitu ada yang menyemangati dia. Mulai bisa adaptasi di sini." Aku memandang Resti. "Aduh, Bapak Avin yang baik dan murah hati ... Tugasku nambah, nih, Pak? Kalau aku ga dapat nilai A aku ngambek, deh." Resti cemberut. Aku terkekeh melihat reaksi Resti. Benar-benar ini murid tidak ada jaim-jaimnya biar di depan guru. Terlalu bebas, seperti tidak bisa tahu batas. Aku ini gurunya, bukan temannya. "Kamu itu anaknya supel. Oke, satu sisi kamu juga cuek. Tapi kamu sampai niat menyelidiki Josie, bera
Ambulans meluncur ke rumah sakit. Lola dan aku ikut di belakang dengan mobil Tante Merlin. Lola tampak sangat cemas. Kata-kata perawat membuat Lola makin kuatir. Aku pun merasakan yang sama. Kondisi Tante Merlin memang mengawatirkan. Hanya bisa berharap, Tante Merlin cukup kuat dan bisa bertahan. Lola sudah tidak ada papa lagi. Mama dan papanya berpisah saat Lola masih duduk di sekolah dasar. Satu-satunya orang tua yang Lola punya hanya Tante Merlin. "Vin, aku takut." Lola memandangku. Kami menunggu di luar ruangan ICU. Kalimat itu yang kesekian kali Lola ucapkan. "Kalau mama ga bertahan, aku gimana?" kata Lola dengan hati pedih. "Tante Merlin pasti bertahan, aku yakin," ucapku. Aku berusaha agar Lola tetap tenang dan tidak terlalu cemas. Sekalipun aku juga tidak tahu apakah Tante Merlin akan bisa kuat dengan kondisinya yang sangat mengawatirkan. Sepuluh menit kemudian, aku dan Lola dipersilakan masuk ke ruangan untuk melihat Tante Merlin. Peralatan medis bertebaran di tubuhnya.