Share

Bab 2. Kita Tak Mungkin Menikah

“Ibu sungguh pandai mempermainkan hidupku. Tak cukup menghadiahiku dengan masa lalu yang kelam, perempuan itu masih juga mengobrak-abrik masa depan yang tengah aku rancang. Drama apa yang tengah kau mainkan, Bu!” Nesa bergumam sambil memijat kepala yang terasa berputar. Ia mual karena barang-barang di kamar tak henti bergerak. Ruangan kamar terasa terus bergoyang.

 

“Aku tak percaya Raga kakakku! Itu pernyataan paling konyol yang pernah kudengar!”

 

Di tengah rasa pusing yang menyiksa, ia bertekad mencari tahu siapa Raga sebenarnya dan siapa ayah kandungnya. Ia tak akan kalah hanya karena pernyataan Susan.

 

Raga tak mungkin ada hubungan darah dengannya. Raga ditakdirkan menjadi miliknya, kekasihnya, suaminya. Bukan kakaknya.

 

“Kamu salah, Bu. Aku tetap akan menikah dengan Raga. Kamu tidak berhak mengatur hidupku.”

 

Sementara itu, Susan yang biasanya tinggal cukup lama saat mengunjungi Nesa, kini bergegas hendak pulang. Situasi tegang di antara mereka membuat ia ingin cepat-cepat keluar dari tempat itu.

 

“Ibu pulang, Nes. Ingat apa yang Ibu katakan. Kamu tidak boleh menikah dengan Raga.”

 

Nesa tak ingin menahan kepergian Susan. Ia bahkan tak mau membuka pintu kamar untuknya. Marah dan benci memenuhi rongga dadanya. Sudah lama ia ingin memaafkan dan melupakan masa lalu mereka yang kelam. Namun pernyataan Susan kali ini benar-benar membuat luka hatinya kembali berdarah.

 

Nesa menutup kepala dengan bantal dan tidak mengindahkan kepergian perempuan setengah baya itu. “Aku tidak akan memaafkanmu, Bu,” bisiknya sambil menekan bantal lebih dalam.

 

Sesaat kemudian, ponsel Nesa berdering. Ada lima missed call dari Raga. Sejenak ia bimbang. Namun akhirnya ia menerima panggilan itu dengan suara berat.

 

“Sayang, kamu lagi di mana?” Raga terdengar khawatir di ujung sana.

 

“Aku di apartemen, Mas. Sedang kurang enak badan.”

 

“Kamu kenapa? Dari tadi Mas telpon tidak diangkat. Aku khawatir kamu kenapa-kenapa.” Suara Raga terdengar cemas. “Aku ke sana ya. Kamu mau dibawakan apa?”

 

“Tidak usah, Mas. Aku sedang tidak pengen makan apa-apa.” Nesa menjawab lemas.

 

“Ya sudah. Tunggu aku. Paling dua puluh menit. Baik-baik ya. Love you, Honey.” Ia menutup pembicaraan.

 

Nesa kembali menarik bantal untuk menutupi kepala.

 

“Semua pasti tidak benar. Aku tidak percaya pada Ibu yang hidup tidak karuan sejak dulu. Mana mungkin Raga saudara sedarahku. Jika pun iya, seharusnya dia memberi tahu kebenarannya. Bukannya membuatku menderita tanpa tahu apa-apa. Perempuan itu hanya ingin menghancurkan kebahagiaanku." Nesa tak bisa menyembunyikan kegeraman atas perlakuan Susan padanya.

 

Sejak kecil, Susan selalu semena-mena dan tidak memikirkan perasaannya. Sesaat ia teringat betapa berat hidup yang telah dijalani hingga akhirnya mampu berdiri di atas kaki sendiri. Tak perlu bergantung pada siapa pun lagi. Ia harus membayar biaya sekolah dengan penderitaan yang tak akan pernah perempuan itu bisa bayangkan. Tetapi ia menutupi semua. Ia tak ingin Susan ikut campur di dalam hidupnya setelah ia dicampakkan begitu saja.

 

Semenjak diserahkan pada om Beno di usia delapan tahun, Nesa memendam rasa marah dan benci pada Susan.

 

“Dia membuangku karena ingin bebas.” Pikiran itu selalu menghantui. “Akibat keegoisannya, aku hidup seperti di neraka.”

 

Tiba-tiba air mata tak mampu ia bendung. Ia menangis sesegukan menumpahkan kekecewaan yang membebani. Setelah puas, ia bersiap merapikan diri dan membereskan apartemen yang berantakan.

 

“Aku tak mau tampak kusut di depan Raga. Bagaimanapun aku tak ingin ia merasa tak nyaman saat bersamaku.” Ia mematut diri di depan kaca.

 

Tak berselang lama, terdengar bunyi kode kunci pintu apartemen dibuka. Raga bergegas masuk dengan wajah cemas. Namun seulas senyum mencuat di sudut bibirnya saat melihat sang pujaan hati duduk santai tengah menonton televisi di sofa.

 

“Hai cinta. Kamu kenapa?” Ia menghempaskan tubuh di sebelah Nesa dan mendaratkan sebuah kecupan.

 

“Lagi kurang sehat, Mas. Badanku pegal semua.”

Raga menatap tepat di bola mata Nesa yang tampak tidak ceria seperti biasa.

 

“Ada masalah?”

 

“Gak ada. Kecapean aja kayaknya.”

 

Raga merengkuh Nesa dan memberikan pijatan lembut di bahunya.

 

“Mau aku pijatin? Mungkin kamu masuk angin.”

 

“Gak usah. Nanti juga hilang sendiri.” Seulas senyum tipis ia berikan pada Raga.

 

Merasa ada yang tak beres, Raga menatap gadisnya dalam-dalam. Biasanya Nesa selalu menyambut kedatangannya dengan riang. Lalu berceloteh ini itu tentang banyak hal. Terutama mengenai kasus-kasus ringan yang tengah ia tangani di pengadilan. Kali ini jelas ia tidak bersemangat.

 

“Sayang, kalo kamu ada masalah, ada aku lho. Aku ini orang paling dekat dengan kamu sekarang. Kamu harus cerita jika ada persoalan. Kamu tidak sendiri lagi. Sebentar lagi kita menikah. Jadi gak ada alasan kamu menyembunyikan masalah dariku.”

 

Nesa tercekat. Tubuhnya kian merosot ke dalam sofa.

 

“Hai, gadis kecil. Kok malah makin melorot?” Raga menahan Nesa dan berusaha menegakkan kembali tubuh kekasihnya.

 

Nesa hanya bergumam sekilas. Lalu bersandar pada tubuh Raga yang kekar. Ia selalu merasa nyaman saat bersama Raga. Belum pernah sebelumnya ia merasa begitu tenang dan damai saat bersama seseorang. Laki-laki itu mampu menumbuhkan kembali kepercayaannya. Ia berhasil membuatnya merasakan getar-getar cinta yang ia kira tak akan pernah mampir di dalam hidupnya.

 

Tapi kini di saat ia mulai membutuhkan Raga, Susan memaksa mereka untuk berpisah. Pernyataan itu terlalu tiba-tiba. Ia bimbang. Ia gamang. Ia bingung untuk menentukan sikap.

Sesaat mereka terdiam. Suasana hening itu dihentakkan dengan sebuah pertanyaan tak terduga dari Nesa.

 

“Bagaimana jika kita batalkan saja rencana pernikahannya?”

 

Raga tertegun. Ia menatap Nesa penuh tanda tanya.

 

“Jangan ngomong sembarangan, Sayang. Pernikahan itu bukan urusan main-main. Kita sudah pernah bahas. Lagi pula para orang tua sudah bertemu. Orang tuaku bukan orang yang suka diajak main-main. Kamu tahu itu, kan?” Raga berusaha menahan diri agar tidak terdengar kesal dengan perkataan Nesa yang konyol.

 

“Iya aku tahu. Tapi bagaimana jika kita ternyata tidak boleh menikah?”

 

“Maksud kamu apa sih, Yank? Kamu pikir selama ini hubungan kita cuma main-main? Kamu anggap biasa semua yang sudah kita lakukan? Waktu-waktu yang kita lewati selama ini tidak berarti buat kamu?” Nada suara Raga mulai meninggi.

 

Setelah menghela nafas untuk menenangkan diri, ia melanjutkan. “Bagaimana mungkin kita tidak boleh menikah, padahal kemarin orang tua kita sudah bertemu dan tidak ada persoalan. Papaku juga suka banget sama kamu. Selama ini dia sering membanggakan kamu. Mamaku juga gak pernah ada masalah dengan kamu. Terus kenapa kita tidak boleh menikah? Siapa yang melarang?” Raga terdengar kesal karena merasa Nesa terlalu mengada-ada.

 

“Aku tidak suka kamu becanda soal hubungan kita. Aku serius. Kamu tahu kan, baru kamu yang pernah aku ajak menikah. Aku belum pernah membawa orang tuaku bertemu orang tua gadis manapun di luar sana. Aku serius, dan sangat serius dengan kamu.” Ia menatap Nesa tajam.

 

“Iya. Aku tahu, Mas. Tapi kita bakal menghadapi masalah besar. Aku juga tidak mau kita berpisah. Tapi...”

 

“Masalah besar apa? Kamu bisa cerita. Nanti kita lihat apa memang besar atau hanya kamu yang menganggap persoalan itu besar. Jika menyangkut kita, kamu harusnya memberitahu aku, Sayang.” Raga mengurangi intonasi suaranya yang sempat meninggi.

 

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status