Share

Mutiara Lembah Hitam
Mutiara Lembah Hitam
Author: Raf

Bab 1. Cinta Sedarah

 

“Kalian tidak boleh menikah. Kalian adik kakak!”

 

Susan memutuskan memberitahu fakta mengerikan itu. Ia tak boleh menyimpan rahasia itu lebih lama. Dengan perasaan campur aduk dan wajah tegang, ia tatap sang gadis dengan gelisah. Ia tahu ucapannya sangat menyakiti, tapi ia tak punya pilihan.

 

Nesa dan Raga tak boleh menikah. Ia tak boleh memberi mereka restu. Tak akan pernah.

Jika tak segera dicegah, langit dan bumi akan murka padanya. Alam mengutuk dirinya. Setan berpesta pora menyaksikan dua anak manusia sedarah melakukan hubungan terlarang.

Itu tidak boleh terjadi.

 

Semua salahnya. Ini hukuman akibat dosa masa lalunya. Jika saja ia bisa memutar waktu dan boleh memilih takdir sendiri, ia ingin menjalani hidup normal seperti orang kebanyakan.

Namun takdir yang memilih. Takdir yang terus menyisakan kepedihan dan luka yang tak kunjung usai.

 

Bahkan setelah meninggalkan lembah hitam, dosa terus mengikuti. Tak cukup menghukum dirinya, kini sang putri ikut menanggung akibatnya.

 

Ia sadar, apa yang disampaikan menghancurkan mimpi dan hidup anaknya. Gadis itu baru saja sembuh dari trauma masa lalu, dan kini dihantam fakta yang sangat menyakitkan. Tapi ia harus melakukannya. Lebih baik dia sakit sekarang daripada hidup dalam penyesalan.

 

Susan menyeka keringat yang tak henti-henti jatuh di pelipis.

 

“Hubungan kalian aib. Kamu harus mengakhirinya. Tak peduli sebesar apa cintamu pada Raga, sudahi semua!”

 

Nesa menatap Susan dengan mata tak berkedip. Mulutnya bergetar, tak percaya apa yang baru saja ia dengar. Ibu pasti bercanda. Ia anak tunggal. Ia tidak memiliki saudara. Ia dua puluh tujuh tahun, dan tak pernah mengenal Raga sebelumnya. Ia bertemu laki-laki itu enam bulan lalu. Mereka saling jatuh cinta dan tengah merencanakan pernikahan.

 

Bagaimana mungkin sekarang Ibu seenaknya mengatakan Raga kakaknya?

 

“Ibu becanda kan?” Ia mendekat dan meraih tangan Susanti. Ia menatap langsung bola mata sang ibu, berharap semua cuma guyonan.

 

Susan gelisah. Berkali-kali Ia menghapus keringat yang menetes di dahi. Padahal mereka berada di ruang berpendingin di kamar Nesa yang nyaman.

 

“Maaf Nes. Kamu tidak boleh menikah dengan Raga.”

 

Nesa berharap sang Ibu salah. Ya. Dia pasti salah. Tak mungkin Raga kakaknya. Ia terus mengulang kalimat yang sama di kepalanya. Ia tak siap menerima apa yang baru saja disampaikan Susan. Namun ia berusaha menjaga agar tidak lepas kendali menghadapi wanita yang telah melahirkannya.

 

“Bagaimana mungkin, Bu? Tolong jangan begini. Raga satu-satunya laki-laki yang pernah aku cintai. Jangan becanda, Bu.” Suaranya memelas.

 

“Lagipula sebelumnya Ibu tidak masalah. Kenapa tiba-tiba bicara begini? Apa maksud Ibu?” Nesa menatap Susan penuh tanda tanya. “Ibu sudah ketemu kedua orang tua Raga. Mereka juga tidak masalah. Kenapa sekarang Ibu bicara sesuatu yang gak masuk akal?”

 

Susan menatap putrinya. Ada rasa iba. Namun ia harus tegas. Ia tetap harus mencegah pernikahan mereka.

 

“Raga kakak kamu.”

 

“Kakak? Kakak dari mana? Kenapa tiba-tiba ia jadi kakakku? Lelucon apa ini, Bu? Ibu harus menjelaskan semuanya!”

 

“Aku tidak harus menjelaskan apa-apa. Pokoknya batalkan pernikahan kalian!”

Nesa dilanda kemarahan pada perempuan egois itu. Ia menarik nafas panjang agar kemarahan dan kekecewaan tidak tumpah tanpa kendali.

 

“Aku pikir Ibu benar ingin aku bahagia. Tetapi ternyata Ibu tidak peduli. Perlakuan Ibu persis ketika aku masih kecil! Ibu tidak pernah merasa bersalah menyakiti aku.” Nesa memandang Susan dengan muram.

 

“Selama ini aku tidak pernah mengusik kehidupan dan masa lalu Ibu, tapi kenapa Ibu melakukan ini ke aku?”

 

Ia meremas telapak tangan, menahan perasaan yang berkecamuk. Ia berusaha mengontrol diri agar tidak menyakiti hati perempuan itu, meski hatinya sendiri tengah nyeri tiada terperi.

“Aku tidak pernah melawan Ibu, tidak pernah menyusahkan Ibu. Tapi aku tidak terima Ibu semena-mena begini. Sudah cukup penderitaanku, Bu. Jangan lagi Ibu tambah dengan sikap egois.”

 

Kamar itu berubah menjadi sempit dan sesak. Hembusan pendingin ruangan pada suhu delapan belas derajat tak mampu membuat hati anak beranak yang sedang panas itu menjadi dingin.

 

Keduanya saling tatap, wajah mereka memerah. Masing-masing larut dalam pikirannya.

 

“Setidaknya tolong jelaskan mengapa ibu bilang Raga kakakku?”

 

“Tidak perlu kamu tahu detilnya. Itu hanya mengusik masa laluku. Pokoknya dia kakak kamu. Kamu tidak boleh menikahi dia!”

 

“Terus Ibu berharap aku percaya begitu saja? Memutuskan hubungan dengan laki-laki yang aku cintai hanya karena Ibu bilang kami bersaudara? Tanpa tahu faktanya? Bodohkah aku di mata Ibu?”

 

Ia begitu geram dengan keegoisan ibunya.

 

“Aku tidak bilang kamu bodoh. Aku tahu kamu pintar. Cerdas. Makanya kamu jadi pengacara. Tapi dalam hal ini kamu tidak berhak mencintai Raga.”

 

“Aku tidak percaya. Mana mungkin tiba-tiba dia jadi kakakku. Aku tidak punya kakak. Aku bahkan tidak punya ayah.”

 

Mendengar kata-kata terakhir, Susan mendadak berdiri dan berjalan menuju pintu. Ia tak mau melanjutkan pembicaraan yang kian memanas.

 

Nesa mendahului berdiri di depan pintu, menghadang sang ibu agar tidak keluar kamar.

 

“Jelaskan, Bu!”

 

“Tidak! Setidaknya tidak sekarang. Beri aku waktu. Tapi kamu harus memutuskan hubungan dengan Raga. Secepatnya!”

 

Susan menepis tubuh Nesa dan berlalu meninggalkan kamar.

 

Pertemuan tiga hari lalu tak pernah ia bayangkan berakhir rumit. Ayah calon suami Nesa ternyata Pram. Laki-laki yang pernah ia cintai. Hati nya sakit setiap kali ingat laki-laki itu. Di dunianya yang gelap, Pram pernah membawa setitik cahaya terang dan segenggam harapan. Namun pada akhirnya, ia harus sadar diri. Pramono terlalu jauh dari jangkauan. Dunia mereka sangat berbeda.

 

Orang-orang seperti dirinya harus rela menerima sepahit apapun kenyataan yang menimpa. Wanita sepertinya tak lebih dari sekedar pelepas dahaga di saat haus melanda. Bak seonggok sampah, setelah tak berguna, dicampakkan begitu saja. Rasa sakit itu bahkan masih terasa hingga kini.

 

Susan sudah mengubur masa lalunya. Namun rencana pernikahan Nesa dan Raga membuat ia kembali bertemu Pram.

 

Ia bagai disambar petir ketika tahu ayah dari calon menantunya ternyata orang yang pernah sangat ia cintai. Takdir memang senang bermain-main dengan nasibnya dan nasib anak gadisnya.

 

Sementara itu, Nesa yang shock dengan pernyataan Susan, tak dapat menahan kesedihan. Hatinya sakit. Jiwanya terluka. Semua terlalu berat untuk diterima.

 

Nesa menghempaskan tubuh dan berbaring di kasur. Ia limbung. Ia dihantam palu godam tepat di jantung. Ia merasa ruangan kamar bergoyang. Ia mencengkram kuat seprei tempat tidur. Tubuhnya terasa ringan, namun kepalanya sangat berat.

 

Ia tahu masa lalu ibunya tidak bersih. Susan pernah bergelimang dosa di dunia yang sangat kotor dan menjijikkan. Namun mengakui Raga sebagai kakak sungguh tak masuk akal dan tak pernah terbayang olehnya. Laki-laki itu satu-satunya pria yang pernah singgah dalam hatinya. Ia nyaris memilih hidup melajang selamanya karena tak mampu merasakan getar cinta kepada setiap laki-laki yang coba mendekat.

 

Masa kecil yang menyakitkan telah menorehkan trauma yang teramat mencekam dalam hidupnya. Ia tumbuh dalam keluarga tidak normal. Ia tak mengenal ayah. Ia hanya tahu begitu banyak om-om teman ibu yang datang ke rumah. Mereka bergantian datang dan keluar masuk kamar Susan. Terkadang hanya beberapa jam, namun tak sedikit yang tinggal hingga keesokan hari.

 

Ia bahkan pernah mengalami saat-saat sangat menakutkan ketika om-om itu merangsek ke kamarnya saat mabuk. Semua masih terbayang jelas, dan membuat kepalanya kian berat.

 

Sekarang, saat ia mulai melupakan masa lalu, dan membuka hati untuk seorang pria, tiba-tiba ibu mengatakan mereka adik kakak.

 

***

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status