Share

Bab 3. Tak Lama Lagi

Nesa terdiam. Ia bingung harus memulai dari mana. Meski tak ingin berpisah dengan Raga, tapi jika apa yang dikatakan Susan benar, ia pun harus pasrah menerima kenyataan. Perasaannya berkecamuk. Pikirannya campur aduk. Beban di dadanya terasa sangat berat.

 

“Kepalaku pusing, Mas.” Tiba-tiba ia memeluk Raga dengan erat. Ia menangis. Semua kepedihan dan kekecewaan tumpah bersama air mata yang melekat di baju Raga. Ia marah teringat perkataan Susan.

 

"Maafin aku jika nanti tidak seperti yang kita rencanakan. Aku juga tidak ingin semua ini terjadi."

 

Raga terkesiap. Tak biasanya gadis itu cengeng. Selama enam bulan menjalin hubungan, baru kali ini Nesa menangis seperti lepas kendali. Nesa yang ia kenal adalah sosok kuat, mandiri, dan tegas. Salah satu sikap yang membuat ia selama ini sangat terpesona. Dia hanya pernah menangis sekali ketika bercerita sedikit tentang masa lalunya. Saat itu pun ia jauh lebih tenang. Tapi kali ini gadisnya tampak sangat menderita.

 

Raga memeluk erat tubuh mungil Nesa dan membelai rambutnya dengan lembut.

“Ayolah, Sayang. Ada apa? Kalau ada persoalan harusnya kamu cerita ke aku. Bukannya disimpan sendiri. Aku merasa jadi gak berguna kalo gak dipercaya.” Raga berusaha membuat suasana sedikit ceria, namun Nesa masih terisak sedih.

 

“Aku takut mas.”

 

“Takut kenapa? Memangnya ada apa? Makanya kamu cerita. Jika begini aku kan bingung, Sayang.”

 

“Aku takut jika ternyata kita adik kakak dan sedarah!”

 

Sejenak Raga terdiam, lalu tertawa terpingkal-pingkal, membuat tubuh Nesa yang ada dalam pelukannya ikut terguncang.

 

Raga tak berhenti tertawa mendengar pernyataan Nesa. Entah apa yang sedang dipikirkan gadisnya yang istimewa itu.

 

Dengan terkekeh, ia melepas pelukan. “Kamu lucu, sayang.” Lalu menjawil ujung hidung Nesa dengan perasaan gemas.

 

“Aku pikir tadi kamu serius.”

 

Nesa menatap Raga dengan pandangan sayu.

 

“Aku tidak bercanda, Mas.”

 

“Mimpi apa sih kamu semalam. Mana mungkin kita adik kakak. Ada-ada aja.” Raga tersenyum lebar.

 

“Sudah ah, yuk kita makan. Aku tadi beliin ayam panggang kesukaan kamu. Aku siapin ya.” Ia berjalan menuju dapur mungil di ruangan apartemen berkamar dua itu.

Nesa memandangi punggung Raga. Laki-laki itu begitu tinggi dengan tubuh kekar berotot. Wajah tampan dan sorot mata tajamnya membuat Nesa salah tingkah saat jumpa pertama mereka.

 

Perkenalannya dan Raga bermula ketika ia menjadi wakil dari firma hukum yang ditunjuk untuk menangani kasus yang tengah melilit perusahaan ayah Raga. Sebagai pengacara dan partner di firma hukum tersebut, Nesa sering mendapat tugas membela perusahaan-perusahaan besar. Termasuk PT. Global Textile, perusahaan tekstil terbesar yang ada di kota mereka. Perusahaan itu salah satu anak perusahaan dari PT Global Holding Company, yang saham terbesarnya dimiliki ayah Raga.

 

“Raga.” Laki-laki itu mengulurkan tangan dengan tatapan tajam tanpa senyum.

 

“Nesa.” Ia membalas datar, pun tanpa senyum.

 

Selanjutnya mereka tak saling bicara hingga pertemuan pertama itu berakhir.

Raga duduk menyimak tak banyak bicara ketika sekretaris perusahaan menjelaskan persoalan hukum yang mereka hadapi. Sesekali mata elangnya menatap Nesa, membuat gadis itu sedikit tidak nyaman.

 

Dua bulan mereka lalui dengan komunikasi datar, hanya seputar persoalan yang membelit perusahaan.

 

Namun semakin lama mengenalnya, Nesa menemukan kelembutan pada pria usia tiga puluh tahun itu. Apalagi setelah intens berkomunikasi terkait kasus hukum yang menjerat perusahaan. Semua ketidaknyaman berubah menjadi rasa yang membuat Nesa senang berada di dekatnya.

 

Bulan ketiga, Raga mendekat. Namun Nesa justru dilanda rasa panik saat Raga mengungkapkan perasaan. Masa lalu seketika menari-nari di pelupuk matanya. Ia memandang Raga dengan perasaan hampa, takut semua hanya mimpi. Ia tidak memberi jawaban satu patah kata pun. Respon yang membuat Raga penasaran. Butuh waktu empat bulan setelah itu, hingga akhirnya ia menerima Raga yang tak pernah lelah berupaya mendekati.

 

Ia beruntung mendapat cinta Raga. Ia tahu Raga disukai banyak gadis di luar sana. Sebagai putra tunggal pemilik perusahaan tekstil terbesar di kota mereka, ditambah penampilan fisik yang jauh di atas rata-rata, ia menjadi incaran gadis-gadis cantik di sekitarnya.

Namun Raga memilihnya. Ia yang memiliki masa lalu suram, dengan sejarah keluarga berantakan, tapi tetap tidak menyurutkan niat Raga untuk menjadikannya calon istri.

 

“Aku tidak peduli dengan masa lalu kamu. Aku ingin membangun masa depan dengan kamu, bukan merajut yang sudah berlalu.” Raga meyakinkannya dengan penuh percaya diri.

Kini masa lalunya kembali datang untuk menghadang cinta mereka.

 

“Aku juga berharap semua hanya mimpi.” Lirih ia bergumam, lalu menyusul Raga ke dapur.

 

Sore itu mereka menghabiskan waktu dengan saling berdiam diri. Nesa tak berminat menanggapi humor-humor Raga yang biasa membuatnya ceria. Sang kekasih pun tampak kehilangan gairah untuk bercanda. Hampir satu jam mereka diam-diaman. Keheningan yang membuat Raga bolak balik ia mengganti chanel yang ia sendiri pun tak tahu sedang menayangkan acara apa.

 

“Aku bisa gila jika begini terus.” Raga membatin.

 

Ingin ia membawa gadis itu ke ranjang, agar Nesa bisa melupakan persoalan yang memenuhi pikirannya, meski cuma untuk sesaat. Namun ia sudah berjanji tak akan melakukan hubungan itu sebelum mereka menikah. Janji yang kini menyiksanya. Ia menginginkan Nesa. Ia sangat ingin gadis itu bahagia, tapi Nesa selalu gemetar jika ia menyentuh bagian tubuh sensitifnya.

 

Tak ingin membuat Nesa menjauh, ia berusaha menahan diri agar sang kekasih tetap nyaman saat bersamanya. Meski sudah enam bulan pacaran, ia masih mampu menjaga komitmen dan menahan diri untuk tidak berhubungan. Nesa gadis istimewa, ia ingin memperlakukannya dengan istimewa pula.

 

Ia sudah biasa melakukan hubungan bebas dengan perempuan-perempuan sebelumnya. Tak perlu waktu berbulan-bulan, mereka bahkan dengan sukarela bersedia ia ajak ke tempat tidur sesaat setelah berkenalan. Baginya membawa perempuan ke ranjang bukan perkara susah. Namun Nesa bukan untuk main-main. Nesa akan menjadi pendamping seumur hidupnya. Calon ibu bagi anak-anaknya. Ia layak diperlakukan dengan hormat, dengan kasih sayang, bukan dengan nafsu sesaat.

 

Nesa benar-benar mampu menundukkan ego dan sikap arogan Raga. Kecerdasan dan kemampuannya saat membela perusahaan serta kiprahnya di pengadilan membuat Raga menaruh respek padanya. Ia tak seperti gadis-gadis lain yang hanya mengincar uangnya.

Nesa, tanpa Raga pun mampu hidup layak dengan penghasilan sebagai partner di sebuah firma hukum ternama di kota mereka.

 

Nesa pengacara yang punya nama, dan disegani oleh rekan-rekannya. Namun saat bersamanya, Nesa tampil layaknya gadis kecil yang manja. Kegarangan saat di pengadilan hilang entah kemana. Sesuatu yang membuat Raga makin tergila-gila. Bahkan tubuh mungil dan langsing itu membuat ia tak berdaya. Tubuh mungil yang nyaris tenggelam dalam pelukan Raga yang memiliki tinggi badan seratus delapan puluh lima.

 

Raga harus menahan diri sekuat tenaga agar gadis itu tetap berpakaian lengkap saat bersamanya. Matanya yang bening dengan bibir merekah indah membuat Raga harus bertarung hebat melawan keinginannya untuk membawa Nesa ke surga dunia.

 

“Tak lama lagi.” Gumamnya sambil memandangi gadis yang saat itu tidur di pahanya. “Kamu akan menjadi istriku yang sah dan akan kubawa kamu ke puncak nirwana yang tak kan bisa kamu lupakan selamanya. Jika saat itu tiba, kamu akan tergila-gila padaku.” Ia tersenyum sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Nesa dan mengecup bibir Nesa dengan penuh rasa sayang.

 

***

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status