Share

Bab 8. Mantan Terindah

Sejak pertemuan keluarga, Pram uring-uringan. Ia tak menyangka Ibu Nesa adalah perempuan yang sekian puluh tahun silam pernah menjadi kekasihnya. Ia belum pernah mencintai seseorang hingga bertemu Susan. Perempuan itu memiliki kecantikan sempurna, dan seorang primadona di Mike House, rumah hiburan berbayar mahal untuk kalangan terbatas.

 

Ia begitu kaget saat bertemu Susan di private room restoran tempat pertemuan digelar. Tak pernah terbayangkan perempuan itu muncul kembali di hadapannya, apalagi sebagai calon besannya.

 

“Sial. Bagaimana mungkin Susan adalah ibu Nesa?” Ia bergumam sambil menenggak minuman keras yang sudah lama ia tinggalkan.

 

Pertemuan dengan Susan menyulut kenangan masa lalu dan membuat Pram kembali mengkonsumsi alkohol untuk menepis keresahan.

 

“Hampir dua puluh sembilan tahun dan perempuan itu masih cantik seperti dulu.” Ia terus bergumam. Pram benar-benar tersiksa setiap mengingat Susan. Kenangan yang pernah mereka ukir tak mudah ia lupakan begitu saja. Keliaran Susan di ranjang membuat ia harus berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan perempuan itu, dan harus membuat pernyataan tertulis di hadapan mertuanya agar meninggalkan Susan untuk selama-lamanya.

 

Kini ia muncul begitu saja. Bergandengan mesra dengan suaminya tepat di depan matanya. Pram dilanda perasaan gelisah dan juga cemburu melihat cara laki-laki itu memperlakukan Susan. Namun sorot tajam mata suami Susan membuat ia tak berani menatap mantan kekasihnya itu secara terang-terangan.

 

“Benar-benar sial!” Ia tak henti-henti merutuk kenyataan itu.

 

Tiga botol minuman keras membuat pikirannya makin kacau. Ia tak henti memaki dan menyesali pertemuan dengan Susan. Setelah sekian puluh tahun, ia merasa diseret kembali ke masa lalu. Tiba-tiba ia marah pada Raga dan Nesa.

 

Ia menyuruh Grace, sang sekretaris memanggil Raga. Sementara ia sendiri tengah berada di Penthouse. Gedung perkantoran berlantai sembilan itu milik perusahaannya. Penthouse berada di lantai paling atas. Hanya ia dan orang-orang tertentu yang mempunyai akses ke sana.

Terdapat sebuah suite room kelas hotel bintang lima berikut ruang tamu dengan dekorasi yang sangat nyaman, dilengkapi ruang rapat untuk kalangan terbatas.

 

Ia biasa menghabiskan waktu di penthouse jika sedang banyak pekerjaan atau tengah mengalami tekanan yang membuat stress. Terkadang, orang kepercayaannya menyelinapkan perempuan muda untuk menemani. Tempat itu gua persembunyiannya. Bahkan Vita, istrinya tidak diperbolehkan ke sana tanpa ijinnya.

 

Tak lama Raga muncul. Ia tercengang melihat di meja tergeletak botol-botol kosong minuman keras. Sudah lama ia tak melihat Pram mabuk, sejak ia kecil dulu.

 

Raga menatap sang ayah. Sejak bertemu keluarga Nesa ia terlihat lebih pendiam dan seperti banyak pikiran. Namun Raga tidak terlalu memedulikan. Ia sudah biasa melihat Pram terhanyut dalam dunianya sendiri. Ibunya, Vita, bahkan mengingatkan agar ia tidak mengganggu jika sang ayah sedang banyak masalah.

 

Kini laki-laki usia lima puluh lima tahun itu menatap Raga dengan pandangan penuh selidik.

 

“Kasih tau Anton, mulai sekarang keluarkan Nesa dari tim bantuan hukum untuk perusahaan kita!” Suara ayahnya dingin dan bernada perintah.

 

“Maksud Papa, bagaimana?”

 

“Mulai sekarang aku tidak mau Nesa ada dalam tim kuasa hukum kita. Aku juga tidak mau ketemu dia. Dan jangan kau bawa-bawa lagi dia ke hadapanku.”

 

“Kenapa?” Raga menatap sang ayah dengan wajah memerah. “Ada apa rupanya, Papa tiba-tiba membuang Nesa dari tim kuasa hukum dan menjauhinya?”

 

“Kamu juga tidak boleh menikahi dia.” Pram tampak tidak memedulikan ucapan sang anak.

 

“Dia tidak pantas untuk kamu! Cari perempuan lain!”

 

Kata kata itu sontak membuat Raga naik darah. Ia tak menyangka Pram yang semula sangat menyukai Nesa jadi berubah ingin menyingkirkan Nesa dari hidupnya.

 

“Papa mabuk dan aku tidak anggap ucapan orang mabuk!”

 

“Hei anak muda. Kau belum tahu siapa dia!”

 

“Aku tahu dia. Dia perempuan yang aku cintai dan aku akan menikahi dia. Dengan atau tanpa restu Papa!”

 

“Jangan bikin malu. Kamu tidak tau siapa ibunya.”

 

“Aku sudah lama kenal ibunya. Dia baik. Papa jangan mengada-ada.”

 

“Apa yang kamu tau tentang masa lalu ibunya?”

 

“Aku tidak peduli masa lalu ibunya, aku bahkan tidak peduli dengan masa lalu Nesa. Aku butuh dia untuk masa depanku. Bukan untuk masa lalu.” Raga tampak berang.

 

“Apa kau tau! Ibunya mantan pelacur!”

 

Raga tertegun. Tak menyangka sang ayah begitu enteng menyebut ibu calon istrinya mantan pelacur.

 

“Papa terlalu! Papa mabuk. Aku anggap omongan Papa tidak ada!”

 

“Pelacur cantik itu kekasihku. Dia masih cantik seperti dulu. Argh.. aku menginginkan dia. Susan Sang Primadona. Bawakan dia untukku.” Pram mengoceh tak karuan.

 

Raga muak menyaksikan ulah Pram. Ia beranjak melangkah ke luar ruangan, namun sang ayah kembali memanggil dengan suara keras.

 

“Heh anak sialan, mau kemana kamu?”

 

Raga menghentikan langkah. Wajahnya mengeras. Ia berusaha menahan amarah yang ingin meledak mendengar ucapan Pram.

 

“Aku mau balik. Gak ada guna bicara dengan orang mabuk!”

 

“Hei, sini kamu. Aku belum selesai dengan kamu. Cari Susan. Bawa dia kemari!”

Raga mengepalkan telapak tangan menahan amarah yang kian memuncak. Namun seketika ia mendapat ide untuk mengorek informasi dari Pram saat ia sedang mabuk.

 

“Dari mana papa tau dia mantan pelacur?” Ia bertanya dengan suara setenang mungkin.

 

“Karena aku pelanggannya.”

 

Raga terperangah. Meski tahu sang ayah sedang mabuk, namun ia tak menyangka laki-laki itu mengakui masa lalunya yang bobrok.

 

“Kapan?”

 

“Seribu tahun lalu.”

 

Raga menatap laki-laki yang tengah mabuk itu. Ia duduk di sofa di hadapannya. Pram tampak kacau dan pipinya memerah karena alkohol.

 

“Sewaktu kau dalam perut mama kau. Aku tidak pernah mencintai mama kau.”

 

Meski kaget dengan pengakuan Pram, ia tetap berusaha tenang.

 

“Jadi Papa mencintai Susan dan tidak mencintai Mama? Begitu?” Ia semakin tertarik untuk mengorek sebanyak mungkin info dari sang ayah yang sedang mabuk.

 

“Susan itu istimewa. Ia tidak ada duanya. Bawa dia kesini!”

 

“Bagaimana Papa bisa kenal Susan?”

 

“Kau harus ikut aku ke Mike House. Kau pasti suka di sana. Susan Sang Primadona selalu menjadi incaran para tamu, tapi aku yang beruntung mendapatkannya. Argh.. Susan yang cantik sempurna.”

 

Ia terus meracau. Raga membiarkan.

 

“Papa tau kan, dia calon ibu mertuaku? Dia ibu Nesa?”

 

“Kalian tak boleh menikah. Aku tak suka Nesa. Kau sudah telpon Anton? Suruh dia tarik Nesa. Aku tidak mau ketemu dia!”

 

“Aku tetap akan menikahi Nesa.”

 

“Tidak boleh. Dia anak pelacur!”

 

“Dan Papa tidak malu mengatakan itu padaku? Apakah Papa lebih bersih dari Susan?

 

“Aku tidak mau cucuku punya nenek pelacur.”

 

“Munafik!” Raga tak tahan untuk tidak membalas.

 

“Pokoknya kamu tidak boleh menikah dengan Nesa.

 

“Aku akan menikah dengan dia.”

 

“Kamu kurang ajar.”

 

“Iya. Dan aku tidak peduli dengan larangan bodoh itu. Aku bukan anak kecil. Dan aku tidak peduli dengan masa lalu ibunya. Pelacur kek, presiden kek. Toh ayahku juga ternyata penggemar pelacur di masa lalunya.”

 

Pram berdiri ingin menampar Raga.

 

“Jangan kira aku akan diam saja Papa melakukan kekerasan seperti dulu! Aku bukan lagi anak kecil yang bisa Papa perlakukan semena-mena.”

 

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status