Share

Bab 9. Primadona Dari Masa Lalu

Cinta boleh jadi sumber masalah, tapi jika kebijaksanaan menjadi landasannya, maka cintalah yang akan mendewasakan kita. Namun nyatanya cinta kerap membuat manusia dewasa bertingkah sebaliknya. Cinta menjadikan nalar tumpul dan kebijaksanaan raib entah kemana.

 

Pram kian murka karena Raga berani membantahnya. “Kamu tidak berguna. Semua usaha ini aku rintis dengan pengorbanan. Kini kamu mau belagak hebat di depanku, hah? Memangnya kamu bisa apa?” Matanya memerah menatap Raga. Entah mengapa, Raga merasa tatapan sang ayah seperti menyiratkan kebencian. Namun ia berusaha mengabaikan dan tidak mau terpengaruh oleh kata-kata Pram yang tengah mabuk berat.

 

“Tidak ada hubungan usaha ini dengan perselingkuhan, Papa. Papa sudah menyakiti hati Mama, kini ingin menyakiti aku pula? Melarangku menikah dengan Nesa? Jangan harap aku ikut apa kata Papa yang ngawur itu. Aku bukan anak kecil lagi, yang bisa Papa atur sesuka hati.” Ia berusaha menahan diri untuk tidak meladeni Pram, namun kemarahan karena dihalangi menikahi Nesa membuat ia tak kuasa menahan emosi.

 

“Anak tidak tahu diri. Kamu pikir diri kamu siapa? Berani sekali kamu melawan aku?!”

 

Raga tidak menghiraukan kata-kata Pram. Ia tak mau terpancing emosi menghadapi sang ayah yang seperti tengah tidak sadarkan diri. Namun ia sangat peduli pada Ibunya yang dikhianati sekian lama oleh Pram.

 

“Apa Mama tau kelakuan Papa? Apa Mama tahu Papa ternyata penyuka perempuan penghibur sejak muda?”

 

Pram terkekeh. Suaranya lebih seperti orang yang menyimpan beribu misteri. “

 

“Mama kamu tidak peduli apa yang aku lakukan. Dia bahkan tidak peduli aku cinta dia atau tidak. Dia hanya butuh status. Jadi istri Pram yang hebat.” Pram terus mengoceh yang membuat Raga terperangah dengan pengakuannya. Entah benar atau tidak, namun Raga tetap merasa terganggu dengan ucapan ayahnya tentang Vita, Sang Mama.

 

Dengan pandangan menerawang, Pram melanjutkan. “Vita hanya suka bersenang senang. Dia tidak mencintai aku. Dia punya pacar. Eh, apa kau tak tahu itu?” Pram hendak menenggak lagi minuman yang ada di tangannya, tetapi dengan tangkas direbut oleh Raga.

 

“Sudah cukup minumnya. Papa sudah mabuk berat.”

 

“Jangan halangi aku, anak kecil. Tahu apa kamu tentang cinta?” Ucapannya sangat acak dan kerap tidak nyambung.

 

“Sini minumanku. Jangan berani-berani kamu menghalangi kebahagiaannku!” Ia bermaksud merebut kembali botol dari tangan Raga.

 

“CUKUP MINUMNYA!” Raga membentak lelaki yang tengah terhuyung itu. Meskipun ada perasaan bersalah, namun ucapan dan penampilan Pram yang tidak karuan membuat Raga harus menghentikan keinginannya untuk terus mabuk.

 

“Ini di kantor. Hari kerja. Apa tidak malu berbuat begini hanya karena wanita?” Ia memapah tubuh Pram kembali ke sofa.

 

Sambil mengibaskan tangan Raga yang mencengkeram tangannya, Bas kembali terduduk.

 

“Kalian memang sangat menjengkelkan,” ucapnya pelan. Entah siapa yang ia maksudkan dengan kalian.

 

Raga memandangi tubuh Pram yang kini merosot ke dalam jok sofa empuk itu. Matanya setengah terpejam. Nafasnya pun tampak tersengal-sengal. Tiba-tiba rasa kasihan menyelinap di sudut hatinya melihat betapa laki-laki yang ia cintai itu tampak begitu rapuh karena cinta.

 

“Ah, seandainya cinta yang Papa miliki itu untuk Mama,” batinnya sembari membereskan botol-botol minuman yang berserakan di atas meja.

 

Sebenarnya sudah sangat lama Raga tidak melihat Pram mabuk. Dulu, ketika ia masih kecil, beberapa kali ia sang ayah bermasalah akibat dikuasai alkohol. Tidak sekali dua kali Pram berbuat kasar pada Ibu dan dirinya. Kadang Pram melontarkan kata-kata jahat dan tidak pantas pada pada Ibunya. Di saat mabuk berat, ia bahkan pernah melihat Pram memukuli ibunya.

 

Saat kecil, ia pun pernah kena bogem mentah karena membantu sang mama yang tengah dipukuli Pram. Namun, setelah itu, Kakek berhasil membuat Pram lepas dari alkohol. Sejak itu, ia tak pernah lagi melihat Pram mabuk dan berlaku kasar pada Vita. Mereka menjalani kehidupan dengan tenang, hingga kini ia kembali kambuh. Raga tidak menyangka pertemuan dengan Susan bisa membuat Pram sangat tertekan.

 

“Rupanya ini yang dimaksud Nesa pernikahanku dan dia bakal menghadapi masalah besar. Rupanya kalian memang memiliki masa lalu yang kelam.” Raga bergumam menatap Pram yang tampak kian melorot. Ia pandangi lelaki paruh baya yang tengah terhanyut dalam kenangan cinta masa lalunya itu.

 

Ternyata cinta tak benar-benar bisa terkikis oleh waktu. Ia hanya mampu menghilang sekejap. Jika saatnya tiba, ternyata cinta mampu mencengkeram dengan sangat kuat dan membuat jiwa-jiwa yang pernah memilikinya menjadi tak berdaya.

 

“Jika benar apa yang dikatakan Papa, berarti sudah puluhan tahun mereka tak bertemu.” Ia terus bergumam dengan pikiran campur aduk. “Ternyata cinta Papa pada Ibu Nesa begitu kuat hingga membuat dia kembali ke kebiasaan lamanya.”

 

“Apa perpisahan mereka yang membuat Papa dulu suka mabuk-mabukan?” Kini batin Raga semakin gundah. “Jika benar mereka saling mencintai dan hubungan mereka sebegitu dalam, apa mungkin Nesa benar anak Papa?” Raga merasakan bulu kuduknya meremang membayangkan kemungkinan sangat tidak masuk akal itu.

 

“Tapi tidak mungkin,” kilahnya buru-buru. “Tidak mungkin Nesa anak Papa. Nesa bisa jadi anak siapa saja.” Ia bergumam dengan perasaan hampa. “Calon istriku ternyata entah anak siapa.

 

Tapi aku sudah berjanji akan menikahinya. Dia tidak bersalah. Aku tidak akan mengecewakannya. Dan aku akan buktikan pula jika aku dan Nesa tak ada hubungan darah. Aku sangat yakin tentang hal itu!”

 

Untuk sesaat, ia dihinggapi rasa gamang. Pikirannya bolak balik menyangkal, tapi pada saat yang sama, terselip pula sedikit rasa was-was.

 

Jika Pram dan Susan pernah berhubungan dan Nesa mengaku mereka adik kakak, apa mungkin Nesa berkata yang sebenarnya? Apa Nesa sudah mengetahui semua ini? Tiba-tiba ia merasa begitu tolol karena menganggap enteng ucapan Nesa sebelumnya. Kini ia dihadapkan pada kenyataan yang membuat ia muak dengan kelakuan orang tua mereka.

 

“Bagaimana aku harus menghadapi gadis itu?” Ia duduk lemas memandangi sang ayah yang tampak tertidur kelelahan.

 

“Aku bahkan berkata tetap akan menikahinya jika pun ternyata kami kakak adik. Sial!” Ingin ia menghajar laki-laki di hadapannya, tapi sekuat tenaga menahan diri agar tidak terjadi persoalan yang lebih runyam.

 

Tiba-tiba ia teringat kata-kata pram yang mengatakan ayahnya dipaksa menikahi Vita yang sedang hamil. "Apa aku yang bukan anak dia?" katanya resah.

 

“Ternyata banyak sekali rahasia yang kalian sembunyikan. Bahkan Mama yang aku sangka perempuan terbaik dan sangat lembut, memiliki kekasih dan hamil sebelum nikah?” Ia setengah tak percaya dengan ucapan Pram, tapi kini benaknya dipaksa memutar momen-momen bersamaan ia dan kedua orang tuanya selama ini.

 

“Betapa bodohnya aku,” bisiknya dengan perasaan hampa. “Sekarang aku baru mengerti mengapa selama ini rumah tangga mereka tampak begitu tenang. Seperti tak pernah ada gejolak. Semua itu bukan karena berkelimpahan cinta, tetapi justru karena tidak ada cinta.”

 

Tanpa cinta, apa yang harus diributkan?

 

Dengan menyimpan segudang pertanyaan dengan perasaan kecewa, Bergegas, ia meninggalkan kamar penthouse yang nyaman itu.

 

Kini tersisa kegetiran.

 

“Banyak yang harus aku urus!” Ia melangkah dengan wajah gusar.

 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status