Share

Mutiara Sang Rahwana
Mutiara Sang Rahwana
Penulis: Asy'arie

Dilamar Raksasa

Laki-laki itu, Bima, berperawakan tinggi besar dengan kulit legam dan tangan agak berbulu.  Ketimbang seperti Bimasena, dia lebih mirip raksasa. Mungkin masih keturunan Rahwana.

Saat berdiri saja, Pak Tardi, ayah Tiara hanya sampai siku Bima dan tepukannya di pundak ringkih Pak Tardi membuat pria lima puluh tahun itu diam-diam meringis.

Cara Bima tertawa pun bikin segala bulu meremang. Membahana dengan gigi putih mengilat, seolah siap mencabik mangsa di depannya. Tiara tertawa puas dalam hati menikmati ekspresi ngeri di wajah adiknya, Dara. Gadis itu mengkeret di sisi Bu Tardi, seolah takut dilahap habis calon suaminya.

Pemuda yang mesti menunduk saat memasuki pintu rumah itu adalah juragan jengkol yang melamar Dara untuk dijadikan istri.

“Dara. Nduk. Mana minumannya?” Suara Pak Tardi dari ruang tamu bak genderang perang yang membuat Dara memucat. Dia merajuk dan dorong-dorongan dengan sang ibu sambil memasang mimik memelas, seolah takut hendak dikorbankan ke tukang jagal.

Tiara menahan tawa sambil memegangi perut ketika ibunya melotot lalu mendorong Dara sekuat tenaga, menyebabkan lengan daster Bu Tardi yang sedari tadi digenggam erat Dara sobek.

Sungguh pemandangan yang tak biasa dan langka. Ibu yang biasanya lembut dan penuh kasih kepada Dara, kini tega mengumpankan anak kesayangannya demi harta. Ironis. Saat itu, Tiara bersyukur dia tak secantik Dara yang membuat raksasa kesengsem.

Dara masih sedikit oleng setelah merobek tanpa sengaja daster ibunya, tetapi satu deheman Bima membuat gadis itu langsung berdiri tegak, berjalan tegap dan kaku kayak robot baru habis diganti baterai. Nampan di tangannya bergetar, membuat gelas dan tatakan piring beradu riuh saat dia berusaha meletakkan minuman di depan Bima.

“Jadi, Nak Bima, ini Dara putri bapak yang kamu mau lamar,” terang Pak Tardi dengan nada bangga yang disambut senyum Bima. Pemuda yang datang sendiri karena kedua orang tuanya masih di luar kota mengurus impor jengkol ke Madagaskar itu menatap Dara lurus, membuat gadis di depannya gelisah macam cacing kepanasan, menguyel-uyel tak hanya ujung blusnya, tetapi juga kemeja bapaknya.

“Benar, Pak. Saya mau melamar putri Pak Tardi. Kapan acaranya bisa digelar? Langsung akad aja, Pak. Enggak usah siraman dan lain-lain. Kelamaan,” saran Bima yang ngebet, sementara Tiara di balik gorden hampir meledakkan tawa.

“Sabar, Nak Bima. Tetapi bapak mau tanya nih, apa benar Nak Bima mau melamar Dara? Soalnya, bapak ini punya dua putri yang sama cantiknya. Siapa tahu Nak Bima mau lihat yang satunya, kakaknya Dara.”

Kata-kata Pak Tardi membuat Tiara menyemburkan kolak yang sedang dikunyahnya, potongan pisang raja dengan bentuk tak beraturan itu menggelinding hingga mengenai kaki Bima.

“Lho, ada dua? Saya kira Dara putri bapak satu-satunya.”

“Oh, enggak. Ada dua, sama cantiknya, tetapi beda empat tahun. Nak Bima mau lihat?” tawar Pak Tardi membuat darah Tiara mendidih. Gadis itu sudah berdiri hendak pergi ketika tangannya dicengkeram Bu Tardi. Di ruang tamu, dengan nada sok dimanis-maniskan, Pak Tardi memanggil Tiara untuk keluar. Padahal biasanya, menyebut namanya saja lelaki tua itu enggan.

Tak perlu adegan drama dan tarik-menarik daster, Tiara sudah duduk di depan Bima, tepat di samping Dara dan memasang wajah garang. Jika di sampingnya Dara masih gelisah dan menarik ujung kemeja Pak Tardi, Tiara fokus menatap wajah berewokan Bima sambil merapal mantra dalam hati.

Kamu pilih Dara atau perjaka seumur hidup!

Kamu pilih Dara atau menua mengenaskan di bawah penindasan istri durjana!

Kamu pilih Dara atau kubumihanguskan perkebunan jengkolmu hingga tak bersisa!

Kamu pilih Dara atau tak lagi menikmati lelapnya tidur di ranjang seumur hidup!

Rapalan mantra Tiara membuat bibirnya mengerucut dan alis lebatnya menyatu, menyajikan pemandangan yang membuat Bima merasa geli. Pemuda itu menatap Dara yang manis dan memucat ketakutan seolah akan dibawa ke tukang jagal hari raya kurban, sejujurnya itu membuat harga diri Bima sedikit terluka. Rasanya dia tak semenakutkan genderuwo hingga harus dilihat penuh kecemasan begitu. Saat menatap Tiara untuk kedua kalinya, serta merta senyuman Bima mengembang.

“Kakak aku ini, Mas, udah cukup usia buat nikah. Dia rajin masak, pinter beres-beres, dan hemat! Makannya juga enggak banyak, jadi irit bahan makanan. Gampang ngurusnya, Mas!” Celetukan Dara membuat Tiara menatapnya murka.

“Tetapi istri juragan harusnya cantik, pandai urus diri, dan lemah lembut. Jelas Dara lebih memenuhi syarat, Mas. Lagi pula sejak kecil dia bermimpi tinggal di rumah gedongan dan bermandikan uang, pasti lebih cocok,” sindir Tiara sambil menyikut lengan Dara.

“Udah, kawini dua-duanya aja, Gan!” Celetukan dari luar membuat Pak Tardi tertawa dan Bima berdehem keras.

“Yang jelas, jika Nak Bima ingin punya istri mandiri, telaten, dan penurut yang cukup umur, Tiara lebih pantas!” ujar Bu Tardi saat keluar sambil membawa nampan kue kering dan memasang wajah semanis madu, membuat Tiara muak melihatnya. “Dara kami masih manja dan kekanak-kanakan.”

“Tetapi Dara yang lebih pantas, Bu. Bukannya sejak awal Dara yang dilamar!”

“Ya, kan, kakak lebih tua! Memangnya mau melajang sampai kapan? Nanti kalau enggak ada yang mau lagi, bagaimana?”

“Hey, kalian kok berisik, sih? Enggak enak sama Nak Bima,” sergah Pak Tardi tak enak hati melihat kedua anak gadisnya berseteru.

“Enggak apa-apa, Pak. Saya sudah memutuskan,” tandas Bima. Tiara merasakan hawa dingin menyapa tengkuk saat matanya bertatapan dengan manik tajam Bima.

Semua terdiam menantikan kalimat lanjutan yang akan disampaikan oleh Bima. Dara semakin gugup, ia hanya menunduk tak mampu mengangkat dagu.

Brottt ....

Suara angin durjana memecah keheningan. Dara terkejut bukan main. Sedangkan Tiara, kini wajahnya merah, dengan senyum tanpa merasa hina ia membuka suara.

“Maaf, Mas. Tadi saya habis makan sama sambel jengkol pake nasi anget. Enggak terasa sampai habis dua piring.”

Tiara merasa puas, selain karena gas yang terperangkap di perutnya sudah lolos, ia juga menjadi yakin tidak akan dipilih oleh Bima si raksasa.

Pak Tardi tampak salah tingkah dengan kelakuan anak sulungnya.

“Maafkan kelakua ....”

“Hahaha, sudah enggak usah minta maaf. Enggak apa-apa,” potong Bima.

Bima tampak tak bisa berhenti tertawa. Kemudian disambung oleh Tiara yang juga menimpali tawanya. Sementara Dara semakin menggigil mendengar gelegar tawa Bima.

Pak Tardi saja merasa ngeri mendengar Bima terbahak, tidak yakin itu tawa terhibur atau murka terhina.

“Hahaha ... ah, juragan bisa aja!” Tiara meninju lengan Bima tanpa sungkan, seperti sedang bergurau dengan kawan lama.

Di sela tawanya Tiara tersedak air liurnya sendiri, ia terbatuk-batuk. Tanpa sungkan gelas dari tangan Bima diambil, kemudian menenggak isinya hingga habis.

Batuknya sembuh.

Serdawa tanpa kontrol berhasil Tiara lepas tanpa tahu sopan santun. Kemudian ia kembali tertawa setelahnya. Tiara memang sengaja bertindak konyol dan tidak sopan untuk menghindari terpilih menjadi istri Bima.

Bu Tardi yang dari tadi geregetan dengan tingkah Tiara, akhirnya angkat suara. Dengan mata melotot ia menegur.

“Apa-apaan kamu, Tiara?”

Seketika tawa Tiara terhenti. Suasana kembali kaku, tetapi segera kembali mencair setelah terdengar sisa tawa Bima.

“Sudah, Bu. Enggak usah merasa bersalah. Beneran enggak apa-apa, kok,” ujar Bima.

Sampai sini Tiara merasa menang.

“Sama calon suami memang harus menjadi diri sendiri. Aku suka,” lanjutnya.

Deg, sepertinya ada yang salah. Tiara mencoba memperjelas maksud pernyataan Bima.

“Tunggu, maksudnya?” Tiara sepertinya belum mampu mencerna kalimat Bima barusan.

“Aku pilih kamu,” tegas Bima.

Hilang bekas tawa Tiara, ia merasa tak ada yang lucu sama sekali. Bagaimana bisa seorang juragan memilih calon istri dengan kelakuan seperti yang ia tunjukkan tadi?

Tiara berdiri kasar, tanpa tedeng aling-aling ia menolak.

“Enggak sudi!”

“Jika Dara bukan pilihan, maka lupakan rencana Mas Bima menjadi menantu bapak,” lanjut Tiara benar-benar penuh penekanan.

“Tiara, duduk!” perintah Pak Tardi.

Dengan terpaksa ia mengempaskan tubuhnya kembali ke kursi.

Hening.

Pak Tardi berulang kali ingin bicara, tetapi urung. Mungkin ia bingung harus bersikap atau bicara apa. Ia tak mungkin menolak permintaan Bima, tetapi untuk membujuk Tiara rasanya canggung. Selama ini hanya bisa memberikan perintah, tanpa mau mendengarkan keluh ataupun keberatan anaknya.

“Pak Tardi, saya ingin meminang Tiara untuk menjadi istri saya. Mohon berikan restu.” Tanpa peduli penolakan Tiara, Bima kembali membuka percakapan dengan lamaran untuk gadis yang sudah menjadi pilihannya.

“Oh tentu, tentu saya merestui dengan sangat senang hati.”

Seperti biasa, tak ada yang peduli dengan perasaan Tiara. Meskipun ia menolak, nyatanya ayahnya menerima.

“Permainan macam apa ini? Dari awal, Juragan Bima ini datang untuk siapa? Untuk Dara, kan? Lalu karena anak kesayangan bapak ini ketakutan, maka bapak menawarkan saya?” ucap Tiara dingin.

“Tiara, jangan kurang ajar! Bapak memperkenalkan kamu karena kamu memang sudah cukup umur untuk menikah.”

“Tiara, sama saya, ya,” ucap Bima mencoba merayu.

“Beri aku alasan untuk mempertimbangkan!”

“Jangan kebanyakan gaya, Tiara. Kamu itu dilamar juragan. Pilih saja, terima atau kamu saya coret dari daftar kartu keluarga?” ancam Pak Tardi membuat Tiara terdiam.

“Jadi, apa bisa pernikahan dilaksanakan dalam minggu ini, Pak Tardi?”

Diamnya Tiara dianggap jawaban iya oleh Bima. Tanpa basa-basi ia ingin segera menikahi gadis mungil yang sepertinya menyenangkan itu.

“Bisa,” jawab Pak Tardi penuh semangat.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mardiati Badri
hmmm baru mulai baca. keknya lucu. drpd baca yg nangis2 mulu mending baca yg lucu2. sebelumnya saya baca kisah istri nakal mas petani, itu lucu n seru. semoga yg ini juga
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status