“Astagfirullah… Den Juna!”
"Non Tiara! Nyonya!" Sambil berteriak memanggil Tiara dan Bu Tardi, Bik Yam bergegas mengangkat bantal yang menutup wajah Anissa.
Di sampingnya, Arjuna terlihat kesal melihat adiknya ternyata masih bisa menangis.
Bocah empat tahun itu beringsut ke pojokan, melihat Bunda dan neneknya yang masuk. Dia memang belum memahami apa yang terjadi, tetapi instingnya sepertinya memberi isyarat bahwa dia harus waspada.
"Ada apa, Bik?" Tiara bertanya sambil mengambil Annisa dari dekapan Bik Yam.
Melihat napas Annisa tersengal, Tiara mendadak panik.
“Ya Allah, Nissa… kamu kenapa, Nak?”
"Bik, Nissa kenapa?" Suara Tiara mulai meninggi.
"Anu, Neng. Tadi wajah Anissa ketutup bantal!" Dengan sedikit takut dia memberanikan diri menceritakan kondisi Anissa saat tadi ia temukan.
Mata Tiara langsung nyalang. Sepertinya dia dapat menduga bahwa itu perbuatan Arjuna.
"Juna! Kamu apakan adikmu, hah!" Samb
Bagi Bima, hal tersulit memahami Tiara karena wanita itu begitu tertutup. Tiara hampir tak pernah menceritakan dirinya sendiri dengan sukarela. Bahkan pertanyaan-pertanyaan Bima pun seringnya hanya dijawab sambil lalu. Sejujurnya, Bima hampir tak pernah benar-benar tahu apa yang dirasakan Tiara setiap kali mereka bertengkar, pun saat insiden malam itu.Tiara seperti bawang yang harus dikupas Bima selapis demi selapis untuk mengenal wanita itu. Tak masalah bagi Bima. Hanya saja dia ikut merasa lemah dan tak berdaya saat Tiara menenggelamkan diri dalam lautan luka dan sama sekali enggan menerima uluran tangannya.Sudah seminggu sejak insiden malang itu, seminggu pula tawa dan keceriaan Arjuna tak terdengar di rumah sejak Bima membawa bocah polos itu menginap ke rumah kakek neneknya, papa mama Bima. Lelaki itu sengaja melakukannya agar Tiara bisa menenangkan diri dan fokus kepada Anisa.Tiara juga semakin pendiam. Tidurnya menjauh dan enggan disentuh Bima. Namun be
Laki-laki itu, Bima, berperawakan tinggi besar dengan kulit legam dan tangan agak berbulu. Ketimbang seperti Bimasena, dia lebih mirip raksasa. Mungkin masih keturunan Rahwana. Saat berdiri saja, Pak Tardi, ayah Tiara hanya sampai siku Bima dan tepukannya di pundak ringkih Pak Tardi membuat pria lima puluh tahun itu diam-diam meringis. Cara Bima tertawa pun bikin segala bulu meremang. Membahana dengan gigi putih mengilat, seolah siap mencabik mangsa di depannya. Tiara tertawa puas dalam hati menikmati ekspresi ngeri di wajah adiknya, Dara. Gadis itu mengkeret di sisi Bu Tardi, seolah takut dilahap habis calon suaminya. Pemuda yang mesti menunduk saat memasuki pintu rumah itu adalah juragan jengkol yang melamar Dara untuk dijadikan istri. “Dara. Nduk. Mana minumannya?” Suara Pak Tardi dari ruang tamu bak genderang perang yang membuat Dara memucat. Dia merajuk dan dorong-dorongan dengan sang ibu sambil memasang mimik memelas, seolah takut
Ini sudah 1x24 jam Tiara ngambek dan mendekam di kamar. Semua diabaikan termasuk ajakan bapak dan ibu untuk ikut ke rumah Pak Miro, kenalannya bapak. Dara sedang kuliah. Jadilah rumah sore itu terasa sepi. Suara deruman mobil sport si raksasa yang berhenti di halaman rumah, terdengar sampai ke kamar Tiara. Gadis mungil sedang sewot itu bergegas menyepak guling yang tadi masih dipeluknya dan dengan langkah berdebum keluar kamar. Tiara sudah membulatkan tekad. Hari ini harus bicara empat mata dengan Bima. “Aku enggak punya rasa sama kamu.” Tiara menyemburkan kata-kata itu begitu ia membuka pintu. Tidak ada panggilan mas, tidak juga mengucap salam. “Pulang sana! Cari cewek lain. Lepaskan aku. Atau nikahi saja Dara. Adikku itu cantik, pintar, lebih muda lagi.” “Aku memilih kamu, Tiara,” tegas Bima dengan senyum mengembang syahdu, menatap Tiara tepat di manik matanya. “Seperti aku memilih jengkol. Semakin tua semakin empuk tekstur dagingnya.” “Aku
Jika menikah bagi sebagian orang menjadi momen bahagia, berbeda dengan Tiara. Baginya, pernikahan ini adalah awal mula petaka di kehidupannya.Dia mematut pantulan diri di depan kaca, ketakutan yang selama ini selalu berusaha dihindarinya menjelma nyata karena kedatangan si raksasa.Tak peduli seberapa keras dia mencoba mengusir dan membuat illfeel Bima, juragan jengkol itu tetap bersikeras memilihnya.Bima tersenyum simpul saat melihat mempelainya dibawa mendekat. Tiara terlihat memesona meski wajahnya terus ditekuk sembilan belas bagian begitu. Ah, jatuh cinta memang bikin orang kehilangan logika.Lelaki itu sendiri telah gagah dengan jas hitam panjang berkerah tegak kebanggaan keluarga, ditambah peci juga ikatan kain batik di pinggang, menyulap sosok Bima menjelma jadi Rahwana pemikat hati wanita. Dara saja seolah tak berkedip menatap takjub pada sosok raksasa yang sebelumnya membuatnya ngeri setengah mati.Sayangnya,
Akhirnya, acara resepsi pernikahan Bima dan Tiara selesai digelar ketika matahari sudah meredup. Wajah-wajah lelah terbingkai nyata dari paras kedua keluarga.“Pak, saya berencana langsung memboyong Tiara, untuk tinggal di rumah saya malam ini juga.”Bima memulai percakapan saat mereka tengah berkumpul di ruang keluarga melepas lelah setelah acara resepsi dengan berbagai insiden yang sengaja diciptakan Tiara.“Eh, enggak bisa begitu dong. Aku kan belum kemas-kemas.” Tiara protes sambil memonyong-monyongkan mulutnya yang justru membuat Bima semakin gemas dengan istrinya yang kecil mungil itu.“Semua pakaianmu sudah ibu bereskan, juga boneka beruang kesayanganmu,” ucap Bu Tardi yang tiba-tiba muncul sambil menyeret koper berisi pakaian Tiara.Tiara menatap sedih ibunya. Mengapa dia merasa seolah-olah ibunya ingin dia cepat-cepat pergi dari rumah, terasa sekali bahwa kehadirannya benar-benar tak diharapkan.T
Aroma harum mentega menguar, menyapa hidung Tiara ketika wanita itu menuruni tangga. Padahal saat ini baru pukul enam pagi, tetapi Bima sudah sibuk menata piring di meja makan. Sesekali lelaki besar itu berbalik ke dapur mini di belakangnya untuk mengaduk entah apa di atas kompor.Rambut Bima itu seperti rambut perempuan, meski bergelombang tetapi terawat dan berkilau. Begitu suami Tiara itu berbalik dengan kunciran tingginya dan celemek plastik bergambar Teddy Bear di badannya, tak ayal membuat Tiara tersenyum geli. Bima terlihat menggemaskan.“Assalamualaikum. Guten morgen. Sarapan?” tawar Bima sambil menunjuk sepiring roti bakar dengan selai stroberi yang mengepul panas plus segelas jus jeruk di depan Tiara.“Waalaikum salam. Kelihatannya enak.”“Tentu dong!” Bima tersenyum saat Tiara dengan lahap mengunyah roti dan menyeruput jus jeruk. Tiara tertawa sambil mengacungkan jempol, membuat Bim
Ternyata menjadi lakon untuk drama yang diciptakan sendiri tak semudah bayangan. Bahkan untuk belanja saja Tiara pusing, ia sibuk memperhatikan bandrol harga. Bukannya tak sanggup membayar, tetapi sayang jika harus membeli baju yang mahal.Bosan setiap hari pulang hanya membawa lelah, hari ini bertekad untuk membeli sesuatu. Konter jaket menjadi pilihan. Matanya tertuju pada jaket parasut berwarna hijau tosca yang memang terlihat sangat manis. Ia bersemangat menuju jaket itu, kali ini tanpa peduli banderol harga, ia membelinya.Dalam perjalanan pulang, beberapa kali Mang Ujang, sopir yang mengantar, mencuri pandang pada Tiara melalui kaca spion. Dari pantulan gambarnya, Tiara tampak melamun. Ingin sekadar basa-basi, tetapi bingung harus bagaimana membuka percakapan.Jalanan siang ini cukup ramai, Mang Ujang memutuskan membiarkan saja Tiara melamun, ia takut dianggap ikut campur. Saat sedang konsentrasi di tengah kemacetan, tiba-tiba ia dikagetk
Tiara mengamati sekelilingnya. Ini sudah di kamar. Berarti Bima menggendong dan membaringkannya di tempat tidur tanpa sedikit pun Tiara terbangun.Pukul 04.55 wib. Bima pasti sudah ke musala. Tiara bangkit dari tidurnya dan bergegas turun ke lantai bawah. Pagi ini dia ingin sekali menyiapkan sarapan yang enak. Khusus untuk Bima. Ehem!Sarapan spageti istimewa dengan segelas jus jeruk segar sudah terhidang di atas meja. Lengkap dengan potongan garlic bread yang menebarkan aroma gurih nan lezat. Tiara tersenyum puas. Ia melepaskan celemek dan segera membereskan meja yang dipakai kerja Bima tadi malam. Mengelompokkan kertas dengan kertas tanpa mengubah susunannya, buku dengan buku, lalu menutup laptop.Hampir pukul enam saat Tiara mendengar pintu pagar di dorong dari luar. Bima pulang. Tiara bergegas naik ke lantai atas, buru-buru masuk ke balik selimutnya.Pura-pura tidur.Tiara senyum-senyum sendiri. Menanti dengan berdebar, apakah dia berh