Share

Taktik Penolak Jodoh

Ini sudah 1x24 jam Tiara ngambek dan mendekam di kamar. Semua diabaikan termasuk ajakan bapak dan ibu untuk ikut ke rumah Pak Miro, kenalannya bapak. Dara sedang kuliah. Jadilah rumah sore itu terasa sepi.

Suara deruman mobil sport si raksasa yang berhenti di halaman rumah, terdengar sampai ke kamar Tiara. Gadis mungil sedang sewot itu bergegas menyepak guling yang tadi masih dipeluknya dan dengan langkah berdebum keluar kamar. Tiara sudah membulatkan tekad. Hari ini harus bicara empat mata dengan Bima.

“Aku enggak punya rasa sama kamu.” Tiara menyemburkan kata-kata itu begitu ia membuka pintu. Tidak ada panggilan mas, tidak juga mengucap salam. “Pulang sana! Cari cewek lain. Lepaskan aku. Atau nikahi saja Dara. Adikku itu cantik, pintar, lebih muda lagi.”

“Aku memilih kamu, Tiara,” tegas Bima dengan senyum mengembang syahdu, menatap Tiara tepat di manik matanya. “Seperti aku memilih jengkol. Semakin tua semakin empuk tekstur dagingnya.”

“Aku bukan jengkol!”

Bima tertawa. Suaranya membahana membangunkan ayam tetangga yang langsung ribut berkokok.

“Kamu membuat aku candu seperti jengkol.” Bima menyorongkan rantang susun tiga ke depan hidung Tiara. “Ini resep pribadi, buatan tanganku untuk calon istri tercinta.”

Tiara mendelik ingin memaki, tetapi aroma yang keluar dari sela-sela tutup rantang terendus hidung bangirnya. Alamak! Aromanya menggugah selera.

“A ... apa ini?” gesit tangan Tiara merenggut rantang dari tangan Bima. Gengsi, tetapi penasaran.

“Kalio jengkol khas Sumatera Barat. Namanya Kalio Jariang. Dulu pernah dibuatkan pelanggan jengkolku, tetapi resepnya aku modifikasi lagi. Cobalah, pasti kamu suka. Bahannya dari racikan kaya bumbu. Aku padukan dengan santan yang gurih. Jengkolnya kualitas bagus, sudah direndam dulu dalam air rebusan kopi. Jadi enggak usah khawatir dengan bau mulut dan asam lambung. Aman. Dimakan dengan nasi hangat pasti terasa nikmat. Seperti nikmatnya aku bersanding dengan kamu.”

Dagu dan alis Tiara spontan terangkat. Jengkel. Keki. Jual mahal.

“Boleh aku masuk?”

Tiara menggeleng cepat, “Enggak! Semua sedang keluar rumah.”

“Baiklah. Bagaimana kalau kita juga jalan-jalan keliling kota?”

Tiara menggeleng kekeh.

“Singgah di warung bakso Pak Umar? Sore-sore begini ngebakso sepert ...."

Belum lagi kalimat itu selesai diucapkan Bima, perut Tiara tiba-tiba lantang mengirim pesan dalam nada sopran.

Astaga! Perut pengkhianat! Gambaran bakso dengan asap mengepul dan segelas es teh manis merampas kewarasan perut tak tahu diri. Bikin malu!

Sejenak keduanya terdiam, tetapi kemudian Bima terbahak-bahak sampai tubuh raksasanya berguncang. Tiara cepat-cepat memegang dinding, takut gempa.

“Ayolah.” Serta merta Bima menarik lengan Tiara, sampai rantang yang dipegang Tiara bergoyang heboh. “Aku enggak mau calon istriku pingsan karena kelaparan.”

Mobil sport ... cie mobil sport! Tiara mendesis dalam hatinya, sesekali mencuri pandang pada Bima yang menyetir dengan tenang. Beda banget sama pick up bapak. Mobil sport Bima terasa mewah. Pasti dirawat dengan sepenuh hati. Bagaimana kalau ....

Senyum licik Tiara mengembang. Diliriknya rantang jengkol yang masih dipegangnya. Sebenarnya sayang sih ... sepertinya kalio jengkol ini enak, tetapi ....

“Auw ... auww ... aduh ....” Tiba-tiba rantang di tangan Tiara terlepas begitu saja sehingga sebagian besar isinya tumpah keluar. Tiara membulatkan mulutnya, terkesan terkejut dan bersalah, sementara Bima melongo.

Kalio jengkol berserakan, mengotori bagian bawah mobil. Hahaha, rasakan! Tiara tertawa dalam hati. Bagi laki-laki, mobil begini standar diri. Bagaimana kalau mobil sport bau jengkol? Kotor berminyak kena santan? Hahaha ....

“Hati-hati, Tiara.” Bima menghela napas sambil menyodorkan kotak tisu. “Ini bersihkan kakimu. Hati-hati kakimu ja ...”

Telat. Tiara sudah mengangkat kakinya yang terciprat kaldu kental kalio dan menaikkannya di kursi mobil sambil telapak kakinya digosokkan pada pelapis kursi mobil.

“... ngan dinaikkan ke kursi. Aishhh, sudahlah. Nanti tinggal kubawa ke car wash.”

Dalam hati Tiara berdendang riang. Kumenangis ....

Tombol jendela mobil di sisi kiri Tiara menarik perhatiannya. Cepat ditekannya tombol sehingga jendela terbuka otomatis dan tisu kotor dilempar keluar mobil.

“Astaga, ada tempat sampah di mobil, Tiara!”

Tidak menunggu lama, Tiara mengambil napas dalam-dalam. Bersuara keras mengumpulkan tekanan dari tenggorokan lalu cepat-cepat menyatukan ludah di dalam mulutnya. Ditariknya lehernya ke belakang, secepatnya menyentak ke depan, lalu ludah disemprot keluar dari mulut bersamaan dengan suara puih yang keras.

Berhasil! Ludahnya terbang dalam radius jauh ke depan, mendarat cantik di trotoar yang untung saja sedang sepi.

Bima ternganga.

“Keren!” Tiara bertepuk tangan lalu menekan tombol, menaikkan kembali jendela mobil seolah tidak melihat bagaimana tercengangnya Bima. “Ayolah ngebut. Aku lapar. Bakso Pak Umar pasti lezat. Ya, kan?”

“Itu ... tadi apa itu ....”

“Itu? Tadi? Ludah.” Tiara cekikikan melihat wajah pias Bima. Senyum lebar mengembang sebagai lambang kemenangan Tiara. “Itu tadi namanya Ilmu Penolak Jodoh.”

“Penolak jodoh?” Tawa Bima mencelos dari bibirnya. “Kenapa? Coba kamu beri aku alasan kenapa kamu harus menolak aku.”

“Kamu yang harus beri aku alasan, kenapa aku harus menerima kamu?” Tiara menegakkan punggungnya cepat. Wajahnya sekarang menghadap sepenuhnya pada Bima. “Kamu datang mau melamar Dara. Lalu kenapa jadinya aku yang harus nikah sama kamu? Apa semua yang ditolak Dara karena dia tidak mau, harus aku yang menampungnya? Apa semua yang Dara tidak mau, aku harus mau? Apa aku tong sampah? Apa aku tidak punya kemauanku sendiri? Coba jawab aku!”

Bima terdiam, tidak menyangka akan menerima balasan sedingin ini.

“Aku selalu disuruh mengalah. Dara tidak suka susu putih, aku harus menelannya padahal aku mual mencium bau susu putih. Dara benci dengan rok bunga yang dihadiahkan Nenek, aku yang harus memakainya sementara bapak mengambil celana jeans baruku untuk Dara.” Dada Tiara naik turun seturut suaranya yang bergetar marah. “Sekarang, ketika dia tidak mau menikah, maka aku yang disodorkan orang tuaku ke hadapanmu seolah-olah aku ini tidak punya harga. Kalau Dara tidak mau, kenapa aku harus mau? Aku masih mau berkarier, keliling dunia dengan uang hasil jerih payahku, masih mau bergaul dengan teman-temanku. Aku masih muda. Aku mau hidup tenang tanpa dipaksa-paksa. Aku ....”

Tiara kehabisan napas. Jantungnya berdetak cepat dan dia ngos-ngosan.

Bima mendehem, menatap lurus ke depan. Sekarang dia mulai mengerti kalau memang ada sesuatu yang salah. Bima menghela napas dalam, membuangnya pelan lalu menoleh pada Tiara.

“Aku tidak akan merusak keinginanmu.” Bibir Bima tersenyum lembut. “Menikahlah denganku dan aku akan kasih kebebasan hidup yang kamu mau. Aku janji.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mardiati Badri
aq juga sukaaa randang jariang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status