ホーム / Romansa / Mutiara Sang Rahwana / Taktik Penolak Jodoh

共有

Taktik Penolak Jodoh

作者: Asy'arie
last update 最終更新日: 2021-07-01 10:33:57

Ini sudah 1x24 jam Tiara ngambek dan mendekam di kamar. Semua diabaikan termasuk ajakan bapak dan ibu untuk ikut ke rumah Pak Miro, kenalannya bapak. Dara sedang kuliah. Jadilah rumah sore itu terasa sepi.

Suara deruman mobil sport si raksasa yang berhenti di halaman rumah, terdengar sampai ke kamar Tiara. Gadis mungil sedang sewot itu bergegas menyepak guling yang tadi masih dipeluknya dan dengan langkah berdebum keluar kamar. Tiara sudah membulatkan tekad. Hari ini harus bicara empat mata dengan Bima.

“Aku enggak punya rasa sama kamu.” Tiara menyemburkan kata-kata itu begitu ia membuka pintu. Tidak ada panggilan mas, tidak juga mengucap salam. “Pulang sana! Cari cewek lain. Lepaskan aku. Atau nikahi saja Dara. Adikku itu cantik, pintar, lebih muda lagi.”

“Aku memilih kamu, Tiara,” tegas Bima dengan senyum mengembang syahdu, menatap Tiara tepat di manik matanya. “Seperti aku memilih jengkol. Semakin tua semakin empuk tekstur dagingnya.”

“Aku bukan jengkol!”

Bima tertawa. Suaranya membahana membangunkan ayam tetangga yang langsung ribut berkokok.

“Kamu membuat aku candu seperti jengkol.” Bima menyorongkan rantang susun tiga ke depan hidung Tiara. “Ini resep pribadi, buatan tanganku untuk calon istri tercinta.”

Tiara mendelik ingin memaki, tetapi aroma yang keluar dari sela-sela tutup rantang terendus hidung bangirnya. Alamak! Aromanya menggugah selera.

“A ... apa ini?” gesit tangan Tiara merenggut rantang dari tangan Bima. Gengsi, tetapi penasaran.

“Kalio jengkol khas Sumatera Barat. Namanya Kalio Jariang. Dulu pernah dibuatkan pelanggan jengkolku, tetapi resepnya aku modifikasi lagi. Cobalah, pasti kamu suka. Bahannya dari racikan kaya bumbu. Aku padukan dengan santan yang gurih. Jengkolnya kualitas bagus, sudah direndam dulu dalam air rebusan kopi. Jadi enggak usah khawatir dengan bau mulut dan asam lambung. Aman. Dimakan dengan nasi hangat pasti terasa nikmat. Seperti nikmatnya aku bersanding dengan kamu.”

Dagu dan alis Tiara spontan terangkat. Jengkel. Keki. Jual mahal.

“Boleh aku masuk?”

Tiara menggeleng cepat, “Enggak! Semua sedang keluar rumah.”

“Baiklah. Bagaimana kalau kita juga jalan-jalan keliling kota?”

Tiara menggeleng kekeh.

“Singgah di warung bakso Pak Umar? Sore-sore begini ngebakso sepert ...."

Belum lagi kalimat itu selesai diucapkan Bima, perut Tiara tiba-tiba lantang mengirim pesan dalam nada sopran.

Astaga! Perut pengkhianat! Gambaran bakso dengan asap mengepul dan segelas es teh manis merampas kewarasan perut tak tahu diri. Bikin malu!

Sejenak keduanya terdiam, tetapi kemudian Bima terbahak-bahak sampai tubuh raksasanya berguncang. Tiara cepat-cepat memegang dinding, takut gempa.

“Ayolah.” Serta merta Bima menarik lengan Tiara, sampai rantang yang dipegang Tiara bergoyang heboh. “Aku enggak mau calon istriku pingsan karena kelaparan.”

Mobil sport ... cie mobil sport! Tiara mendesis dalam hatinya, sesekali mencuri pandang pada Bima yang menyetir dengan tenang. Beda banget sama pick up bapak. Mobil sport Bima terasa mewah. Pasti dirawat dengan sepenuh hati. Bagaimana kalau ....

Senyum licik Tiara mengembang. Diliriknya rantang jengkol yang masih dipegangnya. Sebenarnya sayang sih ... sepertinya kalio jengkol ini enak, tetapi ....

“Auw ... auww ... aduh ....” Tiba-tiba rantang di tangan Tiara terlepas begitu saja sehingga sebagian besar isinya tumpah keluar. Tiara membulatkan mulutnya, terkesan terkejut dan bersalah, sementara Bima melongo.

Kalio jengkol berserakan, mengotori bagian bawah mobil. Hahaha, rasakan! Tiara tertawa dalam hati. Bagi laki-laki, mobil begini standar diri. Bagaimana kalau mobil sport bau jengkol? Kotor berminyak kena santan? Hahaha ....

“Hati-hati, Tiara.” Bima menghela napas sambil menyodorkan kotak tisu. “Ini bersihkan kakimu. Hati-hati kakimu ja ...”

Telat. Tiara sudah mengangkat kakinya yang terciprat kaldu kental kalio dan menaikkannya di kursi mobil sambil telapak kakinya digosokkan pada pelapis kursi mobil.

“... ngan dinaikkan ke kursi. Aishhh, sudahlah. Nanti tinggal kubawa ke car wash.”

Dalam hati Tiara berdendang riang. Kumenangis ....

Tombol jendela mobil di sisi kiri Tiara menarik perhatiannya. Cepat ditekannya tombol sehingga jendela terbuka otomatis dan tisu kotor dilempar keluar mobil.

“Astaga, ada tempat sampah di mobil, Tiara!”

Tidak menunggu lama, Tiara mengambil napas dalam-dalam. Bersuara keras mengumpulkan tekanan dari tenggorokan lalu cepat-cepat menyatukan ludah di dalam mulutnya. Ditariknya lehernya ke belakang, secepatnya menyentak ke depan, lalu ludah disemprot keluar dari mulut bersamaan dengan suara puih yang keras.

Berhasil! Ludahnya terbang dalam radius jauh ke depan, mendarat cantik di trotoar yang untung saja sedang sepi.

Bima ternganga.

“Keren!” Tiara bertepuk tangan lalu menekan tombol, menaikkan kembali jendela mobil seolah tidak melihat bagaimana tercengangnya Bima. “Ayolah ngebut. Aku lapar. Bakso Pak Umar pasti lezat. Ya, kan?”

“Itu ... tadi apa itu ....”

“Itu? Tadi? Ludah.” Tiara cekikikan melihat wajah pias Bima. Senyum lebar mengembang sebagai lambang kemenangan Tiara. “Itu tadi namanya Ilmu Penolak Jodoh.”

“Penolak jodoh?” Tawa Bima mencelos dari bibirnya. “Kenapa? Coba kamu beri aku alasan kenapa kamu harus menolak aku.”

“Kamu yang harus beri aku alasan, kenapa aku harus menerima kamu?” Tiara menegakkan punggungnya cepat. Wajahnya sekarang menghadap sepenuhnya pada Bima. “Kamu datang mau melamar Dara. Lalu kenapa jadinya aku yang harus nikah sama kamu? Apa semua yang ditolak Dara karena dia tidak mau, harus aku yang menampungnya? Apa semua yang Dara tidak mau, aku harus mau? Apa aku tong sampah? Apa aku tidak punya kemauanku sendiri? Coba jawab aku!”

Bima terdiam, tidak menyangka akan menerima balasan sedingin ini.

“Aku selalu disuruh mengalah. Dara tidak suka susu putih, aku harus menelannya padahal aku mual mencium bau susu putih. Dara benci dengan rok bunga yang dihadiahkan Nenek, aku yang harus memakainya sementara bapak mengambil celana jeans baruku untuk Dara.” Dada Tiara naik turun seturut suaranya yang bergetar marah. “Sekarang, ketika dia tidak mau menikah, maka aku yang disodorkan orang tuaku ke hadapanmu seolah-olah aku ini tidak punya harga. Kalau Dara tidak mau, kenapa aku harus mau? Aku masih mau berkarier, keliling dunia dengan uang hasil jerih payahku, masih mau bergaul dengan teman-temanku. Aku masih muda. Aku mau hidup tenang tanpa dipaksa-paksa. Aku ....”

Tiara kehabisan napas. Jantungnya berdetak cepat dan dia ngos-ngosan.

Bima mendehem, menatap lurus ke depan. Sekarang dia mulai mengerti kalau memang ada sesuatu yang salah. Bima menghela napas dalam, membuangnya pelan lalu menoleh pada Tiara.

“Aku tidak akan merusak keinginanmu.” Bibir Bima tersenyum lembut. “Menikahlah denganku dan aku akan kasih kebebasan hidup yang kamu mau. Aku janji.”

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード
コメント (1)
goodnovel comment avatar
Mardiati Badri
aq juga sukaaa randang jariang
すべてのコメントを表示

最新チャプター

  • Mutiara Sang Rahwana   Jangan Pernah Menghilang Lagi!

    Bagi Bima, hal tersulit memahami Tiara karena wanita itu begitu tertutup. Tiara hampir tak pernah menceritakan dirinya sendiri dengan sukarela. Bahkan pertanyaan-pertanyaan Bima pun seringnya hanya dijawab sambil lalu. Sejujurnya, Bima hampir tak pernah benar-benar tahu apa yang dirasakan Tiara setiap kali mereka bertengkar, pun saat insiden malam itu.Tiara seperti bawang yang harus dikupas Bima selapis demi selapis untuk mengenal wanita itu. Tak masalah bagi Bima. Hanya saja dia ikut merasa lemah dan tak berdaya saat Tiara menenggelamkan diri dalam lautan luka dan sama sekali enggan menerima uluran tangannya.Sudah seminggu sejak insiden malang itu, seminggu pula tawa dan keceriaan Arjuna tak terdengar di rumah sejak Bima membawa bocah polos itu menginap ke rumah kakek neneknya, papa mama Bima. Lelaki itu sengaja melakukannya agar Tiara bisa menenangkan diri dan fokus kepada Anisa.Tiara juga semakin pendiam. Tidurnya menjauh dan enggan disentuh Bima. Namun be

  • Mutiara Sang Rahwana   Tak Pantas

    “Astagfirullah… Den Juna!” "Non Tiara! Nyonya!" Sambil berteriak memanggil Tiara dan Bu Tardi, Bik Yam bergegas mengangkat bantal yang menutup wajah Anissa. Di sampingnya, Arjuna terlihat kesal melihat adiknya ternyata masih bisa menangis. Bocah empat tahun itu beringsut ke pojokan, melihat Bunda dan neneknya yang masuk. Dia memang belum memahami apa yang terjadi, tetapi instingnya sepertinya memberi isyarat bahwa dia harus waspada. "Ada apa, Bik?" Tiara bertanya sambil mengambil Annisa dari dekapan Bik Yam. Melihat napas Annisa tersengal, Tiara mendadak panik. “Ya Allah, Nissa… kamu kenapa, Nak?” "Bik, Nissa kenapa?" Suara Tiara mulai meninggi. "Anu, Neng. Tadi wajah Anissa ketutup bantal!" Dengan sedikit takut dia memberanikan diri menceritakan kondisi Anissa saat tadi ia temukan. Mata Tiara langsung nyalang. Sepertinya dia dapat menduga bahwa itu perbuatan Arjuna. "Juna! Kamu apakan adikmu, hah!" Samb

  • Mutiara Sang Rahwana   Arjuna yang Terluka

    "Arjuna! Hentikan suara mobil-mobilan kamu itu. Apa kamu nggak lihat kalau adikmu sedang istirahat?""Tidur sendiri sana di kamarmu. Bunda harus tidurin Anissa sekarang.""Handuk baru itu bukan punya kamu, Arjuna! Itu punya adikmu! Kembalikan!"Rasanya Bima sekarang tak asing lagi dengan suara Tiara dalam nada tinggi, marah-marah dan mengomel sepanjang hari. Kehadiran Anissa merampas kewarasan bundanya. Tiara sering uring-uringan. Terutama kepada Arjuna.Bima memutuskan mengambil cuti panjang agar bisa menemani Tiara di rumah dan menjaga Arjuna. Laki-laki kecil berusia empat tahun itu pasti sudah menyadari kalau perhatian bunda kini tidak lagi utuh untuk dirinya. Ada adik Anissa tempat bunda melimpahkan semua sayang. Dan Arjuna mulai merasa kehilangan.Suasana rumah mulai terasa tidak senyaman dulu. Anissa dengan kondisi fisik kecil dan lemah, membuat Tiara over protektif dalam menjaga Anissa sehingga Arjuna merasa terabaikan.Hanya saat Bim

  • Mutiara Sang Rahwana   Kehamilan yang Melelahkan

    Dua garis.Tiara menyodorkan test pack pada Bima dengan lesu."Aku nggak mau punya anak lagi, Bim.""Tapi kita nggak akan membuangnya, Tiara. Ini hadiah cinta kita. Jangan ditolak ya, Sayang."Tiara menghela napas dalam. Tak berdaya.Hari berganti minggu, pada kehamilan kali ini Bima harus benar-benar menyimpan banyak stok kesabaran untuk menghadapi Tiara.“Bimaaa! Mandi sana! Kamu bau jengkol. Aku gak su- ....” Belum kalimat itu selesai, Tiara sudah menunduk dan memuntahkan kembali segelas susu ibu hamil yang sebelumnya susah payah diteguk untuk mengisi perut.“Tapi aku hari ini enggak nginjak kebun apalagi pegang pohon sama buah jengkolnya, Sayang!” Bima menciumi tangan, pakaian hingga rambutnya sendiri.“Keluaaar!” pekik Tiara keras meski tubuhnya sebenarnya tak berdaya. “Kamu pilih aja, mau ngurus jengkol atau ngurusin aku!”Pasrah, Bima melangkah keluar kamar sebelum T

  • Mutiara Sang Rahwana   Tetaplah Bersinar, Mutiara

    Bulan madu yang kedua, demi membiarkan Tiara beristirahat dan menghibur diri Bima sengaja menitipkan Arjuna pada kedua orang tuanya. Bima bertekad akan menyembuhkan luka yang telah diberikannya pada Tiara. Tiara tampak lebih segar sejak sampai. Meski beberapa kali sempat mengkhawatirkan Baby Juna, tapi Bima selalu berhasil meyakinkannya untuk cukup bersenang-senang selama liburan mereka. Berbeda dengan honeymoon sebelumnya, kali ini Tiara lebih antusias untuk menikmati kebersamaan dengan raksasa yang berhasil melelehkan gunung es di hatinya. Berbagai rencana telah disusun jauh-jauh hari dengan perasaan bahagia. Di hari pertama, Bima akan mengajak Tiara untuk melihat pianemo sesuai keinginan Tiara. Dengan berbekal ransel, pria itu mengikuti langkah istrinya yang bersemangat saat menaiki anak tangga. Keringat membasahi wajah wanita yang terlihat mungil jika bersanding dengan sang suami. “Biiim, cape!” keluh Tiara saat mereka sudah melewati lebi

  • Mutiara Sang Rahwana   Rahasia Besar

    "Aku tak boleh bermain ke luar agar kulitku tak berubah kusam. Sedang Tiara, bebas berlarian di luar bersama teman-temannya. Saat aku tak tahan gerah karena rambut yang senantiasa tergerai, ayah ibu melarangku untuk memotongnya. Mereka bilang wanita cantik itu yang rambutnya panjang." Tangan yang tadi terkepal, perlahan tergerak menarik rambutnya yang tergerai. Dililitkannya rambut itu kemudian menarik keras, membuat helai demi helainya berjatuhan ke lantai. Dara benci Tiara yang bahkan tetap terlihat cantik meski dengan rambut pendek!Tiara menatap tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya, saat ayah dan ibu selalu memuji kecantikan Dara, kulitnya yang senantiasa putih bersih dan rambut yang tergerai panjang. Kenyataannya ...."Saat Tiara boleh membeli apa yang dia sukai, aku diatur sedemikian rupa. Ayah ibu bilang wanita cantik itu yang anggun penampilannya. Ibu juga bilang berpenampilanlah yang menarik, jangan sampai ketinggalan zaman. Nyatanya, seperti rok bu

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status