Share

Menantu Unik & Keluarga Sempurna

Ternyata menjadi lakon untuk drama yang diciptakan sendiri tak semudah bayangan. Bahkan untuk belanja saja Tiara pusing, ia sibuk memperhatikan bandrol harga. Bukannya tak sanggup membayar, tetapi sayang jika harus membeli baju yang mahal.

Bosan setiap hari pulang hanya membawa lelah, hari ini bertekad untuk membeli sesuatu. Konter jaket menjadi pilihan. Matanya tertuju pada jaket parasut berwarna hijau tosca yang memang terlihat sangat manis. Ia bersemangat menuju jaket itu, kali ini tanpa peduli banderol harga, ia membelinya.

Dalam perjalanan pulang, beberapa kali Mang Ujang, sopir yang mengantar, mencuri pandang pada Tiara melalui kaca spion. Dari pantulan gambarnya, Tiara tampak melamun. Ingin sekadar basa-basi, tetapi bingung harus bagaimana membuka percakapan.

Jalanan siang ini cukup ramai, Mang Ujang memutuskan membiarkan saja Tiara melamun, ia takut dianggap ikut campur. Saat sedang konsentrasi di tengah kemacetan, tiba-tiba ia dikagetkan dengan Tiara yang terbahak-bahak. Mang Ujang panik, ia mengira Tiara kesurupan setelah tadi melamun.

“Nyebut, Neng. Nyebut.” Mang Ujang berusaha menyadarkan Tiara yang sampai mengeluarkan air mata di sela tawanya.

Tiara terus saja tertawa sambil sesekali mengentakkan kakinya. Mang Ujang semakin bingung, rasanya ingin ikut tertawa, tetapi ini sama sekali tidak lucu. Malah seram menurutnya.

Konsentrasi Mang Ujang terpecah antara jalan macet dan Tiara yang tertawa tak jelas kenapa. Sebisa mungkin Mang Ujang menepikan kendaraan, ia tak bisa jika harus terus berkendara dengan membawa penumpang kesurupan seperti ini.

Akhirnya mobil menepi. Tepat dengan berhasilnya Tiara mengendalikan tawanya.

"Kenapa berhenti, Mang?"

Mang Ujang yang heran juga merasa sekaligus lega, Tiara tampak sudah sadar.

"Neng Tiara barusan kenapa?"

"Hahahaha... aduh, Mang. Aku hampir gila ini rasanya," jawab Tiara yang kembali membuat dahi Mang Ujang berkerut.

"Iya, Neng. Gila karena apa?"

"Jaket, Mang. Jaket ini."

"Kenapa jaketnya?"

"Mang Ujang tau kenapa aku memilih jaket ini?"

"Enggak."

"Jadi, aku punya cerita ini, Mang. Gak tau sedih atau lucu. Waktu itu sih sedih tapi sekarang malah lucu kalo diinget."

"Neng Tiara cerita aja, sambil jalan ya, Neng."

Sambil kembali melajukan kemudi, Mang Ujang mendengar cerita Tiara. Tentang sebuah kenangan waktu remaja, kebetulan Tiara dan adiknya memiliki tanggal lahir yang berdekatan. Setiap ulang tahun, mereka diberi kesempatan memilih kado dengan budget ditentukan. Tentu Tiara harus memilih dengan nominal kembalian dari kado pilihan Dara.

“Harus ngalah sama adikmu, Ra.” Tiara mengulang kalimat ibunya.

“Jadi waktu itu aku kebagian dua ratus ribuan gitu, Mang. Aku pilih-pilih, eh, kok ada jaket. Cek harga, wah masih ada kembalian. Girang banget aku, dapet jaket masih ada sisa budget. Bisa untuk beli yang lain,” cerita Tiara semangat.

“Aku udah bayangin pake jaket warna hijau tosca, pasti keren banget. Dari tempat tunggu, aku lihat ibu menenteng kantong belanja. Saking girangnya aku nurut aja disuruh buka di rumah. Nah, pas sampai rumah, kecewa banget aku, Mang. Ternyata yang dibeli ibu bukan jaket yang tadi aku pilih. Cuma kaos yang enggak ada manis-manisnya,” lanjutnya.

“Nah terus kenapa Neng Tiara malah tertawa tadi?” tanya Mang Ujang penasaran.

“Hahaha ... iya, Mang. Bagaimana aku enggak ngakak, coba. Bayangin aja, jadi ternyata aku tuh salah lihat harga, Mang. Waktu milih jaket itu, aku kira harga cuma lima puluh ribuan. Lah, itu price tag enggak ada titiknya. Bablas aja gitu. Ternyata harganya lima ratus ribu, Mang. Aku enggak bayangin tuh bagaimana malunya ibu waktu di kasir. Sampai rumah ibu nyalahin aku gara-gara itu. Lah, ibu aja juga enggak sadar ya, kan?”

Cerita Tiara habis tepat saat mereka sampai rumah. Rasanya Tiara haus terlalu puas tertawa, ia hendak mengambil minum di dapur. Langkahnya terhenti melihat pemandangan di dapur. Seorang wanita sedang menemani Bima memasak. Tiara bersembunyi di balik dinding, mencuri dengar kedekatan ibu dan anak tersebut.

“Wanita memang susah dimengerti, tetapi jangan mengira tidak bisa disentuh hatinya”

“Tiara itu unik, Ma.”                       

“Ya makanya, kalo unik, pertahankan. Susah lho cari yang unik-unik.”

“Doakan, ya, Ma.”

“Selalu. Biar bagaimana pun, kamu mau istrimu seperti apa, lebih dulu kamu harus menjadi apa yang dia mau. Kasih contoh bagaimana seharusnya ia menyenangkan kamu. Baik buruknya istri tergantung suami. Memang istri adalah jantung rumah tangga, tetapi suami adalah otaknya.”

***

Ini tempat tidur apa ada mantra penghilang kantuk, ya?

Tiara mengeram jengkel. Malam ini kenapa susah sekali lelapnya. Sudah bolak kanan balik kiri, kantuk tak juga singgah.

Tiara mengacak rambutnya kesal. Dipelototinya jam dinding yang berdetak pelan. Jam sebelas malam.

Ada suara dari lantai bawah. Tiara mengernyit. Sepertinya Bima sedang membuat minuman. Suara sendok beradu dengan mug dan suara dispenser yang ditekan. Ah, raksasa satu ini memang mirip Rahwana yang kuat, enggak ada capeknya. Habis dari luar kota, malamnya langsung lembur.

Perlahan Tiara turun dari tempat tidur, berjalan keluar kamar. Mengendap-endap menuruni anak tangga dan duduk di anak tangga ke delapan dari atas. Dari situ Tiara bisa mengamati lewat pantulan cermin yang ditempel jadi aksesoris interior ruang tamu.

Bima tampak santai dengan kaos putih tanpa lengan dan celana pendek abu-abunya. Tubuh kekarnya menjulang dan tampak sangat penuh perlindungan. Rambut gondrong yang diikat dengan karet gelang malah memberi kesan maskulin yang terawat. Tidak ada berewok, janggut, atau kumis yang tumbuh asal-asalan. Meski bukan laki-laki pesolek, tetapi Bima jelas menjaga penampilannya tetap rapi dan bersih.

Samar-samar suara Bima terdengar berdendang mengikuti lagu dari earphone-nya. Tiara menajamkan pendengaran, mencoba mendengar lagu apa yang dinyanyikan Bima.

“Masak-masak sendiri, makan-makan sendiri. Cuci baju sendiri, tidur pun sendiri.”

Mata Tiara membulat menangkap pantulan bayangan Bima yang sedang mengerakkan tubuhnya. Pinggulnya digoyang ke kanan ke kiri, meliuk dengan gaya lucu. Laki-laki besar itu berjoget, berputar, menggoyangkan bahu, sambil membawa mug berisi teh yang masih mengepulkan asap dan menebar wangi menuju meja di ruang tamu. Di atas meja itu berserakan kertas-kertas, buku, dan laptop Bima.

Tiara cepat-cepat mendekap mulut sebelum tawanya menyembur keluar. Geli rasanya melihat Bima yang kekar meliuk bagai penari dangdut sensasional.

Namun, gerakan Tiara tertangkap mata Bima. Bima mengangkat alis, lalu nyengir lebar. Dia mendehem sebelum bertanya.

“Kucing apa maling?”

“Kucing!” spontan balasan Tiara yang langsung menggeplak bibirnya sendiri. “Eh!”

Bima terbahak. Diulurkannya tangan dari bawah tangga, meminta Tiara turun dan bergabung bersamanya.

“Aku enggak bisa tidur,” keluh Tiara jengkel begitu kakinya menjejak lantai bawah. “Padahal rasanya sudah ngantuk.”

“Apa aku mengganggu tidurmu? Suaraku atau jogetku mungkin.”

Tiara tertawa saat Bima mempraktikkan tarian pinggulnya sekali lagi. Laki-laki itu melepaskan earphone-nya sebelah dan menyematkan pada telinga Tiara.

“Aduh ... du, dududu ooo, ingin rasanya diriku. Bercinta seperti dulu. Tetapi kutakut gagal lagi.”

Heh! Pipi Tiara bersemu saat Bima menyanyikan kata-kata itu sambil menatapnya lekat. Cepat-cepat Tiara melepaskan earphone sembari menjulurkan lidah pada Bima.

Tentu tidak semudah itu, Bambang! Sadar kalau mereka belum merajut malam pertama berdua, seketika membuat Tiara bergidik membayangkan tubuh besar itu bersamanya melewati malam. Oh, Tidak! Bisa gempa! Bisa jadi remuk dia nanti! Maka jangan mengundang bahaya, membangunkan macan tidur, bisa-bisa besok pagi dia mesti keramas wajib pula!

“Aku mesti selesaikan semua laporan ini.” Bima menunjuk kertas kerjanya. “Kalau enggak bisa tidur, duduk saja di sini. Atau kamu mau nonton? Ada beberapa film sudah aku d******d.”

“Enggak, ah. Aku pinjam ini aja.” Tiara meraih asal majalah dari rak di bawah meja yang setelah diamati malah cepat-cepat dikembalikan pada Bima. “Enggak jadi.”

Bima tergelak sampai matanya berair. Majalah bertulis FHM –For Him Magazine, majalah laki-laki dewasa dengan gambar perempuan dewasa seksi di bagian sampul membuat pipi Tiara bagai kepiting rebus.

“Majalah ini punya Galung dan katanya kita disuruh belajar dari sini.”

“Belajar apa?”

“Ummm ... entah. Barangkali tentang kostum yang kurang bahan?”

Tiara dan Bima bertatapan lalu terbahak berdua.

“Kamu kerja, deh. Aku temani sampai kantuk datang.” Tiara mengucapkan itu sambil menguap lalu duduk di salah satu sofa, meraih remote TV dan mulai memencet mencari siaran. Bima tersenyum, mengangguk lalu melanjutkan kerjanya.

“Tiara itu unik, Ma.”

Sepotong kata itu tiba-tiba melompat di kepalanya. Tiara spontan memindahkan pandangannya dari TV ke Bima yang sama sekali tidak menyadari itu. Perkataan yang didengarnya saat Bima dan mama mertua sedang memasak di dapur, sedikitnya telah mencuri hati Tiara.

Bima menganggap Tiara unik setelah semua kegilaan yang sengaja Tiara lakukan. Wow. Dan apa kata mama mertua, kalau unik dipertahankan? Sentuh hatinya?

Keluarga macam apa ini? Tiara mendecak, antara bingung dan haru. Bagaimana mereka bisa menerima Tiara dengan semua tingkah ajaib dan konyol yang disengaja selama ini. Kalau dipikir ulang, Tiara jadi malu sendiri. Kekanakan sekali. Namun, balasan dari keluarga Bima justru sekalem ini.

Melihat mama mertua terhadap Bima, rasanya seperti melihat dua sahabat. Mereka begitu dekat. Apa saja bisa dibicarakan. Begitu pun Bima dengan papa mertua. Tiara limbung, ia tidak pernah diperlakukan seperti itu.

Ibu tidak pernah hangat padanya. Bapak juga sama. Pelukan, usapan, kecupan hanya untuk Dara. Bagi Tiara tidak ada yang namanya diskusi, yang ada hanya perintah. Suka atau tidak suka, jalankan saja. Adil tidak adil, lakukan saja. Tidak perlu banyak tanya, tidak ada yang perlu didiskusikan. Orang tua paling tahu apa yang baik dan benar, jadi laksanakan saja. Beda jika posisinya diganti dengan Dara. Semua bisa dibicarakan, semua ada jalan keluar.

“Sudah besar enggak usah manja.”

Tiara tercenung. Betapa rindunya dia pada ibu yang sebelum Dara hadir, begitu mencintainya. Ibu yang selalu mau diajak bicara. Ibu yang memandang Tiara sebagai anak, bukan sebagai kakak Dara.

Ah, luka itu basah lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status