Motaz merasa kehidupan normal keluarganya ikut terenggut saat Nicho mulai dijatuhi vonis kanker otak dan kehidupan beberapa bulan lagi.
Walaupun ia yakin dan mantap bahwa pemilik keputusan mutlak soal nyawa manusia tetap berada di tangan Tuhan, ia tak menampik, ia tak munafik bahwa ia juga resah memikirkan vonis itu.
Motaz juga seorang dokter, akan tetapi tiga tahun terakhir ia tak menggunakan kemampuan medisnya lagi untuk bertatap muka langsung dengan pasien, sebab ia dipilih sang ayah untuk ikut terlibat mengurusi managemen rumah sakit.
Motaz mengerti benar kondisi adiknya itu dan bagaimana kanker jahat itu dengan cepat menyebar dan merenggut secara perlahan kemampuan motorik Nicho.
Senyuman di rumah itu seolah ikut hanyut bersama deraan rasa sakit yang diderita Nicho. Pun ia sendiri cenderung jarang memikirkan diri sendiri. Hari ke hari Motaz hanya dipenuhi oleh pekerjaan dan memastikan adiknya baik-baik saja.
Begitu pula orang tuanya. Semua berpusat pada Nicho.
Dan hari itu, ia dibuat kembali resah setelah mendapat telepon dari sang ibu. Kata beliau, kondisi Nicho semakin lemah setelah melakukan press conference itu. Motaz tak berpikir lama. Ia segera pulang mengabaikan pekerjaan yang menumpuk melambai hendak menahannya.
Motaz memandangi mobil yang baru saja keluar dari rumah orang tuanya itu. Mobilnya tidak asing baginya, plat nomornya demikian. Tapi sekeras apapun ia berpikir, ia tak menemukan jawaban siapa pemilik mobil itu.
Motaz mengerjap kemudian menggeleng sekali. Dengan setengah berlari ia masuk ke dalam rumahnya. Beberapa saat lalu, ibunya menghubunginya soal kondisi Nicho."Ibu..." Serunya.Bu Katherine keluar dari dapur dan menghampiri Motaz. "Nicho ada di kamarnya. Kondisinya lemah sekali."Mereka kemudian melangkah sama-sama menuju kamar Nicho. "Siapa tamu barusan, Bu?" Tanya Motaz."Tamu?" Ulang Bu Katherine. Beliau tak pernah menganggap Ara sebagai tamu, sehingga tak mengerti siapa yang dimaksud Motaz."Ada mobil keluar dari sini, sewaktu aku sampai." Terang Motaz."Oh, itu Ara. Sayang sekali kamu nggak ketemu. Dia yang mengantar Nicho pulang." Sahut Bu Katherine, sesaat kemudian beliau termenung. Wajahnya terlipat dengan kesedihan yang bercampur kecemasan.Motaz mengangguk. Langkahnya kemudian berhenti karena tangannya ditahan oleh sang ibu."Ara mungkin sudah curiga dengan kondisi Nicho. Ibu nggak sanggup terus menerus berbohong padanya, Motaz. Ibu nggak sanggup. Ara terlihat sangat cemas. Nicho bahkan tak sanggup berjalan sendiri saat Ara mengantarnya kemari."Motaz menyentuh bahu sang ibu. "Aku akan coba bicarakan dengan Nicho. Kita lihat kondisi dia dulu, Motaz udah panggil dokternya kemari."Bu Katherine mengangguk.Dengan perlahan Motaz membuka pintu kamar adiknya. Kamar dengan nuansa hitam, putih dan abu-abu itu menambah suasana pucat si pemilik kamar."Nich.." Panggil Motaz."Bang.." Sahut Nicho lemah."How you feel?" Tanya Motaz."Sakit.. sekali. Tapi.. ak-u harus me-nahannya, a-ku belum mau mati sebelum mendapat jawaban dari Abang." Kalimat Nicho sangat lemah dan terbata-bata.Di belakang Motaz, Bu Katherine tak sanggup lagi menahan laju air matanya karena mendengar kata 'mati' dari mulut anak bungsunya itu."Nich, dengar.""Aku nggak kuat lagi, Bang." Sela Nicho. "J-jangan pak-sa aku bertahan lagi.""Bagaimana dengan Ara? Apa kamu akan meninggalkannya begitu saja? Kamu tega membohonginya selama ini. Kamu harus sembuh dan menikahinya!" Tanpa sadar Motaz meninggikan suaranya. Motaz kembali sadar ketika lengannya dicengkeram sang ibu.Nicho mengulas senyum yang itu saja sudah sangat menguras tenaganya. "Apa aku tidak terlihat mencintainya? Aku bertahan selama ini untuknya.""Belum. Kamu belum memaksimalkan usahamu untuk tetap bersamanya. Kamu menolak operasi, kamu menolak kemoterapi. Kamu bilang Ara adalah dokter saraf. Dia pasti bisa membantumu kalau kamu jujur padanya. Kamu yakin kamu bisa membohonginya?" Motaz semakin kesal karena pesimisme Nicho."Berjanjilah padaku, Abang harus menikahi Ara kalau aku pergi."
Motaz berdecak. "Tidak ada yang akan menikahinya kecuali kamu. Jadi, sembuhlah!"
Ia keluar kamar Nicho tanpa mengacuhkan sang ibu yang menahannya.
"Ibu akan bicara pada kakakmu. Sebentar lagi dokter Farhan akan datang. Istirahatlah dulu." Kata sang ibu. Beliau membetulkan selimut Nicho kemudian keluar kamar mencari anak sulungnya.Di tepian kolam renang, napas Motaz tersengal. Ia marah, kecewa dan entah perasaan apa lagi yang bercampur menjadi satu bergemuruh di dalam dadanya."Omong kosong pernikahan.." Geram Motaz."Motaz.." Panggil sang ibu.
Motaz menoleh sekilas kemudian kembali memandang air tenang di kolam renang meski menyilaukan. Matahari sedang terik-teriknya dan ia berdiri di tepian kolam tanpa mempedulikan panas yang menusuk kulit.
"Tolong, Bu. Aku nggak bisa. Itu sama saja ibu menyerah pada Nicho! Jangan paksa aku untuk menjanjikan hal yang mustahil. Bagiku menikahi pacar adikku sendiri itu hal yang... Sudahlah! Aku nggak mau bahas ini lagi." Motaz memalingkan wajahnya. Kemudian duduk di tempat teduh.
Ibu Katherine tahu benar bagaimana Motaz. Dirinya yang sebenarnya tak bisa menolak permintaan siapapun terutama ibunya.
"Sejak kecil Nicho memang sakit-sakitan, Motaz. Tubuhnya lemah tak seperti anak-anak lain. Kamu tau itu. Saat dia jatuh sakit karena flek paru-paru kamu menangis tersedu dan mengatakan padanya bahwa kamu akan mengabulkan semua permintaannya. Kamu nggak ingat? Usia Nicho 5 tahun waktu itu dan kamu 10 tahun. Kamu begitu ketakutan karena Nicho kesakitan sampai berucap demikian. Kamu mungkin lupa. Tapi Nicho mengingatnya. Dia sangat mengenal kamu, makanya dia nggak ragu menyerahkan Ara dalam penjagaanmu." Bu Katherine menghela napas sangat dalam sebelum melanjutkan.
"Kalau kamu katakan ibu menyerah dengan kondisi Nicho, ibu mana yang akan menyerah pada anaknya, Motaz. Tapi tiap kali melihat Nicho kesakitan seperti itu, hati Ibu seperti tercabik dan dikoyak. Kalau Tuhan lebih sayang padanya dan Nicho tak akan merasakan sakit lagi, ibu akan berusaha ikhlas meskipun berat." Bu Katherine menggenggam tangan Motaz sangat erat. Satu bulir air matanya menetes dan dengan cepat beliau mengusapnya.
---
Mutiara memarkirkan mobilnya asal di parkiran khusus dokter di depan IGD rumah sakit itu. Berlari secepat mungkin menuju pasien yang membutuhkan operasi. Satu dokter residen yang menunggunya sejak tadi menyambutnya dengan laporan status pasien."Pasien pendarahan intrasebrum di serebelum, Dok. Kondisi semi koma dan tidak ada gerakan motorik. Sudah di pindai CT otak. Pendarahannya cukup banyak sampai menekan batang otak." Dokter residen tahun kedua bernama Angga menjelaskan status pasien sambil berjalan cepat menyamai jalannya Mutiara."Berapa umurnya?""15 tahun."Mutiara mendesah. "Siapkan ruang operasi dan hubungi dokter anestesi segera..""Ruang operasi 1 sudah siap, Dok." Sahutnya cepat.Mutiara berdiri di depan layar komputer melihat seksama gambar ctscan setelah ia berganti baju operasi.Bersedekap mempelajari gambar tersebut. Tiba-tiba bayangan Nicho melintas di depannya. Wajah pucatnya, tubuh kurusnya, kepala pelontosnya, pipi tirusnya.Lagi-lagi Mutiara mendesah. "Ada apa denganmu, Nich?" Lirih Mutiara."Dokter.." Panggil Angga.Mutiara mengangguk mengerti. Angga memanggilnya karena pasien siap dilakukan operasi. Dokter anestesi telah siap di tempatnya."Mess..(pisau bedah)" Ucap Mutiara sambil mengulurkan tangannya. Pisau itu didapatnya, dan gerakan tangannya sangat cepat membelah kulit tengkorak.
Ia juga mahir menggunakan bor untuk melubangi tengkorak kepala itu, asisten dokter di sampingnya melakukan penyedotan dan pengairan di daerah lubang sekitar itu. Kerjasama yang baik.
Operasi itu membutuhkan waktu paling cepat 6 jam dan selambat-lambatnya 9 jam jika kondisi pasien semakin parah."Operasinya berhasil dan lancar. Pendarahannya berhasil di atasi, tetapi pasien mengalami pembengkakan parah. Kondisi pasien masih kritis dan akan terus kami pantau di ICU dan diberi obat untuk pembengkakannya. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin." Ujar Mutiara pada wali pasien begitu selesai melakukan operasi itu.
"Kapan anak saya akan sadar, Dok?"
"Saat ini kami tidak tahu pastinya karena kondisi anak anda masih kritis. Kami akan terus pantau. Permisi."
Mutiara berjalan dengan satu tangannya memegang tengkuk. Operasi bedah tengkorak tak pernah mudah karena selalu berperang melawan waktu.
Ia menuju ruangannya dan berganti baju. Jam waktu itu menunjukkan pukul 19.32. Ternyata operasinya membutuhkan waktu 7 jam lamanya.
Mutiara mengambil ponselnya. Notifikasi di ponselnya banyak sekali. Ada 7 panggilan tak terjawab dari Ibu Katherine.
Mutiara mengernyit. "Banyak sekali.. Apa terjadi sesuatu?" Gumam Mutiara.
Kemudian ia berpindah ke kotak pesan. Pesan dari Ibu Katherine membuat jantungnya berhenti sesaat.
"Nich.."
Lima jam sebelumnya. Motaz termenung dengan kalimat ibunya. Di tepian kolam renang yang biru itu ia tidak banyak memikirkan banyak hal, kecuali tentang sosok Ara.Motaz memperhatikan riak kecil karena sapuan angin di dalam kolam itu. Biru dan terlihat dalam. Menyelami dalam dipenuhi banyak pertanyaan tentang siapa Ara. Lalu dilanda kebingungan kenapa justru wanita yang ia pikirkan.Siapa dia? Dokter yang bekerja dimana dia? Bagaimana sosoknya?Sejak kecil, hubungan Nicho dengan Motaz tidak bisa disebut akrab. Tidak juga disebut berselisih. Mereka hanya berjarak, canggung dan kaku.Lalu ketika mendengar permintaan Nicho ia tak bisa menolak meski tak langsung menjawab iya.Sejujurnya Motaz masih terbelenggu dengan gadis di masa lalu yang pernah ia selamatkan. Dia mencarinya selama ini tapi belum pernah menemukannya. Ia juga pernah berpacaran beberapa kali tapi selalu putus karena Motaz ternyata tak pernah bisa berhenti memikirkan gadis kecil di masa lalunya. Klise dan naif kedengara
Mutiara tak menghiraukan panggilan seorang perawat yang menyapanya. Ia juga lupa berganti baju setelah selesai dari operasinya.Mutiara berlari menuju lift dan menekan-nekan tombol itu tak sabar. Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari pintu tangga darurat, tapi tak menemukannya.Ia juga menghitung tak sabar lampu digital yang menunjukkan lantai dimana lift itu bergerak. Kakinya berdiri tak nyaman."Sebenarnya kamu sakit apa? Kenapa kamu nggak jujur selama ini. Aku dokter, Nich. Aku malu menjadi dokter karena gagal melihat kondisimu." Rapal Mutiara sendirian. Tak ada orang kebetulan di depan lift itu kecuali dirinya.Saat lift itu berdenting, Mutiara segera masuk dan menekan tombol lantai 5 terus menerus agar pintu segera tertutup."Please jangan ada yang masuk.. please!!" Gumamnya.Mutiara berdecak tiap kali lift itu singgal di lantai yang memang sudah seharusnya. Lalu beberapa orang keluar dan masuk menatapnya karena decakannya itu.Lantai lima.Lift berdenting kembali dan pintu te
Dunia Mutiara bak terbalik dalam sekejap. Kehilangan seseorang yang sangat dicintainya sama saja seperti kehilangan separuh jiwanya. Hari-harinya terasa lebih suram dari biasanya.Meski demikian, ia harus tetap waras demi menjaga profesionalitasnya sebagai dokter. Banyak pasien yang harus diobati olehnya. Banyak orang yang harus ditolongnya.Mutiara tetap berangkat ke rumah sakit mdan menunaikan tugasnya walaupun tengah berduka. Kedatangannya membuat setiap dokter, perawat maupun staff di rumah sakit itu terheran-heran."Dokter Mutiara? Kenapa kerja hari ini?" Tanya Dokter Teddy dan membuat dokter lainnya menoleh padanya.Kepala departemen bedah saraf itu kebetulan sedang berkumpul dengan dokter lain dan juga perawat di stasiun perawat. Bersiap menjenguk pasiennya di bangsal."Apa saya tidak boleh bekerja?" Sahut Mutiara."Bukan. Maksudnya, Dokter boleh cuti beberapa hari. Dokter pasti sedang bersedih."Mutiara menggeleng. "Saya bingung harus melakukan apa di rumah. Lebih baik saya be
Mutiara membawa hati yang hancur-sehancurnya saat keluar dari ruangan Motaz. Membuka pintu dengan sedikit menyentak sebab rasa kesa dan sakit hati. Apa kalian tau bagaimana rasanya? Ditinggal mati oleh orang yang sangat dicintai kemudian saat itu juga harus menikah dengan orang lain yang sama sekali asing. Sungguh, rasanya sangat... Mutiara tidak tau apa kata yang tepat untuk menggambarkannya. Bahkan lebih dari menyakitkan. Mutiara menutup pintu ruangan Motaz perlahan kemudian bersandar di sana sejenak demi mengisi paru-parunya yang terasa sangat sempit dan terjerat sesak. Lantas berjalan dengan sedikit menunduk, menyembunyikan wajah sembabnya setelah banyak menangis. Tangannya berada di dalam saku dimana surat itu berada, meremasnya pelan. Rasanya seperti meremas jantungnya sendiri. Ketika Mutiara mendongak, matanya bertemu pandang dengan Rara yang baru saja keluar dari lift dan sedang menatapnya dengan dahi mengernyit. Tatapan teman sekaligus rivalnya itu selalu tidak menyenang
Luruhnya air mata Mutiara membuat tubuh ringkihnya ikut melorot dari kursi make-up. Duduk tersimpuh di lantai dengan tangan menggenggam ponsel yang masih menyala.Tangisannya dalam sekejap menjadi raungan memilukan. Seluruh staff MUA yang berada di dalam kamar itu sama bingungnya. Sama paniknya.Make up yang telah dibubuhkan setengah selesai itu terhapus oleh air mata dan mereka harus mengulanginya dari awal. Rasa sedih, kesal, marah dan menyesal berkecamuk di kepalanya sekarang. Bersarang tebal seolah siap menjerat Mutiara dalam kepiluan kapan saja. Rasa bersalah karena ia telah banyak mengabaikan satu-satunya orang yang selalu ada untuk dirinya sejak dulu. Mbah Uti. Harusnya ia berkabar. Harusnya ia pulang dan meminta restu pada ibu keduanya itu sebab beliau-lah ia bisa sampai di titik ini. Sekarang, kesulitan yang Mutiara hadapi ia anggap sebagai hukuman karena mengabaikan orang tua. Ya Tuhan, Mutiara menyesal. Rasa bersalah dan penyesalan itu lantas memicu seluruh kesedihan y
Simbah berjalan membungkuk pagi itu dibantu sebilah kayu yang berfungsi sebagai penopang jalannya. Menuju rumah Bulek Nunik yang dimintanya mengirim pesan pada Mutiara semalam.Pesan itu tak langsung terkirim, hanya centang satu yang tertera di layar pesan Nunik. Simbah menunggu resah semalaman balasan Mutiara, cucu dari anak keduanya yang begitu beliau lindungi dengan segenap jiwanya."Sudah ada balasan dari Muti, Nik.." Tanya Simbah Uti pada Nunik. Tetangga simbah depan rumah di kampung."Belum, Mbah. Tapi sudah dibaca sama Muti. Tapi kok belum dibales ya. Mungkin Muti masih sibuk di rumah sakit, Mbah." Jawab Bulek Nunik."Oh.. ya sudah." Sahut Simbah lesu. Wajah beliau menyiratkan kesedihan dan kerinduan yang mendalam akan cucunya itu."Kasihan Muti ya, Mbah.. Pasti sedih sekali. Apa Mbah nggak mau berkunjung ke sana?" Tanya Nunik, ikut sedih melihat Mbah Uti yang terus-menerus menanyakan Mutiara sejak ia memberitahu bahwa calon Mutiara meninggal."Aku nggak tau alamatnya, Nik." "
Pagi merayap menyambangi kamar Mutiara. Udara dingin menyergap menusuk tulang-tulangnya yang kemudian terasa kaku. Semalaman ia tertidur di lantai. Dinginnya lantai membuat tulangnya terasa ngilu sebab hanya terhalang baju panjang yang ia kenakan lengkap dengan hijabnya. Suara kokok ayam terdengar di telinganya. Darimana pula datangnya ayam itu? Padahal rumah Motaz itu berada di perumahan yang mustahil orang memelihara ayam. Mutiara memaksa tubuhnya bangun dengan sisa-sisa tenaganya. Ya.. sisa-sisa. Meski telah tertidur semalaman ia merasa tenaganya bahkan tidak pulih sepeserpun. Padahal pagi ini adalah jadwal prakteknya. Dan ada beberapa janji kontrol pasien yang mengharuskannya datang lebih pagi. "Badanku..." Rintih Mutiara. Memaksa diri menuju kamar mandi dan bersih-bersih seadanya. Mutiara segera berganti pakaian. Matanya berkelana mencari dimana pakaiannya. Lemari di kamar itu kosong. Ia merasa tak pernah mengosongkan lemarinya. Lantas menoleh pada seonggok koper yang tergel
Bunyi derit pintu yang dibuka kemudian berdebam membuat Mutiara terperanjat bangun. Keadaan ruangan yang gelap gulita membuat Andi ikut terkejut karena gerakan menyentak Mutiara. "Aahhhhg.." Teriak keduanya. "Dokter Mutiara? Dokter masih di sini?" Tanya Andi setelah menyalakan lampu. "Maaf, Andi.. Jam berapa sekarang?" Mutiara meraba-raba mencari ponselnya. "Jam 8 malam, Dok." Jawab Andi singkat. Mutiara tersentak bangun dan merapikan hijabnya."Astaga.. aku tidur lama sekali. Kamu baru selesai shift?" "Aku bahkan menggantikan tugas Faiz si tukang bolos itu. Maaf, Dok, boleh gantian? Aku capek banget.." Keluh Andi. Wajahnya memang sangat pucat dan kantung matanya menghitam. Alasan para perawat dan dokter residen maupun yang dibawah Mutiara sangat santai pada Mutiara sebab Mutiara-lah yang meminta demikian. Ia tak terlalu senang jika terlalu formal dan terkesan memiliki jarak padahal mereka rekan kerja. Di departemen itu, meski posisinya lebih tinggi tetapi semuanya adalah reka