"Kamu yakin kamu nggak apa-apa? Kamu pucat banget, Yang.. Kapan terakhir kamu check up?" Tanya Mutiara yang semakin cemas dengan wajah pucat pacarnya itu.
Mutiara selalu mengingatkan untuk rutin check up setiap bulan karena kepadatan jadwal syuting Nicho. Aktivitas yang padat dan terkadang lokasi syuting yang berpindah-pindah membuat Mutiara khawatir akan kesehatan Nicho.
Apalagi dilihat postur tubuh Nicho yang semakin hari semakin kurus.
Nicho selalu menggunakan baju hem lengan panjang dan kaos di dalamnya, terkadang memakai kaos turtle neck untuk menutupi bobot tubuhnya yang semakin kurus.
"Bulan kemarin aku check up. Aku sehat, Sayang. Cuma kecapekan aja ini." Jawab Nicho. Ia berusaha keras menahan sakit kepalanya dan menahan tangannya aga tak bergerak mencengkeram kepala.
"Ya udah kalau gitu pulang aja. Souvenir nikahan biar aku sendiri yang cari. Nggak apa-apa, kan?"
"Kamu nggak apa-apa sendiri?"
Nicho setengah bersyukur dalam hati karena Mutiara mengajaknya pulang. Ia sudah benar-benar tak kuat dengan sakit kepalanya. Terlebih nyeri di bagian belakang retina matanya, rasanya ia ingin melepas sejenak kepalanya dan melepaskan rasa sakitnya.
"Udah biasa sendiri ini. Pulang sekarang ya.."
Jadwal mereka hari itu harusnya padat sekali. Setelah melakukan press conference, Mutiara dan Nicho harus mencari souvenir pernikahan dan survei beberapa perabot untuk rumah baru mereka.
Semakin mendekati hari pernikahan justru Mutiara semakin merasa banyak sekali hal-hal yang belum terselesaikan untuk pernikahan mereka itu.
Mutiara memapah calon suaminya masuk ke dalam mobil dan mengantar Nicho pulang dengan mobilnya. Ia tak akan membiarkan Nicho menyetir sendiri dalam keadaan pucat pasi seperti itu.
Dalam perjalanan menuju kediaman Nicho, Mutiara tak henti-hentinya melirik Nicho yang tengah memejamkan mata. Perasaannya sama sekali tak tenang. Wajah pucat Nicho bukan pucat seperti orang yang masuk angin biasa.
Mutiara juga memperhatikan Nicho beberapa kali meringis seolah sedang menahan sakit.
Tapi memaksa Nicho pergi ke dokter adalah hal mustahil. Karena Nicho pasti menolak dengan keras. Mutiara membiarkan Nicho beristirahat meski ia cemas luar biasa. Ia yakin Nicho bukan sakit kecapekan biasa.
Nicho sengaja memejamkan matanya. Menahan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Ia hampir menangis ketika melihat betapa cemasnya Mutiara karena keadaannya.
Nicho berusaha keras menahan apapun, menahan tangannya agar tak kelepasan meremas kepalanya, menahan air matanya agar tak menetes meski setitik. Menahan diri agar tak mengerang sebab kesakitan. Menahan diri agar tetap sadar meski sedang memejam. Ia takut ia justru malah kebablasan pingsan dan membuat Mutiara semakin cemas.
Rasanya... Kepulangannya sudah semakin dekat. Nicho tak sanggup lebih lama menahan sakit ini. Tapi ia harus bertahan karena kakaknya belum juga memberikan jawaban.
Ia harus mendengar sendiri Motaz menyanggupi permintaannya menikahi Mutiara.
Mobil Mutiara memasuki halaman rumah Nicho. Rumah bergaya turki yang sangat elegan dan modern itu merepresentasikan Bu Katherine yang berasal dari sana.
Mutiara memarkirkan mobilnya kemudian membangunkan Nicho. Mutiara masih tidak tahu kalau Nicho hanya berpura-pura tidur.
"Kita udah sampai di rumah, Yang."
Mutiara mendengar pintu besar bergaya bodrum berwarna biru itu terbuka. Mutiara menoleh. Ibu Nicho sudah berada di ambang pintu dengan raut sama cemasnya dengan Mutiara.
Beberapa saat lalu, Nicho memberinya kabar bahwa ia akan pulang bersama Mutiara.
Nicho membuka matanya saat pintu di sampingnya dibuka Mutiara.
"Nicho pucat banget, Bu. Apa dia menyembunyikan sesuatu dari Ara?" Tanya Mutiara saat Ibu Katherine mendekat ke mobilnya.
Ibu Nicho baru akan membuka mulutnya, tapi kemudian Nicho menyela dengan cepat.
"Aku udah bilang, aku cuma kecapekan, Yang. Jangan khawatir." Ucapnya lemah.
Mutiara mengernyit.
"Ibu, tolong." Lirih Nicho.
Mutiara semakin mengernyit. Posisinya lebih dekat dengan Nicho, tapi Nicho meminta tolong ibunya untuk memapahnya?
Katanya cuma kecapekan biasa, tapi tubuh Nicho jauh lebih lemah dari biasanya. Menopang tubuhnya sendiri saja tak mampu. Mutiara menatap lesu Nicho yang dipapah ibunya memasuki rumah. Ia masih diam di tempatnya, sibuk dengan pikirannya sendiri.
Bu Katherine yang sadar bahwa Mutiara tak mengikuti langkah mereka kemudian menoleh. "Ayo masuk, Ara."
Ara adalah panggilan sayang dari Nicho untuk Mutiara. Karena Nicho memanggil demikian, ibu dan ayahnya juga ikut memanggil Mutiara dengan panggilan itu.
Pun Mutiara sangat menyukainya.
"Iya, Ibu." Sahut Mutiara dengan senyum simpul.
Sebenarnya Mutiara sudah tak asing lagi dengan rumah itu. Dua tahun menjalin hubungan dengan Nicho, ia sering diajak pacarnya itu berkunjung ke rumah orang tuanya.
Mutiara juga sangat disayang oleh Ibu Katherine sendiri. Beliau yang tak memiliki anak perempuan sangat bersemangat saat Nicho memperkenalkan Mutiara padanya.
Ayah yang sudah mengenal Mutiara lebih dulu juga menyetujui hubungan mereka. Mutiara bekerja di rumah sakit milik ayah Nicho sejak ia selesai belajar di Jerman dan kembali ke Indonesia. Tepatnya satu tahun yang lalu.
Nicho sudah berada di kamarnya, sementara Mutiara menunggu di ruang tamu yang semua ornamen-ornamennya bergaya Turki klasik.
"Souvenirnya bagaimana?" Tanya Bu Katherine sambil membawa dua gelas minuman.
"Nanti Ara yang cari, Bu. Setelah dari sini. Apa Nicho baik-baik saja? Saya bisa memeriksanya tapi tidak ada peralatannya di sini."
"Nicho baik-baik saja, Ara." Jawab Bu Katherine tanpa menatap Mutiara.
Mutiara mengangkat alisnya. Jawaban ibunya Nicho dengan raut wajah beliau tidak sinkron sama sekali.
Wajah sedih beliau sama sekali tidak bisa ditutup-tutupi. Gesture resah nan gelisah Bu Katherine kentara di mata Mutiara. Duduknya tak tenang dan selalu melirik ke arah kamar Nicho.
Nicho tidak baik-baik saja. Ibu terlihat sangat sedih dan cemas. Pikir Ara.
Meski begitu, Mutiara tetap mengangguk agar Ibu Nicho tahu bahwa ia percaya Nicho sedang baik-baik saja.
Mutiara dikejutkan oleh getar ponselnya sendiri. Ia merogoh ponsel itu di kantongnya. Melirik layar memunculkan nama dokter residen.
"Maaf, Bu. Ara jawab telepon ini dulu."
"Silakan." Jawab Bu Katherine tersenyum ramah.
Mutiara berdiri belum mengangkat teleponnya tapi masih menyempatkan melihat calon mertuanya itu. Kemudian ia gegas keluar ke teras menerima panggilan telepon di sana.
"Hallo.."
[Dok, pasien kecelakaan butuh operasi secepatnya.]
"Saya cuti hari ini. Dokter Harun atau Dokter Mia kemana?"
[Dokter Harun juga sedang di ruang operasi. Dokter Mia ada seminar tadi sudah pesan jangan diganggu.]
"Ck! Oke. 10 menit lagi saya sampai."
"Apa iya penting seminarnya dari pada nyawa manusia. Heran! Selalu begitu!" Gerutu Mutiara setelah menutup sambungan teleponnya. Dokter Mia adalah rekan kerjanya. Usianya masih di bawah Mutiara, tapi kecerdasannya membuat ia lebih cepat menjadi dokter bedah dan memiliki lisensinya.
Hanya cerdas. Dokter yang kompeten butuh tanggungjawab besar, bukan hanya kecerdasan. Juga, karena Dokter Mia adalah anak dari salah satu pimpinan di rumah sakit itu, ia selalu bekerja seenaknya. Memilih pasien ini dan itu. Dan banyak hal tak bertanggungjawab lainnya.
Mutiara kembali masuk dan berpamitan pada calon mertuanya itu.
"Ibu, Maaf sekali. Ada telepon darurat dari rumah sakit. Ara harus secepatnya kesana." Kata Mutiara seraya mengambil tasnya dengan tergesa.
"Baik.. baik.. pasienmu sangat penting."
Deg.
Di telinga Mutiara, kata-kata itu seolah sedang menyindirnya. Apa pasienku artinya lebih penting dari pada calon suamiku? Apa maksudnya begitu?
Mutiara tersenyum tipis lalu keluar dari rumah itu. Langkahnya lebar-lebar menuju mobilnya. Wajahnya tertunduk mencari kunci mobil hingga tak memperhatikan sebuah mobil juga memasuki halaman rumah Bu Katherine.
Saat mobil Mutiara mundur hendak keluar, mobil yang baru masuk itu maju memakai tempat yang tadi dipakai mobil Mutiara parkir.
"Pasti abangnya Nicho." Gumam Mutiara, lalu melesat cepat.
Mutiara menyibak gorden tebal yang menjuntai, pintu kaca yang membentang bak dinding itu.Mutiara menggesernya, lantas melangkah keluar mendekati balkon hotel tempatnya menginap. Balkon itu menyuguhkan pemandangan luar biasa indah yang pernah ia rindukan dulu.Dulu sekali... Saat ia sempat berjuang di sana demi mendapat kehidupan yang lebih baik.Sekarang, ia berhasil meraihnya serta mendapatkan bonus suami yang luar biasa baik dan tampan.Pemandangan putih menyelimuti atap-atap rumah,halaman, pohon-pohon serta jalan-jalan. Khansa melongok ke bawah. Beberapa orang berseragam orange sedang menyerok salju di jalanan. Lalu di sebelahnya terdapat anak kecil sedang membuat boneka salju.Tak jauh dari sana, seorang anak lainnya tengah jahil menggoyang-goyangkan pohon agar salju yang tertambat rontok menimpanya.Khansa tersenyum lebar. Masih terlalu pagi untuk mereka melakukan itu. Apa mereka tidak kedinginan?"Apa yang kamu lihat?" Motaz tiba-tiba datang membentangkan selimut tebal dan mera
Butuh beberapa lama bagi Motaz untuk pulih kembali, dan lelaki itu tetap menolak untuk dipindahkan ke luar negeri.Jangankan ke luar negeri, untuk pindah ke Jakarta dan mendapatkan perawatan yang lebih baik saja ia menolak.Motaz menolak dengan alasan ingin beberapa saat berada di kota yang pernah membuatnya menemukan cinta pertamanya. Perawatan di sini memang cukup walaupun tetap berbeda dengan rumah sakit besar di Jakarta. Rumah sakitnya sendiri."Kita bisa kembali lagi ke sini kapanpun Abang mau, tapi Abang harus sembuh dulu." Tidak ada satu hari pun yang Muti lalui di rumah sakit itu tanpa membujuk sang suami agar mau dipindahkan ke Jakarta.Sayangnya, bujukan itu semuanya gagal karena kekeras kepalaan Motaz sekaligus alasannya yang selalu sulit ditolak."Kalau kita sudah berada di Jakarta apalagi di luar negeri. Kita akan lupa karena sudah disibukkan dengan kehidupan kita di sana." Jawab Motaz enteng. Matanya sibuk menatapi jemari sang istri yang sedang memijat jemarinya."Gimana
"Dia Motaz, Ara. Dia suamimu sekarang. Dan dia berhasil mendapatkan cinta pertamanya."***"Aku bekerja di rumah sakit itu. Datanglah.." Ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Obati luka-luka itu dengan benar! Atau setidaknya lapor polisi!" Suaranya meninggi dan tiba-tiba berbalik menatap tajam pada Muti.Mutiara tersentak. Ia tak mengerti mengapa laki-laki itu terlihat begitu marah padanya, padahal mereka baru bertemu. "Kenapa marah?" Muti yang terkejut ikut meninggikan suaranya.Laki-laki itu menghela napas. "Apa kamu sendiri nggak marah? Kamu diperlakukan seperti itu oleh bapakmu sendiri kamu nggak marah?""Aku udah biasa.""Hanya karena sudah terbiasa lantas bisa dimaklumi? Itu penganiayaan!""Jangan marah!"Motaz tak mengerti dengan dirinya hari itu. Ia khawatir, cemas, bingung dan marah. Ia menjengut rambutnya lantas mendesah keras."Aku makasih karena sudah diobati. Tapi bukan berarti kamu bisa ikut campur urusan keluargaku!""Maaf... Berjanjilah kamu
"Kenapa tidak melaporkannya ke polisi? Itu penganiayaan? Apa semua orang buta? Kenapa satu kampung tidak ada yang bertindak padahal mereka melihatnya bertahun-tahun? Kenapa kamu nggak pergi?""Saya berterima kasih karena kamu mau membantuku dan mengobatiku. Tapi ini bukan urusan kamu. Ini urusan keluargaku.""Kamu masih SMA! Kamu baru 16 tahun! Kamu masih di bawah umur!" Nada suara Motaz meninggi."Nggak usah teriak-teriak.." Sahut Mutiara tak kalah tajam.Motaz menghela napasnya. Duduk dengan kasar di tempat duduk semen yang dibuat di taman itu."Apa sama sekali nggak ada yang berani melapor? Siapa laki-laki tadi?""Bapak." Jawaban singkat itu segera membuat mulut Motaz tertutup rapat. Tersentak. Tetapi matanya menghujam pada Mutiara sangat lama.Tatapan keterkejutan yang lama-lama berubah lembut."Mulai sekarang kamu adalah pasienku. Dan setiap dokter pasti akan melindungi dan mengobati pasiennya. Aku janji akan membantu mengobatimu. Hanya itu. Aku nggak akan ikut campur urusanmu
Ketukan sepatu pantofel Mutiara yang beradu dengan lantai rumah sakit hampir seirama dengan detak jantungnya. Cepat dan mendebarkan. Rasa haru, sedih, putus asa, dan kerinduan berpadu menjadi satu sore itu.Saat-saat menyesakkan menanti sang kekasih tiba di sampingnya untuk mendukung, menenangkan, dan menghibur hatinya yang lara telah berganti menjadi sebuah sesak karena ketakutan baru..Ketakutan yang belum sepenuhnya usai.Ketakutan akan kehilangan orang yang dicinta. Pasalnya, Mutiara belum diberitahu bahwa suaminya telah siuman.Gegap gempita bercampur keharuan mendengar kabar Motaz telah siuman membuat semua orang terlupa bahwa ada satu orang penting yang harus diberitahu. Mutiara."Abang.." Rintihnya. Sedetik kemudian menjadi tangisan lara. " Aku kira Abang mau ninggalin aku. Aku nggak mau ditinggal lagi. Aku nggak mau sendiri lagi..." Suaranya serak terbata.Jemarinya dililitkan dengan jemari suaminya yang masih lemas. Mutiara memiliki firasat buruk akan hal itu. Suara nyaring
"Kamu bilang apa tadi?"Aini dan Bu Cathie serempak terperanjat dengan suara bariton yang tiba-tiba itu. Kemudian suara sibakan gorden dengan kekuatan penuh kembali mengejutkannya. Aini menjauh dari kaki tempat duduk.Berdiri mematung tak berani baku tatap dengan Pak Ali.Pak Ali si pemilik suara bariton tadi. Entah sejak kapan beliau bangun dan sejauh apa yang beliau telag dengar, Aini tak sadar."Kamu tadi bilang apa?" Tanya Pak Ali sekali lagi. "Mutiara sakit karena dianiaya bapak kandungnya sendiri? Benar apa yang aku dengar, Aini?" Lanjutnya dengan mata sayu yang menusuk tajam.Mata Pak Ali terjaga sejak istrinya menanyakan soal Mutiara. Pak Ali sengaja diam di peraduannya agar Aini leluasa berbicara. Beberapa saat lalu, Aini menolak memberinya penjelasan dan justru memaksanya istirahat.Pak Ali merasa memang sesuatu telah terjadi pada Muti. Perasaannya yang telah mengenal Mutiara selama lebih dari 10 tahun mengatakan demikian.Aini mengangguk kaku, lantas menelan ludahnya. "Bena
Lembayung senja mulai membias. Musim ini matahari terasa begitu terik tetapi angin membawa hawa dingin yang kadang menusuk di malam hari. Cuaca begitu kontras saat siang dan malam.Lembayung itu memberikan lukisan indah saat sore. Cahaya itu mampu dinikmati melalui kamar inap Mutiara. Suasana tegang nan dingin Mutiara dan Bulek Nunik masih belum mencair meski ada bias cahaya hangat itu.Nunik berpura-pura sibuk membereskan barang bawaan dengan menahan rasa sesak. Nyatanya niat yang sudah ia mantapkan sejak keluar dari gerbang rumah sakit di Solo sampai di pintu masuk kamar inap Mutiara sesaat lalu sirna sudah.Lidahnya tetap kelu. Kabar tentang kondisi suami dan mertua Mutiara tetap saja tak mampu tersampaikan dengan baik.Sementara Mutiara diam membuang pandangan ke arah jendela. Salah paham yang membentang menciptakan kecanggungan terasa begitu nyata.Cahaya jingga itu masuk membuat bias yang luar biasa indah di kamar inapnya. Bisa jadi menghangatkan dan menenangkan di hati siapapun.
"Pak..." Aini berdiri menyusul majikannya yang melangkah terburu. Pak Ali sedang tidak baik-baik saja. Ia yakin di dalam kepala bapak tua itu sedang kacau balau dengan beragam kejutan dalam waktu singkat itu. Nunik ikut menyusul perlahan di belakang mereka. "Bapak sebaiknya istirahat dulu. Bapak terlihat sangat lelah, kalau lama-lama begini bapak pasti akan ikut sakit." Cegah Aini yang langkahnya semakin lama semakin melambat. Pak Ali bergeming mengabaikan ucapan Aini. "Mutiara sudah cukup curiga dengan kedatangan saya sendirian ke sana, Pak." Kata Aini lagi dan berhasil menghentikan langkah Pak Ali. "Beberapa hari terakhir, Bu Nunik bilang Mutiara selalu kepikiran sama Motaz, ingin sekali menyusul pulang ke Jakarta tetapi ia sendiri sedang berduka. Mutiara pasti semakin curiga kalau Bapak kesana sendirian tanpa Ibu dan Motaz, Pak. Jadi..." Dari belakang Pak Ali, Aini melihat pak tua itu menghela napas sangat dalam. Suara desahannya sangat berat hingga mampu dirasakan ole
Ibu Cathie baru sadar dua jam kemudian setelah kepergian Aini menuju kampung Mutiara. Menyampaikan pesan duka dari Pak Ali juga diutus untuk menjemput Mutiara. "Ali.. Gimana Motaz?" Tanya Ibu Catherine dengan suara parau dan tersendat-sendat. Matanya masih membuka menutup karena kepalanya masih terasa pusing. Beberapa kali beliau masih merasa terombang ambing seperti di mobil kemarin. "Pak Lan yang menunggu. Motaz masih seperti kemarin, Sayang." Jawabnya, lalu tangannya terulur memencet tombol merah untuk panggilan perawat. "Bagaimana Muti?" Ucap Ibu Cathie sambil memejam, lalu meringis. "Kamu istirahat dulu. Aini pasti memberi kabar sebentar lagi. Aini pergi ke sana." "Aku rindu Muti dan Motaz, Ali.." "Ibu sudah sadar..." Dokter yang baru saja masuk sedikit berseru dengan suara bersemangat. "Apa mereka baik-baik saja?" Gumam Ibu Cathie membuat Sang Dokter melirik ke arah Pak Ali. "Mereka baik-baik saja." Jawabnya. "Saya periksa dulu, ya, Bu.." Ucap Dokter itu dengan