Sejak awal semuanya memang terasa begitu janggal di kepala Motaz. Rumah sakit yang sekarang dalam tahap pembangunan itu berada di tangan seorang ahli bisnis yang seharusnya mengerti benar apa itu managemen resiko.Beliau sejak awal memaksa ingin bergabung karena menyodorkan keahliannya itu. Pun Pak Ali -orang tua Motaz- nyatanya menerima dalam diam meski Motaz curiga ayahnya memiliki rencana lain.Orang itu adalah orang tua Mia. Dokter Mia yang pernah ia pecat karena ketidak kompetenannya menjalankan amanah sebaga dokter."Aku punya dugaan, tapi semoga dugaanku ini benar. Aku sudah lama menyelidikinya tapi bukti yang kutemukan belum cukup untuk mengadili beliau." Ucap Motaz membolak-balik laporan keuangan yang kacau sekali di matanya.Tatapannya memang berada di atas kertas yang sedang dibolak-balikkannya. Tapi pikiran dan hatinya seolah ditarik menjauh dari sana.Motaz merasa dadanya berdetak lebih cepat tanpa alasan yang jelas."Boleh minta isiin cangkir ini lagi?""Kamu udah dua ge
"Mobilnya sudah siap, Pak Lan?" Tanya Pak Ali pada supirnya sebegitu memutus panggilannya dengan Motaz. "Sudah siap, Pak." "Apa tidak sebaiknya pakai pesawat saja?" Tanya Ibu Katherine pada suaminya. Ia setengah khawtair dengan perjalanan panjang yang akan mereka tempuh. Mereka sudah lama sekali tidak melakukan perjalanan darat untuk durasi waktu lebih dari lima jam. "Pesawat menuju Solo biasanya terlalu banyak delay dan berputar-putar. Semakin lama. Dari bandara Solo ke kampung Mutiara masih sekitar dua sampai tiga jam lagi. Lebih cepat efisien pakai mobil, kalau waktunya pas, bisa sekalian jemput Motaz di Bandara Solo." Terang Pak Ali memegang bahu kanan istrinya. Nampak sekali gurat kesedihan dan penyesalan pada laki-laki sepuh itu. Pak Ali menyesali situasi ini karena Motaz sedang tidak bisa diandalkan. Urusan rumah sakit dan kepemimpinannya terkadang bahkan seringkali membuat Motaz terhanyut hingga mengabaikan urusan lainnya yang mungkin lebih darurat. Karena penyesalannya
Puluhan tahun bergabung dan menjadi sekretaris pribadi keluarga Pak Ali juga sekaligus sebagai teman bermain kedua anaknya, Aini tak pernah sekalipun melihat Motaz selinglung, sekosong dan sehampa itu.Aini tak tahu benar apa yang dirasakan Motaz, bisa jadi karena rasa bersalah pada Mutiara karena tidak ada disana ketika istrinya sangat membutuhkannya. Bisa jadi karena dirinya merasa menjadi tak berguna disaat seseorang yang sangatd dekat dengannya disaat-saat genting.Keduanya terdengar memang sama saja. Tapi yang kedua, mungkin perasaan itu yang lebih besar dirasakan Motaz sekarang. Ia yang tak pernah setengah-setengah membantu orang dan selalu memberikan yang terbaik bagi orang terdekatnya, berusaha keras membuat orang terdekatnya bahagia namun di situasi seperti ini ia sama sekali tidak bisa diandalkan. "Nenek dari istri Pak Motaz meninggal dunia semalam, Bapak-bapak. Saya mohon keleluasaan hati Bapak-bapak sekalian untuk ikut mendoakan. Namanya Nek Sugi." Ucap Aini di depan par
Motaz menatap sebuah rumah reot yang terbuat dari anyaman bambu. Ia pun tak tahu mengapa tiba-tiba ia berada di sana. Seingatnya, terakhir kali ia berada di dalam sebuah pesawat dan pesawat itu...Pesawat itu mengalami kecelakaan. Motaz mengerjap, memegang kepalanya lalu menoleh kanan dan kiri.Menatap sekeliling yang kabur. Semuanya kabur, ada beberapa rumah tetapi tak jelas. Mata Motaz masih sehat, kalaupun ia mengalami miopi rasanya tidak sampai seburuk itu.Lagi pula, kenapa rumah lain buram sementara rumah bambu itu sangat amat jelas di matanya?Apa yang terjadi sampai ia berada di sana?Rumah itu tidak asing, dan suara teriakan di dalam sana pun Motaz benar-benar mengenalnya. Tetapi mengapa ia di sana?Sesaat kemudian ia tersentak saat seseorang keluar dari rumah itu. Motaz mundur selangkah lalu mengernyit. "Itu Muti..""Kenapa Muti keluar dari rumah itu? Kenapa Muti berteriak? Kenapa Muti bisa ada di sana juga?"Pertanyaan-pertanyaan itu hanya ada di dalam kepala Motaz, mulutnya
Sepeninggal Ayu, Mutiara termenung sendirian di dalam kamar yang menyimpan banyak memori masa kecilnya itu. Meski telah banyak berubah, tapi Mutiara tetap bisa merasakan himpitan kesusahan melalui tumpukan-tumpukan baju yang tercerai berai di dalam lemari itu.Baju lusuh yang baunya bercampur-campur menguar dari dalamnya. Terutama dari lemari berisi baju para lelaki tak tau diri itu."Sebenarnya apa yang dilakukan Bagas dan Bapak sampai mbahe begitu marahnya? Seberapa parah kelakuannya?" Gumam Mutiara sendirian.Mutiara beranjak dari tidurnya, lalu mendekati lemari portabel yang berisi baju-baju mbahe, terlipat rapi dan bersih. Kontras sekali dengan lemari di samping. Pasti Bulek Nunik yang merapikan lemari Mbahe ini. Pikirnya.Mutiara mengambil satu baju milik Mbah Sugi. Baju kebaya khas jawa berbahan tipis dan biasanya simbah selalu memakai stagen yang katanya untuk mengencangkan perut. Selain itu bisa berfungsi juga sebagai tempat penyimpanan. Uang misalnya, atau benda-benda kecil
"Wedhokan asu!! Balekke!"Mutiara berjengit lantas mengernyit. Ia bukan terkejut dengan bentakan dan hardikan kasar itu. Bukan, sebab ia sudah terbiasa mendengar umpatan itu. Ia sudah terbiasa mungkin sejak ia bayi mendengar kata-kata kasar itu.Bukan itu yang membuat Mutiara terkejut.Penampakan Bagas-lah yang membuatnya terkejut. Bagas bukan cuma mabuk, Bagas sedang sakaw. Tubuhnya yang gemetar, muntah, matanya merah berair dan berkeringat banyak lebih menarik perhatian Mutiara.Naluri Mutiara sebagai dokter menariknya untuk mendekati Bagas dan memegang dahi laki-laki itu, tapi sergapan Bagas yang masih kuat membuat Mutiara limbung.Semua wanita di dapur yang menyaksikan itu berteriak. "Nduk Muti...""Kowe sopo? Kowe sopo wani-wanine demok aku? Wedhokan asu! Balekke hapeku! Kuwi nggonaku!!" Bagas menggeram kasar dan lantang, meski tersendat-sendat. (Kamu siapa? Kamu siapa berani-beraninya menyentuhku? Perempuan asu! Kembalikan ponselku! Itu punyaku!)Tangannya menarik kasar baju bagi
"Saya terima nikah dan kawinnya Mutiara Dikromo binti Bagus Dikromo dengan mas kawin seperangkat emas 24 karat lima puluh gram dan uang dua puluh juta rupiah dibayar tunai." Dalam sekali tarikan napas, Motaz mengucapkan dengan lantang dan lancar janji itu. Sempat mengernyit sepersekian detik saat nama yang tidak asing itu ia sebutkan. Bagus Dikromo. "SAH... SAH.." Suara dari para saksi lantang. Akhirnya Motaz menyandang status menikah. Juga status di tanda pengenalnya sudah bisa diubah dengan status 'Kawin'. Menikahi seorang Mutiara baginya lebih kepada kewajiban yang harus ditunaikan. Siapa yang menyangka dia akan menikahi wanita yang seharusnya menjadi calon adik iparnya sendiri? Motaz, lelaki campuran Indonesia- Jerman, Turki yang kini menjadi suami sah dari Mutiara. Ibunya adalah wanita campuran Jerman dan Turki, sedangkan darah Indonesia mengalir dari ayahnya. Laki-laki berparas tegas dengan cambang dimana-mana itu adalah seorang direktur di rumah sakit ditempat Mutiara beke
Namanya Ara. Nama lengkapnya Mutiara. Hanya satu kata itu namanya. Nama yang cantik secantik orangnya. Pacar Nicho itu seorang dokter bedah saraf yang bekerja di sebuah rumah sakit besar di perkotaan.Dokter wanita lulusan Jerman yang sangat cerdas dan detail itu menarik hati Nicho sejak kali pertama mereka bertemu puluhan tahun yang lalu. Puluhan tahun lalu tepatnya ketika Mutiara memutuskan kabur dari kampungnya saat usianya 18 tahun.Pertemuan mereka cukup lucu dan singkat. Setelah itu mereka berpisah lama dan dipertemukan kembali di sebuah rumah sakit di Jerman tiga tahun yang lalu.Mutiara tak pernah tahu bahwa Nicho memiliki penyakit mematikan yang perlahan menggerogoti tubuh dan mempersingkat usianya.Pertemuan mereka di Jerman tiga tahun yang lalu pun seolah tak pernah mengungkap itu.Mutiara seringkali menaruh curiga pada pacarnya karena kian hari tubuh Nicho semakin kurus dan selalu pucat. Ia pun tak pernah menebak dan mendiagnosa bahwa itu adalah kanker otak.---Wajah Nich