*Sego tiwul = nasi tiwul, olahan pengganti nasi yang terbuat dari tepung gaplek. Gaplek adalah singkong yang dikeringkan lalu ditumbuk. *Guyub = kebersamaan. *Sampun = sudah
Puluhan tahun bergabung dan menjadi sekretaris pribadi keluarga Pak Ali juga sekaligus sebagai teman bermain kedua anaknya, Aini tak pernah sekalipun melihat Motaz selinglung, sekosong dan sehampa itu.Aini tak tahu benar apa yang dirasakan Motaz, bisa jadi karena rasa bersalah pada Mutiara karena tidak ada disana ketika istrinya sangat membutuhkannya. Bisa jadi karena dirinya merasa menjadi tak berguna disaat seseorang yang sangatd dekat dengannya disaat-saat genting.Keduanya terdengar memang sama saja. Tapi yang kedua, mungkin perasaan itu yang lebih besar dirasakan Motaz sekarang. Ia yang tak pernah setengah-setengah membantu orang dan selalu memberikan yang terbaik bagi orang terdekatnya, berusaha keras membuat orang terdekatnya bahagia namun di situasi seperti ini ia sama sekali tidak bisa diandalkan. "Nenek dari istri Pak Motaz meninggal dunia semalam, Bapak-bapak. Saya mohon keleluasaan hati Bapak-bapak sekalian untuk ikut mendoakan. Namanya Nek Sugi." Ucap Aini di depan par
Motaz menatap sebuah rumah reot yang terbuat dari anyaman bambu. Ia pun tak tahu mengapa tiba-tiba ia berada di sana. Seingatnya, terakhir kali ia berada di dalam sebuah pesawat dan pesawat itu...Pesawat itu mengalami kecelakaan. Motaz mengerjap, memegang kepalanya lalu menoleh kanan dan kiri.Menatap sekeliling yang kabur. Semuanya kabur, ada beberapa rumah tetapi tak jelas. Mata Motaz masih sehat, kalaupun ia mengalami miopi rasanya tidak sampai seburuk itu.Lagi pula, kenapa rumah lain buram sementara rumah bambu itu sangat amat jelas di matanya?Apa yang terjadi sampai ia berada di sana?Rumah itu tidak asing, dan suara teriakan di dalam sana pun Motaz benar-benar mengenalnya. Tetapi mengapa ia di sana?Sesaat kemudian ia tersentak saat seseorang keluar dari rumah itu. Motaz mundur selangkah lalu mengernyit. "Itu Muti..""Kenapa Muti keluar dari rumah itu? Kenapa Muti berteriak? Kenapa Muti bisa ada di sana juga?"Pertanyaan-pertanyaan itu hanya ada di dalam kepala Motaz, mulutnya
Sepeninggal Ayu, Mutiara termenung sendirian di dalam kamar yang menyimpan banyak memori masa kecilnya itu. Meski telah banyak berubah, tapi Mutiara tetap bisa merasakan himpitan kesusahan melalui tumpukan-tumpukan baju yang tercerai berai di dalam lemari itu.Baju lusuh yang baunya bercampur-campur menguar dari dalamnya. Terutama dari lemari berisi baju para lelaki tak tau diri itu."Sebenarnya apa yang dilakukan Bagas dan Bapak sampai mbahe begitu marahnya? Seberapa parah kelakuannya?" Gumam Mutiara sendirian.Mutiara beranjak dari tidurnya, lalu mendekati lemari portabel yang berisi baju-baju mbahe, terlipat rapi dan bersih. Kontras sekali dengan lemari di samping. Pasti Bulek Nunik yang merapikan lemari Mbahe ini. Pikirnya.Mutiara mengambil satu baju milik Mbah Sugi. Baju kebaya khas jawa berbahan tipis dan biasanya simbah selalu memakai stagen yang katanya untuk mengencangkan perut. Selain itu bisa berfungsi juga sebagai tempat penyimpanan. Uang misalnya, atau benda-benda kecil
"Wedhokan asu!! Balekke!"Mutiara berjengit lantas mengernyit. Ia bukan terkejut dengan bentakan dan hardikan kasar itu. Bukan, sebab ia sudah terbiasa mendengar umpatan itu. Ia sudah terbiasa mungkin sejak ia bayi mendengar kata-kata kasar itu.Bukan itu yang membuat Mutiara terkejut.Penampakan Bagas-lah yang membuatnya terkejut. Bagas bukan cuma mabuk, Bagas sedang sakaw. Tubuhnya yang gemetar, muntah, matanya merah berair dan berkeringat banyak lebih menarik perhatian Mutiara.Naluri Mutiara sebagai dokter menariknya untuk mendekati Bagas dan memegang dahi laki-laki itu, tapi sergapan Bagas yang masih kuat membuat Mutiara limbung.Semua wanita di dapur yang menyaksikan itu berteriak. "Nduk Muti...""Kowe sopo? Kowe sopo wani-wanine demok aku? Wedhokan asu! Balekke hapeku! Kuwi nggonaku!!" Bagas menggeram kasar dan lantang, meski tersendat-sendat. (Kamu siapa? Kamu siapa berani-beraninya menyentuhku? Perempuan asu! Kembalikan ponselku! Itu punyaku!)Tangannya menarik kasar baju bagi
"Saya terima nikah dan kawinnya Mutiara Dikromo binti Bagus Dikromo dengan mas kawin seperangkat emas 24 karat lima puluh gram dan uang dua puluh juta rupiah dibayar tunai." Dalam sekali tarikan napas, Motaz mengucapkan dengan lantang dan lancar janji itu. Sempat mengernyit sepersekian detik saat nama yang tidak asing itu ia sebutkan. Bagus Dikromo. "SAH... SAH.." Suara dari para saksi lantang. Akhirnya Motaz menyandang status menikah. Juga status di tanda pengenalnya sudah bisa diubah dengan status 'Kawin'. Menikahi seorang Mutiara baginya lebih kepada kewajiban yang harus ditunaikan. Siapa yang menyangka dia akan menikahi wanita yang seharusnya menjadi calon adik iparnya sendiri? Motaz, lelaki campuran Indonesia- Jerman, Turki yang kini menjadi suami sah dari Mutiara. Ibunya adalah wanita campuran Jerman dan Turki, sedangkan darah Indonesia mengalir dari ayahnya. Laki-laki berparas tegas dengan cambang dimana-mana itu adalah seorang direktur di rumah sakit ditempat Mutiara beke
Namanya Ara. Nama lengkapnya Mutiara. Hanya satu kata itu namanya. Nama yang cantik secantik orangnya. Pacar Nicho itu seorang dokter bedah saraf yang bekerja di sebuah rumah sakit besar di perkotaan.Dokter wanita lulusan Jerman yang sangat cerdas dan detail itu menarik hati Nicho sejak kali pertama mereka bertemu puluhan tahun yang lalu. Puluhan tahun lalu tepatnya ketika Mutiara memutuskan kabur dari kampungnya saat usianya 18 tahun.Pertemuan mereka cukup lucu dan singkat. Setelah itu mereka berpisah lama dan dipertemukan kembali di sebuah rumah sakit di Jerman tiga tahun yang lalu.Mutiara tak pernah tahu bahwa Nicho memiliki penyakit mematikan yang perlahan menggerogoti tubuh dan mempersingkat usianya.Pertemuan mereka di Jerman tiga tahun yang lalu pun seolah tak pernah mengungkap itu.Mutiara seringkali menaruh curiga pada pacarnya karena kian hari tubuh Nicho semakin kurus dan selalu pucat. Ia pun tak pernah menebak dan mendiagnosa bahwa itu adalah kanker otak.---Wajah Nich
"Kamu yakin kamu nggak apa-apa? Kamu pucat banget, Yang.. Kapan terakhir kamu check up?" Tanya Mutiara yang semakin cemas dengan wajah pucat pacarnya itu.Mutiara selalu mengingatkan untuk rutin check up setiap bulan karena kepadatan jadwal syuting Nicho. Aktivitas yang padat dan terkadang lokasi syuting yang berpindah-pindah membuat Mutiara khawatir akan kesehatan Nicho.Apalagi dilihat postur tubuh Nicho yang semakin hari semakin kurus.Nicho selalu menggunakan baju hem lengan panjang dan kaos di dalamnya, terkadang memakai kaos turtle neck untuk menutupi bobot tubuhnya yang semakin kurus."Bulan kemarin aku check up. Aku sehat, Sayang. Cuma kecapekan aja ini." Jawab Nicho. Ia berusaha keras menahan sakit kepalanya dan menahan tangannya aga tak bergerak mencengkeram kepala."Ya udah kalau gitu pulang aja. Souvenir nikahan biar aku sendiri yang cari. Nggak apa-apa, kan?""Kamu nggak apa-apa sendiri?"Nicho setengah bersyukur dalam hati karena Mutiara mengajaknya pulang. Ia sudah bena
Motaz merasa kehidupan normal keluarganya ikut terenggut saat Nicho mulai dijatuhi vonis kanker otak dan kehidupan beberapa bulan lagi.Walaupun ia yakin dan mantap bahwa pemilik keputusan mutlak soal nyawa manusia tetap berada di tangan Tuhan, ia tak menampik, ia tak munafik bahwa ia juga resah memikirkan vonis itu.Motaz juga seorang dokter, akan tetapi tiga tahun terakhir ia tak menggunakan kemampuan medisnya lagi untuk bertatap muka langsung dengan pasien, sebab ia dipilih sang ayah untuk ikut terlibat mengurusi managemen rumah sakit.Motaz mengerti benar kondisi adiknya itu dan bagaimana kanker jahat itu dengan cepat menyebar dan merenggut secara perlahan kemampuan motorik Nicho.Senyuman di rumah itu seolah ikut hanyut bersama deraan rasa sakit yang diderita Nicho. Pun ia sendiri cenderung jarang memikirkan diri sendiri. Hari ke hari Motaz hanya dipenuhi oleh pekerjaan dan memastikan adiknya baik-baik saja.Begitu pula orang tuanya. Semua berpusat pada Nicho.Dan hari itu, ia di