Share

Chapter 5. Galak

Sementara itu di Rumah Sakit Leiden. Tampak seorang pemuda berjalan menuju kamar 24b. Setelah sebelumnya telah membayar semua administrasi Rumah Sakit. Pemuda itu tampak begitu bahagia. Di kamar 24b seorang wanita sedang membereskan baju dan memasukkannya ke dalam tas.

"Bibi Dennisa, sudah siap pulang?" Alex tersenyum.

"Bibi sudah siap, Tuan Muda." Wanita tua itu tersenyum.

"Baiklah, ayo kita pulang, Bi." Alex memapah wanita tua itu keluar dari kamar rawat inapnya.

"Terima kasih, tuan muda sudah mau menolong dan merawat Bibi," ucap bibi Dennisa.

"Ah, tidak masalah, Bi. Justru aku yang harus berterima kasih pada bibi karena sudah mau merawatku dan juga Irish setelah Ayah Ibu meninggal. Bagiku bibi sudah seperti orang tua kedua bagi kami berdua." Alex tersenyum.

"Tuan muda, bolehkah bibi meminta satu permintaan ...." pinta Dennisa.

"Permintaan apa itu, Bi?" tanya Alex.

"Tolong antar bibi ke makam tuan dan nyonya besar sekarang."

"Dengan senang hati akan aku antar." Alex menyalakan mesin mobilnya dan segera meluncur ke pemakaman kota Leiden.

Setelah dari pemakaman, Alex langsung mengantar Dennisa pulang. Mobil melaju pelan dan berhenti di sebuah cafe dan Alex mampir ke cafe itu. Dia ikut mengantri di barista, tepatnya di belakang seorang gadis yang menurutnya sangat familiar, tapi dia lupa di mana pernah bertemu dengan gadis itu.

Gadis itu memesan dua cup Vanilla late. Alex terus memperhatikan gadis itu, yang tengah sibuk dengan tasnya, merogoh sesuatu di dalam tasnya.

"Sepertinya aku melupakan dompetku." Gadis itu menepok jidatnya, "Maaf, aku tidak jadi membeli vanilla latenya," imbuh gadis itu.

"Maaf Nona, ambil saja vanilla late itu." Alex berbicara pada gadis di depannya sambil menunjuk dua cup vanilla late yang sudah di bungkus.

"Ta-tapi aku lupa membawa dompetku."

"Tidak perlu khawatir, biar aku yang membayarnya."

"Ah, terima kasih," ujar gadis itu tersenyum manis. 

"Saya pesan Cappucino dan Chocolatte Oranje. Masukan semua tagihannya kesini, termasuk pesanan gadis tadi." Alex menyodorkan kartu kredit.

"Sekali lagi terima kasih, aku akan menggantinya nanti," ucap gadis itu.

"Tidak perlu, anggap saja itu permintaan maaf dariku karena tempo hari hampir saja menabrakmu." Alex teringat kejadian saat itu.

"Ah, kejadian pada saat itu ya, tapi maaf, aku sedang buru-buru. Seseorang sedang menungguku. Sekali lagi terima kasih untuk vanilla latenya." Gadis itu melambaikan tangannya dan membungkuk. Alex membalas lambaian tangan dari gadis itu.

"Kenapa aku selalu lupa menanyakan namanya," beonya pelan sambil menepuk jidatnya sendiri.

"Tuan, ini pesanan anda." Pelayan cafe menyodorkan dua cup minuman hangat pada Alex.

"Terima kasih!"

.

Ayana melangkah sambil bersenandung pelan menuju tenda ramen yang tidak jauh dari cafe tadi. Terlihat sahabatnya itu bertopang dagu dengan bibir sedikit maju.

"Kenapa kau lama sekali?" protes Irish.

"Ini ...." Ayana menyodorkan secup latte hangat.

"Ini ramenmu, makanlah mumpung masih hangat." Irish menyodorkan semangkuk mie hangat pada Ayana.

"Dank je wel, Irish," kata Ayana masih terus senyam-senyum. Irish langsung memegang jidat sahabatnya itu.

"Ya kau sakit?" tanya Irish. Ayana memakan ramennya sambil menggelengkan kepalanya, "Aku sehat kok, tidak sakit!"

"Lalu kenapa senyam-senyum seperti itu terus?" Irish penasaran.

"Hey, biarkan aku menikmati makananku dulu ya," protes Ayana.

"Ya ... ya ... ya ...." Irish memutarkan bola matanya.

"Aku tadi ketemu dengan seorang pemuda." Ay membuka pembicaraan.

"Uhuukk!" Irish tersedak, "Siapa? Hendrick?" tanya Irish.

"Tentu saja bukan dia!" jawab Ay.

"Lalu siapa?"

"Tidak tahu!"

"Kau tidak menanyakan namanya?" Irish antusias.

"Aku sendiri juga belum tahu namanya, bahkan tidak senpat menanyakan namanya. Kenapa aku bego sekali.

"Ya sudahlah, tidak jadi kepo kalau begitu. Ayo, kita pulang!" Irish beranjak dari tempat duduknya.

"Eh, aku belum bayar!"

"Sudah aku bayar semuanya, Ay."

"Ah, untung saja." Ay tertawa.

"Kenapa memangnya?" Irish berjalan keluar tenda.

"Aku lupa membawa dompet hahaha ...." Ay tertawa nyengir.

"Huuu ... dasar, kebiasaan burukmu itu. Ayo pulang ke rumah."

❣❣❣

Drrttt ... Drttt ....

Ponsel Irish bergetar kuat, diraihnya ponsel yang ada di samping komputer, dilihatnya nomor yang tidak dia kenal terpampang di layar ponselnya. Digesernya tombol hijau itu.

"Hey, Nona Irish, tolong buatkan aku coklat hangat sekarang!" tuutt ... sambungan langsung terputus.

Irish bengong menatap layar ponselnya kemudian matanya beralih ke ruang bos besarnya itu. Terlihatlah Benjamin tengah menatapnya dan segera memberi aba-aba untuk segera ke pantry.

"Memangnya aku ini pembantunya apa! Seenak jidatnya mengatur orang sembarangan!" Irish mengomel-omel sendiri di pantry sambil mengaduk-aduk coklat.

Segeralah diantarkannya coklat hangat itu ke ruangan bos besar.

"Ini coklat Anda, Pak!" ujar Irish ketus menyodorkannya ke meja.

"Sepertinya kau tidak ikhlas membuatnya?" tatapan Ben tajam.

"Bukankah Bapak punya sekretaris, kenapa selalu menyuruhku?" balasnya menatap sengit Ben.

"Aku tidak suka kata penolakan!" tegas Ben.

"Egois! Lalu bagaimana kalau aku menolak perintah Anda?" tantang Irish.

"Kau menantangku?" Ben mendekati Irish, menarik tangannya dan tanpa memberi sedikit pun ruang bergerak untuk Irish. Ben pun langsung mencium bibirnya. Irish berusaha melepaskannya, mendorong dada Ben. Namun, apa daya tangan Ben mendekap tubuhnya sangat kuat. Semakin erat tangan kirinya memegang kepala gadis itu. Memejamkan matanya. Begitu lama dan lembut bermain di bibir gadis itu.

Tokk ... Tokk ... Tokk ....

Suara ketukan pintu membuat Ben melepaskan tautannya di bibir Irish dan mengatur napasnya pelan.

Plaakkk ....

Namun, tamparan keras mendarat di pipi kiri Ben. Irish pun langsung keluar ruangan berpapasan dengan sekretaris pribadi perusahaan tersebut.

"Tuan muda, rapat akan segera di mulai," kata sekretaris itu.

"Pergilah terlebih dahulu. Aku akan segera menyusul ke ruang rapat!" Ben memegang pipi kirinya.

"Baiklah tuan muda, saya permisi dulu." Pria tua itu meninggalkan ruangan itu.

"Ternyata kau masih liar! Baiklah lihat saja nanti, kau akan kujinakkan!" ucap Ben mengelus pipi kirinya yang masih terasa panas karna tamparan itu.

Benjamin meraih jasnya dan membenarkan kancing-kancingnya. Dia segera keluar dari ruangannya, berdiri di ambang pintu dan matanya menatap kubikel daerah bagian belakang. Tampak seorang gadis tengah sibuk dengan pekerjaannya. Gadis yang baru saja dia cium tadi di ruangannya. Ben tersenyum smirk dengan tatapannya yang belum bisa beralih dari sosok Irish van Willem. 

Kembali sepasang mata itu saling beradu. Terlihat sangat berbeda dari sorotan mata Ben dan Irish. Sorot mata Irish begitu membenci Ben, sedangkan berbeda dengan  Ben. Dia seperti mulai tertarik pada Irish.

Setelah kejadian itu keadaan semakin membuat Irish merasa canggung dan tidak nyaman. Akankah gadis itu betah kerja di sana? Apakah akan ada pertemuan lagi antara Ay dan pemuda itu? Bagaimana nasib Hendrick? Apakah akan ada yang merasa tersaingi ketika bos besar mulai mendekati Irish?

See you on next chapter,

To be continue,

Cheezyweeze

Jangan lupa baca cerita ku yang lainnya dengan judul 2.59 dan Brittleness. Jangan lupa nyalakan bintang Kejora juga.

| 1

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status