Sementara itu di Rumah Sakit Leiden. Tampak seorang pemuda berjalan menuju kamar 24b. Setelah sebelumnya telah membayar semua administrasi Rumah Sakit. Pemuda itu tampak begitu bahagia. Di kamar 24b seorang wanita sedang membereskan baju dan memasukkannya ke dalam tas.
"Bibi Dennisa, sudah siap pulang?" Alex tersenyum.
"Bibi sudah siap, Tuan Muda." Wanita tua itu tersenyum.
"Baiklah, ayo kita pulang, Bi." Alex memapah wanita tua itu keluar dari kamar rawat inapnya.
"Terima kasih, tuan muda sudah mau menolong dan merawat Bibi," ucap bibi Dennisa.
"Ah, tidak masalah, Bi. Justru aku yang harus berterima kasih pada bibi karena sudah mau merawatku dan juga Irish setelah Ayah Ibu meninggal. Bagiku bibi sudah seperti orang tua kedua bagi kami berdua." Alex tersenyum.
"Tuan muda, bolehkah bibi meminta satu permintaan ...." pinta Dennisa.
"Permintaan apa itu, Bi?" tanya Alex.
"Tolong antar bibi ke makam tuan dan nyonya besar sekarang."
"Dengan senang hati akan aku antar." Alex menyalakan mesin mobilnya dan segera meluncur ke pemakaman kota Leiden.
Setelah dari pemakaman, Alex langsung mengantar Dennisa pulang. Mobil melaju pelan dan berhenti di sebuah cafe dan Alex mampir ke cafe itu. Dia ikut mengantri di barista, tepatnya di belakang seorang gadis yang menurutnya sangat familiar, tapi dia lupa di mana pernah bertemu dengan gadis itu.
Gadis itu memesan dua cup Vanilla late. Alex terus memperhatikan gadis itu, yang tengah sibuk dengan tasnya, merogoh sesuatu di dalam tasnya.
"Sepertinya aku melupakan dompetku." Gadis itu menepok jidatnya, "Maaf, aku tidak jadi membeli vanilla latenya," imbuh gadis itu.
"Maaf Nona, ambil saja vanilla late itu." Alex berbicara pada gadis di depannya sambil menunjuk dua cup vanilla late yang sudah di bungkus.
"Ta-tapi aku lupa membawa dompetku."
"Tidak perlu khawatir, biar aku yang membayarnya."
"Ah, terima kasih," ujar gadis itu tersenyum manis.
"Saya pesan Cappucino dan Chocolatte Oranje. Masukan semua tagihannya kesini, termasuk pesanan gadis tadi." Alex menyodorkan kartu kredit.
"Sekali lagi terima kasih, aku akan menggantinya nanti," ucap gadis itu.
"Tidak perlu, anggap saja itu permintaan maaf dariku karena tempo hari hampir saja menabrakmu." Alex teringat kejadian saat itu.
"Ah, kejadian pada saat itu ya, tapi maaf, aku sedang buru-buru. Seseorang sedang menungguku. Sekali lagi terima kasih untuk vanilla latenya." Gadis itu melambaikan tangannya dan membungkuk. Alex membalas lambaian tangan dari gadis itu.
"Kenapa aku selalu lupa menanyakan namanya," beonya pelan sambil menepuk jidatnya sendiri.
"Tuan, ini pesanan anda." Pelayan cafe menyodorkan dua cup minuman hangat pada Alex.
"Terima kasih!"
.
Ayana melangkah sambil bersenandung pelan menuju tenda ramen yang tidak jauh dari cafe tadi. Terlihat sahabatnya itu bertopang dagu dengan bibir sedikit maju.
"Kenapa kau lama sekali?" protes Irish.
"Ini ...." Ayana menyodorkan secup latte hangat.
"Ini ramenmu, makanlah mumpung masih hangat." Irish menyodorkan semangkuk mie hangat pada Ayana.
"Dank je wel, Irish," kata Ayana masih terus senyam-senyum. Irish langsung memegang jidat sahabatnya itu.
"Ya kau sakit?" tanya Irish. Ayana memakan ramennya sambil menggelengkan kepalanya, "Aku sehat kok, tidak sakit!"
"Lalu kenapa senyam-senyum seperti itu terus?" Irish penasaran.
"Hey, biarkan aku menikmati makananku dulu ya," protes Ayana.
"Ya ... ya ... ya ...." Irish memutarkan bola matanya.
"Aku tadi ketemu dengan seorang pemuda." Ay membuka pembicaraan.
"Uhuukk!" Irish tersedak, "Siapa? Hendrick?" tanya Irish.
"Tentu saja bukan dia!" jawab Ay.
"Lalu siapa?"
"Tidak tahu!"
"Kau tidak menanyakan namanya?" Irish antusias.
"Aku sendiri juga belum tahu namanya, bahkan tidak senpat menanyakan namanya. Kenapa aku bego sekali.
"Ya sudahlah, tidak jadi kepo kalau begitu. Ayo, kita pulang!" Irish beranjak dari tempat duduknya.
"Eh, aku belum bayar!"
"Sudah aku bayar semuanya, Ay."
"Ah, untung saja." Ay tertawa.
"Kenapa memangnya?" Irish berjalan keluar tenda.
"Aku lupa membawa dompet hahaha ...." Ay tertawa nyengir.
"Huuu ... dasar, kebiasaan burukmu itu. Ayo pulang ke rumah."
❣❣❣Drrttt ... Drttt ....
Ponsel Irish bergetar kuat, diraihnya ponsel yang ada di samping komputer, dilihatnya nomor yang tidak dia kenal terpampang di layar ponselnya. Digesernya tombol hijau itu."Hey, Nona Irish, tolong buatkan aku coklat hangat sekarang!" tuutt ... sambungan langsung terputus.
Irish bengong menatap layar ponselnya kemudian matanya beralih ke ruang bos besarnya itu. Terlihatlah Benjamin tengah menatapnya dan segera memberi aba-aba untuk segera ke pantry.
"Memangnya aku ini pembantunya apa! Seenak jidatnya mengatur orang sembarangan!" Irish mengomel-omel sendiri di pantry sambil mengaduk-aduk coklat.
Segeralah diantarkannya coklat hangat itu ke ruangan bos besar.
"Ini coklat Anda, Pak!" ujar Irish ketus menyodorkannya ke meja.
"Sepertinya kau tidak ikhlas membuatnya?" tatapan Ben tajam.
"Bukankah Bapak punya sekretaris, kenapa selalu menyuruhku?" balasnya menatap sengit Ben.
"Aku tidak suka kata penolakan!" tegas Ben.
"Egois! Lalu bagaimana kalau aku menolak perintah Anda?" tantang Irish.
"Kau menantangku?" Ben mendekati Irish, menarik tangannya dan tanpa memberi sedikit pun ruang bergerak untuk Irish. Ben pun langsung mencium bibirnya. Irish berusaha melepaskannya, mendorong dada Ben. Namun, apa daya tangan Ben mendekap tubuhnya sangat kuat. Semakin erat tangan kirinya memegang kepala gadis itu. Memejamkan matanya. Begitu lama dan lembut bermain di bibir gadis itu.
Tokk ... Tokk ... Tokk ....Suara ketukan pintu membuat Ben melepaskan tautannya di bibir Irish dan mengatur napasnya pelan.Plaakkk ....
Namun, tamparan keras mendarat di pipi kiri Ben. Irish pun langsung keluar ruangan berpapasan dengan sekretaris pribadi perusahaan tersebut.
"Tuan muda, rapat akan segera di mulai," kata sekretaris itu.
"Pergilah terlebih dahulu. Aku akan segera menyusul ke ruang rapat!" Ben memegang pipi kirinya.
"Baiklah tuan muda, saya permisi dulu." Pria tua itu meninggalkan ruangan itu.
"Ternyata kau masih liar! Baiklah lihat saja nanti, kau akan kujinakkan!" ucap Ben mengelus pipi kirinya yang masih terasa panas karna tamparan itu.
Benjamin meraih jasnya dan membenarkan kancing-kancingnya. Dia segera keluar dari ruangannya, berdiri di ambang pintu dan matanya menatap kubikel daerah bagian belakang. Tampak seorang gadis tengah sibuk dengan pekerjaannya. Gadis yang baru saja dia cium tadi di ruangannya. Ben tersenyum smirk dengan tatapannya yang belum bisa beralih dari sosok Irish van Willem.
Kembali sepasang mata itu saling beradu. Terlihat sangat berbeda dari sorotan mata Ben dan Irish. Sorot mata Irish begitu membenci Ben, sedangkan berbeda dengan Ben. Dia seperti mulai tertarik pada Irish.
Setelah kejadian itu keadaan semakin membuat Irish merasa canggung dan tidak nyaman. Akankah gadis itu betah kerja di sana? Apakah akan ada pertemuan lagi antara Ay dan pemuda itu? Bagaimana nasib Hendrick? Apakah akan ada yang merasa tersaingi ketika bos besar mulai mendekati Irish?See you on next chapter,To be continue,Jangan lupa baca cerita ku yang lainnya dengan judul 2.59 dan Brittleness. Jangan lupa nyalakan bintang Kejora juga.
Lima tahun kemudian. Marky mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Dia mengendarai mobil sambil bersiul riang. Sepertinya keadaan hati pemuda berwajah tampan itu sedang bahagia. Marky menghentikan mobilnya di sebuah toko buah. "Wah, kau selalu datang tepat waktu," ucap seorang pria. Marky mengangguk dan melangkah menghampiri pria tersebut. "Buah Strawberry dari kebunmu ludes terjual. Apa kau bisa mengirimnya lagi hari ini?" kata Larry. "Tentu saja," jawab Marky singkat. "Aku akan meminta mereka untuk mengirim buah Strawberry nanti sore." Setelah itu dia melanjutkan lagi perjalanannya menuju ke sebuah Dessert Cafe. "Nak Marky, akhirnya kau datang juga." Seorang wanita yang biasa dipanggil oleh Marky dengan sebutan Bibi Luna. "Bibi Luna pasti menungguku." Marky terlihat sangat percaya diri.
Tiga bulan kemudian. Sebuah keluarga akan sangat sempurna jika ditambah dengan kehadiran buah hati. Itulah yang sedang dirasakan oleh keluarga Van De Haan. Tuan Robi dan Nyonya Elaine ikut berbahagia dengan kelahiran si kembar Shane dan Daisy Van Willems. Kedua bayi kembar itu tumbuh sehat. Keduanya sudah mulai bisa menengkurapkan tubuhnya dan sudah bisa diajak bercanda. Tuan Robi dan Nyonya Elaine benar-benar merasakan menjadi seorang Kakek dan Nenek. Mereka sudah menganggap Alexander dan Ayana seperti anak-anak mereka sendiri. Benar-benar tidak bisa dipungkiri kehadiran bayi kembar itu membuat suasana rumah menjadi sangat ramai. Satu bayi menangis dan satu bayi lagu ikut menangis. Tangisan mereka saling bersahutan. Pagi itu tampak Tuan Robi dan Nyonya Elaine sedang duduk di ruang tengah. Sedangkan Ayana masih menyusui Daisy yang ada dalam gendongannya. Alex sibuk menggendon
David Janssen, Hendrick Smit, dan Grace Van Dirk masih menjalani masa tahanan mereka. Di dalam lingkungan penjara David harus sering bertemu dengan Hendrick dan Grace, akan tetapi David lebih sering menjaga jarang dengan mereka berdua. Sama halnya dengan hari itu, hari di mana David baru saja dikunjungi oleh Benjamin dan Irish. David mendapat banyak cemilan dari Ben dan makanan favorit yang dimasakan oleh Irish sendiri, sedangkan sebungkus rokok yang diberi oleh Benjamin, dia berikan pada seseorang. Ya, seseorang itu adalah polisi keamanan yang selalu mengawasinya. "Pak Martijn, tadi ada yang mengunjungiku. Dia memberiku ini, tapi aku sudah berhenti merokok." David memberikan sebungkus rokok itu pada pria itu. "Apa aku harus menerimanya?" tanyanya. "Terimalah ini dan apa Pak Martijn juga ingin makan cemilan?" David kembali menyodorkan sebuah kantung plastik. "Ah, cemilan itu untukmu.
Empat bulan kemudian. Alexander tampak resah gelisah tidak menentu. Dia merasa hatinya sedang gundah gulana dan rasanya itu seperti permen Nano-Nano. Tampak di samping Alex, Irish yang sedang duduk mengusap berkali-kali kandungannya yang sudah berumur enam bulan. Sesekali Irish merasakan gerakan bayi yang ada di dalam perutnya. Benjamin yang berada di samping Irish ikut merasakan ketegangan. Pria berlesung pipi yang tengah duduk di kursi besi itu masih terus menebarkan aura gundah gulana. Kakinya terus bergerak tidak bisa diam hingga menimbulkan bunyi. Nyit ... nyit ... nyitt! "Kak, kau ini bisa tenang sedikit tidak?" keluh sang adik. Irish yang duduk di sampingnya ikut terkena getarannya dari kaki Alex. Alex menghela napas. "Kakak mana bisa tenang dalam keadaan seperti
Irish membuka matanya dan terbangun dari tempatnya. Dia menyebarkan pandangannya ke sekitar tempat tersebut. Semua yang Irish lihat serba berwarna putih bahkan dirinya pun mengenakan baju berwarna putih. "Di mana aku? Apakah aku sudah mati?" lirihnya pelan. Dia tampak bingung dengan keadaan sekitar dan dia juga merasa asing berada di tempat tersebut. Tak ada satu orang pun di sana bahkan dia tidak melihat Benjamin, Alexander, ataupun Ayana. Irish mencoba bangkit dan ingin mencari tahu tempat tersebut. Namun, dia dikejutkan dengan sebuah cahaya putih yang sangat menyilaukan mata. Irish mengangkat kedua tangannya untuk melindungi matanya dari cahaya tersebut. Irish tampak menyipitkan matanya di tengah-tengah cahaya putih yang semakin mendekat ke arahnya. Dia berusaha melihat sesuatu di depan sana. Sesuatu yang masih samar-samar dalam penglihatannya, akan tetapi bergerak mendekat ke arah
Alex berjalan cepat sambil menempelkan benda pipih di telinganya, berharap panggilan itu ada yang menjawabnya. "Kau di mana?" ujar Alex saat panggilan itu terjawab. "Aku sedang berada di pinggir jalan, sedang menung——" Suara terjeda cukup lama .... "Aarghh!" Terdengar suara teriakan nyaring dari seberang sana. Suara yang tidak asing di telinga Alex. Ya, itu adalah suara teriakan dari Ayana. Alex yang mendengarkan teriakan itu seketika menghentikan langkahnya dan wajahnya langsung berubah menunjukkan kepanikan yang luar biasa. "Ay!" teriaknya. "Halo Ayana! Kau kenapa? Halo!" Alex mengecek layar ponselnya, dia melihat panggilan telepon masih tersambung. Alex berteriak sekali lagi melalui sambungan benda pipih itu. "Ay! Kau masih di sana kan? Jawablah!" Raut mukanya begitu sangat
Warna gelap menyelimuti langit, gemerlap bintang muncul satu-persatu. Semilir angin malam bertiup sepoi-sepoi dan cahaya bulan membawa warna sendiri di langit malam yang sendu. Sepasang mata masih saling beradu pandang. Berdiam diri tanpa sedikit pun cuitan di antara keduanya. Salah satu memang harus ada yang mengalah untuk meredakan semuanya. "Benjamin, apa aku boleh menginap di rumah Bibi Dennisa untuk sementara," pinta Irish dengan nada memohon. Atensi itu membuat Benjamin menggelengkan kepalanya. "Tidak ... tidak boleh," sergah Benjamin. "Hanya sementara saja. Aku hanya ingin menenangkan diri," ucap Irish sendu. Benjamin terdiam melihat tatapan sendu dari mata Irish. Dia tak mampu membalasnya. Benjamin terlihat mengusap wajahnya dengan kasar, terlihat sekali dia tampak bingung dan frustrasi. "Istirahatlah dulu." Ben berdiri dari kursinya dan hendak melangkah, aka
Hari itu, hari di mana suasana masih dibilang pagi sekitar pukul 09.00 am dan sudah terjadi keributan di sebuah perusahaan besar. Sebuah keributan yang membuat pegawai perusahaan tersebut saling berbisik-bisik antara satu dengan lainnya dan bisa ditebak bisik-bisik itu begitu cepat menyebar hingga lantai atas. Entah mereka memperbincangkan siapa? "Benjamin Van De Haan!" teriak seorang wanita saat pintu lift terbuka. "Kau pikir setelah ini hidupmu akan tenang hah!" Wanita itu berusaha memberontak untuk melepaskan diri dari genggaman tangan Hunter. Namun, genggaman tangan Hunter lebih kuat. Benjamin tidak mengindahkan omongan Grace, pria itu bergegas keluar dari lobi perusahaan. Terlepas dari itu, Benjamin segera membawa sang istri ke rumah sakit dengan di antar oleh Marky. Setelah sampai di rumah sakit, Irish langsung mendapat penanganan khusus dari para dokter. "Baga
Rumahku adalah istanaku, begitulah kata pepatah. Saat itulah yang dirasakan oleh Ayana. Akhirnya dia bisa bernapas dengan lega tanpa harus membayangkan jika dia dan suaminya sedang dimata-matai. Walaupun pada saat itu juga Alex menyuruh orang-orangnya untuk memeriksa seisi rumah, jikalau ada kamera tersembunyi yang memantau aktivitas mereka dan ternyata hasilnya nihil. Tak satu pun dari mereka menemukan kamera tersembunyi. Pria dengan lesung pipi itu langsung beratensi jika istrinya dalam bahaya. "Bagaimana dengan tidur malam mu? Apakah kalian tidur nyenyak?" Benjamin menarik kursi dan langsung duduk. "Sangat nyenyak," ucap Ayana tersenyum lega. "Syukurlah ...." Irish membawa sepiring roti panggang dari dapur. "Di mana Alex?" Benjamin terlihat menoleh kanan dan kiri. "Dia sedang menelepon seseorang," jawab Ayana menunjuk ke arah ruang tengah. Tak lama setelah itu, Al