Share

Chapter 4. Fight Against Fate

Irish duduk disofa menyilangkan kaki, matanya menatap televisi di depannya dengan tangan memegang remote dan sedikit cemilan di sampingnya. Namun  pikiran gadis itu entah melayang ke mana. Menekan remote TV secara bergantian, mengganti dari channel satu ke channel lainnya. Entah apa yang dicari gadis itu, sepertinya dia tidak fokus menonton acara TV.

"Arrgghh!" teriaknya mengagetkan sang kakak yang sedang fokus membaca di belakangnya.

"Kau ini kenapa sih, teriak-teriak tidak jelas seperti itu!" Alex membalikkan badannya melihat sang adik mengacak-acak rambutnya sendiri.

"Kaak!" teriaknya sambil menutupi wajahnya dengan bantal sofa.

"Iya ada apa, Irish sayang?" jawab Alex

"Kakaak!" teriakannya lebih kencang lagi.

"Iya ... iya ... ada apa?" Alex beranjak mendekati adiknya dan memegang jidatnya.

"Apaan sih, kak!" Irish sedikit kesal.

"Siapa tahu jidatmu panas!" Alex terkekeh.

"Aku tidak sedang sakit, kak! Aku lagi bingung!" Irish histeris.

"Kalau bingung ya jongkok atau pegangan sesuatu," canda Alex.

"Kaaakk—aku sedang tidak ingin bercanda!" Irish membulatkan pipinya.

"Kenapa ... kenapa ... kenapa?" Alex berjalan menuju sofa dan duduk di sebelah Irish.

"Kakak masih ingat 'kan dengan pemuda yang aku ceritakan kemarin itu." Irish melirik ke arah Alex.

"Pemuda yang kau usir dari taksi itu?" Alex memandang Irish, "Kenapa dengan dia?"

"Dia itu anak yang empunya kantor tempat aku kerja," rajuk Irish dan otomatis Alex tertawa ngakak, "Yaa, kenapa kakak malah ketawa begitu sih?" Irish makin sangat kesal.

"Makanya jadi perempuan itu jangan galak-galak sama laki-laki. Kalau sudah seperti itu 'kan jadi canggung sama dia. Apalagi posisinya adalah atasanmu. Hati-hati loh nanti dia balas dendam," ledek Alex.

"Kakaakk! Jangan bercanda kenapa sih!" Irish melempar bantal sofa ke arah Alex.

"Ha ha ha ... itu muka jangan dilipat-lipat seperti itu, nanti jadi kusut mukamu. Hadapi dia dengan kepala dingin ya!" Alex mencubit pipi adiknya, "Kakak mau keluar sebentar, buruan sana mandi dulu. Anak gadis tidak boleh malas-malasan, pamali!" Alex berjalan ke pintu utama, memakai sepatu dan klik ... pintu otomatis terkunci sendiri.

"Arrgghh ... What can I do?" Irish menjatuhkan tubuhnya di sofa dan menutupi wajahnya dengan bantal sofa.

❣❣❣

Seorang gadis berjalan sendirian di trotoar, terlihat tampak lesu dan kurang semangat. Berjalan tanpa melihat keadaan sekelilingnya. Sampai di pertigaan jalan, dia hendak menyeberang.

Menyeberang pun dia tidak menoleh kanan atau pun kiri, sehingga terjadi sebuah insiden ketika dia hendak menyebrang.

.

Drrtt ... drrtt ....

"Hallo, Tuan Muda sekarang Anda ada di mana?" suara bibi Dennisa dari seberang sana.

"Aku sedang dalam perjalanan Bi, sebentar lagi sampai." Alex melajukan mobilnya.

"Baiklah Tuan Muda, Bibi akan menunggu."

"Terima ka—" Alex menginjak rem mendadak, ketika dirinya hampir saja menabrak seseorang.

"Astaga!" pekiknya.

"Tuan Muda, Anda kenapa?" tanya bibi Dennisa.

"Bi, nanti aka ku hubungi lagi. Bibi tunggu saja di situ." Alex menutup teleponnya dan keluar dari mobil. "Nona, apa Anda tidak apa-apa? Saya benar-benar minta maaf." Alex menghampiri gadis itu dan membantunya berdiri.

"A-aku tidak apa-apa. Justru aku yang harusnya meminta maaf, karena tidak menoleh kanan dan kiri ketika hendak menyeberang." Gadis itu tersenyum dan membungkuk hormat, kemudian pergi berlalu dari hadapan Alex dan Alex pun kembali masuk ke mobil dan melaju pelan.

Sesampai di rumah, Ayana langsung membasuh mukanya dan kemudian dia menatap cermin.

"Ada apa dengan diriku saat ini?" lirihnya bertanya pada dirinya sendiri. "Kenapa hari ini aku tidak fokus sama sekali, atau karena permasalahanku dengan Hendrick?" beonya.

"Mungkin aku hanya butuh istirahat saja. Aku akan mandi dan langsung pergi tidur, dengan begitu mungkin besok pagi moodku akan kembali seperti semula."

_Jujur saja, aku selalu mengeluh jika ada seseorang memintaku untuk melupakan seseorang yang sudah pernah mengisi hidupku. Sulit ... benar-benar sulit untuk kulakukan. Beberapa kali aku lebih sering menangis daripada mengiyakan yang lain. Tapi itu sulit, itu tidak mudah dan bagiku kenangan tentangnya akan terus terpahat rapi di memory ingatanku_

❣❣❣

Irish turun dari taksi dan melangkah masuk ke gedung. Menempelkan ID cardnya ke mesin absen dan berjalan menuju lift. Tampak sosok pemuda berjas hitam sedang menunggu di depan pintu lift, agak canggung untuk menyapanya, tapi apa boleh buat dia adalah bos besarnya.

"Selamat pagi, Pak Ben," sapa Irish dengan membungkukkan badannya.

"Ya, pagi juga" Ben menjawab dengan singkatnya salam dari Irish.

Tiingg ....

Pintu lift terbuka, Ben melangkah masuk ke dalam lift. Lama dia menunggu di dalam dan hampir pintu lift tertutup.

"Kau tidak masuk?" tanya Ben.

"Hah? Ah—tidak, bapak saja duluan." Irish sedikit cuek.

"Kenapa harus menunggu nanti, jika telat aku akan menghukummu. Cepat masuk!" perintah Benjamin van Dee Han. Irish langsung masuk lift menuju lantai tiga.

"Ah—Nona Irish, tolong buatkan aku secangkir kopi hangat dan bawa ke ruanganku, sekarang!" perintah Ben sebelum keluar dari lift.

"Baik, Pak!" Irish membulatkan pipinya.

Sabar Irish!' beonya di hati. Berjalan menuju kubikel dan melihat Ayana sedang bertopang dagu.

"Hallo, selamat pagi ...." sapanya.

"Oh ... selamat pagi juga." Ayana tersenyum.

"Kau kenapa? Masih memikirkan Hendrick?" tanyanya, "Sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Laki-laki seperti dia tidak baik untuk gadis baik sepertimu, Ay!" Irish berlalu dari hadapan Ayana.

"Eh, kau mau ke mana?" Ayana berdiri.

"Ke pantry, mau ikut?"

"Ikuutt ...." Ayana berlari menyusul Irish masuk ke dalam pantry.

Irish mengambil cangkir dan memasukan kopi ke dalam cangkir, menyedunya dengan air hangat kemudian mengaduknya.

"Kopi?" Ayana heran melihat Irish membuat kopi.

"Iya ... ini kopi." Irish menunjukan pada Ayana.

"Bukannya kau tidak suka kopi? Kenapa kau justru membuat kopi?" tanya Ay sembari mengambil cangkir dan menyedu teh.

"Ini bukan untukku, tapi untuk Bos Besar!" jelas Irish.

"Kenapa dia malah menyuruhmu untuk membuat kopi? Kenapa bukan sekretarisnya yang membuatkan kopi untuknya." Ayana penasaraan, "Sebenarnya ada apa sih di antara kalian?" tanyanya lagi.

"Panjang ceritanya, Ay!" jawab Irish.

"Hah? Panjang ceritanya? Berapa episode? Dipersingkat saja deh!" Ayana makin penasaran.

"Episode? Drama kali!" Irish tertawa, "Nanti aku akan cerita. Aku harus mengantarkan kopi ini dulu. Keburu nanti dia keluar tanduk dan taringnya!" Irish berjalan keluar pantry.

"Okay, aku akan membuatkanmu secangkir teh hangat." Ayana membuat secangkir teh untuk sahabatnya itu.

Tokk ... Tokk ... Tokk ....

"Ini kopi Anda Pak!" Irish menaruhnya di atas meja. Pemuda itu hanya mengangguk saja. Kemudian dia membungkuk dan berjalan keluar ruang menuju kubikelnya.

Empat jam kemudian, saat jam makan siang tiba. Ayana menarik tangan Irish menuju cafetarian. Begitu antusiasnya gadis itu ingin mendengarkan cerita yang sebenarnya. Mereka berdua memesan hamburger dan segelas coca cola.

"Aku sudah siap mendengarkan ceritamu." Ayana menggigit hambugernya.

"Memangnya aku mau cerita apa tadi padamu?" Irish pura-pura bego. Ayana menggetok kepala Irish, "Kau ini tidak usah pura-pura bego!"

"Hey—kenapa kau menggetok kepalaku?" Irish mengusap-usap kepalanya.

"Ya ... sebenarnya ada apa antara kau dan Bos Besar?" tanya Ay.

"Aku?" Irish menunjuk wajahnya sendiri.y Ayana menatap Irish tanpa berkedip sedikit pun.

"Ah, baiklah ... baiklah!" Irish berhenti sejenak meminum coca colanya dan melanjutkan makan lagi.

"Ayolah, ceritakan padaku," bujuk Ay. Irish menceritakan semua kejadian awal mula pertemuannya dengan Benjamin van De Haan bla ... bla ... bla ....

"Apa! Gila kau! Pantas saja waktu itu kau keluar dari ruangan dengan muka kesal!" Ay kaget tapi kemudian dia tertawa.

"Hey, kenapa kau malah tertawa?" Irish heran.

"Ah, tidak ... tidak ...." Ay masih menahan tawa.

"Nah 'kan!" teriak Irish.

"Aku mendukungmu!" ucap Ay.

"Mendukung apa maksudmu Ay?" Irish mengernyit bingung.

"Mendukungmu pacaran dengan dia!" Ay tertawa.

"Tidak mau!" Irish jual mahal, "Kau sendiri gimana dengan Hendrick?"

"Sudah ah, jangan bahas soal dia. Ayo kita kembali kerja!" Ay mengalihkan pembicaraannya dan Irish pun memahami keadaan Ay. Mereka berdua berjalan menuju lift.

Tanpa sadar aktivitas keduanya dipantau oleh sepasang mata yang terus memperhatikan keduanya.

Siapakah dia? Bagaimana kisah mereka berdua selanjutnya? See ya on next chapter.

To be continue,

Cheezyweeze

Jangan lupa baca cerita ku yang lainnya dengan judul 2.59 dan Brittleness. Jangan lupa nyalakan bintang Kejora juga.

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status