Share

Chapter 6. Unforgattable Moment

Cinta kadang membuat seseorang terluka dan juga membuat orang yang sedang jatuh cinta bahagia. Tapi penantian dan harapan terkadang menimbulkan luka yang amat mendalam, saat orang yang menanti itu tahu bahwa semua harapan akan penantiannya sia-sia.

Dan hanya yang setialah yang mampu bertahan diatas luka akan pengharapan yang sia-sia. Hanya yang setialah yang terus menerima luka dari orang yang disayanginya. Dan hanya yang setialah yang terus bahagia menyayangi seseorang walaupun tanpa balasan atau bahkan tak ada kesempatan lagi untuk memiliki orang yang diharapkannya.

Langit terlihat gelap, sambaran petir menggelegar dahsyat membelah langit yang terlihat sedang tak bersahabat. Hujan turun dengan derasnya. Udara dingin terasa menusuk kekosongan jiwa. Matahari bersembunyi dibalik gumpalan awan gelap. Cuaca pagi ini menggambarkan hati seorang gadis bernama Ayana. Dia teringat kejadian tiga bulan yang lalu.

Musim gugur, Leiden, October, 19 2018. Burcht van Leiden Park.

Malam itu Ay berjalan menyusuri jembatan di sekitar danau dan menikmati pemandangan indah dari lampu yang berkelap-kelip. Masih teringat jelas bagaimana Hendrick menyatakan perasaannya di tempat ini, tempat di mana penuh kenangan bersama dengan Hendrick, kekasihnya. Hubungan mereka pun sudah berjalan sekitar satu tahun.

Malam yang begitu indah bertaburan bintang-bintang di langit. Autumn lebih indah, lebih dingin dan lebih romantic. Sejauh mata memandangi pepohonan yang daunnya mengguning dan memerah.

"Seharusnya malam ini, aku ke sini bersama dengan Hendrick, tapi dia bilang masih sibuk," beonya pelan duduk di bangku kosong di pinggir danau. Merapatkan sweathernya karna memang cuaca sudah mulai agak dingin. Diliriknya jam tangan yang melingkar di tangan kirinya dan waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam. Ayana pun beranjak dari bangku kayu itu dan mulai melangkah meninggalkan tepian danau, matanya menyapu sekitar tepian danau ketika dia mendengarkan suara canda tawa yang tak asing di telinganya. Dia pun mencari arah datangnya suara itu dan menemukannya di balik pohon besar.

"Hendrick!" Ayana yang biasa dipanggil dengan Ay itu langsung melotot, ketika melihat Hendrick sedang berciuman dan berpelukan dengan seorang wanita.

"A-Ayana!" Hendrick kaget dan melepaskan pelukannya.

"Oh ... jadi ini alasanmu bilang sibuk!" Ay tersenyum getir meninggalkan Hendrick. Pemuda itu berusaha mengejar dan menjelaskan dengan berbagai alasan.

"Ay ... Ay, dengarkan dulu penjelasanku!" Hendrick memegang tangan Ay. Namun, langsung ditepis oleh Ay.

"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi dan aku pun sudah melihatnya secara langsung dengan mata kepalaku sendiri. Aku benar-benar kecewa! Jangan pernah temui aku lagi!" Ayana pergi berlalu meninggalkan Hendrick dengan perasaan yang bercampur aduk dan hati yang benar-benar terluka. Air mata pun tidak bisa dibendung lagi membasahi pipinya yang putih mulus itu. Hujan turun seakan langit pun tau akan hatinya yang sedang sedih. Gadis itu berjalanlah pulang di bawah rintikan hujan yang semakin lebat. Dia berjalan tanpa menghiraukan orang-orang yang melihatnya.

Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika sebuah payung melindungi dirinya dari rintikan air hujan. Ayana mendongak melihat seorang pemuda tersenyum manis padanya.

"Pakailah payung ini," pemuda itu memberikan payungnya. Kedua mata itu saling beradu pandang di bawah rintik hujan. Gadis itu terdiam sesaat seolah tersihir dengan tatapan mata sang pemuda. Pemuda berlesung pipi itu meraih tangan Ayana dan memegangkan pada gagang payung yang dia bawa, lalu berlari menuju mobilnya dengan kedua tangan melindungi kepalanya.

Itulah awal mula pertemuan pertama Ayana dengan pemuda berlesung pipi. Akankah mereka berdua bisa bertemu kembali?

❣❣❣❣

"Kakaaakk!" teriakannya menggema keseluruh ruangan.

"Ada apa Irish, pelani sedikit suaramu. Kau ini bisa membuat rumah roboh!" Alex keluar dari kamar memegang ponsel dan menempelkannya ditelinga.

"Payungku dimana kak?" Irish berteriak lagi.

"Payung? Memangnya di luar hujan?" Alex melongok dari jendela melihat ke luar. "Ah, benar juga." Masih sibuk dengan ponsel yang menempel di telinganya, berjalan ke ruang tengah.

"Kaakk ... aku bisa telat!" Irish berkali-kali melihat jam tangannya.

"Ayo kakak antar!" Alex memakai jasnya dan meraih kunci mobil.

.

Mobil berhenti di depan gedung, Irish membuka pintu mobil dan berlari masuk gedung.

"Irish, jangan berlari!" teriak Alex membuka kaca mobil dan matanya langsung terfokus pada gadis yang memanggil nama adiknya.

"Hey, Irish!" teriak gadis itu. Alex terus menatapnya tanpa berkedip sedikit pun.

Gadis itu ... apa dia rekan kerja Irish? 'batinnya pelan.

Ya, dia gadis yang waktu itu ditolong Alex dikala dia menangis dan berlari-lari di bawah guyuran hujan. Alex memperhatikan dia dari dalam mobil, hingga gadis itu masuk ke dalam gedung bersama dengan Irish, adiknya.

.

"Hi ... Irish, ini untukmu." Ryan memberikan secup kopi.

"Ini apa?" tanyanya Irish.

"Kopi ...." Ryan mengangkat cup miliknya berjalan menuju kubikelnya.

"Ah, terima kasih," ucapnya tersenyum, "tapi aku tidak suka minum kopi," beonya pelan. "Ay ...." Irish memanggil Ayana dari balik kubikelnya.

"Ada apa?" Ay melongok dari kubikelnya.

"Ini ada kopi, kau saja yang minum." Irish memberikan cup itu ke Ayana.

"Irish, dari mana kau medapatkan kopi ini?" tanya Ayana, "Ini sangat enak!" seteguk demi seteguk diminumnya.

"Ryan yang memberikannya padaku." menunjuk pemuda yang duduk di kubikel paling pojok dengan dagunya.

"Tumben sekali dia baik dan perhatian. Biasanya dia cuek dan memilih menyendiri. Ah, Jangan-jangan dia ada hati padamu." Ayana tertawa.

"Ssssttt ... apaan sih, Ay!" Irish beranjak pergi.

"Hey, kau mau ke mana?" tanya Ayana dengan  mata mengekori Irish.

"Ke pantry!" Irish mengangkat cangkir pribadinya.

"Sepertinya aku masih menyimpan sebungkus coklat disini," ujar Irish clingak-clinguk mencari coklat. Tiba-tiba, dia merasakan kalau ada seseorang yang sedang berdiri di belakangnya dan sebuah tangan meraih sesuatu di pojokan lemari.

"Kau mencari ini?" ujarnya. Secara reflek Irish langsung membalikkan badannya dan mendapatkan Ben sudah berada tepat di belakangnya. Kedua mata mereka langsung beradu pandang. Seketika Irish langsung mendorong tubuh Ben ke belakang. 

"Kau mau ke mana??" tanyanya heran ketika Irish berusaha menjauh menghindar.

"Aku mau kembali bekerja!" Irish menjawab ketus.

"Bukannya kau mau membuat coklat?" tanyanya lagi.

"Kau minum saja coklat itu!" Irish segera berlalu meninggalkan pantry.

"Kenapa dia jadi super cuek seperti itu, apa karena kejadian beberapa hari yang lalu?" Ben menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Tumben sekali dia baik?" Irish bersidekap tangan menatap komputer di depannya. Walaupun pandangannya fokus menatap layar komputer, tapi pikirannya entah ke mana.

"Mana cokelat hangatmu? Bukannya tadi kau bilang mau membuat cokelat hangat di pantry?" tanya Ayana.

"Ah—itu—sudah aku habiskan di pantry," jawab Irish tegas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah layar komputer, agar dia tidak ditanya-tanya lagi oleh Ayana. Irish berpura-pura menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Namun, sebenarnya dia mulai tidak nyaman.

Sesaat setelah itu, Pak Ben melintas dan langsung masuk ke ruangannya. Ayana memperhatikan atasannya dan terfokus dengan benda yang dipegangnya, lalu dia mengeryit bingung dan menoleh menatap Irish yang tengah sibuk.

Apakah Ayana mulai curiga? Lalu benda apa yang dibawa Ben? See ya on next chapter.

To be continue,

Cheezyweeze

Adakah yang mau tukeran gems? By the way, jangan lupa baca karyaku yang berjudul "Brittleness dan 2.59" Makacih 🥰

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status