Entah mengapa, bagi Mai hari berlalu begitu cepat. Tinggal satu atap dengan sang mertua pun, pada akhirnya juga harus dijalani oleh Mai. Beruntung, karena kedua orang tua Raj sangat welcome dengan Mai, hingga hari-harinya berjalan seperti biasa. Meskipun, ada hal-hal yang memang harus dijaga untuk menghindari sebuah gesekan yang mungkin saja terjadi, tanpa disadari.
Sampai akhirnya, hari yang ditunggu itu pun tiba. Resepsi pernikahan yang digelar dengan begitu mewah. Bahkan, mengalahkan resepsi Qai dan Sila satu bulan yang lalu. Bagaimana tidak lebih megah, kalau tamu yang diundang dari pihak Raj, adalah para pejabat yang biasa berkeliaran di Istana Negara. Walaupun, tanpa kehadiran sang presiden, seperti yang sempat diharapkan Sinar saat itu.
Akhirnya, impian yang sudah Sinar susun sebelumnya, berhasil dengan sempur
“Sampai kapan kamu mau diemin aku?” “Sampai kamu sadar, kalau aku sudah jadi suamimu.” Raj melihat eggs benedic yang sedari tadi tidak disentuh sama sekali oleh Mai. Padahal, sarapan yang disantap oleh Raj, kini sudah tinggal separuh. Istrinya itu juga tidak menyentuh minuman yang ada di atas meja sama sekali. “Jangan kekanakan, Raj.” Raj kemudian meletakkan garpu dan pisaunya bersamaan di atas piring. Sejak semalam, ia memang sengaja mendiamkan Mai. Mencoba mengacuhkan istrinya itu meskipun Mai sempat memeluknya dari belakang ketika mereka berada di tempat tidur. Selama ini, toleransi Raj terhadap Mai sudah terlalu tinggi. Sekali-sekali, istrinya itu memang harus diberi pelajaran dan harus introspeksi diri. “Sabar
“Ini, kita mau ke mana lagi, Mbak?” tanya sang sopir yang sudah berkeliling tanpa tujuan hampir satu jam lamanya. Mai menggigit bibir bawah bagian dalamnya untuk berpikir. “Taman deket-deket sini ada gak, Pak. Saya mau sarapan.” Berpikir sejenak. Tidak lama kemudian, sang sopir itu pun mengangangguk. Tidak berani membantah, ataupun bertanya mengenai masalah yang tengah dihadapi salah satu atasannya itu. Ia hanya tahu, kalau semua yang dilakukannya bersama Mai pagi ini, haruslah disimpan dalam diam. “Ada Mbak,” jawab sang sopir. “Mbak Mai mau ke sana?” “Iya, Bapak sudah sarapan?” Mai bertanya balik. Khawatir kalau sang sopir hotel tersebut, ternyata belum sarapan pagi ini. “Sudah, Mbak.”
Wajah datar itu menarik sudut bibirnya dengan sorot mata yang berbinar. Melihat dua garis yang muncul, pada alat tes kehamilan yang baru saja dibeli beberapa saat yang lalu.Untuk pertama kalinya di dalam hidup Mai, ia merasa bingung dan tidak tahu, apa yang harus dilakukan selanjutnya. Letupan rasa bahagia itu, benar-benar bertumpah ruah di dalam dada.Setelah membeli tespek di apotek, Mai memutuskan untuk membuka kamar di sebuah hotel berbintang. Tentunya, bukan salah satu milik dari keluarga besarnya. Untuk itulah, Mai kali ini merasa bingung, harus ke mana melampiaskan kebahagiaan yang dirasakannya saat ini.Keluar dari kamar mandi, Mai langsung duduk di tepi ranjang. Meraih ponsel yang tergeletak di sana lalu mengaktifkannya. Sejak kaki Mai melangkah ke luar dari kamar pengantinnya pagi tadi, ia langsung memati
Raj hanya duduk, diam di sudut tempat tidur. Bersila sekaligus bersedekap, melihat Mai menyantap semua makanan dengan begitu lahap. Selama hidup bersama Mai, baru kali ini Raj melihat Mai makan seperti itu. “Gitu, yang katanya sudah sarapan?” sindir Raj, tapi tidak dipedulikan oleh Mai. “Ambilin minum,” titah Mai memberi lirikan tajam pada Raj sembari terus saja melahap makanannya. Satu porsi chicken wings yang baru dibeli Raj itu, sudah ia habiskan terlebih dahulu. “Air putih anget, jangan yang dingin.” “Kamu bisa ambil sendiri, kan?” balas Raj yang tidak ingin diperintah semena-mena oleh sang istri, yang tidak menawarinya makanan sedari tadi. “Kepalaku masih pusing,” ungkap Mai beralasan. “Kamu pengen aku turun sendiri terus jatuh dari tangga? Begitu?”
“Udah enakan?” Raj masuk ke dalam kamar dengan membawa segelas susu hangat. Meletakkan cairan putih itu di atas nakas lalu duduk di tepi tempat tidur. Mai yang baru selesai mandi, dan masih melakukan ritual malamnya di depan meja rias itu, berbalik. Sedikit memicing, untuk memastikan sesuatu yang dibawa masuk ke dalam kamar oleh sang suami. “Itu, susu?” tanya Mai sedikit bingung, karena selama hidup besama Raj, pria itu tidak pernah minum susu sama sekali. Sedangkan Mai, hanya minum susu ketika hendak berangkat kerja saja. “Iya, susumu.” Raj kembali memasang wajah jahilnya. Tatapannya pun langsung menyasar pada dada sang istri yang masih berbalut bathrobe. Mai berdecak kecil mendengar jawaban Raj. “Kamu yang minum?” Waja
“Mai …” Suara yang begitu lembut dan penuh kasih sayang itu terngiang berkali-kali di telinga Mai. Mengalun merdu dan mengingatkan Mai di masa kecilnya dahulu kala. Terlebih, usapan hangat yang berulang-ulang di kepalanya, sungguh membuat Mai sangat merasa nyaman. Namun, semakin ke sini, suara itu semakin nyata. Berikut dengan belaian yang terjatuh di kepalanya. Sehingga, mau tidak mau Mai membuka kelopak matanya dengan perlahan. Mengerjab berkali-kali, lalu mengusap sepasang manik bening itu dengan tidak percaya. “Enda?” lirih Mai dengan suara serak dan merasa enggan bangkit dari tempat tidurnya. “Ngapain ke sini?” Mai menyentuh tangan sang bunda yang kini berhenti di sisi wajahnya. Manik Mai lantas memicing, untu
Raj mencebik tipis di sepanjang koridor rumah sakit bersalin. Setelah keluar dari ruang pemeriksaan beberapa saat lalu, istrinya itu malah menempel manja dengan sang ayah. Sementara Raj, hanya sibuk menerima nasib, karena Mai tidak pernah sekali pun bersikap demikian kepadanya. Sebenarnya, apalagi yang kurang dari dirinya selama ini. Semua hal sudah Raj beri dengan sepenuh hati pada Mai. Namun, istrinya itu …. Raj sendiri masih bingung untuk mengartikan sikap Mai selama ini. Di satu sisi, istrinya itu, selalu ketus kepadanya. Namun, di sisi yang berbeda, Mai selalu melayani semua keperluan Raj dan benar-benar menjadi istri yang tidak bisa dicela. “Vitaminnya, jangan sampai lupa di minum,” pesan Sinar ketika mereka sudah sampai di parkiran rumah sakit. “Cucu Oma sehat-sehat, ya!” seru Sinar bersemangat dengan mengusap perut Mai yang masih rata. “Ehm! Cucu Opa juga,” sambar Pras tidak mau kalah dengan Sinar, meskipun wajahnya tetap saja terl
Tanpa ingin membuang waktu, ketika keduanya sudah kembali dari rumah orang tua Raj, Mai langsung menghubungi Dara. Meminta wanita itu untuk datang menemuinya di kediaman Raj, untuk membicarakan perihal penjualan rumah yang saat ini ingin sekali dibeli oleh Mai. Butuh waktu hampir satu jam bagi Dara untuk sampai di komplek perumahan tersebut. Ia langsung pergi ke rumah Raj dan berbicara dengan sepasang suami istri itu. “Sorry, ya, aku gak bisa dateng waktu kalian nikah,” ucap Dara seraya menyodorkan sebuah paper bag di atas meja. Karena membeli barang itulah, Dara membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk sampai di ruma Raj. “Aku baru aja pulang dari Bali tadi pagi.” Raj yang mengembangkan senyumnya pada Dara, langsung mendapat lirikan tajam dari sang istri. Sehingga, senyum tersebut akhirnya luntur seketika.&nbs