Share

Calon Suami

“Waktumu berpikir sampai jam makan siang.”

Damar mendesah mengingat apa yang dikatakan atasannya tadi pagi. Padahal tadi dia sudah ingin menolak, tapi sang atasan malah memaksa untuk memikirkannya lagi. Itu yang membuat Damar jadi tidak bersemangat untuk bekerja.

“Oi, anak baru.” Seseorang menyapa. “Kau masih hidup? Apa masih sanggup?”

“Masih hidup dan masih sanggup, Kak,” jawab Damar dengan senyum ceria.

“Walau uang itu penting untuk kelangsungan hidup, tapi kesehatan juga penting.” Senior yang tadi mencoba menasihati dengan ekspresi khawatir. “Kau masih muda dan tampan, jadi jangan sampai itumu tidak berfungsi dengan baik karena tidak tidur.”

Damar refleks menutup arah yang ditunjuk sang senior lelaki tadi. Mungkin maksudnya baik, tapi cara penyampaiannya cukup vulgar juga. Apalagi sampai ditunjuk langsung.

“Kalau ada waktu untuk tidur, sebaiknya kau tidur.” Kali ini, giliran sekretaris Bu Bos yang memberi nasihat. “Bu Bos kadang suka memperkerjakan asistennya sampai dua puluh empat jam.”

“Hah? Masa iya setiap lelaki digituiin?” tanya Damar cukup terkejut dengan fakta yang baru saja dia dengar.

“Memang begitu. Makanya asistennya Bu Bos selalu lelaki, tapi tidak pernah ada yang betah. Pacarnya saja tidak ada yang betah.”

Kening Damar berkerut mendengar berita itu. Dia jelas bingung dengan informasi yang baru saja diberikan sang sekretaris karena jelas-jelas di ranjang ada noda darah. Kalau Audrey sering melakukan hubungan dengan asisten dan pacar, bukankah dia harusnya tidak perawan lagi.

“Damar. Itu teleponmu bunyi.” Si sekretaris memberi tahu dan membuyarkan lamunan Damar.

“Ya, Bu.” Damar menjawab dengan sangat sopan karena tahu kalau yang menelepon itu atasannya.

“Mana presentasi untuk rapat nanti siang?” tanya Audrey tanpa basa-basi. “Aku mau kau membawakan hardcopy-nya dalam waktu kurang dari semenit.”

Tanpa mengucapkan apa pun lagi, Damar buru-buru menutup telepon. Dia dengan cepat menyambar lembaran kertas yang baru saja dia cetak dari atas printer, kemudian berlari masuk ke dalam ruangan Audrey dengan kecepatan penuh.

Ruangannya tidak jauh. Sebenarnya hanya berjarak beberapa langkah saja, tapi rasanya sang asisten sudah kehabisan nafas.

“Padahal semalam kau cukup kuat, tapi kenapa sekarang kau terlihat lelah,” ucap Audrey tanpa perlu melihat siapa yang datang. “Mana yang kuminta?”

“Silakan, Bu. Tapi apa saya boleh minta tolong?” tanya sang asisten dengan ragu-ragu.

“Minta tolonglah setelah kau resmi menjadi suamiku.” Audrey sempat melirik lelaki di depannya, walau wajahnya tetap datar.

“Saya hanya berharap Bu Audrey tidak membahas soal semalam di tempat umum.”

“Kenapa? Apa kau malu tidur denganku? Atau malu karena keperjakaanmu diambil olehku?”

Audrey mengatakan hal itu dengan ekspresi yang sama dan sambil melihat berkasnya. Damar jadi bingung harus menjawab apa karena dia tidak bisa menerka emosi perempuan di depannya. Rasanya, kehidupannya akan menjadi lebih sulit ke depannya.

“Bukan itu ... saya hanya merasa tidak nyaman.” Sang asisten menggaruk lehernya yang tidak gatal. “Lagi pula, itu adalah privasi. Bukan sesuatu yang bisa diumbar di depan umum.”

“Akan kupertimbangkan, jika kau menerima penawaranku.”

“Boleh tahu kenapa Bu Audrey sangat ingin aku menerima penawaran menikah itu?” Walau hanya ada mereka berdua di dalam ruangan, Damar tetap berbisik.

“Karena aku perlu menikah untuk mewarisi perusahaan,” jawab Audrey tanpa ragu dan tanpa perlu menutupi apa pun.

“Lalu kenapa harus saya?”

“Karena kau adalah lelaki pertama yang muncul di depanku, setelah aku mendapat ultimatum soal pernikahan. Tentu saja sopirku tidak terhitung karena dia sudah menikah. Lalu kau juga cukup bagus di atas ranjang”

“Kenapa Anda selalu membahas soal ....”

Belum juga Damar menyelesaikan kalimatnya, pintu ruangan terbuka dengan kasar. Itu jelas membuat sang asisten segera menutup mulutnya karena tidak ingin ketahuan sudah berbuat asusila. Apalagi lelaki yang muncul di ambang pintu terlihat marah.

“Selamat pagi, Dad.” Audrey menyapa, setelah melirik sekilas ke arah pintu. “Tumben sekali Daddy singgah sepagi ini di kantor. Apa ada masalah penting.”

“Tentu saja ada masalah penting,” desis sang Daddy yang rasanya kini terlihat makin marah karena wajah putihnya jadi memerah.

“Oh, ya? Masalah penting apa?” tanya Audrey yang akhirnya menatap ayahnya dengan benar. “Mungkin bisa kita bicarakan sambil minum kopi. Damar tolong bawakan kopi seperti kemarin.” Kalimat terakhir, tentu ditujukan untuk sang asisten.

“Aku hanya ingin espresso.” Sang Daddy sempat memberi tahu, tapi kemudian mengerutkan kening ketika melihat lelaki yang baru dia lihat.

“Apa kau orang baru?”

“Perkenalkan, Dad. Ini Damar, asistenku yang baru kemarin masuk..” Audrey akhirnya berdiri dan berdiri di samping sang asisten.

“Asisten yang baru?” Sang ayah mengangguk puas. “Baguslah kalau begitu, aku jadi bisa menginterogasi dia tentang apa yang kau lakukan, sampai tidak bisa pulang ke rumah.”

Kedua alis Damar terjungkit naik, ketika mendengar itu. Walau lelaki dengan tampang campuran Jawa di depannya tersenyum ramah, tapi ini jelas bukan sesuatu yang menyenangkan bagi Damar. Biar bagaimana, dialah orang yang membuat Audrey sampai tidak pulang ke rumah.

“Tutuplah pintu dan duduk di sini.” Ayah dari Audrey kini memberi perintah.

Walau dengan gerakan yang sangat kaku, Damar pada akhirnya menjalankan perintah itu. Dia jelas tidak akan bisa menghindar dan juga tidak mau menghindar. Biar bagaimana, Damar telah melakukan kesalahan dengan amat sangat sadar dan dia harus menerima konsekuensinya.

“Kau menemani putriku semalaman kan?”

“Bagaimana Bapak bisa tahu?” tanya Damar dengan hidung yang kembang kempis karena cemas.

“Kau kan asistennya Audrey dan dia selalu memperkerjakan asistennya melebihi waktu kerja,” balas ayah Audrey dengan kening berkerut. “Walau kau baru, tapi pasti kau diperlakukan sama kan?”

“Sebenarnya dia tidak diperlakukan sama.” Audrey yang sudah kembali bekerja, menjawab tanpa harus mengalihkan perhatian dari pekerjaannya. “Dia kemarin bahkan tidak lembur.”

“Kau pikir Daddy akan percaya?”

“Kalau tidak percaya, coba saja Daddy cek absen kantor. Lihat jam berapa Damar absen pulang.”

“Tapi kau pasti membuatnya mengikutimu pergi entah ke mana kan?” Sang Daddy kembali membantah sang putri, dengan sebuah pertanyaan.

“Dia mengikutiku, tapi bukan untuk bekerja.” Audrey berhenti sejenak untuk menatap ayahnya. “Kami pergi bersenang-senang.”

“Apalagi maksudnya itu?” Pria paruh baya itu, kini menatap ke arah Damar yang sudah memucat.

“Menurut Daddy, apa yang akan dilakukan sepasang kekasih untuk bersenang-senang?” tanya Audrey seolah sedang menantang.

“Kekasih?”

“Anu, Pak.” Damar yang sudah pucat, makin pucat lagi. “Biar saya jelaskan dengan benar.”

“Tentu saja kau harus menjelaskan.”

“Biar aku saja yang menjelaskan.” Audrey segera menyela, sebelum sang asisten sempat mengatakan sesuatu. “Lebih tepatnya, biar kuperkenalkan dia secara resmi.”

“Dia adalah Damar Everado Forza. Calon suamiku.”

***To be continued***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status