Share

Calon Suami

Author: 5Lluna
last update Huling Na-update: 2024-01-08 13:22:54

“Waktumu berpikir sampai jam makan siang.”

Damar mendesah mengingat apa yang dikatakan atasannya tadi pagi. Padahal tadi dia sudah ingin menolak, tapi sang atasan malah memaksa untuk memikirkannya lagi. Itu yang membuat Damar jadi tidak bersemangat untuk bekerja.

“Oi, anak baru.” Seseorang menyapa. “Kau masih hidup? Apa masih sanggup?”

“Masih hidup dan masih sanggup, Kak,” jawab Damar dengan senyum ceria.

“Walau uang itu penting untuk kelangsungan hidup, tapi kesehatan juga penting.” Senior yang tadi mencoba menasihati dengan ekspresi khawatir. “Kau masih muda dan tampan, jadi jangan sampai itumu tidak berfungsi dengan baik karena tidak tidur.”

Damar refleks menutup arah yang ditunjuk sang senior lelaki tadi. Mungkin maksudnya baik, tapi cara penyampaiannya cukup vulgar juga. Apalagi sampai ditunjuk langsung.

“Kalau ada waktu untuk tidur, sebaiknya kau tidur.” Kali ini, giliran sekretaris Bu Bos yang memberi nasihat. “Bu Bos kadang suka memperkerjakan asistennya sampai dua puluh empat jam.”

“Hah? Masa iya setiap lelaki digituiin?” tanya Damar cukup terkejut dengan fakta yang baru saja dia dengar.

“Memang begitu. Makanya asistennya Bu Bos selalu lelaki, tapi tidak pernah ada yang betah. Pacarnya saja tidak ada yang betah.”

Kening Damar berkerut mendengar berita itu. Dia jelas bingung dengan informasi yang baru saja diberikan sang sekretaris karena jelas-jelas di ranjang ada noda darah. Kalau Audrey sering melakukan hubungan dengan asisten dan pacar, bukankah dia harusnya tidak perawan lagi.

“Damar. Itu teleponmu bunyi.” Si sekretaris memberi tahu dan membuyarkan lamunan Damar.

“Ya, Bu.” Damar menjawab dengan sangat sopan karena tahu kalau yang menelepon itu atasannya.

“Mana presentasi untuk rapat nanti siang?” tanya Audrey tanpa basa-basi. “Aku mau kau membawakan hardcopy-nya dalam waktu kurang dari semenit.”

Tanpa mengucapkan apa pun lagi, Damar buru-buru menutup telepon. Dia dengan cepat menyambar lembaran kertas yang baru saja dia cetak dari atas printer, kemudian berlari masuk ke dalam ruangan Audrey dengan kecepatan penuh.

Ruangannya tidak jauh. Sebenarnya hanya berjarak beberapa langkah saja, tapi rasanya sang asisten sudah kehabisan nafas.

“Padahal semalam kau cukup kuat, tapi kenapa sekarang kau terlihat lelah,” ucap Audrey tanpa perlu melihat siapa yang datang. “Mana yang kuminta?”

“Silakan, Bu. Tapi apa saya boleh minta tolong?” tanya sang asisten dengan ragu-ragu.

“Minta tolonglah setelah kau resmi menjadi suamiku.” Audrey sempat melirik lelaki di depannya, walau wajahnya tetap datar.

“Saya hanya berharap Bu Audrey tidak membahas soal semalam di tempat umum.”

“Kenapa? Apa kau malu tidur denganku? Atau malu karena keperjakaanmu diambil olehku?”

Audrey mengatakan hal itu dengan ekspresi yang sama dan sambil melihat berkasnya. Damar jadi bingung harus menjawab apa karena dia tidak bisa menerka emosi perempuan di depannya. Rasanya, kehidupannya akan menjadi lebih sulit ke depannya.

“Bukan itu ... saya hanya merasa tidak nyaman.” Sang asisten menggaruk lehernya yang tidak gatal. “Lagi pula, itu adalah privasi. Bukan sesuatu yang bisa diumbar di depan umum.”

“Akan kupertimbangkan, jika kau menerima penawaranku.”

“Boleh tahu kenapa Bu Audrey sangat ingin aku menerima penawaran menikah itu?” Walau hanya ada mereka berdua di dalam ruangan, Damar tetap berbisik.

“Karena aku perlu menikah untuk mewarisi perusahaan,” jawab Audrey tanpa ragu dan tanpa perlu menutupi apa pun.

“Lalu kenapa harus saya?”

“Karena kau adalah lelaki pertama yang muncul di depanku, setelah aku mendapat ultimatum soal pernikahan. Tentu saja sopirku tidak terhitung karena dia sudah menikah. Lalu kau juga cukup bagus di atas ranjang”

“Kenapa Anda selalu membahas soal ....”

Belum juga Damar menyelesaikan kalimatnya, pintu ruangan terbuka dengan kasar. Itu jelas membuat sang asisten segera menutup mulutnya karena tidak ingin ketahuan sudah berbuat asusila. Apalagi lelaki yang muncul di ambang pintu terlihat marah.

“Selamat pagi, Dad.” Audrey menyapa, setelah melirik sekilas ke arah pintu. “Tumben sekali Daddy singgah sepagi ini di kantor. Apa ada masalah penting.”

“Tentu saja ada masalah penting,” desis sang Daddy yang rasanya kini terlihat makin marah karena wajah putihnya jadi memerah.

“Oh, ya? Masalah penting apa?” tanya Audrey yang akhirnya menatap ayahnya dengan benar. “Mungkin bisa kita bicarakan sambil minum kopi. Damar tolong bawakan kopi seperti kemarin.” Kalimat terakhir, tentu ditujukan untuk sang asisten.

“Aku hanya ingin espresso.” Sang Daddy sempat memberi tahu, tapi kemudian mengerutkan kening ketika melihat lelaki yang baru dia lihat.

“Apa kau orang baru?”

“Perkenalkan, Dad. Ini Damar, asistenku yang baru kemarin masuk..” Audrey akhirnya berdiri dan berdiri di samping sang asisten.

“Asisten yang baru?” Sang ayah mengangguk puas. “Baguslah kalau begitu, aku jadi bisa menginterogasi dia tentang apa yang kau lakukan, sampai tidak bisa pulang ke rumah.”

Kedua alis Damar terjungkit naik, ketika mendengar itu. Walau lelaki dengan tampang campuran Jawa di depannya tersenyum ramah, tapi ini jelas bukan sesuatu yang menyenangkan bagi Damar. Biar bagaimana, dialah orang yang membuat Audrey sampai tidak pulang ke rumah.

“Tutuplah pintu dan duduk di sini.” Ayah dari Audrey kini memberi perintah.

Walau dengan gerakan yang sangat kaku, Damar pada akhirnya menjalankan perintah itu. Dia jelas tidak akan bisa menghindar dan juga tidak mau menghindar. Biar bagaimana, Damar telah melakukan kesalahan dengan amat sangat sadar dan dia harus menerima konsekuensinya.

“Kau menemani putriku semalaman kan?”

“Bagaimana Bapak bisa tahu?” tanya Damar dengan hidung yang kembang kempis karena cemas.

“Kau kan asistennya Audrey dan dia selalu memperkerjakan asistennya melebihi waktu kerja,” balas ayah Audrey dengan kening berkerut. “Walau kau baru, tapi pasti kau diperlakukan sama kan?”

“Sebenarnya dia tidak diperlakukan sama.” Audrey yang sudah kembali bekerja, menjawab tanpa harus mengalihkan perhatian dari pekerjaannya. “Dia kemarin bahkan tidak lembur.”

“Kau pikir Daddy akan percaya?”

“Kalau tidak percaya, coba saja Daddy cek absen kantor. Lihat jam berapa Damar absen pulang.”

“Tapi kau pasti membuatnya mengikutimu pergi entah ke mana kan?” Sang Daddy kembali membantah sang putri, dengan sebuah pertanyaan.

“Dia mengikutiku, tapi bukan untuk bekerja.” Audrey berhenti sejenak untuk menatap ayahnya. “Kami pergi bersenang-senang.”

“Apalagi maksudnya itu?” Pria paruh baya itu, kini menatap ke arah Damar yang sudah memucat.

“Menurut Daddy, apa yang akan dilakukan sepasang kekasih untuk bersenang-senang?” tanya Audrey seolah sedang menantang.

“Kekasih?”

“Anu, Pak.” Damar yang sudah pucat, makin pucat lagi. “Biar saya jelaskan dengan benar.”

“Tentu saja kau harus menjelaskan.”

“Biar aku saja yang menjelaskan.” Audrey segera menyela, sebelum sang asisten sempat mengatakan sesuatu. “Lebih tepatnya, biar kuperkenalkan dia secara resmi.”

“Dia adalah Damar Everado Forza. Calon suamiku.”

***To be continued***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • My Assistant, My Husband   Ekstra - Satu Saja

    “Lebih cepat lagi, please.” Damar menggeram dalam suara rendah dan tertahan. “Kau pikir aku ini mesin yang bisa bergerak cepat?” jawab Audrey dengan nafas terengah. “Kakiku sudah mulai terasa pegal.” “Kalau begitu, biarkan aku mengambil alih.” Damar yang terengah pun memohon dengan sangat. “Aku mohon.” Audrey tidak menjawab, tapi dia berhenti bergerak. Kedua tangan yang tadi bertumpu pada kaki Damar, kini bergerak memeluk sang suami. Sayangnya, dia masih belum mau membiarkan lelaki itu mengambil alih kegiatan ranjang mereka dan memilih mengubah posisi saja. “Jangan bergerak.” Kali ini giliran Audrey yang menggeram, ketika merasakan sang suami menggoyangkan pinggulnya. “Aku tidak bisa menahan diri lagi, Re,” desis Damar tepat di telinga sang istri yang kini memeluknya. Dia bahkan menggigit bagian telinga itu, sebelum melanjutkan, “Tolong lepaskan ikatan di tanganku. Please.” Sungguh, Damar ingin sekali mengentak lebih keras. Dia bisa melakukan itu dalam keadaan duduk dan terikat

  • My Assistant, My Husband   Ekstra - Pamer

    “Apa kau menikmati acaranya?” Audrey bertanya pada orang di depannya, dengan senyum lebar. “Kau mengejekku?” desis Patricia tampak begitu marah. “Aku hanya bertanya, Patricia. Mengejek dan bertanya jelas adalah dua hal yang berbeda.” Dua perempuan itu pada akhirnya saling menatap. Patricia dengan tatapan kemarahan disertai dendam, sementara Audrey dengan tatapan penuh kemenangan. “Re. Kau di sini.” Baru juga Patricia ingin buka mulut untuk memaki, tapi Damar sudah mendekat. Lelaki itu tampak begitu rapi dengan menggunakan tuxedo berwarna putih dan dasi kupu-kupu hitam. Penampilannya jadi makin sempurna dengan celana hitam, sapu tangan putih dan rambut tertata. “Ada Patricia rupanya.” Demi kesopanan, Damar dengan terpaksa menyapa. “Hai.” Mau tidak mau, Patricia menyunggingkan senyum. “Aku tidak tahu kalau kau benar-benar dari Italia dan punya rumah seindah ini.” “Ini bukan rumahku, tapi

  • My Assistant, My Husband   Mengikutimu

    “Wah, jadi ini perkebunan milik Padre?” tanya Audrey, ketika mereka baru saja memasuki kawasan penuh tanaman anggur. “Ya, kebetulan saja ini sudah dekat masa panen.” Domi yang menjawab dengan riang. “Kau bisa memetik beberapa kalau mau, sebelum semuanya dijadikan wine.” “Oh, sungguh?” Audrey tampak cukup tertarik. “Tapi apakah aku boleh mendapatkan keduanya? Anggur dan wine?” “Apa pun yang kau inginkan.” Kali ini, Damar yang menjawab. “Aku bertanya pada Padre,” balas Audrey dengan sebelah alis yang terangkat. “Ini semua akan jadi milikmu, jadi tentu kau boleh meminta apa saja.” Damar tersenyum lebar, sembari menatap sang istri. Hal yang membuat ayahnya berdecak. “Rasanya kau lebih parah, dari lelaki mana pun yang kukenal di dunia ini.” Mau tidak mau, Domi mengeluh juga. “Kalau tidak ingin dilihat, Padre tidak perlu melihat.” Audrey membalas dengan sangat kurang ajar. Mendengar itu, Domi hanya bisa mendengus saja. Dia juga tidak mungkin marah, karena biar bagaima

  • My Assistant, My Husband   Dunia Terbalik

    “Apa aku tidak salah lihat?” tanya seseorang pada Happy. “Bu Audrey dan Pak Damar bergandengan tangan?” “Sama sekali tidak,” jawab Happy dengan embusan napas pelan. “Yang kau lihat itu adalah kenyataan.” “Serius?” tanya rekan kerja Happy yang tadi. “Jadi gosip yang bilang kalau Bu Audrey mengincar Damar itu benar?” “Tidak, Sayang.” Happy menatap temannya dengan tatapan kasihan. “Sejak awal Pak Damar itu off limit. Sejak awal dia sudah sold out, alias taken.” Setelah mengatakan hal itu, Happy memilih untuk melangkah terlebih dulu dan meninggalkan temannya yang tampak sangat terkejut. Biar bagaimana, atasannya sudah datang. Dia tidak bisa lagi bersantai-santai dengan alasan habis dari membeli kopi. “Sekarang aku punya dua atasan,” gumam Happy sepelan mungkin. “Untung Pak Damar baik, tapi jelas aku harus hati-hati padanya. Kalau tidak, Bu Audrey yang akan memecatku.” *** “Perasaanku saja, atau sejak ta

  • My Assistant, My Husband   Yang Penting

    “Untuk apa kau membawa buket bunga?” tanya Domi, ketika melihat sang menantu berdiri di depan pintu rumah, yang baru saja dia buka. “Aku tentu saja akan memberikan ini untuk ....” “Damar?” Fiana muncul di sebelah sang suami dengan sebelah alis terangkat. “Kau ingin memberikan bunga untuk Damar? Bukankah seharusnya terbalik?” “Tentu saja bukan untuk Damar,” jawab Audrey dengan senyum lebar. “Aku membawakan ini untuk Madre dan membawakan hadiah lain untuk Damar.” Kedua alis Fiana terangkat mendengar jawaban yang mengejutkan, tapi tetap menerima buket bunga yang dibawakan oleh menantunya. Hadiah yang sangat tidak biasa dari menantu perempuannya, sampai Audrey lupa untuk dipersilakan masuk. Untung saja Audrey yang sedikit tidak tahu malu itu, meminta izin untuk duduk di ruang tamu. Katanya, masih ada hadiah yang mau diberikan. “Cokelat untuk Madre.” Audrey mengeluarkan sekotak cokelat yang terlihat mahal. “Apa ayah mertuamu ini tidak mendapatkan apa-apa?” tanya Domi pu

  • My Assistant, My Husband   Jujur

    “Ini benar-benar tidak masuk akal,” desis Audrey benar-benar kesal, dengan ponsel yang menempel di telinga. “Bagaimana mungkin mereka mengurung, bahkan menempatkan bodyguard di depan pintu dan di bawah jendela.” Mendengar protes dari sang istri, Damar hanya bisa tertawa pelan. Memang ini sangat tidak masuk akal, tapi kalau Audrey jadi memperhatikan dirinya seperti ini, rasanya Damar tidak akan masalah. “Mau apa lagi?” tanya damar denan senyum yang terkulum. “Walau aku sering olahraga, tapi aku tidak mungkin melawan orang-orang berbadan besar itu kan? Apalagi mereka lebih dari satu orang.” “Tapi kau kan bukan anak gadis perawan yang harus dijaga dengan bak,” hardik Audrey terlihat begitu kesal. “Aku juga bukan serigala yang akan memangsamu.” Tentu saja Damar akan tertawa mendengar hal itu. Dia merasa perumpamaan yang diucapkan oleh Audrey sangat lucu. “Bu, tolong jangan pacaran di depan saya.” Jangankan Damar, Happy saja merasa risih dan langsung menegur ketika sang atas

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status