"Te..." Xander membuntuti Nava yang sudah memakai setelan kerja."Apa, Sayang? Duh, kok makin hari kamu makin mirip aja sih sama seseorang? Tante jadi keder nih. Aneh aja rasanya, ada orang yang mukanya sama persis sama dia ngikutin Tante dan bucin banget sama Tante kayak gini," cerocos Nava. Dia nyengir kuda sewaktu aku berdeham-deham keras untuk memperingatkannya agar jangan menyinggung-nyinggung soal Boy di depan Xander. Meskipun anak itu belum sepenuhnya mengerti apa inti ucapannya, menurutku akan lebih baik jika aku dan Nava tak mengungkapkan apapun yang berhubungan dengan Boy di depannya."Tante mau ke mana?" tanya Xander lagi. Dia menarik-narik ujung blazer Nava dengan ekspresi penasaran. Nava segera membungkukkan badan supaya wajahnya bisa sejajar dengan wajah Xander."Tante Va mau cari kerja dulu ya, Sayang," kata Nava. "Ke mana?" cecar Xander. Seketika tawaku pecah. "Xander nggak puas kalau kamu jawabannya belum pasti kayak gitu, Va," celetukku. "Lha, emang aku mau cari k
"Anakmu?" Kedua mata elang milik Boy sekarang menatapku dengan pandangan menyelidik."Ya. Aku udah punya anak. Sekarang aku udah nggak ada waktu buat main-main lagi, apalagi dipermainkan kayak dulu," tanggapku sarkastis. "Siapa bapaknya?" cecar Boy. Dia mengamat-amati Xander yang menatapnya balik dengan berani. Kedua pasang mata dan rupa yang bagaikan pinang dibelah dua itu beradu pandang tanpa ada yang terlihat ingin mengalah. Gegas aku mengangkat tubuh kecil Xander untuk membawanya ke bagian dalam rumah, untuk menghindarkannya dari orang yang paling tak ku inginkan berada di dekatnya. "Ris. Siapa bapaknya?" Boy mengikuti langkahku. "Lebih baik kamu pergi aja dari sini. Nggak usah ikut campur urusan. Kita udah nggak ada hubungan apa-apa," cetusku dingin."Pelgi," kata Xander menirukanku."Papa kamu di mana?" tanya Boy pada Xander. Dia tak menghiraukan ucapanku dan anak itu, meskipun jelas-jelas kami sudah bersikap kasar kepadanya."Nggak ada," sahut Xander polos."Kenapa nggak ad
"Maaf," ulang Boy sembari meraih bahuku. Sontak aku menepis tangannya dan menjauh darinya. Segenap rasa jijik pasca kejadian waktu itu di 829 Billiard & Bar "Jangan sentuh-sentuh! Mau berapa kalipun kamu minta maaf sekarang, udah nggak ada gunanya sama sekali," kataku. "Ya. Tapi seenggaknya aku bisa jelasin semuanya sama kamu. Aku bener-bener dijebak waktu itu. Aku bener-bener nggak sadar waktu ngelakuin hal buruk itu ke kamu. Aku nggak paham kenapa kamu mendadak nggak bisa dihubungin. Nomer HP kamu ganti. Tanya ke Nava juga dia nggak mau ngasih tau apapun soal kamu. Kamu boleh pukul aku atau apapun yang pengin kamu lakuin ke aku sekarang, Ris. Tapi, tolong habis itu biarin aku nebus semua kesalahanku ke kamu dan Xander," timpal Boy mengiba. Tidak terlihat seperti seorang idola kampus yang bersinar sehingga dipuja banyak cewek. Detik itu dia terlihat sebagai seseorang yang kehilangan cakarnya. Dia tampak biasa-biasa saja, bahkan mengenaskan. "
"Bu... Om mana?" tanya Xander yang baru muncul di ruang tengah tempat aku dan Nava mengobrol. Anak yang baru bangun tidur siang itu mengucek matanya sambil mendekat kepadaku. "Om udah pulang, Dek," jawabku. Berakting seolah-olah perasaanku biasa saja terhadap orang yang ditanyakan oleh Xander. "Barusan kamu mimpi nggak?" celetuk Nava. Tampaknya dia berusaha membantuku mengalihkan perhatian Xander dari Boy. "Nggak," sahut Xander dengan nada polos. "Ayo kamu mandi dulu," ajakku. Xander menguap sambil menganggukan kepala saja menanggapiku. "Tante Va juga mandi dong. Bial nggak bau acem," kata Xander saat aku menggiringnya meninggalkan ruangan itu. "Iya, nanti. Tapi... Emangnya bau keringet Tante se-acem, ya?" sahut Nava. Dia mengendus-endus kedua ketiaknya dengan panik. Aku tertawa saja melihat tingkah sahabatku itu sementara Xander hanya berlalu dengan santai."Nggak bapak nggak anak. Pinter banget ya bikin cewek jadi ngerasa insecure," rutuk Nava. Suaranya terdengar jelas walaupu
"Stop!" tegasku lagi. Di saat yang sama, punggungku menabrak dinding.“Aku juga nggak mau ngapa-ngapain kok,” kata Boy sambil menghentikan langkah."Tapi kamu sengaja bikin aku takut. Maksud kamu apa?" cetusku kesal. Sisa kepanikan masih melanda sekujur badanku. "Nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma otomatis aja ndeketin kamu. Maaf kalau aku udah bikin takut," ujar Boy.“Lima menit kamu sudah habis,” tukasku."Ya. Tapi aku pengin ngajak Xander jalan-jalan sebentar. Boleh nggak?" "Tentu saja tidak boleh," sambarku dingin."Tapi aku bapaknya. Aku juga pengin deket-deket sama dia," bantah Boy."Kalau kamu mau maksain jalan pikiran kamu itu, ngapain ketemu kamu pakai nanya aku ngebolehin kamu ngajak dia pergi atau nggak?" dengkusku."Sekarang kamu beda ya. Udah berani mendebat aku. Eh, nggak ding. Dari dulu kamu juga sebenernya orangnya berani, cuma belum sepercaya diri sekarang," celetuk Boy. Kata-katanya sarkastis. Tapi entah kenapa aku hanya terpesona mendengarnya. Terpesona karena ter
"Ris, ini apaan ya? Masa aku ditawarin kerja di Java Jaya Proud? Ini nggak ada hubungannya sama Boy dateng ke sini, 'kan?" kata Nava sambil duduk di kursi dapur. Sedangkan aku hanya menoleh sekilas padanya di sela-sela menggoreng pisang."Mungkin, Va. Tadi Boy tau kamu lagi nyari kerjaan dari Xander soalnya," timpalku."Ih! Kurang kerjaan banget tuh orang!" rutuk Nava. "Emangnya kamu ditawarin jadi apa di Java Jaya Proud? Itu cabangnya Java Jaya Group 'kan, ya? tanyaku. "Jadi staf HRD. Walaupun di cabang, tapi itu gila, 'kan? Nggak semua orang bisa dapet posisi itu," cetus Nava."Tapi nilai kamu bagus kok. IPK kamu aja 3,8." Aku meniriskan pisang goreng yang telah matang di atas sorok, lalu mendekati Nava di kursinya. Sahabatku itu tampak kebingungan. "Jujur aku ngerasa terbebani banget, Ris. Aku seneng dapet tawaran kerja. Apalagi ini dari perusahaan se-bonafit Java Jaya. Tapi kalau itu ada hubungannya sama Boy, namanya jadi nepotisme. Ya, 'kan?" ungkap Nava."Ya. Aku ngerti kok m
"Mau ke mana?" tanya Boy saat aku membukakan pintu untuknya. Matanya memindai blouse berwarna merah bata dan celana jeans yang aku kenakan dengan seksama. Aku tak langsung menjawab pertanyaan Boy itu karena di saat yang sama Xander mendekati Boy. "Om, ayo jalan-jalan," kata Xander. "Ayo. Tapi kamu mau pergi sama ibu kamu, 'kan," sahut Boy. "Iya. Sama aku juga," celetuk Nava yang mengekori Xander. "Tumben kamu di rumah, Va," ujar Boy. "Iyalah. Xander ngerengek terus minta aku ngebolehin om pergi sama-sama kita. Ternyata om-om yang dia bilang itu kamu," sahut Nava. "Aku juga baru tau, ternyata selama ini kamu tinggalnya di sini. Kenapa bilangnya nge-kost sama aku?" cetus Boy, menyentil Nava. "'Kan aku nggak mau bongkar tempat tinggalnya Risa sama Xander," timpal Nava. "Bisa diterima sih. Kamu temen deketnya Risa," kata Boy. "Xander, kamu mau ke taman bermain atau ke kebun binatang?" tan
Pantai yang kami datangi sangat ramai. Di sepanjang pasir yang terhampar di sana, para wisatawan dari berbagai kota berseliweran atau sekedar berdiri menikmati deburan ombak atau berfoto bersama keluarga dan teman. Ada juga yang asyik menikmati kuliner yang berjajar-jajar di pinggir pantai itu. "Ade mau ke sana," kata Xander sambil menunjuk ke arah pantai. Mungkin karena di sana banyak anak-anak berbagai usia yang tampak gembira bermain ombak atau bermain pasirpasir bersama orang tuanya atau orang lebih tua yang mendampingi mereka. "Oke. Tapi Xander bawa baju ganti, 'kan?" timpal Boy. Kemudian dia menoleh kepadaku. "Bawa," jawabku singkat. Fokusku agak terpecah melihat ke kanan kiriku. Ada banyak wanita, bahkan ibu-ibu, yang terang-terangan menatap kagum pada Boy. Namun, sorot mata mereka berubah menjadi dingin saat menatapku. 'Mungkin karena sama-sama cewek.' Aku berusaha berpikir positif. "Itu istrinya?" celetuk seorang cewek ABG. "Mukanya biasa aja ya," sahut teman atau saud