Share

Menikah

Penulis: 5Lluna
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-23 15:39:29

“Apa yang kau lakukan di kamar hotel?”

Pertanyaan itu, menyambut Jovi yang baru saja membuka pintu kamarnya, sepuluh menit setelah dia masuk ke dalam kamar hotel. Itu pun dia terpaksa membuka pintu, karena suara ketukan di pintu benar-benar mengganggu. Siapa yang sangka kalau Jovi akan kedatangan tamu tidak terduga.

“Mama,” panggil Jovi dengan ekspresi syok. “Kenapa bisa ada di sini?”

“Harusnya Mama yang tanya sama kamu,” hardik perempuan paruh baya yang tampak terkejut itu. “Kenapa kamu ada di sini, dan tadi Mama lihat kamu sama perempuan.”

Sungguh, ingin sekali Jovi mengumpat. Padahal dia dan Vanessa baru saja masuk kamar, dan sedang berdiskusi ketika pintu kamar terketuk. Padahal tadi Jovi tidak melihat sang mama ada di sekitar restoran atau lobi hotel, tapi dia malah ketahuan.

“Apa kamu mau menghamili perempuan itu untuk mendapat restu Mama?”

“Bukan seperti itu, Ma. Tidak ada Manda di dalam.” Tahu apa maksud sang ibu, Jovi segera membantah.

“Kalau begitu biar Mama masuk dan lihat sendiri.”

“What? Tunggu dulu.” Jovi ingin menghalangi ibunya, tapi perempuan itu rupanya cukup lincah, dan dengan cepat menyelinap masuk.

Langkah perempuan paruh baya itu begitu tergesa, tapi suara langkahnya tidak terlalu terdengar. Karpet yang lumayan tebal yang menjadi penyebabnya, apalagi jarak pintu dan ranjang tidak begitu jauh.

“Apa yang kau lakukan di sana?” tanya perempuan paruh baya dengan kening berkerut itu, ketika melihat Vanessa baru mau berjongkok di sebelah ranjang.

Niat Vanessa sih ingin bersembunyi, tapi lemak pada tubuhnya sedikit menghalangi. Dress selutut yang dia pakai juga sedikit mengganggu gerakannya yang memang sudah agak lambat.

“Halo ... Tante.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Vanessa, ketika dia kepergok.

Sumpah demi apa pun, Vanessa sebenarnya sangat malu. Apalagi dia duluan yang meminta tolong dari Jovi. Padahal dia berpikir tidak akan ada masalah kalau mereka di hotel saja, apalagi ini hanya sesi foto saja. Siapa sangka mereka akan kepergok.

“Bisa jelaskan apa yang terjadi di sini?” tanya Mama Jovi dengan mata melotot pada anaknya.

“Gak ada apa-apa, Ma.” Jovi dengan cepat menjawab.

“Tidak ada apa-apa kok, Tan.” Vanessa juga menjawab dengan refleks.

“Apa kalian pikir aku bodoh?” Perempuan paruh baya itu makin melotot. “Lelaki dan perempuan berduaan saja di kamar hotel, tidak melakukan apa-apa.”

“Kami memang tidak melakukan apa-apa,” sambar Jovi tidak mau kalah, karena memang itu kenyataannya.

“Mungkin lebih tepatnya belum,” desis sang mama terlihat begitu emosi.

Jovi menatap Vanessa dengan tatapan meminta tolong, tapi jelas itu agak sulit. Keadaan mereka memang sangat mudah untuk disalah pahami, apalagi Vanessa sekarang sudah menanggalkan blazer yang tadi sempat dia pakai. Memamerkan tumpukan lemak yang ada di lengannya.

“Kalian berdua, ikut Mama.”

***

Kini, Vanessa dan Jovi duduk berhadapan dengan orang yang memergoki mereka. Pemilihan tempatnya juga sengaja di tempat yang tidak mencolok, di salah satu pojok minimarket yang menyediakan kursi dan berbagai macam makanan.

“Nama kamu siapa?” Perempuan paruh baya itu bertanya pada Vanessa terlebih dulu.

“Panggil saja Vanessa, Tante.”

Jawaban itu tidak segera mendapat balasan, membuat Vanessa yang menunduk, sedikit melirik. Benar-benar hanya sebentar, karena perempuan di depannya tampak menyeramkan.

“Panggil aku Cindy.” Tidak lupa, mamanya Jovi memperkenalkan diri. “Tapi maaf, aku mungkin harus menanyakan hal ini. Berapa berat badanmu?”

“Tujuh puluh tiga, tinggi seratus enam dua. Kalau dihitung dari kalkulator BMI, saya sudah termasuk obesitas,” jawab Vanessa dengan terlalu jujur dan terlalu banyak informasi.

“Terima kasih atas informasi yang ... sangat lengkap itu,” jawab Cindy yang mendelik pada putranya.

Dilihati seperti itu, membuat Jovi segera berdehem pelan. Dia tadi memang sempat tertawa pelan, ketika Vanessa mengungkapkan terlalu banyak informasi tadi. Jovi tidak menertawakan berat badan Vanessa, tapi cara bicaranya yang kelewat jujur.

“Jadi apa kalian pacaran atau bagaimana?” Cindy kembali bertanya.

“Oh, tidak.” Vanessa dengan cepat menggeleng. “Pak Dokter hanya membantuku.”

“Membantu seperti apa yang membuat kalian harus check in hotel?”

“Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan,” jawab Vanessa jelas saja akan makin membuat bingung. “Saya tidak bisa jelaskan detailnya, karena menyangkut masalah keluarga.”

“Masalah keluarga?” Cindy jelas saja akan melotot mendengar itu. “Masalah keluarga yang mana?” lanjutnya masih dalam kalimat tanya, ditambah dengan mata memelototi sang putra.

“Tentu saja keluarganya Vanessa.” Kali ini, Jovi yang menjawab.

Mendengar jawaban dua anak muda di depannya, tidak membuat Cindy puas. Dia melipat tangan di depan dada, dan berusaha mencerna apa yang dikatakan dua orang itu. Sayangnya, Cindy hanya bisa mendapatkan satu jawaban saja.

Jovi sepertinya, entah sengaja atau tidak, telah tidur dengan Vanessa. Hal yang membuat keluarga perempuan itu menuntut dinikahi, sekali pun Vanessa mungkin belum hamil.

Cindy kemudian mengangguk pelan. Rasanya pemikiran dituntut menikah itu sudah paling tepat, dan jujur saja, dia sama sekali tidak keberatan. Dia malah senang.

“Apa pun yang ada di pikiran Mama, itu sama sekali tidak benar.” Jovi berbicara, ketika menyadari raut wajah ibunya terlihat tidak beres.

“Katakan saja apa yang mau katakan, tapi Mama hanya akan percaya apa yang Mama ingin percaya,” balas Cindy dengan senyum lebar.

“Nah, sekarang Vanessa. Tante boleh tahu kamu umur berapa?” Cindy dengan cepat mengalihkan pembicaraan.

“Baru saja menginjak dua puluh tujuh.” Vanessa lagi-lagi menjawab dengan sangat jujur. “Ada apa dengan umur saya ya, Tan?”

“Tidak ada apa-apa.” Cindy mengangguk saja. “Itu artinya, kau hanya berbeda sekitar dua tahun dengan Jovi.”

“Ma, tolong.” Entah mengapa, Jovi merasa apa yang dikatakan ibunya barusan adalah sebuah pertanda buruk. “Jangan punya ide aneh.”

“Lalu sekarang Vanessa kerja?” Sayangnya, Cindy tidak peduli pada permintaan sang putra.

“Di B Bank, sebagai marketing. Sebenarnya, saya pernah ketemu Tante karena yang handle Tante itu teman saya.”

Sebelah alis Cindy terangkat. Untuk fakta yang satu itu, dia cukup terkejut. Tapi keterkejutan itu dengan cepat menghilang, setelah dia mengingat tentang Vanessa.

“Kamu anak yang cerewet itu.”

Vanessa hanya bisa meringis mendengar julukan dari perempuan paruh baya di depannya. Dia memang kerap kali disebut banyak bicara, tapi tentu saja itu dibutuhkan bagi seorang marketing seperti dirinya kan?

“Kalau begitu berikan kartu namamu.” Cindy mengulurkan tangan. “Sekalian juga tulis nomor pribadimu di sana, jangan hanya nomor ponsel untuk kerja.”

“Kalau boleh tahu, untuk apa ya?” tanya Vanessa dengan ragu memberi apa yang diminta, tapi tetap mengulurkan kartu nama yang memang mudah dia jangkau dari dalam tasnya.

“Tentu saja kita harus membicarakan tentang pernikahan.”

***To be continued***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • My Bad Doctor   155. Akhirnya (TAMAT)

    "Kenapa kau tampak pucat?" Jovi menanyakan itu dengan kening berkerut. "Apa kau sakit?" "Tidak kok." Vanessa dengan cepat menggeleng. "Aku hanya belum memakai lipstik." "Yakin?" tanya Jovi, sembari memperhatikan istrinya yang pergi ke meja rias dan memakai lipstik. "Apa kita tidak usah pergi saja?" "Jangan begitu dong. Yang menikah ini kan teman kita berdua dan salah satu dokter di rumah sakit juga. Masa kita berdua tidak hadir." "Tapi kau tidak terlihat baik-baik saja." Jovi benar-benar khawatir ketika melihat istrinya. "Atau kita singgah ke rumah sakit saja dulu? Kebetulan stetoskopnya aku tinggal di sana." "Tidak perlu Joviandri." Kali ini, Vanessa berbicara dengan lebih jelas. "Sebaiknya, kita berangkat sekarang. Karena kalau tidak, nanti terlambat." Walau masih keberatan, Jovi pada akhirnya hanya bisa mengalah. Vanessa benar-benar merajuk ingin segera berangkat ke tempat acara, karena rumah mereka kebetulan agak jauh juga. Apalagi, kali ini mereka menginap di rumah ora

  • My Bad Doctor   154. Bukan Rahasia Lagi

    "Kau itu kenapa?" tanya Vanessa, pada lelaki di depannya. "Kenapa wajahmu berantakan begitu?" "Aku dipukuli Ayah," jawab Ardy dengan nada kesal. "Kau melakukan apa lagi?" Kali ini giliran Jovi yang bersuara, sembari mempersiapkan beberapa hal untuk mengobati pasiennya itu. "Pasti melakukan hal yang aneh kan?" "Aku memang melakukan sesuatu, tapi bukan sesuatu yang harus dipukuli seperti sekarang," gerutu Ardy mencebik kesal. "Pelan-pelan ya," lanjutnya ketika Jovi sudah akan mengobati wajahnya. "Tidak akan ada seorang ayah yang akan memukuli putranya seperti ini, jika tidak melakukan hal yang tidak sepatutnya." Vanessa mengatakan itu dengan kedua tangan terlipat di dada. "Jadi katakan saja. Kami akan mendengar dan tidak akan menghakimi." Ardy mengembuskan napas cukup keras. Dia tidak bisa langsung menjawab, karena selain sedang diobati di bagian sudut bibir, Ardy juga tidak bisa mengatakan alasannya dengan jujur. Bia

  • My Bad Doctor   153. Hasil

    "Bisa jelaskan ini pada Kakak, Ra?" tanya seorang lelaki berkacamata pada Aurora. Sayangnya, perempuan yang berprofesi sebagai dokter itu pun tidak bisa menjawab. Lebih tepatnya, Aurora membatu dengan mulut terbuka saking terkejutnya melihat kehadiran orang-orang di rumahnya. "Kok malah bengong sih. Ra?" Kali ini seorang perempuan yang sedang menggendong anak bayi yang berbicara. "Ini pacarmu kan? Tapi kenapa malah datangnya rombongan?" "Maaf." Tiba-tiba saja Aurora memekik. "Tapi boleh saya bicara berdua dulu dengan Ardy?" Dua orang tua yang duduk di atas sofa saling melirik, sebelum menatap putra mereka. Tentu saja dua orang tua ini merasa tindakan Aurora barusan sedikit tidak sopan, apalagi mereka seperti tidak disambut dengan baik. "Biar aku bicara dengan Aurora dulu ya." Untung saja Ardy cukup cepat tanggap dan segera beranjak dari tempatnya duduk. "Maaf, ya Om dan Tante." Tahu dirinya terlihat sedikit kurang ajar, Aurora tak lupa mengucap maaf. "Saya pinjam anaknya d

  • My Bad Doctor   152. Melamar

    "Aku tidak hamil, Ar. Jadi tolong jangan terus menggangguku," desis Aurora terlihat sangat kesal, dengan ponsel menempel di telinga. "Apa kau sudah periksa?" Sayangnya, Ardy tidak mau menyerah begitu saja. "Kalau sudah, perlihatkan hasilnya. Aku hanya akan menerima hasil dari rumah sakit dan tidak dengan test pack." "Yang benar saja. Kalau aku memeriksa ke rumah sakit tempatku bekerja, nanti aku akan digosipi orang-orang. Aku tidak mau itu terjadi." Sang dokter masih bersikeras. "Itu memalukan." "Kau merasa malu karena teman-temanmu tahu, atau tidak mau sampai Jovi tahu?" Ardy membalas dengan pertanyaan. "Kenapa tiba-tiba membicarakan Jovi?" "Tentu saja karena dia adalah calon penerus rumah sakit tempatmu bekerja. Sedikit banyak, dia pasti akan tahu kalau kau memeriksakan diri kan? Lagi pula, rumah sakit tidak hanya satu." Aurora memijat pangkal hidungnya, merasa terlalu banyak hal yang membuatnya sakit kepala belakangan ini. Tentu saja Ardy adalah salah satunya. Lelaki it

  • My Bad Doctor   151. Gejala Hamil

    "Jadi bagaimana dengan perjalananmu dengan Ardy?" Aurora langsung melirik kesal ke arah suara yang dia dengar. Padahal dirinya baru masuk ke dalam ruang praktik, tapi malah sudah menemukan seseorang yang menyebalkan di sana. Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Vanessa. "Bukankah kau harusnya bertanya pada dirimu saja dulu?" tanya Aurora yang kemudian menyimpan tasnya. "Bagaimana dengan program kehamilanmu?" "So far so good." Vanessa mengangguk tanpa ragu. "Cuma memang belum ada hasil saja. Mungkin setelah kuliah Jovi di semester ini berakhir, kami mau mencoba inseminasi saja." "Secepat itu?" Aurora menaikkan sebelah alisnya, menghentikan kegiatan menggunakan sneli. "Apa tidak mau menunggu lebih lama lagi? Bukankah katanya kau mau sekolah lagi?" "Iya sih, tapi entah kenapa pengennya begitu." Vanessa mengedikkan bahu dengan santainya. "Akan lebih baik aku hamil saat sedang kuliah, dibanding melahir

  • My Bad Doctor   150. Gara-Gara Setan

    "Apa yang terjadi di sini," gumam Aurora sembari menempelkan selimut dengan erat ke tubuhnya. "Aku juga tidak tahu," gumam Ardy dengan mata melotot. "Apanya yang tidak tahu brengsek." Dengan kekuatan penuh, Aurora melemparkan bantal ke arah lelaki yang dia temani. "Kau jelas-jelas melakukan sesuatu padaku." "Ya, tapi aku juga tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi." Ardy menjawab, sembari berusaha menghindar. Dia bahkan sampai keluar dari dalam selimut. "Jangan memperlihatkan tubuh telanjang sialanmu itu," pekik Aurora sembari memejamkan mata dengan sangat rapat. "Maaf." Ardy segera berjongkok dan bersembunyi di dekat ranjang. Entah bagaimana, dua orang itu pagi ini berakhir di atas ranjang yang sama dengan keadaan tanpa sehelai benang pun melekat pada tubuh. Padahal kemarin mereka hanya berniat untuk berlibur di daerah sekitar pegunungan yang bisa dijangkau tanpa mendaki, tapi malah berakhir di hotel. Padahal, kemarin rasanya semua baik-baik saja. Setidaknya, sampai huj

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status