Kali ini aku sudah tidak canggung lagi menggendongnya, Anna hanya mengigau sedikit kata-kata yang aku tidak mengerti saat aku mengangkatnya dari kursi penumpang. Sepasang kaki putihnya telanjang, karena sepatunya tertinggal di mobil, biarlah besok bisa diambil. Aku sudah sangat lelah, pemakaman Opa direncanakan dimulai pukul 10 besok pagi.
Aku meletakkannya di sisi tempat tidur yang sama seperti kemarin, dia langsung menekuk tubuhnya dan menarik selimut tanpa sadar. Cih, Anna sudah merasa seperti di kamarnya sendiri. Wajahnya merengut, tidak seperti kemarin, mungkin dia sedang bermimpi buruk, aku menghela napas panjang lalu menghampirinya dan membetulkan letak posisi kakinya yang keluar dari selimut, lalu segera membersihkan diri.
Saat aku selesai mandi dan memakai baju, gadis itu sudah mendengkur keras di tengah tempat tidur, rambut panjangnya awut-awutan di bantal, dan mulutnya sedikit terbuka sehingga ada air yang kembali keluar, bukan pemandangan yang indah.
Hadeuh, mengapa porsi tempat tidurku jadi semakin sedikit? keluhku dalam hati, tapi karena aku sudah sangat lelah, begitu aku meletakkan kepalaku di bantal, aku langsung tertidur.
Mimpiku kembali sama, berakhir dengan kaki kecilku yang basah karena air seni, berlari menuju lantai bawah. Aku lalu terbangun dengan napas sesak, ada suara napas konstan Anna di telingaku, dia memelukku dan meletakkan kepalanya di dadaku disaat aku ingin bangun untuk menenangkan diri, kakinya juga menjepitku sehingga aku tidak dapat bergerak.
Bulu mata lentik, hidung mancung, rambutnya berantakan membingkai wajahnya yang mungil, tapi mataku tak dapat beralih dari bibir merah mudanya yang tipis. Bibir itu sangat sensual, aku menyentuh dagunya dan mendekatkan wajahku tiba-tiba ingin merasakan bibirnya itu.
Jantungku berdebar kencang, karena tahu melakukan yang tidak boleh dilakukan, tapi begitu bibirku menempel bibirnya yang lembut, Aku menyukainya. Apakah dia tahu? apakah dia hanya pura-pura tidur, tapi yang aku tahu pasti aku begitu menikmatinya. Aku lalu menyentuh lembut bibir mungil itu dengan ujung jariku, dan kembali tertidur.
Aku kembali terbangun, Anna masih tertidur di dadaku, aku tersenyum mengingat perbuatan terlarangku semalam. Ingin rasanya tetap tidur bersamanya di kasur ini, tapi pemakaman opa tidak mungkin ditunda, maka aku kembali menyeret tubuhku ke kamar mandi dan membersihkan diriku.
Saat aku keluar dari kamar mandi, wanita itu masih tertidur pulas, seharusnya aku membangunkan dia, tapi aku takut dia malah kabur seperti kemarin, aku belum mau berpisah dengannya, belum... aku masih mau bersamanya.
Aku segera menyiapkan makanan, aku biasa sarapan roti, daging asap dan telur orak-arik arik. Apakah dia juga akan menyukai makanan ini? pikirku saat memasak daging asap. Wangi daging asap mulai memenuhi dapur, roti pun sudah selesai di panggang, ketika semua siap dia keluar dengan terseok-seok.
"Kamu ... kenapa kamu membawaku ke rumahmu lagi!" serunya sambil menggaruk kepalanya.
"Kamu ga macam-macam kan?" tanyanya lagi dengan nada menuduh.
"Siapa yang mau macam-macam dengan perempuan yang ngiler di bantal!" jawabku gugup, mengingat perbuatanku semalam.
Dia segera membersihkan mulutnya dengan lengan bajunya.
"Ish, ga ada apa-apa!" serunya marah.
"Kenapa aku disini lagi, tasku dimana?" tanyanya mendekatiku. Anna tidak mengatakan apa-apa lagi mengenai semalam, berarti dia benar tertidur, pikirku lega.
"Aku sudah berulang kali membangunkanmu, ternyata Pesanggrahan Indah ada banyak, aku tidak tahu alamatmu," jawabku sambil meletakkan piring sarapanku di meja dapur.
Matanya langsung membesar ketika melihat makanan di hadapannya, dia langsung mengambil pisau di sebelahnya dan mengoleskan mentega di rotiku.
"Pesanggrahan Indah Raya," ucapnya sambil mengunyah roti panggang.
"Itu makananku," ucapku separuh kesal separuh senang karena dia menyukai masakkanku.
"Oh, aku pikir ini untukku soalnya kamu taruh di meja." jawabnya santai lalu mengambil garpu untuk mulai makan.
"Aku... akan buat baru." ucapku kembali membuat telur orak-arik untukku.
"Aku tak pernah membayangkan orang seperti kamu memasak," ucapnya memperhatikanku masak.
"Aku tidak suka banyak orang masuk ke rumahku." jawabku sambil mematikan kompor lalu duduk di hadapanku.
"Jadi kamu yang bersihkan sendiri?" tanyanya mengangkat sebelah kakinya ke atas bangku. Aku menghela napas melihat perbuatannya.
"Kenapa? ga boleh angkat kaki? Makan ga seru kalau kaki ga naik satu, coba deh!" ucapnya sambil mengarahkan roti panggangnya kepadaku. Cih apa enaknya makan dengan kaki naik satu, dasar wanita aneh! aku tetap melanjutkan makanku tanpa menanggapinya.
"Kamu ga mungkin pakai baju itu ke pemakaman Opa," ucapku setelah mengamati bajunya. Kaus polonya sudah pudar warnanya, bahkan kerahnya agak kekuningan di ujungnya, dia terkejut lalu melihat bajunya.
"Yah sudah antar aku pulang, nanti aku pinjam baju Mama, mudah-mudahan Mama punya baju hitam lain, ini juga punya mama," jawabnya sambil menyendok telur.
"Kenapa kamu memakai baju Mamamu? kemarin, yang robek itu juga punya Mamamu?" tanyaku penasaran, yang langsung aku sesali, buat apa aku bertanya.
"Iya, dan kamu merobeknya, pokoknya kamu harus ganti rugi," serunya menyelesaikan makannya, lagi-lagi lebih cepat dariku. Aku mengangkat telepon dan menelpon Daniel segera.
"Daniel, kirim beberapa gaun hitam buat Anna, ukuran kamu pikir lah ukuran anak-anak mungkin cukup," ujarku.
"Baik pak," jawabnya.
"Sepatu pak?" tanyanya saat aku mau menutup teleponnya.
"Ukuran sepatumu berapa?" tanyaku, Anna terbelalak kaget karena aku serius menanggapi ucapannya.
"Ga usah, aku pulang saja ganti baju," ujarnya.
"Daniel menunggu," ucapku tidak menerima penolakannya.
"Biar saja menunggu," jawabnya seenaknya, aku melihat kebawah untuk mengira-ngira ukuran kakinya, mungil, ukuran wanita ini semua mungil.
"Dari ukuran paling kecil sampai 3 keatas, warna hitam." jawabku lalu mematikan telepon.
"Apa-apan itu tadi?" Mata ya membulat karena marah.
"Ukuran sepatumu, pasti paling kecil sama seperti badanmu yang seperti anak kecil, rata," aku memandangnya dengan penuh penilaian. Dia menatapku marah, tapi langsung menutupi dadanya.
"Ga boleh lihat-lihat, walau rata!" serunya marah. Wajahnya memerah karena malu.
"Daripada tutupi dada rata, mandi sana sebentar lagi kita berangkat," ucapku lalu berdiri mengangkat piring kotor kami berdua. Dia menatapku masih menyilangkan tangannya di dadanya dengan curiga.
"Aku mau pulang!" jawabnya keras kepala.
"Rumahmu jauh, nanti kita telat," balasku sambil mencuci piring.
"Ada kamar mandi di kamarku." jelasku lagi. Aku langsung membalikkan badan untuk mencuci semua peralatan masakku tadi. Tak ada tanggapan, berarti dia sudah masuk ke kamarku.
Tidak lama baju kiriman dari Daniel datang, ada beberapa setel, dia sendiri tidak ada karena harus tetap menerima tamu di Ruang Duka. Daniel memang sangat efisien, sampai saat ini pekerjaannya selalu sempurna.
Aku masuk ke kamarku, meletakkan berbagai pilihan baju untuk Anna di kasur dan langsung menuju kamar wardrobe, tempat aku menyimpan semua bajuku. Terdengar suara Anna bernyanyi dengan suara sumbang bersaing dengan suara air.
Aku mengganti bajuku dengan kemeja hitam dan celana hitam. Aku menatap bayanganku di kaca, cukup rapih, pikirku tapi seketika fokusku berpindah ke sesosok tubuh yang hanya mengenakan handuk, dia keluar dengan takut-takut melirik kanan, kiri sebelum mengambil salah satu stel baju di atas kasur, lalu kembali ke kamar mandi.
Aku salah, mungkin karena tertutup baju yang selalu kebesaran, badan Anna berkesan seperti anak-anak, tetapi ternyata dadanya penuh, dan bagian belakangnya juga. Tubuh Anna bukan seperti anak-anak tapi seorang wanita dewasa. Wanita dewasa yang sungguh menggoda.
"Oh Anna," desah Ethan terengah-engah merasakan sentuhan Anna yang semakin mendesak. Dia semakin bersemangat untuk meninggalkan jejak di cerukan leher Anna, tapi wanita itu segera menghindar."Jangan, ah kita kan mau ke dokter, nanti malu ah," seru Anna sambil terkikik geli merasakan bibir suaminya di lehernya yang jenjang."Ish, biar saja, biar mereka semua tahu kamu ada yang punya," ujar Ethan masih mau menikmati kulit putih sempurna milih istrinya itu, tapi Anna menggeliat dengan sedemikian rupa sehingga Ethan tetap tak bisa menyesap leher sempurna itu.Dia lalu memegang kedua tangan istrinya sambil tersenyum miring. Wanita itu menatapnya dengan mata coklat mudanya yang cantik. Matanya membulat karena terkejut."Kareba bergerak terus aku akan ikat kamu!" Ethan bergaya tegas, tapi tatapan mata Anna yang memelas membuatnya tidak tega, dia mendengus lalu menyerah."Aku menc
Saat Daniel menanyakan hal itu, Anna keluar dari kamar dan mengambil alih Jacob. Anna hanya mendengar sekilas ucapan Daniel, tapi dia mengerti apa yang sedang dibicarakan."Aku ikut, saat kamu ke dokter aku ikut!" ujarnya cepat lalu meletakkan Jacob kembali ke kursinya. Batita itu kembali merenggut dan merengek, dia maunya di gendong, dia tak suka berada di kursi. Dia mulai meraung, tapi ketiga orang dewasa di sekitarnya tak ada yang peduli padanya."Oh... haruskah hari ini?" tanya Ethan sambil meletakkan daging asap mengepul di tengah meja."Ethan, kita tak tahu sampai kapan kamu akan sadar, nanti kalau kamu tiba-tiba menghilang bagaimana?" tanya Daniel dengan penuh kekhawatiran. Anna, membuat makanan untuk Jacob, lagi-lagi instan karena dia belum belanja. Ethan mencari pengalihan perhatian."Makan apa dia? Mengapa instan begitu? Seharusnya kamu masak makanan sehat untuknya jangan yang instan, Dani,
“Aku akan selalu bersamamu sayang.” Mereka menyatu dengan sempurna, Anna mengangguk setitik air mata terjatuh di pipinya.“Kamu sangat sempurna untukku, Anna. Aku mencintaimu.” Mereka saling terengah-engah memuaskan diri dan emosi mereka yang kini saling berpadu. Napas mereka memburu dengan detak jantung yang saling bertalu-talu. “Oh, betapa aku mencintainya, jangan lupakan aku, Ethan!” pinta Anna dalam hati. Dia memekik bersamaan dengan Ethan yang melenguh panjang. Pria itu menatapnya lalu mengecup air matanya.“Terima kasih sayang, karena kembali kepadaku.” Anna bergelung di dada suaminya. “Terima kasih karena telah mengingatku.” desah Anna dalam hati.Ethan berdiri untuk mengambil kaosnya dan mengenakannya kembali merebahkan dirinya di samping Anna. Pria itu menarik pinggang Ana yang ramping. Istrinya masuk kedalam pelukannya, namun walaupun Anna
Dia berdiri diatas bangku berusaha mengikat tali di bagian atas langit-langit ruangan. Namun palang yang dulunya ada untuk mamanya mengikat kini bisa tidak ada. Tadi ada, namun kini hilang, lalu saat dia sadari, tali yang dia pegang pun tak ada? Kemana itu semua? Dia berteriak dengan frustasi sampai pintu ruangan itu terbuka dengan kasar. Wanita tadi masuk dengan air mata bercucuran di pipinya."Sayang, jangang sayang maafkan aku, oh Tuhan, maafkan aku, sayang turunlah!" pekik Anna dengan sangat takut. Wajah Ethan begitu gelap. Dia berdiri diatas bangku dengan canggung, wajahnya bingung seperti mencari sesuatu yang tiba-tiba menghilang."Ethan Samuel, turun kamu dari situ!" teriak Anna berusaha dengan tegas seakan dia sedang memarahi Jacob yang membuang-buang makanannya. Pria itu menoleh dengan bingung."Aku bilang turun, kamu harus turun!" Walau air mata Anna mengalir deras, dia merasa, Ethan harus dikagetkan, dengan ca
"Sayang…," desah Ethan sambil menciumi kelopak telinga Anna sehingga Anna tekikik geli. Tubuhnya mulai bergoyang tak terkendali, merespon tiap sentuhan Ethan. Jemari Anna mulai meraih kancing kemeja kerja Ethan. Dan dengan terampil kancing demi kancing dilepaskannya. Ethan tersenyum miring saat merasakan kemejanya sudah terlepas semua, dan jemari Anna mulai merasakan dadanya."Hmm, geli Anna," Ethan mendesah saat Anna terus menyusuri kulit perutnya yang berkotak-kotak.Anna tersenyum nakal, sambil terus merasakan hangatnya tubuh Ethan. pria itu dengan cepat melepas kemejanya sehingga kedua tangan Anna bebas menyentuhnya. Mata wanita itu berbinar-binar melihat tubuh Ethan yang kurus namun berotot itu."Kamu harus makan lebih banyak ya? Tubuhmu kurus sekali," Anna menyu
"Sayang, maafkan aku, kamu sudah pulang dan aku malah membuatmu takut, kembalilah padaku, aku sangat merindukanmu," desah Ethan di telinga Anna, pelukannya terasa nyata. Anna tak lagi berusaha melepaskan diri. Dia menoleh untuk menatap Ethan, dan menilai.Mata pria itu kembali hangat sebagaimana Anna mengingatnya. Dia tersenyum sedih, memandang Anna penuh harap. Anna menatap Jacob yang sudah kembali merasa aman di pelukan mamanya, batita itu sudah sibuk bermain dengan kancing baju mamanya. Tapi tiba-tiba dia menyentuh hidung papanya"Pa….pa," cengirnya memperlihatkan gusi yang kemerahan."Iya sayang, aku papamu." Ethan menangis menatap bayinya, bukan dia sudah besar sudah bukan bayi lagi. Betapa dia sudah kehilangan waktu, apa yang terjadi? Anna terk