Aku tak pernah menyangka hari ini akan datang begitu cepat, hari dimana opa Jacob meninggalkanku sendiri. Hanya dia keluargaku yang ada, dan kini dia juga meninggalkanku. Sekilas ada rasa marah kepadanya yang terbujur kaku di hadapanku, teganya opa meninggalkanku! Tapi kini aku menatapnya dan berharap dia bangun dan berkata dia hanya bercanda seperti biasanya.
Aku menatap ke sekelilingku, penuh dengan orang asing, yang bahkan tidak merasa perlu untuk berpura-pura sedih, mereka makan dan minum sambil mengobrol, saling bercanda.
Mataku tertuju kepada seorang wanita kurus mengenakan kaos polo hitam dan jeans yang terlihat sangat terpukul. Dia pasti lelah, segala usahanya terbuang sia-sia, opa tetap saja pergi.
Aku melihat Anna diberikan gelas plastik bekas oleh ibu di sebelahnya, dasar bodoh, buat apa dia membuang sampah orang lain? Aku segera mengalihkan pandanganku mencari Daniel, kemana dia, aku tidak dapat menemukannya, dia harus mencari pengelola rumah duka ini seharusnya ada pelayan untuk mengurus sampah.
Saat aku mencari Daniel pandanganku bertemu dengan matanya, dia seketika tersenyum tipis kearahnya, Cih kenapa dia malah tersenyum kepadaku, hatiku tiba-tiba bergetar, dasar aneh, aku segera membuang pandanganku.
Daniel masih belum terlihat, wanita itu juga tidak kembali ke kursinya, aku seketika merasa kehilangan. Mataku mencari ke sekeliling ruangan, ternyata dia sudah berdiri di dekat pintu keluar, apa dia mau pulang? jangan... jangan pulang dulu! Aku berdiri mau mengejarnya, tapi tiba-tiba Leona datang seperti angin dan langsung memelukku.
"Ethan!" pekiknya tertahan memelukku sesaat.
"Aku baru tahu, Opa?" ucapnya melepas pelukan lalu memandang opa Jacob, dia lalu menangis. Ah akhirnya ada yang benar-benar menangis untuk opa selain wanita bodoh itu.
"Kamu tak perlu kemari." ucapku berharap dia segera pergi, sudah cukup kehebohan yang dia akibatkan. Dia mencoba meraihku lagi, tapi aku segera menghindar, mataku menangkap gerakan lain diujung pandanganku,
Anna berjalan keluar, sepertinya wanita bodoh itu berencana pulang sendiri tengah malam begini? Aku segera berjalan cepat untuk menghentikan lalu menarik tangannya.
"Kamu mau kemana?" tanyaku menatap Anna kesal, mengabaikan bisik-bisik di sekitar kami.
"Aku...aku mau pulang saja, lepasin ah sakit!" serunya mencoba melepas tanganku. Matanya yang bulat menatapku dengan kening berkerut. Aku mengeratkan peganganku.
"Sudah malam, kamu nggak boleh pulang." jawabku langsung menyeretnya ke dalam dan mendudukannya di kursiku.
"Siapa dia?" tanya Leona ketus, sambil memandang Anna curiga.
Aku tiba-tiba ingin membalas sakit yang dia sudah torehkan di hatiku. Aku merangkul Anna dengan cepat.
"Dia tunanganku," jawabku tegas. Leona membulatkan matanya tidak percaya, menatap aku dan Anna bolak balik.
"Bohong!" jeritnya marah, dia maju ingin meraih kerah bajuku, tapi aku segera menghindar dengan cepat, sehingga dia hampir tersungkur di hadapanku, aku tersenyum senang, rasakan!
Tak lama suaminya pun datang. Aku memandangnya masuk dengan wajah merah padam karena emosi. Steven meraih tangan Leona dengan paksa, dan tanpa berkata apa-apa dia menarik istrinya yang mulai menjerit-jerit histeris keluar dari ruangan duka.
"Bohong! kamu bohong Ethan!" jerit Leona saat diseret paksa keluar, membuatku semakin senang karena kata-kataku jelas menyakitinya.
H
"Si...siapa dia?" tanya Anna masih menatap mereka sampai hilang dari pandangan.
"Bukan siapa-siapa." jawabku kesal. Leona benar-benar keterlaluan, dasar tidak tahu diri. Tak lama, Daniel datang dan menundukkan kepalanya.
"Maaf saya tadi sedang ke toilet, saya minta maaf," ucapnya. Aku menghela napas panjang.
"Lain kali jangan biarkan dia kembali, beritahu anak buahmu juga." Aku agak kesal atas keteledorannya, Daniel menunduk meminta maaf.
Semua orang meninggalkanku, termasuk Leona. Aku menatap wanita di sampingku, apakah dia juga akan meninggalkanku? lalu segera tersadar, apa yang barusan aku pikirkan.
"Kamu mau pulang?" Aku segera mengalihkan pikiranku.
"Iya. sudah hampir jam satu," jawabnya pelan. Aku memandang ke kumpulan orang asing yang datang kesini lagi, tidak ada gunanya juga aku berlama-lama disini.
"Ayo!" ucapnya lalu pergi, Daniel pasti bisa mengusir mereka semua nanti. Anehnya wanita itu menurutiku, dia berjalan dibelakangku tanpa banyak omong. Aku segera masuk ke mobil dan menunggunya memakai sabuk pengaman, dan segera menjalankan mobil.
"Kamu mau antar aku pulang?" tanyanya saat kami keluar dari komplek rumah sakit. Dasar bodoh buat apa lagi aku di mobil, kalau bukan untuk mengantarkannya pulang. Dia terlihat sangat letih, tidak mungkin aku membiarkannya pulang sendiri, tetapi aku tidak mengatakan itu semua. Dia sepertinya kesal karena aku tidak menjawabnya, lalu memandang keluar jendela.
"Sebaiknya kita makan dulu." ucapku setelah lama hening, tapi tidak ada tanggapan darinya, ngambek? aku berhenti di samping restoran cepat saji.
"Hei..., hei!" tegurku lagi, tapi aku malah dibalas dengan dengkuran pelan. Astaga ternyata dia sudah tidur lagi? Sebaiknya aku langsung membelikan makanan, toh paketnya sama denganku.
"Bangun!" serukku sambil menyentuh lengannya, terasa dingin karena terkena AC mobil langsung. Aku segera menutup AC yang mengarah kepadanya.
"Bangun," ucapku lagi sambil menggoyang lengannya dengan lebih keras. Akhirnya dia terbangun dan langsung menatapku dengan mata coklat mudanya.
"Aku tidak tertidur!" jawabnya jelas berbohong.
"Cih, makan nih!" seruku lalu menyerahkan kantong makanannya.
"Ah... makasi," balasnya senang.
Dia langsung dengan semangat memakan paketnya, aku tersenyum sekilas senang karena dia bukan wanita yang memilih-milih makanan. Aku juga segera menghabiskan makananku, dalam waktu singkat kami sudah selesai makan, aku menatapnya dengan heran, bagaimana makanan sebanyak itu masuk ke perutnya secepat itu, karena aku laki-laki jadi wajar, tapi dia wanita mungil seperti ini?
"Kenapa?" tanyanya dengan mata melotot, aku langsung tersadar dari lamunanku, lalu membuang pandanganku.
"Alamatmu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Akasia TV3 nomor 1." jawabnya mengulang informasi yang sama seperti kemarin.
"Nama perumahannya?" tanyaku lagi.
"Pesanggrahan Indah." jawabnya setelah berapa lama. Aku tidak tahu dimana itu, tapi nanti bisa pakai peta dan langsung menjalankan mobil kembali.
"Aku nanti kasih tau kemana, soalnya banyak belok-beloknya." suaranya terdengar, tapi aku diam saja.
Ternyata rumahnya jauh sekali, bagaimana dia bisa berencana untuk pulang sendiri tadi. pikirku menatapnya, Anna duduk diam sambil menatap lampu di jalan tol. Pesanggrahan, aku membaca tanda jalan, aku segera keluar dari jalan tol.
"Setelah ini belok kemana?" tanyaku, dan kali ini aku tidak lagi heran ketika aku dibalas dengan dengkur halusnya lagi.
"Aish, dia sudah tidur lagi." gumamku, meminggirkan mobil, lalu menatap wanita yang tertidur dengan damainya. Kepalanya terkulai kearahku, aku menatapnya sambil mendengus geli, wanita ini sepertinya kelewat nyaman denganku, dia dengan mudahnya tertidur.
Aku mengguncang pundaknya, tapi sepertinya dia sudah lelap sekali.
Pesanggrahan Indah, aku mengetik di handphoneku mencari jalan menuju rumah Anna, lalu muncul banyak Pesanggaran indah di layar, Pesanggrahan Indah 1, Pesanggrahan indah 2, perumahan dia yang mana? sudah jam dua pagi, akhirnya aku memutar balik masuk kembali ke pintu Tol.
Kali ini aku sudah tidak canggung lagi menggendongnya, Anna hanya mengigau sedikit kata-kata yang aku tidak mengerti saat aku mengangkatnya dari kursi penumpang. Sepasang kaki putihnya telanjang, karena sepatunya tertinggal di mobil, biarlah besok bisa diambil. Aku sudah sangat lelah, pemakaman Opa direncanakan dimulai pukul 10 besok pagi.Aku meletakkannya di sisi tempat tidur yang sama seperti kemarin, dia langsung menekuk tubuhnya dan menarik selimut tanpa sadar. Cih, Anna sudah merasa seperti di kamarnya sendiri. Wajahnya merengut, tidak seperti kemarin, mungkin dia sedang bermimpi buruk, aku menghela napas panjang lalu menghampirinya dan membetulkan letak posisi kakinya yang keluar dari selimut, lalu segera membersihkan diri.Saat ak
Aku bermimpi indah sekali. Aku menjadi putri salju yang sedang bermain-main dengan binatang-binatang di hutan, lalu datang seorang nenek sihir memberikan aku gelas plastik bekas. Dia menyuruhku untuk membuangnya ke tong sampah, tapi anehnya saat aku memegang gelas plastik bekasnya, aku langsung jatuh ke lantai tak sadarkan diri. Untunglah ada pangeran yang langsung menangkapku, dan meletakkanku di atas tumpukan jerami kering, dia tersenyum lalu menciumku.Aku terbangun dengan puas, ah mimpiku indah sekali, lalu menyadari aku tidak ada di kamarku, tetapi kamar ini terasa familiar, ah tidak! apa aku ada di kamarnya lagi? aku segera memeriksa baju dan celanaku, syukurlah masih lengkap, walau bagian selangkanganku agak sakit karena tidur mengenakan celana jeans.
Aku tahu seharusnya aku mengalihkan pandanganku tapi rasa keingintahuanku melampaui logika. Aku maju lebih dekat dan bersembunyi di balik pintu kamar pakaian, aku melihat Anna masuk kembali ke kamar mandi sambil mengambil salah satu setelan baju secara asal.Aku mengulang pemandangan indah tadi, air masih menetes dari rambutnya, pundaknya putih dan jenjang, dadanya tidak serata yang aku pikirkan, ukurannya pas untuk tubuhnya yang mungil, perutnya rata dengan bagian bokong yang penuh, hatiku penuh rasa bersalah mengintipnya seperti itu.Saat dia masuk ke kamar mandi lagi, aku segera keluar dari kamar pakaian tapi tiba-tiba Anna keluar lagi saat aku sudah di dekat pintu."Kamu! mau apa kamu?" jeritnya kaget. Aku berusaha mengalihkan perhatianku, tapi sungguh itu hal yang sulit. Anna sangat sexy di hadapanku. Dia masih mengenakan handuk walau terlihat dia sudah mengenakan BH hitam dibalik handuknya."Keluaaar!" jeritny
Kami sampai dalam waktu cepat karena rumah Ethan terletak tidak terlalu jauh dari Ruang Duka. Aku kembali menatap Opa Jacob yang tertidur abadi di peti matinya, betapa menakjubkan kehidupan itu, hanya sesaat yang lalu kami makan dan bercanda bersama, kini Opa hanya bisa terbujur kaku di sana.Ibadah tutup peti terasa singkat, dalam beberapa waktu peti segera ditutup, alunan lagu dinyanyikan untuk menguatkan hati, aku kembali terisak, dan memandang Ethan. Dia berdiri kokoh, tapi matanya memperlihatkan kehilangannya, aku berdiri disampingnya, merangkul lengannya, setidaknya hanya itu yang aku bisa lakukan.Ethan menyetir dalam diam saat mengikuti mobil jenasah yang membawa Opa ke peristirahatan terakhirnya. Upacara segera dimulai, orang yang ikut ke penguburan semakin sedikit, kemana semua orang-orang yang bercanda tawa kemarin? sepertinya mereka tidak mau repot-repot mengotori sepatunya dengan tanah basah.Aku benar-benar kesulitan untuk mendaki bukit kecil menuju l
Entah kenapa aku ingin mengantarnya, aku ingin melihat rumahnya atau sebenarnya aku memang belum mau berpisah dengannya aku tidak mengerti, tapi yang pasti saat aku mengantar Anna yang berjalan terseok-seok diatas stilettonya, aku bersyukur aku ada untuk memegangnya.Dia membuka pintu gerbangnya yang sudah berkarat, tidak di kunci? Bahaya sekali, bukannya di daerah sini rawan rampok?"Baik, terima kasih atas tumpangannya." Anna berkata sambil mendorong pintu reot itu, tapi aku mendorongnya dan bermaksud ikut masuk ke dalam."Kenapa?" Dia bingung memandangku."
Dia pergi dengan tergesa-gesa, setelah meminta ijin kepada Mama. Cih! untung dia masih inget sopan santun, dasar pria nggak jelas! Aku masih memandang ke arah dia pergi tanpa sadar, sampai mama terbatuk."Sudah layaknya dia marah," mama memandangku, sambil berdiri menuju dapur."Bagaimana jadinya malah dia yang layak marah Ma?" tanyaku kesal."Ingat Anna, dia baru kehilangan Opanya, dia benar-benar sendirian sekarang, pasti kondisinya tidak stabil," jawab mama sambil membuka kulkas sambil bersiap untuk masak makan siang.Aku terpaku menatap punggung mama yang
Walaupun aku sudah menyetir jauh, aku masuk ke dalam rumah masih dalam keadaan kesal, dasar wanita brengs*k sudah untung aku bantu malah menyalahkan aku akan semua yang terjadi, pikirku dalam hati."Cih!" hardikku ketika begitu sulitnya aku untuk membuka kerah kemejaku. Hatiku terasa panas, aku terlalu gusar untuk bisa berkonsentrasi, masih dengan mengutuk aku masuk ke dalam kamarku dan segera membanting diri ke kasur. Mengapa aku begitu emosi, tidak dapat ku mengerti? Tapi jika berhubungan dengan wanita itu aku memang selalu bereaksi berlebihan.Aku menatap langit-langit kamarku, membayangkan apa saja yang terjadi sepanjang hari ini. opa sudah di kubur, dan akhirnya urusanku dengan wanita itu selesai. Aku hanya tinggal melanjutkan
Jam kerja yang membosankan akhirnya berakhir juga, sesudah Ema pulang, aku juga segera merapihkan mejaku. Jam 6 tepat aku sudah di pinggir jalan depan kantorku menunggu Raka datang. Tak lama dia menghampiriku dan memberikan helm."Nyokap lo, masak ga ya?" tanya Raka saat aku duduk di bangku penumpang."Ngga tau, memangnya kenapa?" aku merapihkan dudukku lalu merangkul Raka, karena motor Raka adalah motor yang agak tinggi bagian belakangnya."Ada deh," sahutnya misterius sambil tersenyum lalu menjalankan motornya dengan kencang sehingga aku harus mengeratkan peganganku.Jalan Jakarta hari ini tidak biasanya lancar, dalam waktu singkat kami sudah berada di daerah perumahan kami, tapi ternyata Raka melewati belokan ke perumahan kami."Mau kemana kita?" tanyaku lagi berteriak untuk mengalahkan suara motor."Ada, nanti lo bakalan tau juga." Dia juga berteriak menjawabku. Aku memperhatikan ke sekelilingku, sepertinya kami menuju pasar malam, dan b