Aiden menggerakkan tangannya, menyuruh Xander untuk segera keluar dari ruangan yang terdapat di dalam sebuah restoran. Segera Xander keluar layak seorang anak yang menurut pada ibunya. Barulah setelah itu Aiden melirik perempuan yang sedang duduk menghadap dengan dirinya. Perempuan itu tersenyum, tapi anehnya membuat emosi Aiden malah memuncak. Perasaan sesak mulai menghinggapi Aiden kala dia sudah duduk di bangku yang berhadapan dengan Amanda.
“Kenapa kau memanggilku ke sini?” Amanda segera mengeluarkan pertanyaan. “Kau rindu denganku?”
Aiden meremas tangannya kala mendengar pertanyaan itu. Rindu ... tak pernah sekalipun Aiden mengizinkan dirinya merindukan perempuan licik yang tega meninggalkannya dengan penuh luka.
“Buang jauh-jauh pemikiranmu itu,” tegas Aiden. Dia menatap tajam Amanda. “Apa tujuanmu datang ke sini setelah dua tahun berlalu?”
Amanda
Setelah acara makan malam selesai, Ransom langsung menyuruh Aiden untuk menemuinya di ruang kerja Ransom. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan oleh Ransom sebelum menyambut hari besar esok— hari pernikahan Aiden dan Stephanie. Dan Ransom sama sekali tidak menemukan alasan mengapa Aiden mempercepat semuanya .... Maka dari itu dia berniat membicarakan masalah ini dan mengabaikan sejenak tentang perselisihan yang mereka miliki.Aiden tidak berniat untuk mendudukkan bokongnya di salah satu kursi. Dia tetap berdiri sambil bersedekap dada. Mengarahkan pandangan ke Ransom yang sedang bersandar di kursi kebesarannya. “Katakan apa yang ingin kau bicarakan.” Aiden berucap langsung. Dia tidak ingin tinggal lebih lama di ruangan ini.Ransom mengangguk. Menarik napas panjang, lalu membuang. “Apa alasanmu mempercepat pernikahan ini?”Aiden memutar bola matanya jengah. “Ini bukan waktu yang te
Stephanie berjalan menyusuri lorong gereja yang telah dipermak sedemikian rupa dengan karpet merah yang langsung menuju ke arah podium. Di sana terdapat Aiden dengan seorang pendeta. Tak hanya musik yang indah sebagai peneman, Erland juga ikut menemani Stephanie menuju ke arah podium. Kilatan-kilatan cahaya yang berasal dari beberapa kamera juga ikut menyambut mereka. Tak lupa Stephanie memberikan senyumannya kepada setiap orang yang berdiri dari kursinya.Aiden berdiri dengan gagahnya di depan sana. Dia menatap Stephanie tanpa berkedip sekalipun. Seolah tidak ingin melewatkan setiap gerakan yang Stephanie lakukan. Walau Stephanie menggunakan penutup wajah, itu tidak mengurangi kadar kecantikannya. Dan itu berhasil membuat Aiden mematung sampai suara pendeta membuat semuanya kembali seperti semula.“Tolong jaga putriku, Aiden.” Erland bersuara disaat Aiden sudah mendekat. Disaat Aiden menganggukkan kepalanya, disitu pula Erland m
Stephanie terbaring dengan pasrahnya di atas kasur empuk. Napasnya terengah-engah karena permainan memabukkan yang Aiden lakukan dari tadi. Dengan pandangan yang bergairah, Stephanie memberanikan diri untuk menatap Aiden yang berada di atasnya— duduk di kasur dan berhadapan langsung dengan tubuh Stephanie yang sudah dalam kondisi tidak terbalut apapun.Aiden mendekat dengan tatapan yang sama seperti Stephanie. Dia memberikan kecupan di kedua mata Stephanie yang terpejam. Dan dengan suara serak basah, Aiden berkata, “Ini sedikit sakit tapi akan terasa nikmat nanti .... Rileks, Sweetie.”Stephanie tidak bisa merespon apapun. Karena sungguh dia sangat takut disaat Aiden mengatakan ‘sakit’. Itu membuat seluruh badan Stephanie mendadak menegang. Dan apa yang Stephanie rasakan dapat dipahami baik oleh Aiden.Aiden tersenyum. Walau dia sudah ada dalam ujung tanduk— dimana gairahnya yang benar
Disaat Stephanie ingin bergerak meninggalkan ruangan itu karena tidak sanggup untuk menahan rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit dadanya, suara Aiden terdengar. Membuat Stephanie mendongak, menatap Aiden dengan mata berkaca-kaca.Aiden menautkan kedua alisnya. Merasa bingung karena melihat mata Stephanie yang sudah ingin menumpahkan air matanya. Dalam hati Aiden menerka-nerka apa yang terjadi.Apakah Aiden membuat kesalahan?Tidak ingin berperang lebih lama dengan kepalanya, dia langsung mendekat. Sesaat ingin memegang bahu Stephanie, perempuan itu langsung bergerak mundur. Stephanie memeluk badannya sendiri. Seolah melindungi tubu
Stephanie tersenyum miris melihat bagaimana kondisi kamar yang ia tempati semalam. Gaun dan pakaian Aiden tercecer di lantai, ditambah lagi kondisi kasur yang sudah tak berbentuk itu berhasil membuat dirinya kembali ke keadaan semalam. Keadaan dimana dia sepenuhnya telah menjadi seorang wanita …. Harusnya dirinya senang karena telah melakukan itu dengan suaminya, tapi sayangnya sebuah fakta yang dirinya dengar membuat semuanya berbanding terbalik.Dia pun memilih untuk merapikan semuanya seperti sedia kala. Berharap dengan rapinya kamar ini membuat bayang-bayang kegiatan percintaan mereka lenyap …. Sayangnya tidak segampang yang Stephanie kira. Dan pada akhirnya Stephanie memutuskan untuk pergi dari kamar, tapi sesudah dia memutar knop pintu, pintu itu tak kunjung terbuka.
Setelah pelayan itu pergi dengan membawa pesan kalau sepasang suami-istri itu akan turun ke bawah menemui Sean. Aiden memilih berdiri, berjalan-jalan di kamar. Sejujurnya terbesit rasa kecewa pada Aiden disaat mendengar pernyataan yang mengejutkan dari Stephanie .... Istrinya tidak percaya kepadanya. Apa yang harus dilakukan Aiden kalau begitu?“Sweetie.” Panggilan yang Aiden berikan membuat Stephanie menarik pandangan. Aiden menghela napasnya saat melihat wajah cantik Stephanie yang sekarang malah memerah. Terlebih lagi matanya yang bengkak. Hal itu membuat Aiden semakin merasa bersalah .... Tapi ia bingung harus melakukan apa. Haruskah Aiden menenangkannya disaat dirinya juga tidak tenang karena pernyataan Stephanie? “Kau bisa cuci wajahmu, lalu kita turun ke bawah .... Sean tidak boleh mengetahui kejadian ini.”
Tetapi yang dilakukan Aiden malah sebaliknya. Dia menolak bantuan Stephanie dengan mendorong tubuh Stephanie pelan. Lalu mundur ke belakang dengan sempoyongan.“Apa kau pikir dengan bertindak seperti hari ini bisa menyelesaikan masalah?” Aiden membalik pertanyaan Stephanie. Dia menggelengkan kepalanya. “Tidak .... Kau malah membuatnya semakin rumit. Kau bertingkah dengan seenaknya. Mengusirku dari mansion kita dengan alasan pekerjaan. Apa yang kau pikirkan? Apa kau ingin semuanya tahu tentang masalah kita? Kalau iya, selamat .... Sean, kakakmu yang kau banggakan itu sudah tahu!”Stephanie menggeleng. “Aiden ....”“Dan kau ingin menyangkalnya?” Lagi, Aiden memotong. Matanya sudah memerah. Ingin sekali Stephanie membawa Aiden ke kamar. Tetapi sayang, Stephanie masih ragu. Dia takut kalau Aiden akan menolaknya untuk kedua kali.“Katakan .... Apa aku
“Sweetie ....”Stephanie yang baru saja menyeruput kopinya terpaksa memberhentikan kegiatan itu sejenak. Dia menghela napasnya. Kesal dengan Aiden yang selalu memanggil namanya berkali-kali di pagi ini. Bahkan untuk duduk dan bersantai di balkon kamarnya pun tak bisa Stephanie lakukan.“Ya. Kau butuh sesuatu lagi?” Stephanie menyahut sesudah dia masuk ke dalam kamar. Menyilangkan tangannya di depan dada. Lalu mengarahkan pandangannya ke Aiden yang sudah menggunakan kemeja. Tapi ... dasi itu merusak semuanya.“Aku tidak tahu caranya,” tutur Aiden dengan menatap Stephanie sambil memegang dasi yang sudah menggantung di leher Aiden.