Share

Kesepakatan

Nayaka berdiam diri sepanjang perjalanan pulang dari makan siang. Intimidasi Sangka terlihat nyata untuknya. Nayaka paham dengan sikap Sangka, tapi juga tak paham. Dia sudah memilih Gama, kenapa masih harus mempertanyakan perasaan Bahana? Apakah Sangka memang serakah ingin memiliki keduanya? Kalau begitu, Nayaka bertekat untuk mempertahankan Bahana, dan membuat Sangka tahu, Bahana bukan lagi miliknya. Baik hati dan raganya.

“Sangka mengatakan apa padamu? Sampai kamu diam tak menatapku,” desis Bahana curiga.

“Aku akan membuatnya tahu, kamu milikku,” desis Nayaka tak sadar, membuat Bahana menekan rem karena tak menyangka mendengar kata-kata itu dari mulut Nayaka.

“Apaan sih mengerem mendadak?” tanya Nayaka kesal karena kepalanya terantuk dashboard.

“Ulangi sekali lagi?” pinta Bahana berharap Nayaka tak melupakan desisannya tadi.

“Apa?” tanya Nayaka bingung.

“Ulangi perkataanmu tadi tentang Sangka,” tuntut Bahana membuat Nayaka sadar akan kelancangan mulutnya sendiri. Dia menepuk mulutnya, kenapa harus mengeluarkan kata-kata seperti itu.

Bunyi klakson dari mobil belakang mereka membuat Bahana kembali melajukan mobilnya.

“Ayo katakan lagi,” desak Bahana tak sabar.

“Apa?” Nayaka berpura-pura tak tahu apa yang Bahana maksud.

“Jangan mengelak. Ayo katakan,” tuntut Bahana membuat Nayaka kesal.

Bahana menepikan mobilnya. Menunggu Nayaka mengucapkan lagi kalimat itu. Sadar Bahana tak akan melajukan lagi mobilnya sampai Nayaka mau mengulangi lagi kata-kata itu, membuat Nayaka mendesah.

“Aku akan membuatnya tahu, kamu milikku,” desis Nayaka lirih, pada akhirnya. Bodoh.

“Lebih keras,” rajuk Bahana membuat Nayaka kesal.

 “Kamu milikku,” kata Nayaka pada akhirnya.

Membuat Bahana tersenyum dan meraih dagu Nayaka, agar pandangan mereka bertemu. Nayaka jengah, harus menatap mata itu. Sungguh, dia luluh saat mata itu menatapnya. Kini dia bahkan yakin, perasaannya sudah berpindah. Kepada pemilik mata itu.

Im yours,” desis Bahana menyukai pernyataan Nayaka. Pernyataan yang dia tunggu setelah sekian lama.

“Kita, ke butik untuk melihat wedding dress, aku tidak menerima penolakan,” kata Bahana membuat Nayaka mendesah protes.

Kini Bahana melajukan mobilnya dengan buncahan bahagia. Sikap persisten yang dia tunjukkan terhadap Nayaka, sudah membuat perempuan itu akhirnya mau mengakuinya.

Mereka berhenti di butik yang terkenal, baju pengantin yang cantik terpajang di etalase depan. Membuat nyali Nayaka menciut. Dia tak menginginkan pernikahan mewah, hanya pernikahan sederhana sudah sangat cukup.

“Halo Mas Bahana, sudah lama tidak mampir, biasanya pesan jas,” sapa karyawan butik itu.

“Iya nih, sudah lama gak ada acara formal,” jawab Bahana.

“Kali ini mau pesan apa?” tanya karyawan itu lebih lanjut.

“Ratna ada? Aku mau membicarakan gaun pengantin,” jelas Bahana membuat karyawan itu mengerti dan memanggil bosnya.

“Halo Na, apa kabar? Udah lama gai ketemu ya,” sapa seorang perempuan dengan baju kebaya Bali yang cantik.

“Iya nih. Kabar baik kok. Lagi banyak pesanan gak?” tanya Bahana seraya mengajak mereka untuk duduk di kursi.

“Hanya pesanan beberapa kebaya untuk acara Ngaben. Kenapa? Mau pesen gaun pengantin?” selidik Ratna.

“Iya, mendadak sih, buat sebulan lagi. Bisa gak?” tawar Bahana.

“Tergantung, mau desain yang simple apa ribet,” kata Ratna sambil menatap Nayaka yang hanya diam.

“Kamu pengen gaun yang gimana?” tanya Bahana membuat Nayaka bingung. Seumur-umur dia tak pernah membayangkan akan membeli baju pengantin kepada desainer.

“Simpel saja sih, gak banyak ornamen, dan juga gak banyak aksen,” jawab Nayaka membayangkan gaun simpel.

“Tunggu, Nari, ambilkan buku sketsa dan pensilku,” pinta Ratna membuat karyawan bernama Nari membawakan barang yang diminta.

Kemudian Ratna menggambarkan sebuah gaun yang simpel untuk Nayaka.

“Aku ingin dia hanya berada di bawah lutut, tak panjang dan tak pendek, aku ingin bebas bergerak,” kata Nayaka.

Ratna kemudian mengoreksi gambarnya.

“Tambahkan ekor transparan tapi tidak terlalu panjang, masih bisa membuatku bergerak tanpa kesusahan,” kata Nayaka yang merasa entah kenapa kepalanya mendadak lancar memikirkan tentang gaun ini.

“Bolehkah berwarna biru muda?” tanya Nayaka takut-takut kepada Bahana.

Its up to you, my lady,” jawab Bahana membuat Nayaka tersipu.

“Aih, manis sekali kamu Na,” ledek Ratna semakin membuat Nayaka malu.

“Aku tak mempermasalahkan warna gaun pengantin. Yang terpenting adalah hatimu,” desis Bahana membuat Ratna menutup mukanya dengan buku sketsa.

“Boleh tidak untuk kemesraannya jangan diumbar di sini? Jomlo merana mendengarnya,” desah Ratna membuat Bahana tertawa.

“Makanya nikah, perancang gaun pengantin kok malah ngerancang gaun buat yang lain terus,” ledek Bahana.

Mereka tertawa. Tawa lepas. Kelegaan entah karena apa, tapi Nayaka merasakan hatinya meringan. Tawanya tak lagi ada beban. Mungkin, ini awal dari kebahagiaannya.

Ratna menggambar gaun yang sesuai dengan keinginan Nayaka, mereka sepakat seminggu lagi akan melakukan fitting, untuk Bahana, jas formal sudah sangat cukup. Berwarna biru muda. Seperti langit, yang mengantungkan harapan mereka.

Bahana tak berhenti tersenyum sepanjang perjalanan pulang, sikap Nayaka hari ini membuatnya melupakan semua perih akan Sangka. Berharap kebahagiaan ini tak akan hilang selamanya.

“Apa senyum-senyum sendiri?” Nayaka jengah dengan sikap Bahana.

Nayaka turun dari mobil dan meninggalkan Bahana di belakang. Berharap segera menyembunyikan wajahnya di bantal. Sungguh hari ini dia malu, mengakui perasaannya yang bahkan belum pasti, bahkan tanpa sungkan memesan gaun pengantin. Sungguh, dia tak ingin lagi berhadapan dengan Bahana, karena laki-laki itu tak akan membuatnya tenteram,  pasti akan menggodanya.

Tapi dia salah. Sebelum langkahnya sampai di pintu kamar, langkah panjang Bahana sudah mendahuluinya, tanpa basa-basi bahkan kini memeluknya.

“Terima kasih untuk hari ini. Pengakuanmu, membuatku tahu, setidaknya aku masih bisa mencintai seseorang dan melindunginya,” bisik Bahana.

Nayaka menyembunyikan wajahnya di dada Bahana, diam, tak mengatakan apa-apa, karena rasanya apa yang dia lakukan hari ini sudah sangat menunjukkan pernyataannya.

“Ayo, bicaralah,” kata Bahana melihat Nayaka diam.

“Apalagi yang bisa kukatakan,” elak Nayaka. Semakin menenggelamkan wajahnya, menolak saat Bahana mengurai pelukan. Sungguh dia malu menatap mata itu.

Bahana tertawa.

“Kita, ke Lombok dengan status baru, aku tak ingin membawamu ke sana tanpa kepastian. Aku hanya ingin, kita menjadi sebuah kesatuan,” desis Bahana. Nayaka masih tak ingin menunjukkan wajahnya yang mungkin bersemu merah.

“Hm ... mulutmu terkunci? Apa aku harus membukanya?” goda Bahana yang membuat Nayaka semakin diam. Sial.

Dengan paksa Bahana menjauhkan wajah Nayaka dari dadanya. Lalu menatap mata yang kini melirik jauh ke samping karena tak ingin bertemu pandang. Sungguh, Bahana gemas dengan reaksi yang Nayaka perlihatkan.

“Tatap aku,” tuntut Bahana. Nayaka bergeming.

“Ka,” desis Bahana, mau tak mau Nayaka menatapnya. Mata itu, dia semakin jatuh ke dalam perasaan yang tak menentu.

“Katakan, kamu melakukan ini karena kamu mau,” desak Bahana.

“Kamu, milikku, Sangka, tak akan bisa merebutmu. Atau perempuan lain,” desis Nayaka pada akhirnya.

Bahana kembali merengkuh perempuan aneh ini ke pelukannya. Tak ingin melepasnya, sampai suara deheman membuyarkan semua romansa.

“Selamat malam Ka,” bisik Bahana sambil melotot ke arah Raka yang mengawasi mereka berdua.

Nayaka menutup pintu dengan malu yang sudah di ubun. Sementara Bahana menunjuk kamarnya, memberi kode kepada Raka bahwa dia akan tidur. Membuat Raka menggelengkan kepalanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status