Share

Konfrontasi

Nayaka menutup pintu lalu menutup wajahnya. Menyembunyikan rasa malu yang menyeruak. Walau Bahana tak lagi ada di depannya, tapi degup jantungnya tak kunjung mereda. Rasanya masih panas, masih membuatnya merasa dipandangi.

Dia lalu membersihkan diri di kamar mandi. Mengguyur kepalanya agar segera reda semua rasa malu itu.

Sementara Bahana langsung merebahkan dirinya di tempat tidur. Tersenyum dan memejamkan matanya karena bahagia.

Dering ponsel membangunkannya, sudah pagi rupanya. Dia bahkan belum berganti baju. Pradnya.

“Ada apa?” tanya Bahana.

“Oke, aku akan ke sana. Semuanya kupasrahkan padamu,” kata Bahana lalu gegas mandi.

Nayaka masih belum keluar dari kamar, dia kemudian meninggalkan rumah dan berpesan pada Raka dan Mbok Inah, kalau dia hanya sebentar menemui Pradnya.

Nayaka membuka matanya, berusaha mengingat ini hari apa. Beruntung semua dokumen kerja sudah dia selesaikan beberapa hari yang lalu. Dia kemudian mengirimkan surat kepada bosnya untuk meminta waktu mengurus pernikahan. Hah, pernikahan, Nayaka bahkan masih tak percaya dia akan menikah. Beberapa tahun terjebak dalam hubungan yang toksik, membuat Nayaka lupa bagaimana rasanya mengharapkan sebuah pernikahan. Doni begitu mengintimidasinya, mengungkung semua perasaannya menjadi perasaan takut dan bersalah, yang sebenarnya tak beralasan.

Setelah mencuci muka, Nayaka keluar dan melihat kamar Bahana masih tertutup. Dia menuju dapur, Mbok Inah sudah masak nasi goreng.

“Mas Bahana keluar tadi Non, ketemu sama Bli Pradnya,” kata Mbok Inah membuat Nayaka mengangguk.

“Mbak Ka, gak ada acara?” tanya Raka yang kemudian ikut bergabung di meja makan.

“Aku cuti,” kata Nayaka.

“Yang mau nikah, pakai cuti segala,” goda Raka membuat Nayaka membulatkan matanya.

“Dih apaan sih,” sergah Nayaka malu.

“Aku ingin berbicara denganmu.” Suara Sangka membuat Nayaka dan Raka kaget.

Wanita itu menerobos masuk tanpa salam.

Sangka menarik tangan Nayaka ke ruang tamu.  

“Jangan merasa kamu sudah mendapatkan Bahana, dengan restu Gama sekalipun, aku pastikan hati Bahana hanya untukku,” ancam Sangka membuat Nayaka merasa jijik.

Bagaimana bisa seorang yang sudah bersuami dengan lugas mengatakan masih mencintai laki-laki lain?

“Aku sudah bilang kemarin, Bahana bukan obyek yang bisa kamu tentukan. Dia entitas sendiri yang berhak untuk menentukan apa yang ingin dia lakukan, dengan hatinya, tubuhnya,” sergah Nayaka.

“Jangan mengajariku tentang perasaan. Yang harus kamu tahu, kamu belum memenangkan ini,” desis Sangka seraya mencengkeram lengan Nayaka erat.

Nayaka meringis kesakitan.

“Ini bukan perkara menang atau kalah, ini perkara hati seseorang yang sudah kamu permainkan,” desis Nayaka membuat Sangka semakin geram.

Raka yang melihat hal itu segera menghubungi Bahana, Mbok Inah langsung menelepon Gama.

“Mas, cepat pulang, Mbak Ka sedang dalam masalah,” kata Raka di ponselnya.

Bahana langsung mematikan sambungan dan pamit kepada Pradnya.

“Aku serahkan semuanya kepadamu. Berapa lama hukuman yang akan diterimanya, pastikan saja dia masuk penjara. Aku pergi, ada masalah di rumah,” kata Bahana membuat Pradnya mengerti.

Bahana melarikan mobilnya dengan pikiran, masalah apa yang terjadi.

Sementara Gama melajukan mobilnya ke arah yang sama dengan pikiran aneh, kenapa Sangka ada di rumah Bahana dan membuat masalah?

Sangka hendak melayangkan tangannya ke arah Nayaka saat Bahana sampai di rumah. Tangannya dengan sigap menangkap tangan Sangka yang terayun. Membuat Sangka kaget dan mundur selangkah.

“Aku sudah bilang, kamu sentuh dia, aku pastikan Gama tahu semuanya.” Bahana menatap Sangka tajam.

“Memastikan aku tahu tentang apa?” Suara Gama membuat Sangka semakin mundur. Sial. Perempuan itu membuatnya dalam masalah.

“Kamu ingin tahu?” Bahana  membuat Sangka menggelengkan kepalanya.

Gama menatapnya dengan penuh pertanyaan.

“Bahana dan Sangka adalah sepasang kekasih. Sebelum akhirnya Sangka lebih memilihmu,” kata Nayaka yang sedari tadi diam.

Gama melangkah mundur. Tak percaya dengan pendengarannya.

Bahana menghalangi Sangka yang ingin maju menggapai Nayaka. Tatapan Bahana mengancam.

“Kamu, harus menjelaskan ini padaku,” kata Gama seraya menarik Sangka pergi dari hadapan Bahana dan Nayaka.

Sementara itu Nayaka meluruh pada kedua lututnya. Merosot dan terduduk di lantai. Bahana masih mengumpulkan semua repihan hatinya. Kemudian memeluk Nayaka erat.

“Maafkan, maafkan aku meninggalkanmu, hingga harus menghadapinya sendirian,” bisik Bahana.

“Tak perlu meminta maaf. Bukan salahmu. Aku, harus terbiasa menghadapinya tanpamu,” desis Nayaka.

Raka dan Mbok Inah saling menatap dan lega semuanya tak berakhir dengan pertumpahan darah.

“Aku, tak akan lagi membiarkanmu sendirian,” kata Bahana masih merasa bersalah.

“Aku sudah mengatakan padanya, kamu milikku. Dan akan kupertahankan,” kata Nayaka membuat Bahana tersenyum.

Sementara itu, Gama menghentikan mobilnya di tepi jalan. Menuntut penjelasan dari Sangka yang memilih diam.

“Katakan padaku, apa benar semua yang aku dengar tadi?” desak Gama.

“Katakan!” Gama tak bisa mengontrol emosinya. Bagaimana bisa Sangka mempermainkan perasaannya dan perasaan Bahana.

Jadi, alasan Bahana pergi selama setahun menghindari semua pertemuan itu adalah Sangka.

“Aku sudah memilihmu, apa itu masih kurang,” elak Sangka semakin membuat Gama emosi.

“Kamu pikir dengan begitu semuanya baik-baik saja? Dan aku bahkan tak tahu dengan semua yang kamu sembunyikan,” erang Gama menahan dirinya agar tak melukai Sangka.

“Aku melepasnya. Demi dirimu,” desis Sangka.

“Tapi untuk apa hari ini kamu ke sana?” cecar Gama.

“Hanya memastikan dia perempuan yang baik untuknya,” elak Sangka.

“Bukan karena kamu cemburu dan masih tak bisa melepasnya?” selidik Gama tak percaya begitu saja dengan ucapan Sangka.

“Aku sudah memilihmu.” Sangka memalingkan wajahnya.

“Itu bukan jawaban dari pertanyaanku,” kata Gama kemudian.

Keduanya diam. Bergelut dengan pikiran masing-masing. Mencoba mencerna apa yang Tuhan sodorkan pada mereka.

“Untuk sementara, jangan pernah keluar dari rumah,” kata Gama pada akhirnya.

“Kamu ingin mengurungku?” Sangka tak terima.

“Kamu ingin kita berpisah?” tawar Gama membuat Sangka meluruh.

Perpisahan dengan Gama, bisa jadi akhir dari pasokan untuk perusahaannya, atau dia bahkan bisa kehilangan perusahaan itu, karena saham terbanyak ada di tangan Gama.

“Pikirkan baik-baik usulku,” kata Gama kemudian melajukan mobilnya.

Sangka terdiam. Gama melajukan mobil ke rumah. Kemudian memastikan Sangka menuruti semua perkataannya.

“Aku melakukan ini demi kebaikanmu, dan juga demi Bahana,” ancam Gama membuat Sangka menundukkan kepalanya, merasakan pening seketika, bagaimana caranya dia harus berkilah?

Gama melajukan kembali mobilnya ke arah rumah Bahana. Dengan perasaan berkecamuk dan tak menentu. Jadi selama ini, Bahana mengalah untuknya, merelakan Sangka memilihnya, dan perempuan itu bahkan tak mau melepasnya. Sial. Kenapa begitu rumit.

Nayaka masih berada dipelukan Bahana saat Gama datang. Dengan wajah yang tak bisa dijelaskan, dia menatap Bahana yang mengurai pelukannya.

“Aku ingin bicara,” desis Gama.

Nayaka memegang erat tangan Bahana sementara Gama duduk di depan mereka.

“Aku, ingin penjelasan tentang ini semua.” Gama menatap Bahana lekat.

“Sejak kapan kalian berhubungan? Kamu dan Sangka?” lanjut Gama membuat Bahana menghela napasnya berat. Ini yang paling dia takutkan.

“Aku, bertaut kepadanya sebelum kamu mengatakan akan melamarnya,” kata Bahana mengenang masa lalu.

“Tapi memang aku bodoh, menutupi semua perasaanku, hanya karena dia mengatakan, yak enak denganmu. Tapi aku tahu kalau dirimu memang menyukainya, terlepas dari pernikahan bisnis kalian,” kata Bahana membuat Gama meluruh.

“Lalu kenapa tak kamu pertahankan?”

“Karena dia memilihmu,” kata Bahana.

“Sekarang, kamu tahu apa yang terjadi. Aku hanya minta, kendalikan dia, agar tak lagi mengonfrontasi Nayaka soal diriku. Aku sudah melepasnya. Aku ingin memulai semuanya dengan Nayaka.” Bahana menatap Nayaka dengan penuh harap.

“Apakah kamu menerima dia dengan sepenuh hati? Sekalipun kamu tahu masa lalunya dan hubungan rumit ini?” selidik Gama yang kini menatap Nayaka.

“Aku menerimanya, dan semakin yakin untuk sekarang.” Nayaka meyakinkan hatinya sendiri. Mungkin memang sekarang adalah batasnya untuk melangkah maju. Meninggalkan ketakutan yang di rasa tak perlu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status