Alan yang hendak duduk lagi di lantai, langsung kembali berdiri. Napasnya tertahan dan bibirnya sedikit terbuka. Dipandanginya wanitanya yang berdiri di ambang pintu. Wajah cemas Gita membuatnya tersenyum."Sudah mau makan malam?" Alan mengedikan dagu pada kenop pintu bagian luar.Gita mengalihkan pandangan pada kenop pintu dan menemukan dua kantongan di sana. Dilihat dari ukurannya, masing-masing kantongan hanya berisi satu porsi makanan. Mata Gita yang sedari tadi berair, jadi makin berair lagi.Alan memesankan makanan hanya untuk Gita seorang. Lelaki itu sepertinya hanya memikirkan Gita dan tidak memikirkan perutnya sendiri."Kamu dari tadi di sini?" tanya Gita dengan suara lirih."Gak juga sih. Tadi aku sempat ke lobi buat ambil pesanan dan buang air kecil juga." Alan menjawab canggung."Eh, kenapa nangis?" Dalam sekejap Alan langsung jadi panik, melihat sang istri sudah menangis."Aku ... aku ... Aku juga gak tahu." Gita melap air matanya yang berjatuhan dengan asal.Gita tidak
Oke. Tadi Gita memang sudah mengiyakan pertanyaan Alan yang mesum. Itu pun dia perlu waktu lumayan lama untuk mengangguk setuju. Tapi, Gita tidak pernah berpikir kalau dia akan berada di situasi seperti ini.Gita pernah membaca hal-hal romantis dari novel online dan menonton film. Itu pun adegannya kadang disensor atau dipotong. Jadi, Gita sama sekali tidak pernah punya bayangan. Terlebih mereka melakukannya di kamar mandi.Bunyi kecipak air mengiringi setiap gerakan salah tingkah Gita. Dirinya ingin membebaskan diri dari Alan yang memeluknya dari belakang, tapi tidak bisa. Pelukan lelaki itu terasa erat dan ruang gerak Gita dibatasi bathtub sempit penuh busa. Sempit karena ada dua orang di dalamnya."Ahl...." Gita merasa suara yang dikeluarkannya sangat aneh. Inginnya memanggi Alan, tapi justru desahan yang keluar."Seben-tar." Gita memegangi tangan Alan yang nakalnya bukan main itu."Kenapa? Sudah gak kuat atau mau pindah ke ranjang?" Alan membenamkan wajahnya di ceruk leher Gita y
"Masih pagi, tapi mataku sudah terkontaminasi." Eza langsung protes begitu melihat sahabarnya keluar dari kamar dengan rambut setengah kering."Brengsek banget sih kau, Za. Untung sudah selesai, kalau tidak kau sudah jadi mayat sekarang.""Nyesal aku khawatir sama kau. Kalau aku tahu kau enak-enakan di sini, mending aku lanjut tidur.""Tapi aku berdarah Za." Tidak ada angin, tidak ada hujan. Gita tiba-tiba saja ingin membahas ihal random."Apanya yang berdarah? Emang seganas apa Alan?""Kami baru pertama melakukannya dan begitu tembus langsung berdarah." Gita menatap gelas Eza dengan kening berkerut bingung."Kok bisa? Bukannya waktu dulu kau bilang .... Ya gitu deh." Eza kesulitan mencari padanan kata yang tepat, untuk mengatakan sesuatu yang terjadi di masa lalu.Bisa saja sih Eza berbicara tanpa filter, tapi takutnya itu akan membangkitkan trauma Gita. Setelah berhasil dengan Alan, dia tentu tidak mau membuat sahabatnya kembali hancur dengan mengingat masa lalu."Mungkin waktu dulu
"Ada perlu apa supervisor divisi keuangan hotel berada di divisi IT kantor pusat.?" Suara Alan yang tadinya ramah berubah dingin.Zayn tidak langsung menjawab. Dia menatap Alan terlebih dahulu dengan tatapan bertanya-tanya. Dia ingat pernah melihat lelaki di depannya, tapi di mana?"Maaf, saya mencari Bu Gita. Apa beliau ada?" Zayn bertanya sopan dengan senyum yang juga sopan dan terlatih."Bu Gita sedang tidak masuk hari ini. Segala urusan penting diserahkan pada saya," Alan masih mempertahankan nada dingin pada suaranya. Begitupun dengan tatapannya yang tajam menusuk.Sejujurnya, Zayn merasa risih dengan tatapan Alan. Dia tidak merasa melakukan kesalahan, tapi lelaki di depannya seperti ingin meremukkan setiap tulangnya."Kalau begitu, mungkin saya akan membuat janji temu untuk lain hari." Zayn memutuskan untuk mundur saja dulu hari ini."Tidak akan ada hari lain. Kalau ingin berbicara sesuatu, silahkan bicara sekarang. Saya akan menyampaikan apa pun itu pada Bu Gita." Alan bersiker
Emosi Alan benar-benar tidak stabil setelah bertemu dengan Zayn tadi. Untungnya Alan punya pengendalian diri yang cukup baik.Alan juga sudah mendapat data pribadi Zayn dari HRD. Sama sekali tidak ada hal aneh dari CV pria itu. Dia duda dengan satu anak dan pekerjaannya bagus.Tidak menemukan apa-apa, Alan meminta staff IT untuk membobol komputer Zayn dan menyalin semua file yang ada di sana ke jaringan cloud miliknya. Setelahnya, Alan menyibukkan diri untuk meredakan amarah.Tapi menjelang jam pulang kantor, ada seseorang di cabang yang membuat masalah. Hal yang membuat Alan terpaksa harus berkunjung ke sana menggantikan Gita. Tentu saja lelaki yang sudah emosi langsung saja menyembur karyawan yang bermasalah.Satu hal yang membuatnya cukup senang, adalah tempat yang dikunjungi Alan searah dengan rumah. Setidaknya, dia tidak perlu terlalu lama terjebak macet, walau saja terlambat dari waktu yang dijanjikan pada Gita. Hanya delapan menit, tapi Al
Gita terbangun dan melihat sekelilingnya. Hari masih belum terang, tapi wajah lelap Alan masih bisa terlihat jelas. Itu membuat kedua sudut bibir Gita refleks naik.Setelah cukup puas memandangi wajah suaminya, Gita membenamkan wajahnya di dada bidang Alan. Menghindu aroma yang sangat menenangkan baginya. Benar-benar sangat rileks."Sudah bangun?" bisik Alan serak."Sorry, aku banyak gerak ya?" tanya Gita pelan."Ini sudah waktunya bangun pagi, Bee." Alan mulai menggeliat pelan untuk merenggangkan badan."Pegal?" tanya Gita beranjak bangun dari posisinya. Semalam, mereka tidur sambil berpelukan."Gak kok. Sini, aku peluk lagi." Alan merentangkan kedua tangannya dan Gita segera masuk lagi ke dalam pelukan suaminya."Kok aku merasa tenang dan rileks kalau sama kamu ya, Als? Kamu pakai pelet ya?" tanya Gita santai.Tawa Alan langsung bergema begitu mendengar kata pelet dari bibir mungil seksi istrinya. Zaman modern
"Mintalah pada mertuamu satu atau dua proyek untukku." Suara itu bagai bergema di kepala Alan. Hal yang membuat matanya membulat mendengar pernyataan dengan nada petintah itu. Apa dirinya salah dengar? Erik meminta proyek padanya?"Maaf, bisa ulangi sekali lagi?" tanya Alan dengan sopan."Ck. Bagaimana kamu bisa sukses jika memperhatikan orang bicara saja tidak? Apa begini juga kelakuanmu saat meeting? Aku bilang mintakan proyek pada mertuamu untukku."Suara Erik terdengar lebih tinggi dan tidak sabaran. Hal itu tentu saja membuat kepala Alan makin pening. Belum selesai urusannya dengan Zayn, sekarang dia harus menghadapi Erik."Maaf, saya rasa anda mendatangi orang yang salah. Saya hanya divisi IT dan kami tidak punya proyek apa pun. Kalau pun punya, semua kerjasama perlu disetujui Pak Kevin."Alan menyebut nama direktur utama, masih berbicara dalam bahasa formal dan bersikap profesional. Itu pun dia lakukan dengan susah payah dan rasanya sangat menghabiskan tenaga."Siapa juga yang
Alan berjalan dengan linglung di sepanjang perjalanan kembali ke divisinya. Dia masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya tadi. Dari asisten pribadi jadi direktur? Bukankah lompatannya terlalu jauh? Alan merasa setelah ini hidupnya tidak akan damai lagi. Orang-orang yang iri pasti akan menggosipinya, tapi mau apa lagi? Kalau Alex sudah memutuskan, rasanya sulit untuk ditolak.Ketika Alan sudah mendekati mejanya, dia baru merasa damai karena bau lilin aromaterapi milik Gita. Sayangnya, kedamaian itu berlangsung hanya sekejap saja. Mungkin hanya sekian detik.“Pak Alan.” Jelita memanggil dengan ragu-ragu, sembari menutup telepon dengan satu tangan. "Ada yang mencari Bapak lagi," "Lagi?" tanya Alan kesal. "Tamu buat saya?"Jelita mengangguk takut-takut. Pasalnya ekspresi Alan yang tadi sempat rileks kembali menegang. Jelita takut disembur Alan yang sudah jadi suami bos."Siapa?" tanya Alan gusar."Anu Pak. Sepertinya ini orang yang datang kemarin. Yang namanya Zayn Hendrawan."Ya