Alan dan Gita berjalan berdampingan memasuki gedung kantor pusat Bramantara grup. Kedatangan direktur IT dan asisten pribadinya tidak luput dari bisik-bisik para karyawan. Lebih tepatnya, Gita yang menjadi gosip.Semua orang di kantor, bahkan mungkin seluruh cabang dan anak perusahaan Bramantara grup sudah tahu perihal Gita. Bukan hanya satu, tapi ada beberapa gosip yang beredar. Ada yang bilang Gita gagal nikah karena mempelai pria kabur dengan perempuan lain. Ada yang bilang Gita memutus sepihak hubungannya dengan Tony dan menikah dengan selingkuhannya. Ada juga yang bilang Tony kabur karena tidak tahan lagi dengan pacarnya dan Gita memilih menikah dengan entah siapa. Yeah. Semua terdengar menjelekkan Gita. Bahkan baru dihari pertama kerja setelah cuti hampir seminggu, gosip itu sangat kencang berhembus. Untungnya Gita sudah terlihat baik-baik saja. Kemarin sepulang dari Roma, Gita dan Alan memang bisa mengelak dengan dalih capek. Wajar, karena kedua orang ini baru tiba di rumah
"Apa Ibu Gita yakin mau makan siang di sini?"Alan menatap nanar ke gedung yang akan mobilnya masuki. Lebih tepatnya mobil atasannya yang dikemudikan Alan. Selama jam kerja, biasanya dia yang membawa mobil Gita. Lalu seperti yang sudah diduga, Gita menagih traktiran makan siang. Seperti yang Alan juga khawatirkan, perempuan itu meminta ditraktir di restoran bintang lima. Pastinya itu cukup membuat dompet Alan menagis. Gaji Alan memang lumayan, tapi tanggungannya juga banyak. Ditambah lagi sekarang dia sudah beristri, pastinya sebagian gajinya akan pergi ke rekening Gita. Ya, Alan sangat tahu perbedaan pendapatannya dengan Gita. Gaji sang istri sebagai direktur saja lima atau enam kali lipat gajinya, belum royalti dari program yang dibuat gadis itu. Itu pun belum termasuk pemasukan dari saham. Kalau diukur dengan ketinggian, mungkin bedanya sudah setinggi gunung himalaya. Walau jelas Gita jauh lebih berada dan kaya dari dirinya, Alan tetap akan memberi nafkah pada istrinya. Sekalip
"Apa itu artinya kau akan menafkahi lahir dan batin?"Sontak saja Alan langsung tersedak jus jeruk yang dipesannya. Gita sama sekali tidak berusaha melakukan sesuatu sementara sang suami terbatuk heboh akibat ulahnya. Dia hanya menatap lelaki itu, menanti sebuah jawaban."Bukannya kita sudah sepakat soal itu?" Alan menjawab dengan pertanyaan yang lain. "Yang mana?"Alan menggeram rendah mendengar sebuah pertanyaan lain yang dilontarkan Gita. “Soal perjanjian yang kita tanda tangani di atas materai,” lanjutnya lebih kalem."Memangnya apa yang tertulis di sana?" Gita kini benar-benar hobi mengerjai suaminya, membuat lelaki itu menghela napas panjang. "Ada pasal soal skinship di sana. Kita hanya akan mesra di depan umum." Alan ingin menambahkan 'bukan di atas ranjang', tapi dia terlalu malu untuk melakukannya. "Memangnya aku bertanya soal skinship?" Gita bertanya dengan ekspresi bingung. "Apa?" Alan juga jadi ikut bingung. "Bukannya arah pertanyaanmu.... Ah, sudahlah." Alan memilih
Protes yang diajukan Gill sontak membuat seisi meja tertawa. Bahkan pelayan yang berdiri agak jauh pun ikut menahan tawa, sementara Alan yang canggung bertukar piring dengan Gita yang terlihat biasa saja. "Makanya cari pacar," Gita mengejek adiknya itu. Setelah adegan PDA yang tidak disengaja itu, suasana makan jadi lebih menyenangkan. Kegalauan hati Fika kini sudah sirna. Bisa dilihat keluarga kaya ini sangat baik. Terutama ketika mendengar Julie juga dari keluarga biasa saja, bahkan yatim piatu. Kegalauan satu pergi, kegalauan lain datang. Bagaimana kalau Gita meremehkan pendapatan Alan yang tidak lebih banyak darinya. Tapi hal itu juga segera diusir pergi oleh pasangan pengantin baru itu.Dua orang itu terlihat sangat mesra. Gita dan Alan saling melayani di meja makan. Duduk berdampingan dengan rapat di ruang keluarga. Setelah dilihat lagi, mereka berdua juga terlihat sangat serasi. Sudah hampir jam sepuluh
Alan mengetuk-ngetuk pinggiran laptopnya dengan jari. Matanya masih menatap ponsel yang barusan dia gunakan untuk menelepon. Pandangannya bergantian menatap pintu ruangan Gita dan ponsel. "Pak Alan." Suara genit Jelita terdengar menyebalkan di telinga Alan. Belakangan ini banyak karyawan wanita dengan suara seperti itu, membuatnya kesal setengah mati. "Ada apa?" tanya lelaki yang dipanggil sedatar mungkin. "Ada yang harus ditanda tangani Bu Gita, tapi saya takut masuk." Jelita tersenyum ramah pada lelaki di sebelahnya."Berikan saja padaku. Kebetulan saya mau menyampaikan hal penting."Jelita memberikan map dengan senang hati pada Alan. Saat lelaki itu mengambilnya, Jelita sengaja memajukan jemarinya agar bisa bersentuhan sedikit dengan tangan Alan. Alan tidak terlalu merasakan sentuhan itu, karena memang sangat halus. Dirinya segera beranjak dan mengetuk pintu ruangan Gita. Melihat tak ada reaksi dari lelaki itu, sang sekretaris berdecih kesal. "Bu Gita ada yang mau ditandatang
BAB 23Helaan napas mengikuti langkah Gita yang baru keluar dari bilik toilet. Dipandangi dirinya di cermin dan menghela napas sekali lagi."Gak apa-apa Gita. Kau pasti bisa."Setelah meyakinkan dirinya, perempuan itu bergegas keluar dari area toilet. Langkah Gita terhenti ketika melihat sang suami berdiri berhadapan dengan Isabella. Dari posisinya sekarang, dia bisa melihat ekspresi kesal sang suami. Dari situ saja sudah bisa disimpulkan Isabella yang duluan menghampiri mungkin mulai merengek lagi.Walau bibir mungil nan seksi Gita berkata seperti itu, dia tetap merasa perlu membantu Alan. Terlebih dengan kemunculan Erik Susanto. Hal yang membuatnya menarik napas berat dan mulai melangkah pelan ke arah sang suami."Alan?" Lengan mungil Gita menyusup di lengan lelaki yang dia panggil, memeluknya dengan erat. "Kamu bicara sama siapa?"Tentu saja Alan akan terkejut dengan kehadiran istinya yang tiba-tiba. Apalagi dengan gerakan Gita barusan, tapi dia memilih untuk membiarkan saja.Isabe
Gita merasakan deruan napas di tengkuknya. Sedikit mengganggu, tapi terasa nyaman. Tidur perempuan itu juga terasa lebih nyaman dari biasanya, membuatnya menggeliat pelan memeluk gulingnya.Tunggu? Itu gulingnya kan? Yang dipeluk itu guling kan? Kenapa tekstrunya beda ya?Dengan gerakan pelan, Gita mengerjapkan matanya dengan malas. Pandangannya masih buram, tapi dia bisa melihat sesuatu menghalangi pandangannya. Perempuan itu kemudian mengucek matanya untuk mendapatkan penglihatan lebih baik dan ketika ia mendapatkannya, dia langsung mengumpat keras dan duduk dengan refleks."Apa yang kau lakukan di sini, Brengsek." Teriakan Gita disertai dengan tendangan, membuat Alan yang tertidur di sampingnyaa terguling jatuh dari ranjang"Aduh!." Tentu saja Alan mengeluh kesakitan. Lantai di kamar itu dilengkapi karpet tebal, membuatnya mendarat dengan baik, tapi sayang kepalanya sedikit terantuk ke nakas."Ada apa sih?" Alan bertanya, masih belum sadar sepenuhnya."Kau masih tanya kenapa?"Alan
"Excuse me? Takut?" tanya Gita dengan mata melotot.Saking seramnya pelototan itu, pelayan yang baru tiba dengan pesanan wine sampai bergidik. Pelayan itu tentu mengenal Gita dan merasa heran bagaimana Alan bisa setenang itu menghadapinya. Wanita ini kan bar-bar sekali. "Kalau gitu biar saya rubah pertanyaannya. Sejak kapan anda tidak suka keramaian?" Alan kembali dengan cara bicara formalnya, karena tinggal mereka berdua saja di sana.Gita menatap lelaki di sebelahnya dengan tajam, tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Jujur saja, dia enggan berbicara soal hal ini pada siapa pun. Orang tuanya saja tidak tahu dan dia tidak berniat memberi tahu Alan.Gita menenggak wine miliknya dalam sekali teguk. Alan yang baru menyesap sedikit saja terkaget melihat cara sang istri meminum wine. Terlalu tergesa-gesa.“Aku gak merasa perlu memberi tahumu,” gumam Gita pelan.Dengan kedikan dagu Gita meminta sang suami mengisi kembali gelasnya. Alan melakukan tugasnya dengan helaan napas panjang, wa