Sinar matahari pagi mulai memasuki celah kamar Erika, tapi wanita itu terlihat masih malas untuk sekedar keluar dari kamarnya walau pun ia sudah terbangun dari tidurnya. Pipinya masih terasa sedikit nyeri. Kejadian percobaan perkosaan yang ia alami kemarin, membuat Erika memilih mengurung diri di kamarnya.
Untung saja ada pemuda yang entah dari mana datangnya itu, menyelamatkan dirinya dari perbuatan bejat Hendrik. Kalau tidak? Entah apa yang akan terjadi pada Erika.
Akibat perut yang berbunyi untuk meminta asupan makanan, Erika terpaksa beranjak dari kasurnya. Setelah mencuci muka terlebih dahulu, ia pun memakai masker keluar dari kamarnya.
Walaupun Erika sudah mengganti pewangi ruangan dengan aroma yang lebih lembut, tapi tetap saja terkadang Erika merasa mual tanpa sebab. "Auw, pipiku ternyata masih sedikit nyeri. Sebaiknya aku kompres lagi dengan es batu, supaya mengurangi bengkak dan rasa sakitnya." Gumam Erika saat merasakan nyeri di pipinya.
"Non, sudah bangun?" Sapa bibi yang memang bertugas membersihkan apartemen jika di akhir pekan saja, saat melihat Erika keluar dari kamarnya.
"Iya, Bi." Jawab Erika yang kemudian berjalan menuju ke arah kulkas yang ada di dekat dapur. Erika kemudian menuangkan susu ke dalam gelas panjang yang tadi sudah di ambilnya.
"Non sakit?" Tanya Bibi saat melihat Erika mengenakan masker.
"Enggak kok, Bi."
"Kirain sakit, habisnya nggak biasanya pakai masker gitu."
Erika hanya tersenyum menanggapi omongan Bibi. "Bibi masak apa?"
"Sandwich, non. Sudah Bibi siapkan di meja makan."
Erika pun duduk di kursi, lalu membuka tudung saji untuk melihat isi di dalamnya. Dan memang benar jika ada beberapa sandwich di atas piring. Setelah membuka maskernya agar ia bisa makan dan minum, kemudian Erika mulai memakan sarapannya.
"Oh ya, Bi. Itu jas yang ada di keranjang kotor di kamar, tolong antar ke laundry aja ya." Ucap Erika.
"Iya, non. Nanti sekalian Bibi pulang akan Bibi antar ke laundry."
"Makasih ya, Bi."
"Sama-sama, Non."
Bibi itu pun kembali melanjutkan aktifitasnya membersihkan setiap sudut apartemen. Mulai dari mengelap meja, rak, kursi atau yang lainnya. Hingga menggunakan penyedot debu untuk membersihkan lantai sebelum di pel.
Erika sengaja mencari jasa cleaning servis yang bertugas hanya di hari Sabtu dan Minggu. Mengingat bahwa apartemen yang ia tempati jarang sekali berantakan, dan bahkan nyaris tak pernah kotor. Itu juga salah satu alasan kenapa Erika hanya membutuhkan cleaning servis di hari weekend.
Erika yang sudah selesai menikmati sarapannya, ia kembali ke kamarnya. Mungkin membersihkan diri adalah hal yang perlu ia lakukan saat ini. Mengingat hari sudah menjelang siang. Dan mungkin sebentar lagi Bibi akan pulang setelah selesai bersih-bersih.
**********
"Itu apa, Bi?" Tanya Jimmy yang baru saja memasuki apartemen. Ia melihat Bibi membawa sebuah jas di tangannya.
"Oh ini tuan, tadi non Erika menyuruh saya untuk mengantarkan jas ini ke jasa laundry." Ucap Bibi jujur.
Jimmy mengerutkan keningnya lalu ia berjalan mendekati si Bibi. "Coba kulihat, Bi." Ucap Jimmy penasaran.
Bibi itu pun memberikan jas di tangannya kepada Jimmy.
Jimmy mengambil alih jas dari tangan Bibi, ia mengamati setiap detail dari jas yang ada di tangannya itu. Tiba-tiba raut muka Jimmy berubah, rahang kokohnya terlihat mengeras. Dengan sorot mata tajam memendam emosi. Aura gelap sudah terlihat menyelimutinya saat ini. "Dimana Erika?" Tanya Jimmy dengan nada dingin.
"Non Erika ada di kamarnya, Tuan."
"Ya sudah, bibi pulang saja. Biar jas ini menjadi urusanku." Ucap Jimmy.
"Baik tuan." Jawab si Bibi, lalu ia mulai meninggalkan Jimmy yang sepertinya sedang terbakar emosi.
Dengan langkah panjangnya, Jimmy berjalan menuju ke kamar Erika. "Erika!! Buka pintunya!!" Teriak Jimmy sambil menggedor-gedor pintu kamar. Bukan lagi sebuah ketukan seperti biasanya, kini Jimmy lebih seperti ingin mendobrak pintu kamar itu.
"Erika!! Buka pintunya. Aku tahu kamu ada di dalam. Cepat buka pintunya atau aku dobrak dari luar?!" Lagi-lagi Jimmy berteriak sambil menggedor-gedor pintu kamar.
Terdengar suara pintu terbuka dan memperlihatkan wajah Erika. "A-ada apa mas?" Tanya Erika gugup. Karena ia tahu jika saat ini Jimmy sedang marah, terlihat dari caranya menggedor pintu kamarnya.
Jimmy dengan sorot mata tajam penuh emosi, melangkahkan kakinya maju ke depan. Ia mendorong bahu Erika sehingga membuat Erika hampir saja terjengkang. "A-ada apa sebenarnya mas?" Tanya Erika yang memang tidak mengerti apa penyebab Jimmy begitu murka.
"Apa ini?" Tanya Jimmy sambil menunjukkan jas tadi kepada Erika. Mata Erika melihat ke arah tangan Jimmy yang membawa sebuah jas. Ya ... Erika ingat, itu adalah jas lelaki yang kemarin menolongnya. Tadi dia menyuruh si bibi membawanya ke laundry.
"Ayo jawab!! Apa ini, Hah?!" Suara Jimmy membentak Erika yang terlihat semakin ketakutan.
"I-itu, a-aku bisa jelasin mas." Ucap Erika terbata-bata. Ia terus memundurkan langkah kakinya seiring dengan langkah kaki Jimmy yang melangkah maju.
Jimmy melempar jas itu ke sembarang tempat, sorot matanya tak lepas dari Erika. "Jelasin apa? Kamu mau menjelaskan apa padaku? Mau menjelaskan bahwa kemarin kamu pergi dengan laki-laki lain dan tidak menyelesaikan tugas kamu dengan benar, iya?" Pertanyaan Jimmy yang lebih mirip sebuah tuduhan itu, membuat Erika tak tahu harus bagaimana menjelaskan pada Jimmy.
"Jawab aku, Erika!! Penjelasan apa yang kamu maksud, hah? Pantas saja kemarin kamu tidak datang lagi ke kantor setelah dari hotel Winston. Ternyata dengan alasan urusan pribadi kamu pergi menemui lelaki itu, iya??" Tuduhan itu kembali Jimmy lontarkan pada Erika yang masih ketakutan di hadapannya.
"Bu-bukan begitu mas, sebenarnya kejadiannya bukan seperti itu." Erika berusaha menjelaskan. "Aku juga tidak tahu siapa nama pemilik jas itu."
Jimmy tertawa mengejek, lalu ia mencengkram rahang Erika dengan kuat, sehingga membuat Erika meringis menahan sakit. "Bahkan kamu sendiri tidak tahu siapa namanya, tapi dengan suka rela pergi dengan dia. Wanita macam apa kamu, hah?" Desis Jimmy yang sudah di kuasai emosi.
"Kamu salah paham mas. Tolong jangan seperti ini, aku bisa menjelaskan semuanya, mas."
"Bukti sudah di depan mata, mau mengelak juga tidak akan berguna." Desis Jimmy yang sudah di selimuti amarah. Lalu ia mendekatkan wajahnya untuk mencium bibir Erika.
"Ooohh, jadi kamu mau menolak ku, iya? Dan memilih lelaki itu, begitu?" Geram Jimmy saat melihat Erika menggelengkan kepalanya.
"Bu-bukan begitu mas, saat ini mas sedang di kuasai amarah. Jadi aku ..."
Kata-kata Erika terpotong dengan ciuman Jimmy yang meraup habis bibirnya. Jimmy bahkan tak memberikan kesempatan pada Erika untuk menjelaskan apa inti permasalahannya.
"Aku tidak peduli siapa orang yang sudah merenggut keperawanan kamu, tapi saat ini kamu sudah sah menjadi istriku. Jadi tidak ada hak untuk kamu menolakku, apa kamu mengerti?" desis Jimmy sesaat setelah melepaskan bibirnya dari bibir Erika. Lalu ia kembali melanjutkan aksinya dengan lebih menuntut akan ciuman balasan dari Erika.
Degg!!
Jantung Erika tiba-tiba berdebar sangat kencang. Tubuhnya menegang panas dingin di saat bersamaan, antara shock mendengar ucapan Jimmy atau mungkin juga karena merasakan sentuhan tangan Jimmy? 'Apa maksud perkataan mas Jimmy? Dia tidak tahu siapa yang sudah mengambil keperawananku?' batin Erika. Dadanya terasa nyeri.
"Shit!!" Umpat Jimmy.
Hanya karena ingin menggertak Erika dengan ciumannya, kini dirinya justru di penuhi oleh kabut gairah. Ciuman itu mampu membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Sehingga Jimmy merasa tak ingin mengakhiri apa yang sudah ia mulai sebelumnya.
Tak ingin menyia-nyiakan apa yang ada di depannya, Jimmy merebahkan tubuh Erika di atas kasur. Walau dalam keadaan emosi, Jimmy tetap memperlakukan Erika dengan lembut penuh cinta, hingga puncak kenikmatan itu ia raih bersamaan dengan Erika yang menikmati setiap sentuhan darinya.
Setelah melampiaskan amarahnya, Jimmy bergegas pergi ke kamar mandi. "Kenapa aku selalu saja tidak bisa mengendalikan diriku saat melihatnya?" gumam Jimmy sambil menarik rambutnya frustasi. Kemudian ia mulai mengguyur tubuhnya di bawah shower yang mengalir.
Pikiran Jimmy sangat kacau hanya karena melihat jas pria lain ada di apartemennya. Pikiran buruknya tentang Erika semakin menjadi. Entah kenapa Jimmy berpikir kalau Erika sedang main belakang dengan lelaki lain. Padahal kenyataannya tidaklah seperti itu.
Bersambung ...
Seminggu sudah kejadian itu berlalu. Karena kesalahpahaman, membuat hubungan Jimmy dan Erika menjadi semakin dingin dan renggang. Beberapa kali Jimmy sengaja membawa Monika ke kantor dengan maksud supaya Erika tahu jika dirinya juga bisa melakukan hal yang sama seperti yang Erika lakukan (pergi dengan lelaki lain) pikir Jimmy.Bahkan Jimmy juga membawa Monika ke beberapa pertemuan bisnis yang di hadiri olehnya. Ketika berpapasan dengan Erika, sikap Jimmy seakan tidak mengenal atau bahkan tidak menganggap akan keberadaan Erika.Jimmy tidak memberi kesempatan kepada Erika menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Hati Jimmy seakan telah membeku, telinganya seakan menjadi tuli. Bahkan selama seminggu itu juga Jimmy tidak pernah pulang ke apartemen.Sebagai seorang istri, tentu saja Erika merasa sangat sedih di perlakukan seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Mungkin itulah resiko mempunyai suami yang sangat kaya raya dan terkenal. Sehingga bisa memperlakuka
Jimmy yang masih berkutat dengan komputer di depannya di kejutkan dengan kedatangan Allan. Walau sebelumnya Allan sudah memberikan kabar jika akan datang ke kantor Adhinata Group, tapi Jimmy tak menyangka bahwa sahabatnya itu akan datang lebih cepat dari perkiraannya."Wuih, bos besar nampaknya masih sibuk nih?" goda Allan yang memang baru memasuki ruangan Jimmy."Allan? Cepat juga kamu datangnya. Aku kira sejam lagi baru akan sampai disini." jawab Jimmy yang melihat Allan berjalan menuju ke arahnya."Mana berani aku membiarkan bos lama-lama menunggu. Iya nggak, Van?" ucap Allan seolah meminta persetujuan Evan akan ucapannya."Bener itu mas Allan, pak Jimmy pasti ngamuk kalau kelamaan nunggu." jawab Evan sambil tersenyum ke arah Allan."Kamu itu asisten siapa, Van? Apa kamu mau potong gaji bulan ini?" pertanyaan Jimmy terdengar seperti ancaman di telinga Evan, sehingga ia bergidik ngeri mendengarnya.Wajah Evan
Hati Erika terasa hancur, melihat kenyataan bahwa pernikahannya dengan Jimmy yang baru seumur jagung, kini sudah berada di ujung tanduk. Apalagi saat pengacara menunjukkan dokumen gugatan cerai yang akan Jimmy layangkan kepadanya, membuat dada Erika semakin sesak. Selain pasrah dengan keadaan, apalagi yang bisa ia lakukan?Saat ini Erika butuh tempat untuk memenangkan diri sejenak dari segala macam sesak di dalam dadanya. Ia pun memilih pergi ke sebuah cafe yang tak jauh dari kantor Adhinata group, apalagi saat ini Erika mendapat kesempatan pulang lebih awal. Cafe milik salah satu sahabatnya semasa ia kuliah dulu adalah tempat tujuannya."Er? Benarkah itu kamu?" Sebuah pertanyaan meluncur dari bibir Indri sahabatnya, saat melihat Erika berjalan memasuki cafe.Erika mengulas senyum tipis dan berjalan mendekat ke meja kasir. "Tentu saja ini aku. Tidak tahukah kamu jika aku sangat merindukanmu, In. Lama kita nggak ngumpul bareng setelah lulus kuliah." ucap Er
Sepanjang perjalanan keluar dari kantornya, Jimmy terlihat begitu bahagia. Senyumnya tak pernah lepas dari bibir seksinya. Rasa-rasanya Jimmy sudah tidak sabar lagi untuk segera sampai di tempat tujuannya.Jimmy terbayang akan kenangan pada malam serah terima hotel Winston di bawah naungan Adinata Group. Beberapa sorot kamera wartawan mengekspos dirinya yang datang bersama Erika waktu itu. Namun bukan sebagai pasangan suami istri, melainkan sebagai atasan dan sekertarisnya. Dan juga kamera wartawan menyoroti beberapa tamu undangan yang hadir.Mengingat Jimmy adalah pewaris Adhinata group dan juga pemilik sebuah stasiun televisi swasta di negara ini, jadi sudah pasti banyak tamu penting yang hadir. Dan hal itu menjadi makanan empuk para wartawan yang haus akan berita gosip.Sebelum menghadiri acara tersebut, sebuah perdebatan kecil terjadi di rumah mewah yang tak lain adalah milik keluarga Adinata."Sudahlah, Ma. Aku juga tidak keberatan jika E
Wajah Jimmy yang tadinya penuh senyum kebahagiaan, kini terlihat lesu dan tak bersemangat saat mengetahui jika orang yang di carinya tidak ada di tempat. Baru kali ini Jimmy merasa sangat antusias untuk menemui Erika,Jimmy mencoba menghubungi Erika beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. Dan berakhir dengan suara operator yang mengatakan jika panggilannya tak terjawab. "Kamu kemana, Erika?" gumam Jimmy yang kini ada di kamar Erika.Setelah sebelumnya ia mencari ke setiap sudut di apartemen, kamar Erika adalah satu-satunya harapan bagi Jimmy untuk menemukan Erika. Tapi ternyata hasilnya nihil. Erika juga tak ada di kamarnya.Jimmy menghela napasnya. Lalu ia merebahkan diri di atas kasur empuk yang beberapa hari lalu ia gunakan untuk menghukum Erika dengan cara yang sangat manis. Jimmy dapat membayangkan percintaan mereka beberapa hari lalu, hanya karena Jimmy emosi melihat jas yang ternyata adalah milik Allan (sahabat
Perlahan Jimmy menggenggam kedua tangan Erika, lalu mengecup punggung tangan tersebut dengan lembut. "Erika, maafkan aku." ucap Jimmy dengan tatapan sendu ke arah Erika sebagai permohonan maaf baginya.Degg!!Jantung Erika seketika berdebar kencang, apa maksudnya ini? Apa ini ada hubungannya dengan surat gugatan cerai kemarin? Apa Jimmy berusaha meminta maaf padanya, sebagai kompensasi dari surat gugatan cerai itu? Atau Jimmy berubah pikiran untuk membatalkan gugatan cerai tersebut?Rasa-rasanya ini tidak benar, Erika tahu betul Jimmy bukan tipe orang yang akan merubah keputusannya. Jika ia telah memutuskan sesuatu. Jadi tidak mungkin Jimmy akan membatalkan surat gugatan cerai itu, bukan?Oh ... Erika paham. Mungkin Jimmy meminta maaf karena selama ini Angela (mamanya) sangat menyayangi Erika melebihi anaknya sendiri. Dan mungkin karena gugatan cerai dari Jimmy akan berimbas pada Angela, sehingga membuat Angela bersedih. Karena hal itulah Jimmy me
Setelah semua pekerjaannya selesai, Erika berkemas untuk pulang. Karena memang jam kantor telah usai satu jam yang lalu. Mengingat hanya tinggal sedikit saja pekerjaan yang harus ia selesaikan, maka Erika memilih untuk menuntaskannya hari ini, meskipun lewat dari jam kerja kantor.Erika berjalan menyusuri koridor kantor menuju ke arah lift. Tanpa ia sadari seseorang terus memantaunya dari belakang. Saat pintu lift terbuka, dengan segera Erika masuk."Pak Jimmy?" gumam Erika saat melihat Jimmy juga masuk ke dalam lift yang sama dengannya. Tak ada jawaban apapun dari Jimmy selain ia terus memperhatikan setiap gerak-gerik Erika. Dan itu membuat Erika jadi salah tingkah dan merasa tidak nyaman.Setelah pintu lift menutup kembali, tiba-tiba saja tangan Jimmy memencet semua angka yang ada di tombol lift tersebut. Tentu saja hal itu membuat Erika terkejut, ia menatap bingung ke arah Jimmy dan kemudian beralih menatap ke tombol lift yang semuanya telah menyala.
Erika yang kini sudah berada di dalam taksi tersenyum kecut mendapati kehadiran Monika di kantor Adinata group. Kini ia merasa semua omongan Jimmy tadi adalah omong kosong belaka. Tidak seharusnya ia terbawa perasaan dan menganggap jika Jimmy telah berubah."Kamu jangan bodoh, Erika. Sadarlah bagaimana posisimu saat ini." gumam Erika menasehati dirinya sendiri.Erika tersenyum menertawakan kebodohannya sendiri. Dia membayangkan saat dulu dirinya ingin meyakinkan hatinya sendiri, apakah pilihannya tepat dengan menerima lamaran Angela yang tiba-tiba? Walau memang ia akui bahwa ia menyukai Jimmy semenjak di bangku kuliah dulu. Tetapi Erika tidak tahu bagaimana dengan perasaan Jimmy saat menerima perjodohan yang sudah di atur oleh Angela.Apa menikah dengan Jimmy adalah pilihan yang benar? Jika bukan karena permintaan Angela waktu itu, mungkin Erika akan menolaknya. Namun jika teringat akan jasa kebaikan Angela pada keluarganya, membuat Erika tidak tega melakukan