Share

Bab 5

"Hey, apa yang sedang kamu lakukan!" teriak seseorang yang baru saja memasuki ruangan itu. Kemudian ia menarik tubuh Hendrik dari belakang dan memberikan bogem mentah kepadanya. 

Hendrik terhuyung dan terjatuh ke lantai, darah segar mengalir di sudut bibirnya. "Kamu siapa?! Berani-beraninya mengganggu kesenanganku!!" Teriak Hendrik setelah mengusap darah segar di sudut bibirnya. 

Lelaki itu tak memberikan jawaban, ia melepaskan jasnya dan menutupi tubuh Erika yang sudah terlihat berantakan. "Pergilah! Biar dia menjadi urusanku." Ucap lelaki itu menyuruh Erika pergi. 

"Terimakasih." ucap Erika pelan. Kemudian ia mengambil tas dan dokumen yang ada di atas meja lalu berlari keluar sambil menangis. 

Sungguh hari ini adalah hari paling buruk dalam hidupnya. Erika berlari sambil tertunduk, ia tak peduli dengan pandangan para karyawan hotel terhadapnya. Yang ia inginkan adalah segera keluar dari hotel sialan ini. 

Dan untuk Hendrik sendiri. Jangan harap ia bisa lolos dari cengkraman pemuda yang sudah memberikan memar di wajahnya. Lelaki muda yang Hendrik sendiri tidak tahu siapa dia, dan dari mana asalnya itu terus menghajar Hendrik sampai babak belur dan memohon ampun.

                    **********

Erika yang berada di dalam taksi, hanya terdiam dengan air mata mengalir di kedua pipinya. Pikirannya kacau, sekacau penampilan saat ini. Beberapa kali sopir taksi menanyakan arah tujuannya, tapi Erika hanya terdiam tak menjawab. 

Kata-kata Hendrik masih terngiang-ngiang di telinganya. Hanya karena video dari cctv yang menangkap gambarnya sedang keluar dari kamar 919, ia sudah di cap sebagai wanita rendahan dan di samakan dengan pelacur. 

Tidak bisakah orang sekelas Hendrik mencaritahu dulu kebenarannya, kenapa sampai Erika keluar dari kamar 919 waktu itu? Dan bagi Erika sendiri, ia tidak perlu mengklarifikasi atau pun menjelaskan kenapa hal itu bisa terjadi. 

"Mbak, kita mau kemana mbak?" Tanya sopir taksi yang bingung dengan arah tujuan Erika. Karena jujur sang sopir merasa khawatir akan keadaan Erika saat ini. 

Erika yang tersadar dan mendengar pertanyaan dari sopir taksi itu, lalu ia mengusap air matanya dengan punggung tangannya. "Ke kantor Adhinata group, pak." Jawab Erika setelah mempertimbangkan keputusannya. Walau hari ini naas baginya, tapi ia tak akan lalai dalam pekerjaannya. 

"Baik, mbak." Jawab sang sopir. 

Erika kemudian melihat ke arah jendela, pandangan matanya menatap lalu lalang mobil di jalanan. Pipinya masih terasa nyeri akibat tamparan tangan kasar Hendrik, mungkin saja saat ini sudah ada bekas memar di pipi Erika. Tapi rasa nyeri di pipinya tak sebanding dengan rasa sakit di dalam hatinya. Mendapat penghinaan seperti itu, tentu saja membuat harga diri Erika merasa terkoyak.

Untung saja besok adalah weekend, sehingga besok Erika bisa tenang beristirahat di apartemen tanpa harus menghabiskan waktu di kantor. Mengingat kejadian hari ini adalah pukulan berat baginya, mungkin dengan beristirahat sejenak dari rutinitasnya di kantor dapat memulihkan suasana hatinya.

"Kita sudah sampai, mbak." ucap sopir taksi mengagetkan lamunan Erika. 

Erika menoleh ke depan untuk memastikan perkataan sang sopir taksi, dan ternyata memang sudah sampai di depan gedung Adhinata group. 

"Oh, tunggu sebentar pak, saya akan menghubungi teman saya dulu. Bapak masuk saja ke halaman depan kantor." ucap Erika yang kemudian mengambil ponsel dari dalam tasnya. 

"Baik, mbak." 

Sopir itu kembali melajukan mobilnya perlahan memasuki halaman gedung Adhinata group, kemudian ia mencari tempat parkir yang kosong.

Setelah menemukan kontak yang di carinya, Erika langsung menghubungi orang tersebut. "Evan, bisa kamu turun ke bawah sebentar?"

"Iya, ada apa, Erika?" 

"Aku ingin memberikan beberapa dokumen penting untuk di serahkan ke pak Jimmy. Kamu ambil ke bawah ya." ucap Erika. 

"Kenapa kamu nggak langsung saja kasih ke pak Jimmy?" 

"Aku masih ada urusan penting, jadi tolong kamu ambil dokumennya ke bawah sebentar." ucap Erika.

"Ok, ok. Kamu tunggu sebentar kalau gitu." Jawab orang yang bernama Evan, kemudian ia mematikan panggilannya.

Erika memilih menunggu Evan di dalam taksi yang terparkir di halaman depan kantor. Tampilannya yang berantakan tak memungkinkan dirinya untuk turun dari taksi tersebut. Matanya terus menatap lobi kantor, untuk memastikan jika ia bisa melihat Evan. 

Setelah beberapa menit menunggu, terlihat sosok Evan yang sudah berada di teras kantor Adhinata group. Ia menoleh ke kiri dan kanan seperti sedang mencari keberadaan seseorang. Terlihat juga pemuda yang bernama Evan itu merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel.

Erika yang sudah melihat sosok Evan berada di teras kantor, ia meminta sopir taksi untuk mendekat ke arah pemuda tersebut. "Pak, ayo jalan ke depan kantor." ucap Erika.

"Baik, mbak."

Seperti paham dengan permintaan Erika, sang sopir taksi menurutinya untuk maju ke depan kantor Adhinata group. Setelah sampai tepat di depan kantor, Erika membuka kaca mobil dan memanggil Evan. 

"Evan, ini dokumen dari hotel Winston, tolong kamu berikan ke pak Jimmy." ucap Erika sambil menyerahkan tumpukan dokumen.

Evan mengerutkan keningnya melihat penampilan Erika yang sangat berantakan, matanya terlihat sembab seperti habis menangis. Bahkan Evan juga dapat melihat memar keunguan di pipi Erika. 

"Erika? Kamu baik-baik saja kan?" tanya Evan.

Erika hanya mengangguk, "Aku pergi dulu. Tolong bilang ke pak Jimmy, aku ijin kerja setengah hari." Ucap Erika.

"Ok, ok, nanti akan aku bantu ijin kamu. Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk menghubungiku, Erika." ucap Evan. 

Erika kembali mengangguk, "Makasih atas bantuan kamu, Van." jawab Erika lalu ia menutup kaca mobil dan menyuruh sang sopir taksi untuk pergi meninggalkan kantor Adhinata group. Terlihat Evan melambaikan tangan ke arah taksi yang di tumpangi Erika.

Evan masih bingung dan penasaran dengan apa yang terjadi dengan Erika. Tapi sepertinya Erika belum siap untuk menceritakan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Evan yang melihat taksi yang di tumpangi oleh Erika pergi menjauh, ia pun berbalik badan dan masuk ke dalam kantor. 

Perlu di ketahui jika Evan adalah asisten pribadi Jimmy Adrean Adhinata. Bisa di bilang juga bahwa Evan adalah tangan kanan Jimmy (pewaris tunggal Adhinata group). 

"Pak, ini dokumen dari hotel Winston. Apa perlu saya mengeceknya satu-persatu?" ucap Evan menyerahkan tumpukan dokumen ke arah meja kerja Jimmy. 

Jimmy mengerutkan keningnya, perasaan ada yang janggal dalam hal ini. "Mana Erika? Kenapa bukan dia yang memberikan dokumen ini padaku?" tanya Jimmy dengan nada datar.

"Dia minta ijin cuti setengah hari, sepertinya dia sedang ada masalah pribadi di luar," jawab Evan. 

"Apa begini cara kerja orang yang profesional? Melimpahkan tugasnya kepada orang lain, hanya karena masalah pribadi?" tanya Jimmy dengan nada sinis. 

Evan hanya diam tak menjawab perkataan bosnya. Karena ia sendiri juga tidak tahu apa yang terjadi dengan Erika. Mengingat penampilan Erika yang berantakan saat bertemu dengannya di bawah tadi, membuat pikiran Evan sedikit terganggu. Ada apa sebenarnya dengan Erika? 

"Evan, potong gajinya bulan ini. Karena ia tidak profesional dalam bekerja." perintah Jimmy yang mulai membuka dokumen yang ada di depannya. 

Evan spontan melihat ke arah Jimmy, ia sangat terkejut akan perintah Jimmy yang sepertinya sengaja mempersulit Erika. 

"Baik pak." hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya. 

Evan tak berani untuk mendebat perintah sang bos, karena Evan tahu betul bahwa selama ini antara bosnya dan Erika seperti ada hawa perang dingin yang cukup kuat. Tapi perang dingin karena apa? Evan sendiri juga tidak tahu. Yang Evan ketahui hanya Erika adalah istri sah dari Jimmy Adrean Adhinata tidak lebih dari itu.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status