Share

Bab 6 : Kunjungan Dadakan

Matilah aku. Mereka benar-benar sudah menungguku lama dari tadi! batin Hanna panik.

Hanna tersenyum paksa di tengah dua keluarga yang berbincang hangat. Di sebelah kirinya, ada sang ibunda tercinta yang selalu memasang senyuman manis, terlihat sangat senang akan kedatangan kedua tamunya ini. Bolak-balik ia selalu mempersilahkan tamunya untuk mencicipi camilan dan meminum teh selagi hangat.

Sementara di sofa seberang, ada calon tunangan beserta bapaknya yang tengah menyesap teh panas hangat. Keduanya mengenakan balutan kemeja hitam yang tampak mahal dan sangat rapi. Aroma parfum khas pria kaya tercium sampai di tempatnya. Hanna semakin minder jika menyandingkan dirinya dengan mereka. Bahkan cara minumnya pun benar-benar penuh tata krama.

Duh, Hanna jadi tidak bisa membayangkan kalau ia benar-benar menjadi istri dari seorang calon pewaris perusahaan ternama. Ia sangat-sangat minder. Soalnya, bau rakyat jelata dan konglomerat itu beda jauh!

“Kalau boleh tahu, darimana saja Hanna sampai baru pulang jam segini? Katanya Solar, tadi ponselmu mati, ya?” Lelaki di sebelah Solar itu membuka suara, bertanya pada Hanna dengan suara beratnya.

“Maaf, Om. Tadi saya habis menjenguk teman yang lagi sakit. Saya tidak bermaksud untuk pulang malam, tetapi tiba-tiba ada insiden tadi di jalan. Ponsel saya juga mati dan tidak ada charger, jadi saya tidak bisa mengabari Solar tadi,” jawab Hanna, tak sepenuhnya jujur.

Ia tak mungkin bilang habis curhat ke Aufan soal pertunangan ini, kan? Habislah dia kalau semuanya terungkap.  

“Hmm, ya udah, enggak apa-apa. Kalau kamu mau, nanti kamu minta ke Solar saja supaya dibelikan ponsel baru, sekalian charger dan powerbanknya. Jadi, tidak membuat orang serumah panik.”

Hanna hanya bisa tertawa hambar, kembali merutuki kebodohannya dalam hati. Entah itu sarkas atau sindiran, yang jelas Hanna tidak terlalu senang mendengarnya. Sepertinya ia telah membuat kesan awal yang buruk pada calon mertuanya ini.

“Lalu, jangan panggil saya ‘Om’. Panggil saya ‘Papa’, seperti bagaimana Solar memanggil saya.”

“Papa? A-ah, baik, Pa.”

Hanna mengusap tengkuknya canggung, tidak menyangka kalau bapaknya Solar ini mau saja dipanggil Papa. Padahal kan mereka baru mau bertunangan, bahkan belum tentu lanjut hingga ke pernikahan. Sungguh, ia tidak mengerti pola pikir dua orang di depannya ini.  

“Jadi, pertunangannya akan dilangsungkan dua minggu lagi. Apa Hanna keberatan?”

Napas Hanna seketika tertahan. Lagi-lagi, tidak ada yang memberitahunya terlebih dahulu. Tapi melihat bagaimana respon Solar yang juga sedikit terkejut, Hanna sadar kalau ini ditentukan sepihak oleh calon mertuanya. Dua minggu bukan waktu yang panjang, apa mungkin bisa mempersiapkan itu semua dengan cepat?

“Kamu enggak perlu khawatir masalah uang. Semua akan ditanggung oleh kami. Kamu dan Solar hanya perlu memilih dan memberikan list kebutuhan, setelah itu biar kami yang menanganinya. Lalu, harus diingat juga kalau pesta pertunangan kalian bukan pesta kecil-kecilan. Kita akan mengundang rekan perusahaan, mengingat Solar adalah calon pewaris perusahaan Hamid Coorperation.”

Hanna kembali mengerjap, tidak bisa berkata apapun. Orang kaya memang mudah sekali untuk menghamburkan uangnya, sampai rela merencanakan pesta besar. Padahal setau dia, pertunangan itu cukup mengundang keluarga dan teman dekat, tanpa harus mengundang rekan-rekan kerja seperti itu.

Namun jika Hanna menolak, pasti ia hanya akan memperkeruh suasana. Ia tidak mau mempermalukan keluarganya. Kalau begitu, tidak ada pilihan lain selain meresponnya dengan anggukan dan sebuah senyuman paksa.

“Kalau Hanna dan Ibu keberatan, kalian bisa bilang ke kami,” tambah Solar selembut mungkin. Sepertinya ia mencoba untuk mencairkan suasana yang sedikit tegang akibat bapaknya ini.

Hanna menarik napas dan menggeleng pelan. Sambil membulatkan tekad, ia berusaha berucap seyakin mungkin, “Saya enggak keberatan. Kalau memang telah direncanakan seperti itu, tidak apa-apa.”

 “Hm, apa kuliahmu enggak terganggu nanti?” Kali ini lelaki tua di sebelah Solar kembali bertanya. Sepasang manik hitam menatap Hanna dengan tatapan mengintimidasi.

“Enggak, Pa. Saya sudah semester akhir, jadi waktunya lebih luang.”

“Oh, lalu kenapa sering pulang sore?” tanyanya lagi seraya melirik Solar. “Solar bilang, dia bakal menjemputmu untuk seterusnya. Tapi saya heran, kenapa kamu memilih pulang sore jika kamu punya banyak waktu luang? Kamu masih sibuk organisasi?”

Hanna tercengang sejenak, tidak menyangka kalau Solar akan membicarakan hal semacam itu pada papanya sendiri. Ia pikir, Solar sudah terlalu dewasa untuk melaporkan semuanya ke orang tuanya. Atau ... ini memang suruhannya?

“Saya udah enggak ikut organisasi, hanya saja saya suka mencari-cari jurnal dan bacaan di perpustakaan sambil mengerjakan penelitian skripsi saya, Pa. Soalnya, kalau di rumah terkadang kurang kondusif, jadi saya memilih di perpustakaan.”

Papa Solar kembali memanggut-manggut. Ia melirik Solar dan tersenyum hangat pada anak lelakinya itu. “Hm, baiklah. Kalau begitu, mulai besok kalian bisa mulai merencanakannya. Dua minggu bukan waktu yang sebentar, tetapi juga bukan waktu yang lama.”

“Baik, Pa. Terima kasih.”

Perbincangan pun selesai, dua orang itu segera pamit karena waktu yang semakin malam. Sebelum Solar benar-benar pergi, ia melirik Hanna sekilas dan tersenyum sangat tipis. Hanna hanya balas tersenyum lebar dan melambaikan tangan. Namun sayang, ia tak menyadari apa maksud senyuman tersebut.

Begitu mobil avanza hitam lenyap dari pandangan, Hanna langsung menarik napas panjang dan menutup pintu rumahnya serapat mungkin. Ia menghempaskan diri di sofa depan. Kedua bahunya lemas, seolah energinya telah terkuras habis untuk berpura-pura tersenyum di hadapan kedua orang tadi.

“Kenapa dadakan lagi sih, Bu? Hobi banget dadakan. Aku kan enggak ada persiapan apa-apa.” Hanna mengerucutkan bibirnya saat melihat ibunya yang tengah membereskan meja ruang tamu.

“Ibu udah memberitahumu dari habis ashar, kok. Udah ceklis dua, tapi tetap aja kamu enggak baca,” jawab sang ibu yang jadi ikut jengkel karena kembali disalahkan. “Hei, anak perawan. Bantu beresin sini. Enggak peka banget ibunya lagi beres-beres, malah goleran di sofa.” 

Hanna menarik napas panjang dan beranjak dengan malas-malasan. Ibunya ini seperti punya mode yang berbeda tiap harinya. Kalau lagi manis ya manis, tetapi kalau lagi ngomel ya mengomel terus seperti saat ini. Namun, karena Hanna lelah dan malas berdebat, ia pun menurutinya, meski dengan sedikit ogah-ogahan.

Sebelum membantu ibunya, Hanna mengambil kabel charger yang sudah menempel di stop kontak dan memasangkan ke ponselnya. Begitu ponselnya kembali nyala, puluhan pesan masuk memenuhi notifikasinya. Semuanya pesan dari ibu, Solar, dan Aufan.

Hanna tertegun saat membaca pesan-pesan tersebut. Rupanya, sebelum ponselnya benar-benar mati, ibunya telah mengirimkan pesan untuk tidak pulang terlambat dan mengabari keluarga Solar yang mau ke rumah. Lalu ada pesan dari Aufan yang menanyakan kedatangannya sore tadi. Dan yang terakhir, Solar yang telah menyepam banyak pesan hanya demi menanyakan keberadaannya.

Hanna menggigit bibir bawahnya, lagi-lagi merasa tidak enak dengan Solar. Jemarinya pun mulai bergerak lincah di atas keyboard touchscreen, menggumamkan kata maaf dan mengirimkan stiker bocah lagi bersimpuh mohon ampun.

[Maafkan aku, Solar! Sumpah, hapeku benar-benar mati tadi. Maafin juga ya kalau malam ini aku udah buat kamu dan Papa nunggu lama. Ampuni hamba, aku enggak akan mengulanginya lagi. Sebagai gantinya, aku akan mentraktirmu kapan-kapan. Oke?]

Setelah muncul simbol ceklis dua di pojok bubble chatnya, Hanna mengusap wajah gusar sebelum melempar ponselnya ke sembarang arah.

Ah, ternyata ini memang salahnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status