Share

Bab 7 : Pagi yang Berbeda

Hanna tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Setelah Solar membalas pesan singkatnya dan mengajaknya untuk bertemu setelah makan siang, sosok pria tampan itu langsung memenuhi isi kepalanya. Memikirkan apa yang sepatutnya mereka bahas, atau bagaimana mereka berbincang nantinya, Hanna terus mencari cara agar percakapan  mereka tidak lagi canggung dan awkward sampai ia gemas sendiri dengan pikirannya itu.

Dan sekarang, ia bahkan berpenampilan rapi dan memoleskan make up tipis. Surai hitam sepunggungnya itu ia biarkan tergerai rapi. Karena jam kuliahnya hari ini berakhir tepat sebelum jam makan siang, ia sampai membawa pouch make up yang jarang sekali ia sentuh jika tidak ada urgensi untuk bertamu.

Menatap pantulan wajahnya di cermin, Hanna sudah lupa kapan ia terakhir kali mendandani dirinya serapi ini sebelum kuliah. Biasanya, ia tidak terlalu memedulikan penampilannya. Namun, kali ini tentu saja berbeda. Hanna harus memantaskan penampilannya setara dengan Solar yang selalu terlihat berkharisma. Ia tidak mau terlihat seperti upik abu yang sedang jalan bersama majikannya.

“Hanna, kamu enggak berangkat kuliah? Solar sudah menunggumu, loh!”

“Iya, Bu!”

Hanna buru-buru mengambil tas kuliahnya dan menuruni tangga secepat mungkin setelah mendengar panggilan ibunya. Diliriknya arloji yang melingkari pergelangan tangan, masih tersisa empat puluh menit sebelum jam kuliahnya dimulai. Sesampainya di meja makan, Hanna segera menyambar roti panggang yang tinggal tersisa satu dan mencium punggung tangan sang ibu.

Begitu Hanna keluar rumah, ia langsung mendapati sosok Solar yang tengah bersandar pada pagar rumahnya. Lelaki itu mengenakan setelan kemeja biru lengkap dengan dasi yang tertata begitu rapi. Kacamata yang biasanya bertengger di batang hidungnya, kini tersimpan dalam saku kemeja. Seketika Hanna menyadari penampilan Solar yang begitu tampan tanpa menggunakan kacamata.

“Oh, kamu udah datang?”

Hanna mengangguk dan tersenyum secerah mungkin. Setelah semalam berpikir baik-baik, ia tidak mau membuat impression yang jelek di depan Solar. Ia harus berusaha memposisikan diri sebaik mungkin di depan Solar. Bagaimana pun juga, ini adalah wasiat ayahnya yang harus ia coba jalani.

“Yuk, berangkat,” ajak Hanna.

Solar mengangguk dan membukakan pintu kursi penumpang layaknya seorang gentleman. Hanna jadi merasa sedikit tersentuh mendapat perlakuan seperti ini. Seumur hidup, baru kali ini ia bertemu dengan seseorang seperti Solar.

Setelah itu, mobil pun melaju, melintasi jalan yang masih lenggang. Diam-diam, Hanna melirik Solar, mengagumi wajah tanpa ekspresi yang begitu rupawan. Seperti biasa, Solar yang irit bicara itu hanya terfokus pada mengemudi, terlihat tidak tertarik untuk memulai pembicaraan. 

“Kamu biasanya berangkat jam segini juga?” tanya Hanna, mengajaknya sekedar berbasa-basi.

“Bebas, sih,” jawab Solar singkat, masih berfokus pada jalan di depannya.

“Eh, bebas? Kalau begitu, enggak masuk juga boleh?”

“Boleh. Aku bebas mengerjakan urusan kantor di mana saja.”

Hanna tercengang, kembali mengingatkan dirinya bahwa pria di sampingnya ini adalah calon pewaris perusahaan ternama. Seharusnya tidak mengherankan kalau Solar diberi kebebasan oleh papanya saat bekerja.

“Kalau ada meeting gimana?”

“Itu udah beda cerita.”

Hanna hanya tertawa kikuk, lebih tepatnya menertawakan pertanyaan bodohnya. Lagi dan lagi, orang konglomerat memang berbeda kasta.

“Kamu … kalau kuliah memang seperti itu, ya?” Kali ini giliran Solar yang bertanya, ia melirik Hanna sekilas sebelum kembali fokus dengan jalan di depannya.

“E-eh? Um … biasanya e-enggak, sih. Cuma … hari ini lagi mood aja jadi begini, deh. Ehehehe,” jawab Hanna dengan sedikit tergagap. Pandangannya buru-buru teralihkan ke luar, sementara tangannya menggaruk pipinya yang tidak gatal. Ia tidak menyangka kalau Solar akan menanyakan penampilannya.

“Kalau begitu, biasa saja.”

Hanna kembali menatapnya bingung. “Maksudmu?”

“Yang biasa aja.”

Hanna kembali tercengang lebar, masih mencerna apa yang Solar katakan. Padahal ia sudah berdandan satu jam lamnya, tetapi masih saja disuruh seperti biasa aja? Apa penampilan seperti ini memang tidak cocok untuknya? Duh, Hanna kembali merasa minder.

“Ah, aku … memangnya … tidak cocok, ya?” tanya Hanna pelan.

“Aku enggak bilang begitu.” Solar berdeham sejenak. Wajahnya yang biasa tak ada ekspresi, kini terlihat sedikit gelisah. “Ehm, kamu cocok, kok.”

Hanna menarik sebelah alis, bingung. Tadi disuruh biasa, sekarang dibilang cocok. Sebenarnya, Solar ini kenapa, sih? Tidak mungkin kan dia sedang malu-malu kucing? Hanna sama sekali tidak mengerti dengan pola pikir lelaki di sebelahnya ini.

“Jadi aku harus seperti apa, dong?”

“Natural, seperti dirimu saja.”

Hanna kembali mengerjap. Solar yang dari kemarin hanya menjawabnya sepatah dua kata, pagi ini jadi lebih banyak berbicara. Apalagi sampai mengomentari penampilan dan menyuruhnya menjadi diri sendiri. Aneh sekali.

Mungkinkah sikapnya telah sedikit melunak? Atau jangan-jangan Solar memang masih menyembunyikan sisi lain di balik wajah dinginnya ini?

“Baiklah kalau begitu,” sahut Hanna pada akhirnya. Hanna tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya, Hanna merasa lega karena percakapan mereka pagi ini tidak berakhir awkward.

*****

“Cie, cie~! Yang udah punya tunangan, sekarang maunya berduaan mulu nih, ye!”

“Aduuh, nanti undang-undang ya kalau udah menyebarkan undangan!”

Hanna memutar bola mata dan menutup kedua telinganya saat Elora dan Via meledeknya habis-habisan. Selama jam kuliah, Hanna sama sekali tidak bisa konsentrasi karena dua orang yang duduk di kanan dan kirinya itu tidak capek-capeknya mengganggunya, meski hanya bertukar pesan lewat coretan kertas. Mereka hampir kena tegur karena Elora dan Via yang terus cekikikan geli. Untung saja dosen pagi ini bukan dosen killer.

“Argh! Mau sampai kapan kalian meledekku, sih!?” sahut Hanna sebal. Ia mendengkus dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Lagian juga, aku belum official tunangan sama dia, ya. Jadi plis, enggak usah norak begitu, wahai dua kawan tercinta.”

Elora dan Via langsung tergelak, menertawakan tingkah Hanna yang begitu lucu. Menurut mereka, sikap Hanna yang seperti ini seperti cewek-cewek jepang yang tsundere. Malu-malu tapi nyatanya mau juga.

“Habisnya kamu juga penampilan hari ini cantik banget. Iya ga, Vi?” Elora merangkul Hanna dan melirik Via dengan tampang jahilnya.

“Iya! Aku yakin orang-orang yang melihatmu di kelas tadi sampai enggak bisa kedip. Kamu sadar enggak, Han?” Via tertawa renyah dan menepuk-nepuk bahu Hanna, sangat menikmati ekspresi Hanna yang semakin bete.

“Enggak, woi! Mana ada yang begitu?” Hanna melepas rangkulan Elora dan kembali mendengkus sebal. “Udahlah, sana-sana!”

“Tapi aku serius, Han. Tadi ada tuh adik kelas yang dari jam awal sampai selesai ngeliatin kamu terus!” sahut Via, masih tersenyum jahil.

Hanna kembali memutar bola mata, masih menganggap semua ucapan Via dan Elora itu hanyalah ledekan semata. Hanna tahu ia bukan mahasiswi populer ataupun yang panjat sosial. Ia hanya mahasiswi biasa, nerd, dan anti sosial. Belum ada laki-laki yang tiba-tiba naksir hanya karena ia berdandan di sepanjang sejarah hidupnya.

“Eh, itu! Itu! Yang aku bilang! Dia masih melihat ke arah sini!” Via langsung menarik tangan Hanna, menunjuk seorang pria bertubuh gempal dengan isyarat matanya. Pria yang ditunjuk itu buru-buru memalingkan wajahnya yang memerah.

Hanna mengernyitkan dahinya dalam-dalam. Rasanya masih tidak mungkin kalau ada pria yang naksir sama dia. Ia pun melepas tangan Via dan menggelengkan kepalanya tegas.

“Enggak mungkin. Dia pasti salah orang,” sahut Hanna dengan penuh penekanan. Dilihatnya dua temannya itu secara bergantian. “Kalaupun emang ngeliat kita, itu enggak mungkin aku. Bisa aja kan salah satu dari kalian.”      

“Mana ada!”

Hanna hanya mengendikkan bahu sebagai balasan. Kemudian ia kembali melihat arloji jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Tepat di saat itu pula, sebuah notifikasi pesan dari Solar memenuhi layar ponselnya.

[Kamu udah selesai? Kalau udah, habis ini aku ke kampusmu.]

Tanpa sadar, seulas senyuman terukir di bibir Hanna sebelum membalas pesan tersebut.

[Udah, tapi santai aja. Aku mau sholat di kampus dulu.]

Saat Hanna mematikan layar ponselnya, barulah ia sadar kalau kedua temannya ini sedari tadi memperhatikan pesan yang Solar kirimkan. Seketika Hanna kembali menyesal melihat wajah Elora dan Via sudah mesem-mesem penuh kemenangan.

“Cieee! Ya ampun, katanya kemarin enggak mau dijodohin, tapi sekarang udah mau dijemput ajaa! Hanna bikin gemes, deh!”

“Jadi iri, deh! Aduhai, kakandaku! Kapan kamu datang supaya aku bisa kayak Hanna yang udah ada calon hidup? Huhuhuhu.”

Hanna panik, menyadari orang-orang yang mulai melihat mereka. Buru-buru telapak tangannya membekap dua mulut itu dengan cepat, tapi mereka tetap saja meledek Hanna secara terang-terangan, seolah sengaja mempermalukannya di depan umum.

Sungguh, Hanna benar-benar malu punya teman seperti mereka!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status