Share

Bab 5 : Aufan

Hanna menatap cemas pada ikon baterai di layar ponselnya yang menunjukkan angka 5%. Sebelum ponselnya benar-benar mati, ia harus mengirimkan pesan singkat pada Solar supaya tidak menjemputnya di kampus. Bisa gawat jika Solar menunggunya selama berjam-jam.

[Solar, maaf aku lagi enggak di kampus sekarang. Kamu enggak perlu repot-repot menjemputku. Lalu, bateraiku tinggal 5% jadi aku enggak bisa menghubungi kamu nanti. Maaf, ya.]

Setelah mengirimkan pesan tersebut, ponselnya benar-benar mati. Hanna pun merutuki dirinya yang ceroboh karena tidak membawa charger di saat genting seperti ini. Andaikan saja ia punya powerbank, pasti ia tak perlu risau dengan keadaan baterainya.

Hanna menghela nafas panjang, kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas dan kembali menyusuri pada lorong rumah sakit. Dilihatnya beberapa pasien yang tengah berlalu lalang ditemani perawat. Biasanya, jam sore adalah waktu yang paling ramai untuk membesuk. Namun, sekarang rasanya lebih sedikit sepi dibanding biasanya.

Tak lama, langkah Hanna terhenti di depan sebuah pintu kamar pasien yang bernomor 456. Diintipnya ruangan tersebut dari ujung jendela kecil yang bertengger di tengah pintu, memastikan bahwa si pasien masih ada dan hanya seorang diri.

Oke, timingnya tepat, batin Hanna.

Hanna pun mengetuk pintu tiga kali dan membuka pintu perlahan. Kepalanya menyembul dari balik pintu, berharap si pasien langsung sadar akan kehadirannya.

“Masuklah, Na. Enggak ada siapa-siapa di sini,” sahut suara dari dalam.

Hanna pun tersenyum lega dan membuka pintu lebih lebar sambil menyapa sahabatnya itu dengan riang. “Assalamualaikum, Aufan! Udah sehat?”

Aufan, lelaki yang terbaring di ranjang pasien itu pun tersenyum melihat kehadiran Hanna. Ia beranjak duduk dan menyenderkan tubuhnya ke bantal besar.Wajahnya yang terlihat cerah, tetapi bibirnya masih sedikit pucat. Selang infus pun masih menempeli punggung tangan kirinya.

“Wa’alaikumsalam, alhamdulillah sehat. Senang melihatmu ke sini, Hanna.”

Hanna tersenyum cerah. Ditaruhnya sebuah bingkisan kecil di atas meja sambil menarik kursi yang berada di samping ranjang tidur. Sudah menjadi kebiasaannya untuk membawa kue brownies coklat setiap kali berkunjung ke sini.

Aufan adalah sahabat sekaligus satu-satunya cowok yang dekat dengannya sejak SMA. Sejak dulu, Aufan sudah memilki anemia parah sehingga kondisi fisiknya lemah dan membuatnya seringkali keluar-masuk rumah sakit. Akibat kondisi itulah, ia sering bertemu Hanna di UKS dan lama-lama menjadi teman curhatnya.  

“Sepertinya kamu senang banget, ya? Gimana perjodohanmu? Lancar?” goda Aufan sambil membuka bingkisan dari Hanna. Detik kemudian, wajahnya langsung sumringah. “Wah, brownies coklat! Makasih banget ya!”

“Aku senang karena bisa melihatmu sehat lagi, Fan. Bukan karena perjodohan.” Hanna mendengkus pelan. Ia bertopang dagu pada meja di sebelahnya, ekspresinya kembali muram ketika Aufan mengingatkannya tentang perjodohan itu.

“Kenapa, sih? Jangan sedih gitulah. Cerita sini,” sahut Aufan dengan mulut yang sudah dipenuhi brownies coklat.

Hanna menghela nafas berat. Kedatangannya ke sini sebenarnya bukan hanya menjenguk Aufan, tapi juga mengeluh tentang masalah pertunangannya dengan yang begitu dadakan. Hanna pun mulai menceritakan bagaimana ibunya yang sudah mendiskusikannya tanpa persetujuan, bagaimana ibunya yang merencanakan pertemuannya dengan Solar sematang mungkin, dan bagaimana malam itu terjadi. Sementara Aufan hanya memanggut-manggut sok paham.

“Jadi, sebenarnya kamu ini kesal apa gimana?” Aufan mengernyitkan dahi, heran. Sedari tadi ia mendengarkan Hanna bercerita, ekspresi gadis itu berubah-ubah, entah kesal, malu, atau justru gemas pada nasibnya itu.    

“Awalnya sih kesal. Ya siapa yang enggak kesal sih tiba-tiba dikasih tahu wasiat ayah tentang pertunangan, hah? Terus tiba-tiba orang yang dibicarain datang begitu aja! Kan aku enggak ada persiapan sama sekali! Seengaknya, kalau ibu udah ngasih tahu aku gitu kan aku bisa menyiapkan topik atau penampilan gitu. Lah, ini … setiap pembicaraan kita pasti berakhir awkward. Aduuuh, mana canggung banget! Aku kesal tapi juga gemas gitu loh sama ibu!”

Aufan tertawa kecil melihat ekspresi Hanna yang merenggut kesal-kesal gemas dengan ceritanya sendiri. Jarang sekali Hanna ekspresif seperti ini saat curhat dengannya. Biasanya, gadis itu akan manyun atau memasang wajah betenya dari awal hingga akhir cerita. Ia jadi tertarik mengetahui siapa lelaki beruntung yang telah dijodohkan dengan Hanna.

“Tapi sebenarnya, kamu ini mau enggak sih ditunangin kayak gitu?” tanya Aufan gamblang. Ia menyeringai jahil, menyadari Hanna yang tiba-tiba terdiam.

“Entahlah. Mungkin, kalau cewek-cewek di luar sana bakal langsung senang kalau dijodohin sama calon pewaris perusahaan. Tapi aku … tidak terlalu senang, sih. Ya meskipun aku sudah mulai mencoba untuk menerima kenyataan ini, tetapi di sisi lain … seperti masih ada rasa keterpaksaan.”

Hanna menunduk dan kembali menarik napas panjang. Sudut bibirnya terangkat sendu, membayangkan bagaimana sosok ibu yang memberitahunya kemarin dan bagaimana Solar yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya. Semua terjadi begitu mendadakan mampu memutar balikkan hidupnya seperti ini.

Aufan menepuk bahu Hanna pelan dan tersenyum tipis. “Tenang saja. Perjodohan itu tidak selamanya buruk, kok. Percayalah, kamu hanya perlu mencoba untuk membuka hati kepadanya. Jangan takut, oke? Aku bakal ada di pihak kamu apapun yang terjadi.”

“Terima kasih, Aufan. Aku jadi lebih tenang sekarang.” Hanna membalas senyuman itu. 

“Tapi kalau ternyata kalian memang enggak cocok, aku masih mau kok nerima kamu. Ahahaha, parah banget sih kalau dia menyia-nyiakan cewek secantik kamu,” sahut Aufan sambil mengedipkan sebelah matanya, bercanda.

Hanna tergelak dan meninju bahu Aufan pelan. Diam-diam ia bersyukur punya sahabat seperti Aufan yang masih mau menghiburnya, meski dengan candaan menggelikan seperti ini. Namun, Hanna sama sekali tidak keberatan.

“Memangnya siapa sih calon tunanganmu itu? Aku daritadi kepo, deh!” Aufan kembali tersenyum jahil, mengingatkan Hanna belum menyebutkan nama pasangannya sedari tadi bercerita.

Dengan sudut bibir yang sedikit terangkat, pandangan Hanna terjatuh pada kedua tangan di pangkuannya. “Namanya Solar, Solar Alexandre Hamid. Aneh ya namanya?”

Alih-alih tertawa, Aufan justru bergeming sesaat. Ekspresi jahilnya lenyap ketika mendengar jawaban Hanna. Senyumnya pun memudar, berganti dengan rintihan kesakitan yang langsung membuat Hanna panik.

“Aufan? Kamu kenapa?” Hanna bertanya khawatir.

“A-ah, e-enggak apa-apa,” jawab Aufan sambil meringis pelan. Tiba-tiba ia merunduk sambil memegangi kepala. “Sepertinya … tiba-tiba kepalaku agak sakit. Maaf, Hanna ….”

“Ma-maaf! Aduh, aku berkunjung terlalu lama, ya?” sesal Hanna, buru-buru membereskan tasnya yang tergeletak di atas meja. Beralih pada Aufan kembali, Hanna memegang pundaknya pelan. “Perlu aku panggilkan perawat?”

“E-enggak. Aku cuma ingin istirahat aja. Lagian sebentar lagi waktunya aku check-up.” Aufan tersenyum lemah dan kembali berbaring dengan nyaman di ranjang pasien. Ia menepuk-nepuk lengan Hanna, menenangkan ekspresi takut gadis itu.

“Maaf, Aufan ….”

“Aku enggak apa-apa, kok. Udah, jangan sedih lagi. Calon tunanganmu nanti ilfil kalo kamu nangis, soalnya kamu makin jelek.” Aufan menjulurkan lidahnya dan mengedipkan matanya nakal.

“Hei, Aufan!” Hanna menggeram, sedikit kesal karena Aufan masih sempat-sempatnya meledek di kondisinya yang kembali menurun. “Udah, jangan kebanyakan bercanda!”

Aufan tertawa pelan. “Iya-iya. Kamu pulang, gih. Aku enggak mau tanggung ya kalau tiba-tiba kamu dimarahin sama calon tunangan kamu.”

Hanna mendengkus sebal, tidak habis pikir bagaimana Aufan yang masih mempercandainya di saat seperti ini. Dimarahi apanya? Solar saja tidak tahu kalau ia sedang menjenguk Aufan sekarang. Rasanya juga tidak mungkin kalau Solar akan langsung memarahinya. Dia saja dingin begitu.

“Kalau begitu, aku pulang dulu, ya.”

Hanna mengambil tasnya dan melambaikan tangan pada Aufan sambil menutup pintu kamar. Tanpa sepengetahuannya, senyuman Aufan pun memudar, berganti dengan ekspresi yang menggelap.

*******

“Aduh, ponselku mati lagi. Gimana ngehubungin ibu, nih?”

Hanna menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil merutuki dirinya yang pelupa. Ditatapnya ponsel yang telah mati, tak bisa dinyalakan meski hanya dua detik. Seharusnya saat menjenguk Aufan, ia juga meminjam charge untuk ponselnya. Buruknya lagi, ia lupa memberitahu ibunya kalau akan pulang telat.

“Habislah aku malam ini ….” desah Hanna pasrah.

 Karena ponselnya mati, Hanna juga tidak bisa memesan ojek online. Akibatnya, ia pun harus mengeluarkan ongkos lebih demi satu ojek biasa. Tidak bisa berhemat, gagal sudah rencananya untuk mengirit hari ini.

Hanna mendesah pasrah dan melangkah ke tukang pangkalan ojek di seberang gerbang. Beruntung masih ada satu dua ojek yang sedang menunggu penumpang, ia tidak perlu repot-repot menunggu.

“Ojek, Bang. Ke Perumahan Sri Asri, ya.”

“Siap, Neng!”

Motor melaju begitu cepat. Hanna sengaja menyuruh abang ojek supaya menambah laju kecepatan, bahkan kalau bisa ngebut. Pasalnya, ia tidak tahu sudah jam berapa ini, tetapi langit yang sudah gelap menandakan kalau sudah mendekati waktu isya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana ibunya akan menceramahinya sesampai di rumah nanti.

Tadinya, setelah membayar tukang ojek, Hanna mau buru-buru masuk dan menemui ibunya sebelum diceramahi panjang kali lebar. Namun, langkahnya justru tertahan begitu sampai di depan gerbang rumah. Ada sebuah mobil avanza hitam yang parkir di seberang rumahnya, bersamaan dengan dua pasang sepatu yang tersusun rapi di teras.

“Hanna, kamu akhirnya udah pulang!” Sang ibu menyambutnya hangat dari depan pintu rumah. Buru-buru wanita tua itu menghampiri Hanna dan kembali berbisik, “Buruan masuk. Solar dan bapaknya sudah menunggu dari tadi.”

“Eh …? Ngapain, Bu?”

Hanna mulai gelisah. Ada yang tidak beres di sini, terlebih saat sang ibu tersenyum penuh makna.

“Bicarain tanggal pertunangan kalian, lah!”

“APA? TANGGAL!?” Hanna terbelalak sempurna.

Rasanya belum sampai seminggu ibunya memberitahunya masalah pertunangan, tiba-tiba sekarang sudah membicarakan tanggal. Ya Tuhan, kejutan apa lagi ini? Hanna benci dadakan seperti ini!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status