"Akh!"
Bagas yang baru saja bangun dan hendak mandi seketika mengurungkan niatnya ketika mendengar teriakan Arin dari dalam kamar. Bagas segera menuju kamar Arin lalu mengetuk pintunya. "Arin. Ada apa?" "Gak ada apa-apa." Jawaban Arin justru membuat Bagas tidak percaya. Dia pun membuka pintu kamar Arin. Bagas segera mendekati Arin yang sedang terduduk di lantai sembari memegang kakinya. Arin yang meringis langsung diam karena Bagas masuk ke kamarnya. "Kamu kenapa?" Bagas hendak membantu Arin berdiri, namun Arin menolak. "Saya bisa sendiri." Arin perlahan mencoba berdiri, namun dia kesulitan. "Saya bantuin." Bagas segera menggendong Arin membuatnya seketika membulatkan mata. "Ngapain digendong? Saya kan udah bilang saya bisa sendiri." Bagas mendudukkan Arin di ranjang. "Kenapa bisa jatuh?" Bagas bertanya. "Mau ganti lampu," jawab Arin ogah-ogahan. Bagas baru menyadari kalau ada tangga lipat. "Kenapa gak minta tolong?" "Karena saya bisa sendiri." "Kalau bisa sendiri gak mungkin jatuh." Bagas benar-benar membuatnya kesal, tapi Arin tidak bisa membantah karena ucapan Bagas memang benar. Bagas mengambil bohlam lampu baru lalu naik ke tangga untuk mengganti bohlam lampu yang sudah putus. Setelah selesai Bagas membawa keluar tangga tersebut. *** "Jadi gimana keadaan kaki istri saya, dok?" "Kaki bu Arin terkilir, tapi kondisinya tidak cukup serius. Untung sementara harus istirahat yang cukup jangan terlalu banyak melakukan aktivitas yang berat. Mungkin sekitar lima sampai enam hari sudah kembali pulih. Untuk obatnya sudah saya resepkan. Jangan lupa ditebus. Dan obatnya harus diminum secara rutin agar tidak terjadi pembengkakan." "Baik dok, terima kasih sebelumnya." "Sama-sama, pak. Kalau begitu saya permisi." Setelah mengantar dokter, Bagas kembali ke kamar Arin. "Kata dokter kaki kamu terkilir, tapi gak parah. Kemungkinan sembuhnya lima atau enam hari. Nanti obatnya saya tebus di apotek." "Gak usah, saya bisa tebus sendiri." Arin menolak. Bukan apa hanya saja Arin tidak ingin memiliki hutang budi pada Bagas karena menolongnya. "Emang bisa jalan?" Pertanyaan Bagas sukses membuat Arin terdiam. Kalau Arin menjawab bisa sudah pasti Bagas akan kembali mengeluarkan kalimat yang mungkin tidak bisa dibalas olehnya. "Kata dokter harus istirahat jangan ngelakuin aktivitas yang berat." "Ya udah, sana keluar. Saya mau istirahat." *** "Ya ampun, Rin. Kok bisa kayak gini, sih?" Ela datang ke rumah Arin. Tadi Arin menelepon Ela memberitahu keadaannya. Tidak sampai satu jam Ela sudah sampai di rumahnya. "Iya, tadi gue pengin ganti lampu kamar gue soalnya putus, eh malah kepleset terus jatuh deh." Arin menjelaskan. "Itu kan kerjaan cowok, Rin. Lagian kenapa lo gak minta tolong sama Bagas, sih? Jadinya gini, kan." "Kamar gue ya urusan gue, bukan dia." "Lah, kamar lo kan kamar dia juga, Rin. Kan kalian sekamar. Itu juga tanggung jawab dia dong. Gimana sih?" Arin memang tidak memberitahu Ela kalau selama ini dia dan Bagas tidur di kamar yang berbeda. Karena bagaimanapun dia tidak boleh menceritakan semua mengenai hal pribadinya. "Selagi gue bisa ngelakuinnya kenapa enggak?" "Kalau bisa mana mungkin kaki lo terkilir, Arin?!" Arin hanya tertawa kecil. "Terus lo udah ke dokter belum buat periksa?" "Tadi udah diperiksa kok. Bagas sempat manggil dokter ke sini. Terus dia juga udah tebus obatnya." Ela mendadak tersenyum. "Kenapa lo senyum-senyum gitu? Aneh banget." "Gak nyangka gue ternyata Bagas perhatian juga sama lo. Lo baper gak?" "Ya gak lah. Aneh banget lo. Dia cuma nolongin." "Yakin lo gak baper, hm?" goda Ela sembari mencolek dagu Arin. Arin menepis tangan Ela dari dagunya. "Gak usah aneh-aneh, deh. Gue gak bakal baper sama cowok sok dingin kayak dia." "Masa sih? Yakin banget apa yakin aja?" "Ela!" Ela tertawa puas. "Bercanda Rin." *** Bagas baru saja tiba di rumah. Dia menghampiri Arin yang tertidur di sofa dengan televisi yang masih menyala. "Rin. Arin." Bagas menepuk-nepuk pelan lengan Arin mencoba membangunkannya. Arin perlahan membuka matanya. "Kenapa tidur di sini?" tanya Bagas. Arin tidak menjawab. "Udah makan? Saya bawain makan." Arin menggeleng. "Udah kenyang." Arin sempat makan tadi dengan Ela. Karena tidak bisa memasak, Ela memesan makanan untuk mereka makan. "Udah minum obat?" Arin hanya mengangguk singkat. "Mau ke mana?" tanya Bagas ketika Arin hendak berdiri, namun kesusahan. "Kamar." "Saya bantuin." Bagas memapah Arin ke kamarnya. "Makasih," ucap Arin ketika sampai di kamar. Bagas hanya mengangguk. "Nanti kalau butuh apa-apa telfon aja." Arin tidak menanggapi hingga Bagas pun keluar. Tidak seperti apa yang dikatakan Ela kalau Arin terbawa perasaan dengan Bagas, justru Arin merasa aneh karena sikap Bagas yang tiba-tiba peduli dengannya. Apa yang merasuki tubuh Bagas hingga pria itu secara tiba-tiba perhatian padanya? Atau mungkin Bagas seperti itu karena dia sakit? Tapi dulu saat Arin sakit Bagas tidak perhatian seperti sekarang ini. Arin seketika langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak mau berlarut-larut memikirkan Bagas. Anggap saja hari ini Bagas sedang baik padanya. Arin yakin kalau dia sudah membaik pasti Bagas akan kembali ke setelan awal yaitu cuek dan dingin. *****************************"Sendiri aja, Rin? Gak sama Bagas?" tanya Rika ketika Arin sampai di rumah."Iya ma, dari resto langsung ke sini jadinya gak bareng Bagas.""Tapi Bagas ke sini, kan?""Bang Bagas datang kok, ma. Tadi bang Bagas bilang lagi di jalan. Paling bentar lagi nyampe."Mereka menunggu Bagas hampir dua jam, namun Bagas tak kunjung datang. Arin menatap kedua orang tuanya yang masih setia menunggu Bagas. Padahal Arin sudah menyuruh mereka untuk tidak menunggu Bagas, tapi papanya menolak karena katanya ingin menunggu menantunya. Arin benar-benar tidak habis pikir dengan papanya. Bisa-bisanya Bagas lebih disayangi dibanding dirinya."Pa, udahlah. Gak usah ditungguin lagi Bagas nya. Udah jam segini gak mungkin dia datang," ujar Arin.Hery menggeleng. "Kan papa udah bilang papa mau nungguin Bagas." Hery beralih menatap Aaron. "Ron, udah coba telfon Bagas?""Udah pa, tapi gak diangkat.""Tuh, dia aja gak jawab kok. Buang-buang waktu nungguin dia. Papa kan juga harus istirahat.""Kamu tuh sebenarnya ke
"Kamu mau ke mana?"Bagas menoleh pada Arin kemudian tersenyum. "Mau ke kantor.""Hari ini jangan masuk kantor dulu.""Aku tahu kamu khawatir sama aku, tapi aku gak bisa nunda kerjaan aku. Hari ini aku ada schedule ketemu klien.""Emang gak bisa reschedule?""Gak bisa. Kalau aku minta reschedule yang ada klien aku kecewa terus gak mau kerja bareng lagi. Aku gak mau sampe kehilangan klien.""Ya udah, terserah." Arin memilih menikmati sarapannya. Dia tidak akan melarang Bagas untuk kedua kalinya karena percuma lelaki itu pasti menolak. "Sarapan buat aku ada gak?" tanya Bagas menatap Arin.Karena tidak mendapat jawaban dari Arin, Bagas tahu kalau istrinya itu jelas masih marah padanya. Kemarin Arin membuatkannya bubur hanya karena dia sakit."Aku berangkat dulu. Aku gak bakal pulang telat kok. Oh iya, nanti kamu bisa temenin aku cari kado buat papa gak?""Gak bisa.""Ya udah, gak papa. Nanti aku minta tolong sama Aaron aja." Bagas pun pergi.***"Sorry, ya, Ron, udah ngerepotin."Aaron
"Kak, lo sama bang Bagas lagi berantem, ya?" tanya Aaron."Gak.""Gak salah lagi, kan?""Gak usah sotoy deh.""Lo kan tahu lo gak bisa bohongin gue.""Iya, gue sama Bagas emang lagi berantem. Terus kenapa? Gak ada urusannya sama lo, kan?" ketus Arin."Well, gue emang gak ada urusan sih, tapi gue kasihan ngeliat bang Bagas, kak. Dia keliatan galau banget. Gue tanya kenapa, tapi dia gak mau cerita. Mungkin karena dia gak mau gue tahu lo berdua lagi berantem. Apa gak mau diobrolin baik-baik?""Lo gak usah sibuk mikirin rumah tangga gue. Fokus aja cari kerja.""Gue lagi sementara apply kok. Lagian, gue juga gak mau ikut campur, cuma ngasih saran aja. Lusa kan papa ulang tahun. Gak mungkin kan lo sama bang Bagas datang, tapi masih berantem. Jangan lupa mama gampang curiga kalau ada sesuatu yang gak beres."Arin menatap Aaron curiga. "Lo disuruh Bagas ngomong gini, ya?""Ya enggaklah, bang Bagas aja gak mau cerita masa gue disuruh. Gak mungkinlah. Jadi istri jangan suka curigaan sama suami
"Kamu kenapa, Rin? Kok daritadi aku liat muka kamu kayak gak semangat gitu? Resto baik-baik aja, kan?" tanya Brian sembari memberikan air mineral pada Arin.Arin menerimanya tak lupa mengucapkan terima kasih, lalu meneguknya hingga setengah."Resto baik-baik aja kok. Cuma lagi ada masalah pribadi aja.""Masih berantem sama pak Bagas, ya?"Arin tidak menjawab."Sorry, kalau aku banyak nanya."Arin tersenyum. "Gak papa kok. Ya gitu lah, akhir-akhir ini emang kita lagi sering cek-cok, tapi gak yang parah kok."Brian manggut-manggut. "Wajar sih kalau ada berantemnya. Gak mungkin juga dalam rumah tangga gak ada perbedaan pendapat. Sebelumnya sorry, kalau kesannya aku sok nasehatin, tapi jangan sampe biarin masalah kalian berlarut-larut. Gak baik juga. Apalagi sampe ada orang ketiga dihubungan kalian.""Orang ketiga?""Em, balik yuk. Kamu belum buatin sarapan buat Bagas, kan? Aku juga harus buatin sarapan buat adik aku.""Oke."***"Habis jogging lagi sama Brian? Kayaknya akhir-akhir ini se
Arin memijat keningnya. "Gue bener-bener gak ngerti lagi sama Bagas. Bisa-bisanya dia cemburu gue sama Brian. Padahal dia tahu gue sama Brian cuma sebatas teman kerja, gak lebih. Gak kayak dia yang nipu gue dan diam-diam temuin mantannya itu," kesalnya.Ela mengusap punggung Arin. "Kok dia bisa tiba-tiba cemburu lo sama Brian?""Dia dikirimin foto sama seseorang yang diam-diam fotoin gue sama Brian lagi ngobrol. Dan dia malah percaya gitu aja. Gimana gue gak kesel coba.""Gue mikirnya orang yang ngirim foto itu sengaja mau buat lo sama Bagas berantem.""Siapa?""Gita lah. Mau siapa lagi. Dia kan ngebet banget pengin balik sama Bagas. Dia itu orangnya ambis, jadi pasti bakal ngelakuin apapun buat dapatin apa yang dia mau.""Tapi kan gak ada bukti kalau Gita yang ngirim foto itu.""Duh, Rin, gue itu tahu Gita gimana. Jadi gak mungkin pelakunya orang lain. Lagian, ngapain juga orang lain fotoin lo sama Brian terus kirim ke Bagas? Kayak gak ada kerjaan aja. Tapi ya, Rin, lo gak boleh terp
"Hai." Bagas tersenyum menyapa Arin yang baru bangun tidur.Arin hanya diam."Sarapan yuk. Aku udah buatin nasi goreng buat kamu. Mungkin masakan aku gak seenak masakan kamu, tapi aku harap kamu mau nyoba. Tapi, kalau setelah kamu nyoba dan rasanya bener-bener gak enak gak usah dilanjutin makannya. Kamu mau coba aja aku udah senang banget kok."Masih sama. Arin tidak merespons. Dia malah mendekati area wastafel."Kamu mau ngapain?" tanya Bagas bingung.Arin memegang wajan yang tadi sempat dipakai Bagas untuk memasak. Ternyata wajan tersebut belum dicuci. Dan keadaan dapur cukup berantakan.Bagas menggaruk tengkuknya. "Aku lupa nyuci, tapi habis ini aku cuci kok dan rapihin semuanya. Kamu makan aja dulu.""Gak laper," jawab Arin singkat."Sayang, please, makan dikit aja. Aku gak maksa kamu buat habisin." Bagas masih mencoba merayu Arin berharap sang istri mau menuruti permintaannya. Tapi, sayangnya rayuan Bagas tidak mempan. Arin memilih untuk mencuci wajan. Bagas terlihat kecewa, namu