"Nah Sis, kenalin ini Dirly yang tadi gue cerita ke elu, dan Dir ...," Arnold menoleh menatap Dirly yang tengah menatapnya dengan seksama itu, "Ini Sisca, personal asisten gue."
Dirly menatap Arnold, dari mata itu Dirly paham sepupunya itu sedang memberi kode kepadanya. Dan ia tahu betul kode apa itu. Dia kemudian menatap perempuan yang diperkenalkan bernama Sisca itu, ia menatap sosok itu dari atas sampai bawah, cantik sih. Pantas kalau Arnold tergila-gila, jadi ini perempuan itu? Perempuan yang sudah membuat Arnold begitu galau dan patah hati? Hmmm menarik!
"Saya Sisca, salam kenal." perempuan itu mengulurkan tangannya ke arah Dirly yang langsung di sambil oleh Dirly.
"Santai aja deh Sis sama gue, kayak elu sama bos lu ini saja, jangan terlalu kaku. Gue Dirly," guman Dirly sambil tersenyum.
"Ah baiklah, selamat datang dan selamat bergabung." Sisca kembali tersenyum.
Jadi ini yang namanya Dirly itu? Ganteng sih, wajahnya sebelas dua belas lah deng
Arnold mendengus kesal, ia melirik smartwatch yang melingkar di pergelangan tangan kirinya itu. Kemana sih mereka? Masa iya sudah hampir jam makan siang belum balik? Sisca nggak nyuruh Dirly mencoba satu-persatu pekerjaan yang dikerjakan para buruh di bagian produksi, kan?Arnold mendengus, kemudian meraih iPhone miliknya dan mencoba menghubungi nomor Dirly. Kemana mereka pergi?"Hallo, gimana?" tanya suara itu dari seberang."Heh ... Kemana sih? Kok nggak balik-balik, jangan bilang kalo lu nyulik Sisca?" todong Arnold begitu panggilannya diangkat."Kampret lu, iya ini Sisca gue culik, masalah?" balas sosok itu ketus."Heh, gue seriusan, kalian kenapa nggak balik-balik? Nggak mungkin kan kalian nyasar? Kecuali lu punya niat nggak baik sama Sisca," gerutu Arnold kesal."Apakah ngajak Sisca makan malam itu termasuk dalam kategori niat nggak baik?"Arnold mendengus kesal, ia mengusap wajahnya dengan tangan. Kenapa sampai makan siang bare
"Sialan!" maki Dirly ketika pesanan Arnold mendarat.Mendengar makian itu Arnold hanya nyengir lebar sambil menaikkan ke dua alisnya. Pasta pedas dengan lobster berukuran sedang itu sudah mendarat di hadapan Arnold. Membuat Dirly sontak melotot kesal dan mendengus pelan."Sekali-kali ditraktir sama elu, biasanya gue mulu yang keluar duit tiap kita nongkrong," guman Arnold yang mulai menyendokkan pasta itu ke dalam mulutnya.Dirly dan Sisca saling pandang, mereka kemudian menatap Arnold yang tampak lahap memakan pasta dengan topping lobster itu. Gila, ini orang nggak berakhlak bener ya? Yang neraktir cuma pesan spageti carbonara, eh dia pesan pasta dengan topping yang cukup mahal harganya, bukan main!Sisca kembali menyendokkan spageti pesanannya ke dalam mulut, sementara Dirly sontak kehilangan nafsu makan. Dasar sepupu Dajjal, di sini nanti dia akan kerja tiga bulan tanpa dibayar di perusahaan Arnold dan sekarang dia masih harus kena palak orang itu? Ben
Dirly sudah sampai kembali di parkiran kantor, ia celingak-celinguk mencari mobil Arnold. Kenapa belum sampai sih? Padahal tadi mobil Arnold kan ada di belakang mobilnya, kenapa sekarang mobil orang itu belum muncul? Jangan-jangan mobilnya mogok? Ah ... tapi masa sih? Dirly mengangkat bahunya, kemudian melangkah dengan santai masuk ke dalam kantor, baru sampai depan front office, Jelita, sekretaris pribadi Arnold sudah berlari mengejarnya. "Pak ... pak Dirly ...." Dirly menghela nafas panjang, sejak kapan Dirly menikah dengan ibu dari Jelita itu? Sampai-sampai dia dipanggil oleh gadis itu dengan sebutan bapak? Dirly menghela nafas panjang. Menghentikan langkahnya dan membalikkan badan, tampak Jelita berlari-lari kecil dengan beberapa map dalam dekapannya. "Pak ... Pak Arnold kemana?" tanya Jelita dengan nafas terenggah-enggah. "Belum sampai?" tanya Dirly pura-pura tidak tahu kalau Arnold belum sampai di kantor, ia lihat kok tadi di parkiran ti
Sisca melangkah masuk ke ruangan Arnold dengan jantung berdegub kencang, ia sontak duduk di sofa yang ada di ruangan itu dan mencoba menetralkan nafasnya yang tersenggal-senggal. Si pemilik ruangan langsung menuju ke meeting room guna memimpin dan mengikuti jalannya meeting yang diambil alih oleh Dirly, anak magang yang jackpot di hari pertamanya tiba di sini untuk memimpin meeting.Sisca mencoba menghilangkan bayang-bayang bagaimana tadi wajahnya dan wajah si bos rese itu begitu dekat. Sisca bahkan bisa merasakan bagaimana nafas Arnold menyapu lembut wajahnya, astaga! Bagaimana kalau Rizal tahu tadi kekasihnya ini begitu dekat dengan laki-laki lain, ya walaupun karena kejadian tidak disengaja, namun itu tetap tidak enak dilihat untuk Rizal, bukan?Teringat akan sosok itu membuat Sisca kemudian merogoh ponselnya, membuka akun Whats*ap miliknya dan menemukan banyak sekali pesan masuk dari laki-laki itu. Laki-laki yang entah Sisca benar-benar cinta atau tidak, ia s
Arnold baru saja selesai mandi ketika mendapati iPhone miliknya yang tergeletak di kasur berdering begitu nyaring. Ia mengerutkan keningnya, siapa sih menelepon dia di saat moodnya tidak baik seperti ini? Ah ... Arnold mengumpat dalam hati, ia bergegas meraih ponsel itu dan terbelalak ketika mendapati sang papa tengah menelepon dirinya."Hallo, gimana, Pi?" tanya Arnold malas, kalau menelepon cuma buat ngomel-ngomel, habis ini Arnold mau pura-pura sakit perut saja, bodoh amat lah sama papanya,biarlah dia ngamuk sekalian."Dirly mau magang di sana, sudah kamu urus?"Ah ... jadi menelepon cuma karena hendak menanyakan si kumpret satu itu? Arnold kira karena apa. Arnold menghela nafas panjang, bisa tenang lah dia kalau begini."Sudah, Pi. Jangan khawatir, semuanya beres kalau soal kumpret satu itu."Arnold melempar handuknya ke atas ranjang, menjatuhkan diri ke atas kasur sambil menyimak entah apa lagi yang hendak papinya itu sampaikan kepadanya. Semo
Arnold membawa mobilnya dengan gusar, satu-satunya tempat yang ingin dia kunjungi saat ini adalah apartemen si kunyuk Dirly itu. Berharap Kunyuk itu tidak kemana-mana dan sedia beberapa botol alkohol di kulkas apartemennya. Hanya itulah yang Arnold perlukan malam ini.Air matanya menitik, sejak dulu sekali, sejak bahkan dia masih remaja, ia sama sekali tidak pernah tertarik pada sosok Scarletta. Sama sekali tidak pernah, dan sekarang dia harus menikahi gadis itu? Gila, yang benar saja!Mungkin Arnold masih bisa menerima dan survive dengan kehidupan yang ia jalani sekarang, tapi untuk menikahi Scarletta? Ah ... tidak! Semua ini tidak boleh terjadi! Ia harus mencari cara bagaimana supaya semua perjodohan ini tidak terjadi, supanya ia tidak harus menikahi gadis itu dan bagaimana caranya supaya ia bisa mendapatkan Sisca dan memiliki gadis itu, menikahinya kalau perlu.“Gue nggak akan biarkan semua itu terjadi, dan elu Sis ... elu harus jadi milik gue bagaimana
“Sudah?” sindir Dirly dengan wajah memerah, kepalanya mendadak pusing karena menahan gairahnya sejak tadi, terlebih teriakan-teriakan Franda yang tengah ‘dihajar’ Arnold tadi begitu merdu dan makin membuat sesuatu di dalam Dirly meronta-ronta luar biasa.“Sudah, mau lu pake? Tepar dia,” jawab Arnold santai kemudian menjatuhkan tubuhnya di sofa, wajahnya tampak lebih segar dengan rambut yang masih basah itu.“Sorry, gue pilih cari yang lain lagi daripada pake bekas elu,” Dirly masih fokus pada layar televisi, tangannya masin menekan-nekan stick PS, meluapkan kekesalannya dengan terus menekan-nekan tombol stick di tangannya.Arnold menyandarkan tubuhnya di sofa. Rasanya tubuhnya enteng dan ringan seketika, pusingnya hilang. Meskipun rasa jengkel dan kesalnya pada sang papa masih ada. Dirly melirik sekilas ke arah sepupunya itu. Ada pertanyaan menggelitik yang ingin dia tanyakan.“Lu udah berapa lama ngga
“Sepupu lu kenapa sih? Kok ngamuk mulu? Sampe pusing pala gue, Dir,” bisik Sisca ketika Dirly secara kebetulan masuk ke ruangan Arnold sambil membawa beberapa berkas yang diminta direktur utama itu.Dirly menghela nafas panjang, ia menatap Sisca dengan seksama.Nggak salah sih kalau Arnold sampai jatuh hati pada gadis satu ini. Matanya begitu jernih dengan bulu mata lentik. Kulitnya putih bersih, dengan hidung mancung dan bibir berisi yang hari ini tersapu lipstick warna merah tipis. Ah ... belum lagi body Sisca juga cukup lumayan. Memang selera Arnold tidak diragukan lagi.“Gue cerita tapi jangan di sini,” ia melirik kamar mandi ruangan itu yang masih tertutup, yang artinya Arnold masih di dalam sana.“Terus?” tanya Sica tidak mengerti.Pasalnya sudah hampir tiga minggu ini suasana hati bos itu amburadul. Nggak di rumah, nggak di kantor dia selalu marah-marah terus, ngamuk nggak jelas dan bungkam seribu bahasa. Jika ala