Sepanjang perjalanan pulang dari restoran Sisca hanya bungkam duduk di joknya sambil bersandar. Arnold sesekali menoleh dan menatap pujaan hatinya itu. Kenapa rasanya ia tidak suka melihat Sisca yang tampak syok dengan fakta yang baru saja Arnold ungkapkan perihal kekasih Sisca? Apakah cinta itu sudah tumbuh di dalam hatinya? Atau bagaimana?
“Ehem!” Arnold berdehem, membuat Sisca sontak menoleh dan menatap heran kearahnya.
“Heran deh, kenapa sih murung begitu? Sedih tahu pacarmu ternyata gay?” guman Arnold yang tampak begitu tidak suka dengan reaksi Sisca.
“Bukan begitu!” tukas Sisca cepat, ia tahu Arnold pasti cemburu. “Aku Cuma nggak habis pikir aja, ternyata dia bisa melenceng sejauh itu, padahal ....”
“Apa? Padahal dia kemarin hampir menidurimu?” potong Arnold kesal, rasanya dia ingin menghajar laki-laki itu dan melarangnya kembali menemui Sisca.
Sisca menghela nafas kasar, susah meman
“Eh sudah keren belum nih bajunya?”“Atau perlu kita custom khusus gitu? Couple-an?”“Rambutku bagusnya dipotong model apa nih?”“Sepatunya perlu beli baru nggak?”“Bawa oleh-oleh apa?”Sisca melonggo, ia sontak mendekati Arnold yang berdiri di depan lemari bajunya, telapak tangan Sisca melayang, menyentuh dahi Arnold dan menatapnya dengan begitu serius. Membuat Arnold terkejut dan membeku di tempatnya berdiri.“Ada apa?” tanya Arnold begitu tersadar dari rasa terkejutnya.“Nggak panas.” Ujar Sisca lantas menarik tangannya kembali.“Memang!” Arnold mendengus kesal, Sisca mulai lagi! “Kau pikir aku kenapa?”“Aku pikir kamu demam, makanya nerocos mulu.”Arnold membulatkan matanya, ia sontak mendorong tubuh Sisca hingga jatuh ke atas ranjang, mengunci dan menindih tubuh itu di bawah kungkungan tubuh
“Sis, calonmu sekeren ini dan selama ini kamu diam-diam saja?” Rini setengah berbisik, namun Arnold bisa mendengar suara calon ibu mertuanya itu, membuat senyumnya makin lebar dan kepalanya membesar.“Ah ... mama! Biasa aja kali!” Sisca mencebik, sudah dia tebak bahwa semua anggota keluarganya pasti akan heboh seperti ini.“Biasa gimana?” Rini membelalakkan matanya, “Lihat wujudnya! Kayak artis Korea, Sis!”Sisca memutar bola matanya dengan gemas, menoleh dan menatap sang mama dengan tatapan gemas.“Please deh, Ma ... jangan kenceng-kenceng ngomongnya.” Sisca melirik sekilas Arnold yang tengah mengobrol dengan sang papa itu. “Dia bisa ke-PD-an nanti.”Rini tersenyum simpul, “Emang faktanya kan begitu, Sis. Jadi kapan kalian nikah?”Sisca melonggo. Salah satu alasan yang membuatnya malas pulang ke rumah adalah mendapat pertanyaan itu. Kapan nikah? Astaga, sean
"Bagi ajian jaran goyang atau semar mesem mu dong, Sis."Sisca sontak melotot tajam dengan mulut setengah terbuka, nampak Gladys, sepupunya itu tersenyum dengan mata membuat ke arahnya. Ajian jaran goyang? Semar mesem? Apa-apaan?"Gemblung, ajian apaan?" Sisca setengah berteriak, matanya melotot gemas ke arah Gladys yang masih cengar-cengir sambil memainkan ujung kebaya ungu yang corak dan warnanya seragam dengan yang Sisca kenakan."Ajian biar bisa gaet oppa-oppa Korea kayak pacar Mbak Sisca itu."Sisca sontak lemas, sejelek itukah dirinya sampai Gladys mengira dia menggaet Arnold dengan ajian perdukunan. Tidak tahu saja Gladys bahwa Arnold mengejar dirinya sampai rela melakukan segala cara. Dibilang pakai ajian jarang goyang? Jarang goyang mbahmu!"Edan aja! Nggak pakai gituan aja dia setengah gila, gimana kalau aku pakai gituan?" Sisca mencebik, ia hendak pergi ketika Gladys mencekal tangannya."Mbak! Jangan pergi
Mereka sudah sampai di komplek perumahan mereka, rasanya sangat lelah sekali. Sisca bergegas melepaskan seat belt-nya, turun dari mobil dan melangkah dengan lunglai masuk ke dalam rumahnya."Eh ngapain?" Sisca mendorong jidat Arnold yang hendak masuk ke dalam rumah, ia lantas berkacak pinggang menatap tajam laki-laki itu.Arnold mendengus kesal, menatap Sisca dengan tatapan gemas."Mau masuk lah! Kenapa pakai tanya?""NGGAK!" Sisca sontak berdiri di depan pintu rumahnya. Kepalanya menggeleng cepat. "Balik ke rumahmu!""Nggak ada niatan pengen ngelonin aku?" Bisik Arnold lirih, alisnya naik turun, membuat Sisca sontak mencebik."Malam ini aku nggak mau berbagi kasur, jadi silahkan pulang dan selamat malam!"Klek!Sisca secepat kilat menutup dan mengunci pintu rumahnya, meninggalkan sosok yang masih melotot kesal di depan pintu. Arnold lantas menghela nafas panjang, mengacak rambutnya dengan gemas da
“Serius gue lega banget liat elu jam segini udah di kantor.”Dirly mengejar langkah Arnold menuju lift, tampak sangat terlihat wajah laki-laki itu begitu cerah. Ia mengekor di belakang Arnold, masuk ke dalam lift guna menuju lantai dimana ruangan pribadi Arnold berada.“Gue ngeri digorok bokap, makanya selepas elu telpon kemaren gue langsung cabut pulang.” Jawab Arnold sambil tersenyum masam membayangkan betapa murka sang papa kalau meeting penting pagi ini berantakan hanya karena dia terlambat datang.“Nah gitu dong, kenapa elu nggak ngabarin sih? Gue noh sampai nggak bisa tidur.” Gerutu Dirly sambil memanyunkan bibirnya.“Elah, apa pentingnya sih ngabarin elu? Yang penting, kan, gue udah di sini nih.” Arnold menipuk punggung sepupunya, tepat di saat yang sama pintu lift terbuka, membuat dua orang itu kompak melangkah keluar.“Gimana keluarga besar calon bini?” tanya Dirly yang begitu pen
“Jadi tawaran tadi lu tolak, Ko? Gila yang bener?” Dirly memburu langkah Arnold, tawaran kerja sama dengan keuntungan yang lumayan besar itu ditolak oleh sepupunya ini? Yang benar saja!“Lu tuh ya!” Arnold memukul gulungan kertas ke punggung Dirly, “Kita emang bisnis itu cari untung, Cuma ya jangan terus Cuma untung doang yang dilihat, resikonya juga perlu elu pikirin, Ly!”Kening Dirly berkerut, membuat Arnold mendengus kesal.“Nih baca dan resapi. Kalau sekali baca elu belum paham juga, ulangi sampai bener-bener paham. Dan lu bakalan ngerti apa maksud gue, kenapa gue tolak rencana kerja sama mereka.” Arnold menyodorkan iPad-nya, mendorong pintu ruangan kerja miliknya dan tertegun melihat sosok itu di sana.“Loh, Sis? Kamu kok di sini?” Arnold makin terkejut ketika mendapati wajah itu tampak begitu payah dengan mata sembab. Apa yang dokter hewan itu sudah lakukan? Arnold tidak akan pernah tingga
“Nah itu dia, temui saja dulu.”Arnold memarkirkan mobilnya di depan rumah, tampak mobil merah itu berhenti di depan rumah Sisca, dengan laki-lak itu duduk di depan teras rumah Sisca. Sisca sontak menghela nafas panjang, melirik Arnold sekilas. Arnold hanya tersenyum dan mengangguk. Membuat Sisca lantas mendengus dan melangkah turun.Ia sendiri langsung bergegas turun, masuk ke dalam rumah dan menghindari mereka berdua. Tidak perlu melakukan banyak hal, mereka akan bubar sendiri kok. Benar-benar Arnold begitu beruntung dengan fakta mengejutkan itu.Sisca melangkah menuju rumahnya, Rizal sontak berdiri, dengan mata memerah ia langsung menghampiri Sisca, hendak meraih tangan itu, namun Sisca dengan tegas menampik tangan itu.“Aku bisa jelaskan semuanya, Sayang.” Desisnya lirih.“Masuklah dulu, kita bicara di dalam, Zal.” Sisca tersenyum getir, merogoh kunci pintu dan membuka pintu rumahnya.Ia dengar helaan
Tidak ada lagi percakapan yang terjadi di antara keduanya. Bibir itu bertaut dengan begitu mesra dan sedikit liar. Baju-baju itu berserakan di lantai, menandakan bahwa dua anak manusia berbeda jenis kelamin itu sudah begitu terbakar sampai tidak menghiraukan kemana perginya pakaian mereka.Arnold melepaskan pagutan bibirnya, menatap dalam manik yang pasrah di bawah kuncian tubuhnya. Wajah cantik itu sudah memerah, dengan mata sayu yang bersorot begitu menggairahkan.“Tunggu aku ya?” bisik Arnold lirih.“Untuk?” tampak kening itu berkerut, membuat Arnold lantas mendaratkan kecupan di kening itu.“Datang ke papa dan melamarmu.”Senyum Sisca merekah, “Hanya sendiri? Atau bersama keluargamu?”“Sendiri ataupun bersama mereka, aku hanya akan memastikan bahwa hanya kamu yang akan aku nikahi. Itu lebih penting dari pertanyaanmu tadi, Sayang.”Sisca hendak kembali bersuara, namun Arno