Sekembalinya Eve ke rumah, ia langsung bersiap untuk bekerja di Vinestra Group. Itu adalah sebuah perusahaan besar di pusat kota New York di mana Eve baru saja diterima bekerja di sana setelah proses panjang interview dan tes kompetitif terlampaui. Maklum, perusahaan bonafid tersebut memang menarik banyak peminat dari para mahasiswa fresh graduate untuk melamar. Sehingga persaingan cukup ketat.
Beruntung sekali Eve turut lolos dan mendapatkan surat panggilan kerja mulai esok, hari Senin di awal bulan Juli. Anak gadis semata wayang dari pasangan muda Pak James Ravenwood dan Bu Kate Ravenwood itu berhasil memikat penilaian positif dari sang kepala bagian HRD karena berhasil meyakinkan bahwa dirinya siap dikejar target deadline dan mampu bekerja sama dengan tim.Ia sudah mempersiapkan segala rupa yang dibutuhkan dari mulai baju kerja, menyetrikanya ulang dengan rapi bahkan selepas dari laundry. Ia ingin memastikan hari pertama bekerjanya sempurna. Bahkan tas kerja pun telah disesuaikannya. Diisinya dengan peralatan ATK yang mungkin akan dibutuhkan, lalu tentu saja tak lupa mengisi dompet beserta kotak make-upnya. Ya, seribet itu memang seorang gadis.“Aku berangkat ya, Ma!” serunya dari belakang sambil mencium pipi sang mama yang tengah berdiri mengemasi piring bekas mereka sekeluarga sarapan.“Sudah bawa bekal, Eve?” tegur Pak James yang juga masih duduk di kursinya, menyesap kopi.“Sudah di tas, Pa!” sahut Eve sembari menghampiri sang papa dan mencium pipinya juga. Ia lantas berlari kecil keluar rumah menuju mobil matic berwarna biru metalik yang telah menjadi kendaraannya sejak masa kuliah.Jam masih menunjuk pukul 06.30 tetapi Eve sudah terburu-buru sekali ingin lekas sampai di kantor. Setidaknya hari pertamanya ia tak boleh sampai telat. Lebih baik dinilai sebagai karyawan yang rajin sejakawal kan daripada harus mengantongi predikat tukang telat.Dikendarainya mobil dengan kecepatan sedang di mana perjalanan lalu lintas pagi itu di kota New York ramai lancar. Hari Senin terkadang memang rawan kemacetan dan untuk itulah Eve sudah berjaga-jaga dengan berangkat jauh lebih awal.Akan tetapi, rupanya hanya macet sedikit yang mudah untuk terurai dan Eve bisa sampai di kantor tanpa hambatan berarti. Ia terus mendengungkan lagu kesukaannya yang melantun dari perangkat pemutar musik di dashbor mobil hingga sampai di gedung besar nan mewah tempat di mana kantornya berada.Ia mengikuti mobil lain yang masuk ke arah parkiran basement dan mencari tempat parkir yang masih separuh kosong. Pasti karena masih banyak yang belum datang sepagi itu. Akhirnya ia pun masuk melalui pintu masuk utama gedung dan menuju ke lift untuk naik ke lantai 4 di mana ruangan untuk staff office marketing berada.Ya, ia diterima di bagian managerial marketing, menjadi bawahan langsung dari seorang manager marketing yang katanya sedang membutuhkan asisten. Ia belum bertemu dengan beliau selain hanya diberitahu bahwa namanya adalah Bu Jenny.“Anda Nona Eve, asisten baru, ya?” tanya Bu Jenny kala wanita yang ditaksir berusia sekitar tiga puluhan itu masuk ke ruangan.Eve segera bangkit dari kursinya dan menunduk hormat sembari menjawab takzim, “Betul, saya Eve, Bu. Salam kenal. Siap bertugas untuk membantu Anda.”Tampak Bu Jenny mengulas senyum tipis lalu mengambil setumpuk berkas dan meletakkannya di atas meja Eve.“Ini pekerjaan kamu. Kamu pelajari dan periksa semuanya dulu sehubungan dengan trik marketing perusahaan, lalu laporan harian, mingguan dan bulanan. Semua rekapnya ada di situ. Kalau ada yang kurang dipahami bisa tanya langsung, ya. Setelah paham semua maka kamu akan mulai saya tugaskan membuat rekap untuk bulan ini.” Bu Jenny memberikan instruksinya sambil membolak-balik tumpukan berkas itu untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.“Baik, Bu. Akan saya periksa dan pelajari dulu,” jawab Eve sambil matanya mendelik karena tak tahu kalau ia sudah harus bekerja di hari pertamanya. Bukannya seharusnya ia masih magang dulu? Bukankah magang itu artinya adalah diberikan pelatihan-pelatihan dulu? Ah, entahlah. Ia hanya berharap mampu melakukan apa pun yang ditugaskan oleh sang atasan tanpa melakukan kesalahan agar kesulitannya saat interview tak berakhir sia-sia belaka.Jam demi jam berlalu dan Eve tenggelam dalam tumpukan berkas yang rupanya sangatlah rumit itu. Ada banyak sekali tipe marketing yang dijalankan oleh perusahaan itu dan ia harus segera menguasai kesemuanya. Meskipun tugasnya hanya sebagai asisten manager, mungkin ia nanti ke depannya juga akan diminta menghandle tim marketer atau apa sehingga garus mempelajarinya dengan seksama. Astaga!Saat jam istirahat, Eve langsung merasa beban di pundaknya terangkat seketika. Ia ingin keluar dan makan siang di kantin untuk me-recharge energi serta menghalau stres di hari pertama bekerja! Segera saja ia turun ke lantai bawah dan berjalan hendak ke kantin. Namun, dari jauh ia melihat sesosok pria yang tampaknya tak asing.“Ya ampun! Itu kok kayak ....” Dia tak sengaja memelototi pria bersetelan jas rapi dengan rambut kelimis dan wajah menawan yang tengah berjalan berpapasan dengannya. Pria itu bersama dua orang pria lain yang sedang mendengarkan instruksinya dengan wajah sangat serius.Mungkin karena terlalu intensnya tatapan Eve, pria itu berhenti dan membalas tatapannya.Sejenak hening meraja kala kedua pasang bola mata itu saling mencoba mengenali. Memutar ingatan ke beberapa malam lalu di mana mereka tak sengaja bertemu!“Hei! Kamu ...?” Pria itu tampaknya juga mengingat wajah Eve.Dan seketika Eve yang merasa dia sedang dalam bahaya itu segera berlalu pergi dari sana sambil berkata, “ Bukan-bukan, saya salah orang! Maaf!”Ia setengah berlari dari sana karena sungguh ia tak mau dikenali sebagai gadis nekat dan gila oleh seorang yang sepertinya berkedudukan penting di Vinestra itu. Astaga! Apa benar dunia bisa sesempit ini, Ya Tuhan! Pekiknya setengah memekik seorang diri sambil terus berjalan ke arah kantin.Sampai di kantin, ia hanya memesan es lemon tea dan membuka bekal makan siangnya lantas segera menyuapkan ke mulut. Ia lantas menghubungi salah satu temannya dekat yang ikut dalam acara ke pantai beberapa hari lalu.“Cindy, kau pasti ingat pria yang kutembak waktu di pantai, kan? Astaga! Siapa sangka dia juga orang Vinestra! Atasanku sendiri! Ya Tuhan!” pekik Eve di ponsel saat nada sambung sudah terdengar dari seberang.“Rupanya benar!” Sebuah suara bariton dalam mengagetkan Eve yang tengah berkonsentrasi menuturkan ceritanya kepada sang sahabat. Spontan ia menoleh dan matanya membeliak ngeri kala melihat sosok pria tadi rupanya sudah berada tepat di belakang punggungnya, sedang menguping pembicaraannya!“Sudah kuduga kau gadis kurang ajar yang di pantai itu! Sedang apa kau di sini, ha? Jangan bilang kau diterima sebagai karyawan baru di perusahaanku!” Pria itu melanjutkan ucapan yang kini semakin membuat Eve terperangah kaget.***“Pranggg ….!”Suara nyaring gelas yang dilemparkan ke lantai memenuhi pendengaran penghuni keluarga Andrew. Seorang wanita keluar dari dapur dengan langkah terburu-buru. Dia pelayan di rumah Cheryl. Wanita itu segera bergegas menghampiri sumber suara yang memecah keheningan pagi. Perempuan bernama Ruth itu tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar Cheryl.Di sana ia melihat pemandangan yang akhir-akhir ini makin sering terjadi dan memilukan.Cheryl sedang berdiri di dekat jendela, berdiri menatap halaman depan rumah.Ruth segera mengambil sapu dan memunguti sisa-sisa pecahan gelas itu tanpa berkata apa-apa. Ia tahu sang nona rumah sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.Perempuan itu baru bekerja tiga bulan di rumah keluarga orang tua Cheryl sejak gadis itu dirawat di rumah sakit. Dari hari ke hari Ruth merasa pekerjaannya semakin berat karena akhir-akhir ini Cheryl sering histeris dan mengamuk tidak jelas.“Biarkan saja di sana,” cegah Cheryl ketus saat melihat Ruth memunguti pecahan pi
“Pranggg ….!”Suara nyaring gelas yang dilemparkan ke lantai memenuhi pendengaran penghuni keluarga Andrew. Seorang wanita keluar dari dapur dengan langkah terburu-buru. Dia pelayan di rumah Cheryl. Wanita itu segera bergegas menghampiri sumber suara yang memecah keheningan pagi. Perempuan bernama Ruth itu tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar Cheryl.Di sana ia melihat pemandangan yang akhir-akhir ini makin sering terjadi dan memilukan.Cheryl sedang berdiri di dekat jendela, berdiri menatap halaman depan rumah.Ruth segera mengambil sapu dan memunguti sisa-sisa pecahan gelas itu tanpa berkata apa-apa. Ia tahu sang nona rumah sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.Perempuan itu baru bekerja tiga bulan di rumah keluarga orang tua Cheryl sejak gadis itu dirawat di rumah sakit. Dari hari ke hari Ruth merasa pekerjaannya semakin berat karena akhir-akhir ini Cheryl sering histeris dan mengamuk tidak jelas.“Biarkan saja di sana,” cegah Cheryl ketus saat melihat Ruth memunguti pecahan pi
“Maaf, aku minta maaf karena belum bisa peka dengan apa yang kamu rasakan. Maaf karena sudah membuatmu cemburu dan sakit hati, Eve,” bisik Gery pelan. Sekarang ini keduanya masih berpelukan, bahkan pelukan itu semakin menguat saat Gery membisikkan kata-kata itu.Gery merasa bersalah. Sebab kemarin pun tadi dirinya tidak menjelaskan apa pun pada Eve. Walaupun apa yang Eve lihat tadi tidak sepenuhnya benar. Eve sepertinya memang tidak melihat kejadian itu sampai akhir hingga akhirnya menyimpulkan begitu.Saat merasa jika Eve sudah lebih tenang, Gery pun mencoba melepas pelukan keduanya. Laki-laki itu menatap dalam dan penuh kasih ke arah netra Eve. Eve lagi-lagi dibuat tersipu karena mendapatkan perlakuan manis dari Gery. Eve lantas menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu. Kedua tangannya juga saling bertautan dan memelintir ujung bajunya. Gery tersenyum tipis saat melihat bagaimana gemetarnya tangan Eve itu.Entah apa yang membuat Eve begitu malu. Gery tidak tahu. En
“Aku tidak bisa diam saja. Eve kasihan sekali. Dia terlihat sangat sedih tadi. Aku harus melakukan sesuatu sekarang juga!” putus Cindy cepat.“Enak saja mereka sudah buat sahabatku sakit hati tapi tidak merasa bersalah sedikit pun. Dan Gery juga kurang ajar sekali! Dasar laki-laki!” Cindy bersungut-sungut. Rasa kesalnya sungguh tidak bisa ditahan lagi.Dia hanya tidak mau jika sahabatnya bersedih karena Gery atau siapa pun itu. Walaupun Gery adalah kekasih Eve tetapi dia sangat tidak rela jika laki-laki itu menyakiti Eve. Cindy tidak akan tinggal diam jika hal itu terjadi.Cindy masih teringat bagaimana sembab juga merahnya wajah Eve tadi. Ucapannya pun begitu menyayat hati. Rasanya, sahabatnya itu terlihat buruk sekali. Eve sendiri sudah pulang sekarang ini. Karena itulah dirinya berani berkata-kata kasar juga mengumpati kekasih Eve itu.Tanpa menunggu lagi, Cindy bergegas bangkit dari kursinya dan menuju mobilnya. Cindy melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Setelah dua ouluh m
Di perjalanan, tepatnya di dalam mobil Gery yang sedang menuju kantor Eve hanya diam membisu. Gery yang melihatnya pun sedikit heran, tetapi dia tidak berniat sedikit pun untuk bertanya. Dia berpikir jika mungkin saja Eve sedang tidak ingin berbicara.Sampai di kantor, Eve pun tak juga bersuara. Wanita cantik itu bahkan langsung turun tanpa berpamitan pada Gery yang masih duduk di kursi kemudi. “Ada apa sebenarnya dengan Eve? Kenapa sikapnya begitu berbeda?” Gery bertanya-tanya, tetapi tak berlangsung lama. Laki-laki itu menggeleng kemudian turun dan masuk ke ruangannya. Di ruangannya, Eve langsung mendudukkan dirinya dengan sedikit kasar di kursi kerjanya. Hatinya sakit. Perasaannya tak keruan sekarang. Dirinya pun bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya sendiri padahal tadi dia sendirilah yang menyetujui permintaan Ny. Andrews. Akan tetapi, sekarang dirinya malah merasa menyesal.Sebenarnya, Eve tidak ingin jika Gery menyadari sikap cemburunya. Namun, entah kenapa sangat sul
Pagi ini, Eve dan Gery memang sudah memiliki janji untuk menjenguk Cheryl yang masih berada di rumah sakit. Keduanya akan pergi bersama. Semua itu atas inisiatif Eve yang ingin menjenguk dan melihat bagaimana keadaan Cheryl sekarang ini. Sebagai sesama wanita, Eve pun merasa sangat iba pada Cheryl. Apalagi setelah tahu jika selama ini wanita cantik berprofesi sebagai model itu tidak terlalu mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Hati Eve ikut sesak mendengarnya. Eve sekarang ini sedang bersiap di kamarnya. Dia sengaja melakukan semua rutinitasnya dengan santai karena Gery sendiri tidak keberatan jika harus menunggunya. Karena itulah Eve sedikit memanfaatkannya untuk bersantai ria.Dering ponselnya membuat Eve harus meletakkan bedak yang baru saja akan dipakainya. Dengan sedikit malas, Eve mengambil ponselnya. Namun, sedetik kemudian senyumnya mengembang saat tahu siapa yang meneleponnya sekarang.Tanpa membuang waktu, Eve lantas menerimanya dan bersuara. “Halo?”“Halo, Eve. Apa ka
“Saya pamit. Semoga Cheryl segera pulih supaya tidak menjadi beban bagi orang lain lagi,” ucap Ny. Daphne seraya menyindir.Ny. Andrews menampilkan senyumannya, dari raut wajahnya tampak dia terpaksa. Ucapan Ny. Daphne memang menohok, cukup membuat Ny. Andrews tak berkutik.“Terima kasih telah berkenan menjenguk Cheryl, Ny. Daphne,” balas Ny. Andrews.“Sama-sama. Sampaikan salam saya ketika dia sadar,” ujar Ny. Daphne.“Baik, Ny. Daphne. Sekali lagi, saya sangat berterima kasih atas kunjungannya.”Ny. Daphne keluar meninggalkan ruangan bersama Sofia. Ny. Andrews mengantarnya hingga depan pintu ruangan. Ny. Andrews menatap kepergian Ny. Daphne dan Sofia hingga mereka menghilang dari pandangannya.Ny. Andrews kembali masuk ke dalam ruangan putrinya. Dia menatap Cheryl dengan intens. Ny. Andrews menginginkan Cheryl segera pulih, dia ingin putrinya kembali seperti sedia kala.Ny. Andrews duduk di samping ranjang. Melihat putrinya yang tak berdaya serta dipenuhi alat medis di badannya memb
Sudah tiga hari Gery rutin menjenguk Cheryl. Dia sebenarnya ingin berhenti saja, tetapi Ny. Andrews terus mengiba. Ny. Andrews ingin Cheryl kembali pulih secepatnya.“Saya sudah berusaha, Tante, tapi Cheryl belum juga pulih seperti semula. Memangnya mau sampai kapan saya harus begini?”Gery tentu saja kesal, karena pekerjaannya juga menjadi terganggu. Eve mengelus tangan Gery, berharap dia lebih sabar lagi untuk membantu kesembuhan Cheryl.“Saya minta maaf karena waktumu terganggu. Tapi mohon, bantu saya sedikit lagi. Saya yakin Cheryl akan segera pulih jika kamu terus menjenguknya ke sini,” ujar Ny. Andrews.“Iya, Gery. Sedikit lagi saja, aku juga yakin Cheryl akan segera pulih,” tambah Eve.Mereka kini tengah berada di rumah sakit, tepatnya dalam ruangan di mana Cheryl dirawat. Gery melirik ke arah Cheryl yang masih terbaring lemah, belum sepenuhnya sadar. Dalam hatinya, Gery berharap Cheryl segera pulih supaya dia tidak perlu berurusan lagi dengan Ny. Andrews.“Baiklah,” ucap Gery
“Eve!” panggil Bu Kate seraya mengetuk pintu kamar putrinya.“Iya, Ibu,” sahut Eve dari dalam.“Ibu boleh masuk?” tanya Bu Kate.“Masuk saja, Ibu,” balas Eve.Eve sedang merias wajahnya dengan sedikit polesan make up. Gadis itu duduk di hadapan cermin, wajahnya tampak sangat cantik. Bu Kate tersenyum ketika melihat putrinya.“Gery sudah menunggu di depan,” ujar Bu Kate.“Benarkah?” tanya Eve.Bu Kate mengangguk, Eve segera merampungkan riasan pada wajahnya. Eve tak mau Gery terlalu lama menunggunya. Eve mengambil tas selempangnya, lalu memakai sepatu.“Kalau begitu, Eve pergi dulu,” pamit Eve.Eve berpamitan pada Bu Kate, dia berjalan menuju depan rumahnya. Ternyata benar saja, Gery sudah duduk ditemani secangkir kopi.“Sudah selesai?” tanya Gery.Eve mengangguk, Gery tersenyum tipis. Gery masuk ke dalam terlebih dahulu untuk berpamitan pada Bu Kate. Setelahnya, Gery dan Eve berjalan menuju mobil yang telah terparkir.Gery membukakan pintu mobil untuk Eve. Setelah itu, dia mengitari m