Langkah kakinya berjalan gontai. Memasuki koridor demi koridor tanpa arah tujuan. Sesekali terdengar kekehan yang keluar dari bibir polos yang masih saja tampak sensual meski tanpa balutan apapun.
Aya hanya ingin mencari jalan keluar. Dalam kebingungan yang mendera otaknya yang tengah kosong, langkahnya sudah berputar entah beberapa kali di tempat yang sama. Sampai akhirnya ia melihat seorang yang pernah dikenalnya. Memakai jas putih dengan sebuah stetoskop yang baru saja dilepas dari lehernya.
Aya mengikuti orang tersebut, yang ternyata keluar menuju parkiran.
“Hey, kamu!”
Yang dipanggil menoleh, menautkan alis melihat gadis yang pernah dilihatnya namun kali nampak kacau. Masih memakai piyama tidur, serta sandal boneka rumahan berwarna putih kebas, karena sudah terkena debu.
“Saya?” orang itu menunjuk wajahnya sendiri dan memakai bahasa formal karena masih berada di lingkungan kerjanya.
“Iya kamu.” Aya mendekat, sedikit mendongak keti
Bak orang linglung, Aya berjalan tanpa tujuan. Terus saja melangkah, diteriknya matahari yang siang ini begitu terasa menyengat. Sesekali kakinya berhenti di sebuah halte, untuk sekedar mengistirahatkan tubuh lelahnya. Setelah itu, ia kembali melangkah kemanapun hatinya menginginkan. Sesekali bibirnya bersenandung, seolah tidak ada beban yang tengah menghimpit hidupnya. Berbicara sendiri dan tertawa sesuka hati. Aya hanya ingin melupakan semuanya, melupakan dirinya, melupakan apa yang pernah terjadi di dalam hidupnya. Sesaat tubuhnya terpaku, menatap restoran cepat saji yang kini tepat berada di depannya. Matanya berbinar melihat spanduk yang terpajang di depan restoran. Tumpukan roti, patty beserta keju yang tampak tebal itu, sangat menggugah selera. Aya seolah lupa, kapan terakhir kali ia menyantapnya. Tanpa ragu kakinya melangkah ke dalam restoran, tidak peduli dengan sindiran ataupun tatapan aneh saat melihat penampilannya. Berdiri di depan mesin kiosk
Bintang meraup wajahnya berulang-ulang, sangat frustasi saat mendengar penjelasan Elo. Sedangkan Sinar, sudah sesegukan dan bolak-balik mengusap wajahnya dengan tisu. Elo menjelaskan kalau dirinya telah menemui Tara, dokter yang sempat tertangkap CCTV sedang berbicara dengan Aya di lapangan parkir rumah sakit. Tara menjelaskan, bahwa Aya tengah menanyakan mengenai tempat aborsi kepadanya. Entah apa yang menjadi alasan gadis itu hendak menggugurkan bayi yang ada di dalam kandungannya. “Yasa! mana Yasa!” Sinar beranjak dari duduknya dengan menarik tangan Asa. “Antarin Bunda ke rumah sakit! ini semua pasti karena Yasa! kalau sampai ada apa-apa sama Aya dan calon cucuku, Bunda akan bikin perusahaannya jungkir balik dengan cara apapun!” Sinar menjerit dengan mata yang sudah memerah. Keluar rumah dengan terburu dan menggandeng erat tangan Asa. Bintang dan Elo tidak bisa berbuat apapun untuk mencegah. Karena keduanya pun punya pemikiran yang sama dengan Sina
Seorang wanita paruh baya sibuk mondar mandir di depan kamarnya. Bergidik iba, ketika mendengar suara gadis yang terkadang tertawa, dan berbicara sendiri di dalam kamarnya. Merasa cemas sembari menunggu sang suami keluar dari kamar mandi. Decakan kecil kemudian terdengar dari mulut wanita itu, ketika melihat sang suami keluar dari arah dapur dan sudah terlihat segar. “Abah! aduuh, kenapa malah dibawa ke sini? harusnya bawa ke rumah sakit, apa kantor polisi aja sekalian.” Wanita paruh baya yang bernama Isti itu, melayangkan protes pada suaminya. Sang sopir taksi yang seharian ini bersama Aya itu pun, menengok ke dalam kamar. Mengintip dari celah pintu yang hanya terbuka sekitar 10 senti. Menatap iba tapi belum bisa mengambil keputusan apapun. Sepanjang jalan, Aya menceritakan semua kisah hidupnya kepada Rei. Meluapkan semua hal sesak yang selama ini dipendam di dalam dada. Entah gadis itu sadar atau tidak, tapi … Aya mengisahkan semuanya dengan santai.
Rintihan demi rintihan berbisik semakin jelas. Begitupula dengan suara deritan tempat tidur kayu, akibat pergerakan gelisah yang juga ketara. Isti membalikkan tubuhnya kemudian bangkit. Pendaran lampu jalan yang menerpa wajah gadis yang tidur di sampingnya, menunjukkan peluh, dengan mata memejam gelisah. Isti beranjak dari tempat tidurnya untuk menyalakan lampu yang terletak di samping pintu kamar. Menghampiri Aya dan menempelkan telapak tangannya pada wajah cantik yang nampak mengernyit menahan nyeri. Seketika itu juga maniknya membola lebar. Bergegas keluar kamar dan menyalakan lampu. Kemudian membangunkan sang suami yang tidur di sofa, ruang tamu. “Abah!” seruan berkali-kali itu dilontarkan seraya mengguncang tubuh Rei agar segera membuka kelopak matanya. “Si mbak Cahaya, demam tinggi! Abah!” Rei menggumam sejenak. Mengerjab pelan untuk menyesuaikan bias lampu yang masuk ke dalam netra. “Demam?” Isti mengangguk seraya menarik tangan
Rei dan Isti sempat pulang ke rumah mereka terlebih dahulu, setelah melihat kondisi Aya yang stabil. Setelah berbenah dan membersihkan diri, keduanya pun kembali lagi ke rumah Tara.Sepasang suami istri itu bisa saja lepas tangan mengenai masalah Aya. Hanya saja, saat melihat gadis itu, keduanya kembali mengingat dengan mendiang putri mereka yang telah tiada karena sebuah kecelakaan. Jika masih hidup, kemungkinan usianya akan sama seperti Aya.“Terima kasih.” Ucap Tara.Isti baru saja meletakkan secangkir kopi susu di meja makan, untuk Tara yang tengah membaca surat kabar. Zaman memang sudah semakin canggih, semua hal bisa langsung dicari dalam benda pipih dengan berjuta informasi. Tapi Tara, masih saja setia berlangganan koran setiap harinya.Pria itu baru saja selesai menyantap sarapan, berupa roti bakar dengan tumpukan sosis serta keju ditengahnya. Buatan sendiri, karena asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya hanya bertugas untuk ber
Gadis itu hanya terdiam, cukup lama. Memandang satu-persatu setiap wajah yang melihatnya, yang menunjukkan berbagai ekspresi dengan seksama sembari berpikir. Sudut pikiran yang masih berputar, membuatnya sedikit kesusahan untuk memaksa kinerja otaknya, untuk berpikir lebih keras.“Kamu … siapa?” tanyanya pada Tara dengan kerjaban pelan seraya memegangi kepala bagian belakangnya yang terasa berat.Kedua alis Tara hampir menyatu. Matanya pun sedikit memicing, menatap curiga. Tara masih ingat, saat ia memeriksa keadaan Aya di rumah sakit kapan lalu, dokter jaga sempat merujuk gadis itu untuk melakukan CT scan pada kepalanya. Hanya saja, Tara menolak dengan alasan Aya tengah mengandung. Ia akhirnya menyarankan, agar Aya berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter kandungannya.“Aku Tara? Teman suamimu? Kamu gak ingat?” kalau dugaannya benar, gadis itu pasti memiliki masalah pada otaknya.“Suami?” Aya mengeleng skepti
Udara yang dihirup Aya dalam-dalam kini begitu menyegarkan dan menenangkan. Hamparan hijaunya pemandangan, hingga di ujung batas puncak gunung, membuat ia betah berlama-lama menghabiskan waktunya dengan duduk santai di teras balkon.Hidupnya, benar-benar tanpa beban. Meskipun sepi, namun lima bulan terkahir ini, Aya dapat merasakan sebuah rasa tenang di dalam jiwa.“Bukannya aku sudah bilang, untuk gak naik ke lantai dua, Ay!” Aya menyambut seruan bernada ketus itu dengan senyuman manis. Kemudian ia menggigit bibir, merasa bersalah karena kembali melanggar peraturan yang sudah ditetapkan oleh Tara.Aya lalu berdiri, menuju sudut balkon. Menumpukan tangan kanannya di atas pagar, dan tangan kirinya secara naluriah mengusap perut yang sudah sangat membola. Dan jika sesuai dengan prediksi kakak Tara yang ternyata adalah seorang dokter kandungan, maka Aya akan melahirkan sekitar dua minggu lagi.“Kalau di bawah, aku gak bakal dapet pemandanga
Separuh jiwanya telah pergi. Hari-hari yang dilaluinya kini, benar-benar hanya dihiasi dengan rasa hampa. Tidak pernah menduga sebelumnya, kalau kehilangan seorang gadis, akan berimbas begitu besar di dalam hidupnya.Yasa merenung, kembali terngiang akan kata-katanya ketika terakhir kali bersama Aya. Pun dengan sikap kasarnya, yang lagi-lagi tidak bisa dibendung ketika emosi telah menguasai diri. Sungguh bodoh! Padahal, Yasa pernah kehilangan Aya satu kali. Akan tetapi, hal itu tidak kunjung dijadikan pelajaran berharga bagi dirinya.Yasa lupa, dengan rasa frustasi yang melanda jiwanya. ketika Sinar memutuskan untuk menjauhkannya dengan Aya. Terlebih-lebih, ketika Janus datang dengan membawa sebuah dokumen perceraian untuk ditandatanganinya. Sungguh ada sebuah rasa patah, yang seolah terlupa karena luapan emosi sesaat yang menyesatkan.Sudah lima bulan ia mencari, tapi tidak kunjung menemukan informasi. Jejak terakhir hanya sampai pada taksi yang sempat ditumpan