Tara mengetuk pintu kamar yang terbuka separuh itu dua kali. Berdiri di celahnya dengan bertumpu pada handle dan bingkai pintu.
Aya yang terlihat tengah memasukkan pakaiannya ke dalam taspun, menoleh lalu tersenyum.
“Jadi balik besok pagi?”
“Humm,” Aya menggumam sembari menarik resleting tasnya. “Kalau capek, biar abah Rei aja yang anter. Aku gak enak udah banyak ngerepotin kamu. Lagian, emang kamu gak kerja?”
Tara masuk ke dalam kamar sembari menggaruk lehernya. Duduk pada kursi panjang yang letaknya di ujung kaki ranjang. Menekuk satu kakinya ke atas sembari memperhatikan semua yang dilakukan Aya lamat-lamat.
“Besok aku libur, terus minggu depan aku ambil cuti.”
“Heh? Kenapa? kamu mau ke mana?” Aya duduk di kursi yang sama, memberi jarak agar tidak terlalu dekat.
“Mau nungguin kamu, pas lahiran sewaktu-waktu kan enak. Aku gak perlu jauh-jauh jalan Jakarta-Bogor.”
Aya menggigit separuh bibir bawahnya. Tidak mengerti harus bagaimana, m
Satu alis Yasa terangkat tipis, melihat sebuah amplop cokelat yang disodorkan oleh Zevan di meja kerjanya. Meletakkan berkas serta pensil yang berada di tangan, Yasa meraih amplop tersebut tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Membuka lilitan benang yang tersampir pada penguncinya dan mengeluarkan isinya.“Ini … mobil Asa?” dahinya berkerut memandang foto-foto land rover milik kakak iparnya, yang keluar masuk pagar sebuah rumah. Kondisi kaca mobil yang berwarna hitam dan selalu tertutup, membuat Yasa tidak terlalu tertarik melihatnya. Kemudian meletakkan kembali amplop dan sejumlah foto yang ada di atas meja. “Kenapa memangnya?”“Di dalamnya gak cuma ada Asa, tapi ibu Sinar juga. Dan sudah dua bulan ini, setiap hari libur dan weekend, mereka berdua selalu datang ke sana.”“Kenapa gak bilang dari tadi, Om,” Ada sebuah kecurigaan di benak Yasa. Ia pun beranjak cepat untuk keluar ruangan tapi segera di susu
Yasa mengumpat dan merutuk sejadi-jadinya. Merobek lembaran foto yang menunjukkan kedekatannya dengan Sera yang begitu mesra. Angle yang diambil oleh fotografer, sungguhlah terlihat sangat sempurna. Siapapun yang melihat, pasti akan menduga kalau dirinya dan Sera memang memiliki sebuah hubungan romansa.Amplop yang diberikan oleh Janus tidak hanya berisi berkas perceraian, dan beberapa foto dirinya. Tapi, ada sebuah flashdisk yang memuat adegan dirinya dan Sera, yang tengah menghabiskan waktu dengan ‘akrab’.Sialnya, baik di dalam foto maupun video yang diambil, ada satu bagian yang memperlihatkan adegan yang sangat ambigu. Orang awam pasti tengah mengira kalau Yasa tengah berciuman dengan Sera. Dan, itu hanya ketidaksengajaan belaka.“Sial!”Keluarga Sinar memang benar-benar sudah merencanakan semua dengan matang.Zevan masuk ke dalam ruangan Yasa dengan tergesa, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Tanpa berucap kata, Zev
Kerah jas putih yang membalut tubuh Tara langsung dihempas seketika oleh Yasa, ketika pria itu baru memasuki ruangannya. Setelah menemui Sinar di Network, Yasa langsung meluncur ke rumah sakit tempat Tara bekerja. Bertanya mengenai ruangan pria itu dan menunggu sejenak, hingga akhirnya Tara masih dan langsung berhadapan dengan Yasa.“Istri gue! Di mana istri gue, Tar!” desis Yasa dingin. “Di vila, lo, kan! Jawab, Tar!”Tara yang tidak terima diperlakukan kasar oleh Yasa, sontak mendorong pria itu, dengan kasar. Hampir terjatuh jika tubuhnya tidak menabrak meja kerja Tara."Ini rumah sakit! Keluar sukarela atau gue panggilin satpam!""Jangan jadi pengecut, Tar!" Yasa kembali menegakkan tubuhnya. Berdiri tepat di depan Tara tanpa rasa ragu atau gentar sedikitpun. "Lo, yang udah nyembunyiin istri gue selama ini, kan? Di vila keluarga, lo! Brengsek!"Tara yang enggan meladeni Yasa, kemudian melewatinya begitu saja. Meraih telepo
“Ibu seperti kamu, gak pantas untuk membesarkan anakku.”“Setelah bayi itu lahir, hak asuhnya akan ada sama aku.”“Sekali murahan, tetaplah murahan!”Ketika mengingat untaian kalimat yang dimuntahkan oleh Yasa saat itu, hati Aya kembali membeku. Rasa ibanya ketika bertemu dengan pria itu barusan, langsung terhempas seketika itu juga. Belum lagi, rasa nyeri dari cengkraman tangan Yasa pada wajahnya, masih begitu membekas di ingatan. Membuat niatnya untuk bercerai semakin bulat.Aya tidak ingin kejadian yang sama terjadi lagi ke depannya. Karena, bukan hanya sekali itu, Yasa melempar kalimat kasar begitupun dengan sikapnya kepada Aya. Tidak ingin lagi menerima penghinaan dan perlakuan sejenisnya dari Yasa, Aya akhirnya meyakinkan diri, kalau perceraian adalah jalan terbaik bagi keduanya.Masalah Gara, setelah perceraian sudah ketuk palu. Aya memutuskan untuk pindah ke Singapura dan berencana menjadi permanent resid
Suasana ruang sidang I di pengadilan agama kali ini terasa senyap. Baik tergugat maupun penggugat, yakni Yasa dan Aya, keduanya hanya saling diam. Menjawab semua pertanyaan seperlunya. Tidak ada sengketa ataupun perdebatan sengit diantara keduanya. Semua pertanyaan, dari latar belakang gugatan cerai, proses perkawinan, alasan perceraian dan berbagai bukti sudah dilontarkan dengan seksama. Keduanya juga menjawab dengan apa adanya, terutama Aya yang memang dinyatakan dalam status tidak mengingat sang suami sama sekali. Hal itu menjadi perhatian tersendiri bagi majelis hakim. Yasa sedari tadi dengan terang-terangan selalu memandang Aya yang duduk tidak jauh dari dirinya. Namun Aya, sama sekali bergeming, tatapan gadis itu hanya lurus mengarah pada majelis hakim. Dan sampailah pada tahap saat para majelis hakim, secara bergantian menyampaikan pesan-pesan moral kepada kedua belah pihak. Berusaha memberi nasehat dan upaya perdamaian dengan memberi sudut pandang yang luas. Di situ, Yasa m
“Kasih … aku waktu.”Yasa mengurai pelukannya, ketika mendengar kalimat lirih dari Aya, yang menyiratkan sebuah kesempatan. Menghapus setiap bulir yang masih menggenang di pelupuk mata serta pipi yang kini terlihat chubby.“Take your time.” Yasa mensejajarkan wajahnya dengan Aya, menatap lurus langsung pada lensa yang masih tampak mendung. Kedua tangannya masih menyangga wajah sendu itu. “Tapi, tolong, cabut gugatan cerai yang sudah masuk di pengadilan. Kita akan jalani semua pelan-pelan. Memulai semuanya dari awal.”“Aku—”“Mbak Ay.” Suara dari seorang pria yang sebenarnya tidak nyaman untuk menginterupsi, interaksi kedua manusia yang terlihat saling rindu, akhirnya menyela ucapan Aya. “Ditunggu ibu di mobil, beliau sudah ada janji sama orang di Network, soalnya.”Mau tidak mau, Aya harus mengakhiri pertemuannya dengan Yasa. Memasang senyum tipisnya pada sang supi
Aster menghampiri putranya yang baru saja menghempaskan tubuh di atas ranjang, setelah pulang dari kantor. Pria itu sudah tidak pernah lagi, menjejakkan kaki di unit apartemennya. Selalu pulang ke rumah sang mama dan menjadikan Aster sebagai tempat bercerita tentang kegiatannya, setiap hari.Aster menepuk paha putranya yang berbaring di ranjang. Kedua kakinya masih menjuntai ke bawah dan raut wajahnya sangat lelah.“Apa, tawaran kemarin sudah kamu terima?”“Belum,” Astro meletakkan kedua tangan di balik kepalanya sebagai bantal, menerawang kosong menatap langit-langit kamarnya. “Kalau aku terima, Mama pasti kesepian, aku gak bisa datang sewaktu-waktu ke Jakarta.”Aster menggeser sedikit bokongnya, agar bisa melihat wajah Astro. “Kalau Mama ikut kamu, gimana? apa kamu keberatan?”“Mama serius?” Astro bangkit dan keduanya kini duduk saling berhadapan. “Yakin mau ikut ke Surabaya? dan &
Lidahnya benar-benar kelu, tidak mampu menjawab pertanyaan Yasa. Aya membuang wajah tidak punya keberanian untuk menatap Yasa. Tidak juga mampu untuk beranjak dari duduknya, karena Yasa memegang erat kunci sabuk pengaman yang menyilang pada tubuh bagian depannya.“Di mana dia, Ay?”Jantung Yasa berdegub membingungkan. Tidak mampu menjelaskan, seperti apa perasaannya saat ini. Ada rasa takut, gembira, cemas, dan juga kesal yang bercampur jadi satu. Sudut hatinya mengatakan bahwa anak itu ada, dan terlahir ke dunia. Tapi, kenapa Aya justru tidak mengatakan hal apapun pada dirinya.“Cahaya …” Yasa meraih dagu runcing Aya agar menghadap ke arahnya. Berusaha mengeluarkan kata selunak mungkin, meskipun ada lonjakan emosi yang ingin menuntut sang istri agar segera memberi penjelasan kepadanya. “Apa dia di dalam?”Bibir Aya terkatup. Seharusnya, ia bisa mencegah tangan Yasa agar tidak menjelajahi tubuhnya. Tapi di lain s