Share

Bab 10. Kepedihan Hati Arinda

Arinda menjatuhkan tubuhnya ke ranjang miliknya setelah menyelesaikan tugas akhir. Diraihnya ponsel yang dia charger di atas meja kecil di sebelah tempat tidur, memeriksanya sebentar. Karena tak ada yang penting, diletakkannya ponsel itu sembarangan lalu menatap langit-langit kamar. 

"Kapan Ayah bangun? Sudah sebulan lebih sejak kejadian itu, tapi tidak ada perubahan sama sekali," ungkapnya sedih, dia menghela napasnya pelan. 

Termenung sendirian sampai tak sadar air matanya sudah mengalir melewati pelupuk. Seharian ini dia berusaha kuat, berusaha terlihat kuat saat ada pelayan senior yang menyapa dan berbincang dengannya. Arinda masih berusaha memancarkan senyum, menampilkan bahwa dia baik-baik saja. Padahal, seluruh hatinya hancur dan pikirannya sedang bertengkar dengan semua bayangan malam itu yang selalu bergentayangan di kepalanya. 

Arinda hanya seorang gadis rapuh, manja dan juga mudah merasa hancur. Kasih sayang dan ajaran orang tuanya selama ini, membuat jiwanya lembut dan halus. Tak pernah ada orang yang menyakitinya, tak pernah ada orang yang membuatnya menangis karena kesedihan. Tapi, dua bulan ini, takdir seakan memaksanya agar bangkit dan menjadi sesosok yang kuat. 

Mulai dari melihat kematian sang ibu dan penguburan yang dilangsungkan di hadapannya sendiri, kondisi ayahnya yang koma dan belum sadarkan diri, dia yang harus menghentikan kuliahnya lalu menjadi seorang pelayan di tempat ini, hingga pelecehan yang dilakukan oleh Deondra padanya. Semuanya berurutan, terjalin dan merangkai seperti sebuah lukisan hitam. Gadis itu tak lagi melihat cahaya ataupun warna di kehidupannya kini, hanya warna hitam yang dilihatnya. 

Kenapa takdir begitu kejam padanya? Apa kesalahannya? 

"Arinda ...." Sebuah suara terdengar, disusul terbukanya pintu kamar. 

Arinda langsung beranjak bangkit dan menyeka air matanya. Pusing. Rasa itu tiba-tiba menderanya, membuat Arinda memegang kedua sisi kepalanya. 

"Kamu belum makan, kita makan dulu, yuk?" ajak wanita sesama pelayannya itu. 

Arinda menggeleng. "Aku tidak lapar, Kak Jenika."

Wanita yang di panggilnya Jenika itu tersenyum mendengar jawaban Arinda, dia mendekat dan duduk di sebelah Arinda. Single parent, itu adalah statusnya. Suaminya pergi dan mengkhianatinya setahun lalu, tak pernah kembali padanya sampai suatu saat tiba di depannya dengan melemparkan surat perceraian. 

Jenika menepuk pundak Arinda, seakan merasakan kesedihan yang dialami gadis itu karena dia adalah orang yang pernah mendengar keluh kesah dari sosok Arinda. 

"Ada apa, Arin? Aku tahu kamu sedang sakit, tapi tidak biasanya kamu murung dan menyingkir dari kami. Biasanya kamu sibuk meminta obat ataupun memperhatikan aktivitas pribadi kami sebulan ini. Kenapa sekarang kamu lebih pendiam sejak pulang dari rumah sakit?" tanya Jenika, tapi Arinda menggeleng. 

Tak mungkin dia mengatakannya! 

"Kepalaku pusing, Kak. Aku tidak bisa berdiri terlalu lama," ujarnya pelan, suaranya bergetar menahan tangis. 

Jenika tersenyum prihatin, lalu bangkit dari sana. "Baiklah, aku akan membawakannya kemari. Kamu istirahat saja, ya?" 

Arinda kembali menggeleng, diraihnya pergelangan tangan Jenika yang baru akan berlalu. 

"Tidak perlu seperti ini, Kak. Aku tidak lapar, aku tidak selera makan. Aku hanya ingin tidur, kepalaku sakit sekali. Jika aku tidur, pasti rasa sakitnya berkurang. Besok aku akan ikut makan pagi bersama, ya?" ucapnya membuat Jenika mengangguk pelan. 

"Baiklah, kamu istirahat saja. Besok jadwalmu tidak terlalu banyak sepertinya. Karena di sini ada peraturan untuk meringankan beban pelayan seperti kita kalau sakit. Aku keluar dulu, istirahat ya." 

Seperti seorang kakak, Jenika mengusap kepala Arinda lembut, sebelum akhirnya berbalik dan menutup pintu kamar Arinda. 

Sepeninggalnya, Arinda kembali membaringkan tubuhnya. Air matanya kembali mengalir deras, terharu sekaligus takut jika nanti mereka tahu dirinya sudah ternoda, akan seperti apa reaksinya. 

"Tidak," ucapnya terisak. "Aku akan merahasiakan semua ini dari orang lain, termasuk Tuan Deondra sendiri." 

Arinda menyeka air matanya, pandangannya kabur, pusing di kepalanya memengaruhi pikiran dan juga suasana hatinya. Disentuhnya perut dan juga bagian bawah tubuhnya, air matanya mengalir lebih deras lagi. 

"Aku tidak mungkin hamil, dia baru sekali melakukannya dan tidak akan pernah akan terjadi lagi. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi. Betapa bodohnya aku yang tak berusaha menjauh dan memberontak lebih keras darinya semalam. Sekarang, setelah menyentuhku pun, wajahnya sama sekali tidak menampilkan kesalahan," ujarnya menahan sakit di dada. 

Dia memukul dadanya berulang, berusaha menghilangkan sesak dan rasa sakit yang dialaminya. Pikirannya melayang kemana-mana, hingga rasa takut menghampirinya. 

"Tapi kalau aku hamil nanti, aku harus bagaimana? Apakah aku bisa tetap bertahan hidup? Dia sama sekali takkan peduli padaku, mungkin semalam pun dia tak sadar sudah melakukannya. Bukankah dia baru minum alkohol? Itu bisa saja membuatnya hilang kesadaran, 'kan? Dan, bukankah itu alasannya yang hampir memecatku? Karena aku tidak jadi membuang pecahan botol alkohol itu?" Arinda bergumam perih, keadaannya amat memprihatinkan. 

"Ayah ...." 

Teringat lagi pada sosok yang selalu mencintainya, pada sosok yang selalu melindunginya dan membuatnya menjadi seorang putri yang di sayangi. Hatinya seakan remuk, entah bagaimana bentuknya. 

"Apakah setelah nanti Ayah tahu bahwa aku tidak sesuci yang dulu, Ayah akan memaafkanku? Apakah Ayah akan mempercayai jika aku adalah korban? Dan apakah Ayah akan tetap menerimaku sebagai putrimu?" lirihnya bergumam, hatinya seakan diiris oleh pisau tajam, sakit sekali. 

Arinda masih menangis hingga tengah malam, kejadian yang dialaminya saat ini adalah kejadian-kejadian pahit yang tak terlupakan. Dia seakan tengah terseret ke alam mimpi paling buruk yang pernah dialaminya. Sudut hatinya bahkan berharap akan datangnya seseorang untuk membangunkannya dari mimpi ini. 

"Bunda, apa Bunda tahu bagaimana perasaan Arin sekarang? Apa Bunda bisa mendengar tangis Arin? Kenapa Bunda pergi? Jika seandainya kita berdua sama-sama mencari cara untuk membiayai pengobatan Ayah, Arin tidak akan merasakan sakit yang sedalam ini," ujarnya terisak semakin dalam, dia bahkan menggulingkan tubuhnya dan menekan wajahnya ke bantal. 

Dua malam ini, kamarnya menjadi saksi bisu kepedihan yang dialaminya. Kamar petak yang lumayan besar untuk seorang pelayan sepertinya, hanya bisa berderak pelan, seakan mengikuti kesedihan yang di derita seorang wanita muda nan rapuh sepertinya. 

Ini mimpi buruk, mimpi buruk yang terasa amat nyata! Apakah Arinda benar-benar mengalaminya? Tapi, kenapa harus sesakit ini? 

Dirinya yang sedang menangis di dalam kamar, tak berbeda jauh dari seorang Deondra yang tengah terpekur di sofa dalam lantai atas bar mewah yang pernah dilontarkannya sumpah yang kesekian. Sumpah yang mengatakan bahwa dia tak akan pernah datang dan menginjakkan kakinya lagi ke tempat itu. 

Namun, sebuah perasaan bersalah dan juga rindu yang menggebu, seakan menariknya untuk datang. Walaupun sampai di sana, dia hanya duduk semalaman di atas sofa. Entah apa yang memicunya, Deondra bahkan tak mau memahami dan mengerti akan perasaan hatinya sendiri. Dia rela melanggar sumpah, sumpah yang sempat tersebar luas di seluruh kota. Dan malam ini, dirinya menjadi perbincangan hangat dan topik tranding di seluruh media. 

"Apakah Anda ingin saya menutup berita ini, Tuan?" Alrix bertanya setelah melihat berita yang semakin menyebar di ponselnya. 

Deondra diam, dengan posisi menyandar, kakinya diangkat keatas meja dan tangan bersedekap di dada. Matanya terpejam erat, walaupun dia belum tertidur. 

"Ini akan membuat geger seluruh kota, Tuan. Akan banyak reporter berita yang akan mendatangi Anda besok. Apakah Anda ingin menutup beritanya?" tanya Alrix lagi, tapi Deondra justru tersenyum tipis. 

"Biarkan saja," tukas Deondra acuh. "Aku hanya ingin menunjukkan diriku padanya setelah empat tahun. Agar, dia tahu bahwa aku sudah tak mempedulikannya dan berharap dia mati secepatnya setelah melihat berita ini," balasnya dingin. 

Alrix menghela napas, tapi tak lagi bersuara. Di pandanginya tubuh Deondra yang tampak santai, sesekali kakinya yang dia naikkan diatas meja bergoyang pelan. 

"Aku ingin menunjukkan juga satu hal pada seseorang. Bahwa, betapa hebatnya diriku ini," tambahnya dengan nada angkuh membuat kening Alrix berkerut. 

"Siapa?" batinnya bingung. 

Bersambung! 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status