Share

Bab 11. Mungkin Jatuh Cinta?

"Siapa?" batin Alrix. 

Tapi Alrix tak berani menanyakannya langsung. Dia tak ingin membuat hati Tuan Mudanya berubah lagi. Saat ini, dia sudah dapat melihat bahwa Deondra mulai tenang, mungkin sebentar lagi akan tertidur. 

"Keluarlah Alrix, aku ingin sendiri." Deondra berkata membuat Alrix akhirnya mengangguk. 

"Baik Tuan, jika anda butuh sesuatu saya ada dibawah," ucapnya. 

"Hmm," sahut Deondra malas. 

Saat Alrix sudah terdengar menutup pintu, matanya terbuka lagi. Dia menatap pintu itu dengan tatapan mata yang menyiratkan sesuatu. Kesedihan, itulah yang dapat di lihat dari sorot mata itu. Sorot mata yang selama ini selalu dia rahasiakan. 

"Biarlah, aku tetap ingin menjadi seperti ini. Aku ingin menunjukkan padanya, aku tidak selemah dulu." 

Deondra bangkit dari duduknya, berjalan kearah balkon. Dia berdiri mematung, menatap pijaran cahaya lampu warna-warni yang menghiasi kota di malam hari. Gedung-gedung tinggi dan bangunan pencakar langit yang menjulang tinggi di hadapannya itu terlihat amat indah. Apalagi ada menara kota di tengah-tengah sana, berpijar indah seiring warna lampunya yang berganti. 

Deondra menopang tubuhnya ke tembok pembatas, mengambil napas panjang lalu membuangnya perlahan. Jika dulu dia ingin sekali melompat dari tembok itu, sekarang dia justru ngeri melihat ketinggiannya. Hingga tangannya mencengkram erat pembatas itu saat angin bertiup kencang. 

"Tuan, saya mohon jangan lakukan itu!" 

Teriakan Arinda tiba-tiba terdengar di kepalanya, disusul bayangan percintaan yang dilakukannya secara paksa. Tanpa sadar, sudut bibirnya tertarik keatas. Hatinya mendadak diselimuti oleh rasa hangat, tapi kemudian dia menampar pipi kirinya. 

"Jangan merasa bersalah Deondra, kamu bahkan tahu bahwa dia menikmatinya juga, bukan?" Hasutnya pada diri sendiri membuatnya tersenyum tipis. 

Mata tajamnya menatap sejurus, sebuah pesawat terbang tengah melintas di langit sana. Berkelip menandakan bahwa dia akan berbelok kearah samping bangunan tempat Deondra yang tengah berdiri saat ini. 

"Jika seandainya kamu tidak membunuh kedua orang tuaku, aku tidak akan sebenci ini padamu, Anne." Deondra bergumam, lalu berulang kali menghela napas. 

Dia membiarkan pesawat itu melintasi samping kirinya. Menatap bentuk pesawat yang kecil itu sampai hilang dari pandangan. 

"Dan sekarang, pelampiasan rasa kesal dan sakit hatiku ku lampiaskan pada Arinda. Gadis polos yang tak tahu apa-apa. Dan sialnya dia masih perawan!" ujar Deondra kesal, entah bagaimana caranya agar dia bisa memahami dirinya sendiri. 

Bayangan pengkhianatan Anne juga turut hadir saat dia memikirkan Arinda. Sepenggal kisah masa dulu yang membuatnya marah, kesal dan tak bisa menerimanya. Anne berkhianat di hadapan matanya sendiri. Setelah berusaha mengambil alih perusahaan orang tuanya, Anne malah bermesraan dengan banyak lelaki sebelum Alrix memergokinya. 

Bahkan dengan tak tahu malunya. Anne masih sempat bersenang-senang dengan seorang pria di club ini sebelum ditahan oleh pihak berwajib. Sempat bar mewah ini di segel beberapa bulan, hingga akhirnya mendapat izin lagi untuk di buka tapi dengan banyak syarat dan mengurangi hal-hal yang menjorok ke dalam hal prostitusi ataupun bermain wanita. Kekacauan sempat terjadi, banyak yang tak terima akan ketentuan tersebut. Tapi akhirnya semua bisa kembali normal seperti sedia kala, walaupun tidak ada hal-hal seperti itu lagi di dalamnya. 

"Jika saja kau tidak membuat hatiku sakit hingga saat ini, Anne. Mungkin aku bahagia sekarang. Tapi sialnya, kau ternyata seorang wanita liar yang tak tahu diri!" 

Api kebencian kembali timbul di sorot matanya. Bahkan besi pembatas itu berdenting saat dengan sengaja Deondra menekan kepalan tangannya di sana.

"Enyahlah kau dari pikiranku, wanita terkutuk! Kau hanya pembuat malu dan juga sampah yang tak berharga! Untuk apa aku harus memikirkannya lagi!" Deondra berkata kesal, meninju kepalanya hingga akhirnya dia merasa pusing. 

"Semua wanita hanyalah pengkhianat, aku benci wanita!"

**"

Sementara itu, Alrix hanya diam di depan pintu ruangan pribadi milik Deondra. Tangannya bahkan belum lepas dari handle pintu, tatapannya seakan menyiratkan kasihan dan juga perasaan cemas pada Deondra. Tapi bagaimana lagi? Deondra yang memintanya pergi dari sana. 

"Alrix!" 

Tubuhnya berputar seratus delapan puluh derajat saat mendengar panggilan itu. Di sana, baru saja selesai melangkahkan kaki mereka di tangga terakhir. Sudash dan Lukhe tengah melangkah kearahnya. Membuatnya mau tak mau ikut mendekat. 

"Ada apa, Tuan Sudash, Tuan Lukhe?" tanyanya sopan. 

Bagaimana pun kedua orang di hadapannya ini adalah orang yang berpengaruh dalam kehidupan Deondra. Mereka teman baik, bahkan sejak sekolah tingkat pertama. Ketiganya termasuk pria yang riang dan mudah bercanda. Tapi Deondra berubah empat tahun silam dan tak pernah menemui keduanya lagi. Malam ini, saat Deondra datang ke Bar, adalah kali pertama pertemuan mereka lagi setelah empat tahun. 

"Ada apa dengan Deon? Apa yang membawanya kemari?" Pertanyaan Sudash yang bahkan masih gamang jawabannya keluar. 

Sudash menatap wajah Alrix yang diam di tempatnya, lalu melihat kearah pintu  cokelat dengan dua daun yang tengah tertutup rapat itu. 

"Benar, apa yang membawanya kemari? Bukankah dulu dia sempat bersumpah?" tambah Lukhe membuat Alrix menghela napas. 

"Saya juga tidak tahu, Tuan. Tapi yang saya dengar tadi, Tuan Muda bilang ingin menunjukkan padanya bahwa dia tidak selemah dulu lagi," ucapnya sambil menatap dua wajah yang berkerut di hadapannya ini. 

"Tidak selemah dulu? Padanya? Siapa yang dia maksud?" Lukhe mewakili Sudash, bertanya lebih dulu. 

Alrix diam sejenak. "Nona Anne." 

Ketiganya hening saat Alrix menyebutkan nama keramat itu. Mereka adalah orang yang paling paham dengan apa yang terjadi. Juga orang yang paling mengerti, mengapa sikap seorang Deondra Jefferson berubah drastis. Ternyata bayangan masa lalu itu juga yang membawa teman mereka kemari. 

"Apakah dia belum move on?" tanya Sudash. 

Alrix mengendikkan bahu, lalu berjalan menuju pagar pelindung lantai, menatap kearah bawah. Tenang, seakan tak terjadi apa-apa. 

"Tadi sempat datang reporter yang mendapat laporan berita tentang kemunculan Deon di tempat ini," jelas Sudash, mereka sudah berdiri di belakang Alrix. 

"Lalu?" 

Sudash dan Lukhe sama-sama menghela napas. 

"Pemilik bar yang bicara. Mereka sangat excited melaporkan berita dan beberapa pengunjung lainnya menjadi saksi mata. Tidak bisa di cegah lagi, Alrix. Kota sedang booming dengan berita yang terjadi malam ini," ucap Sudash. 

Alrix terdiam dalam pikirannya. Ternyata walaupun Deondra sudah berubah dingin, datar nan angkuh, masih banyak yang mengikuti kegiatan dan juga aktivitasnya di luar rumah. Nama Deondra sebagai seorang pria yang sempurna, juga sebagai pria yang mendapat gelar The best of the best in town

tiga tahun berturut-turut di acara penghargaan kota, tetap menjadi inspirasi dan juga perbincangan hangat dikalangan warga. Mungkin bagi mereka, Deondra berubah pun sisi baiknya yang pernah dia lakukan dulu tetap mengalir hingga saat ini.

"Saya juga tidak akan mencegahnya, Tuan Sudash." Alrix berkata, memutuskan berjalan kearah meja dan sofa yang ada di lantai yang sunyi itu. 

Semuanya sedang bersenang-senang di bawah sana. Menghilangkan stress dan penat setelah seharian bekerja. Tidak seperti Alrix, dia masih amat waras untuk tak melakukan itu. Baginya, dengan berjoget dan menari-nari dibawah sana justru membuat tubuh semakin lelah. Lebih baik dia mengerjakan sisa pekerjaan ataupun menemani Tuan Mudanya di rumah utama. 

"Kenapa begitu? Bukankah Deondra tak ingin akses pribadinya menjadi perbincangan hangat? Bukankah itu peraturan baru yang dibuatnya empat tahun ini?" tanya Lukhe, ikut duduk di depan Alrix. 

Sudahs juga bergabung, menuangkan alkohol yang sudah disiapkan di atas meja itu ke dalam tiga gelas ramping. Sebelum akhirnya memberikannya pada dua orang pemuda itu. 

"Bersulang!" 

Ketiganya berkata sambil mengangkat gelasnya, bersama-sama membenturkan milik mereka hingga menimbulkan bunyi. 

"Iya, itu peraturan baru Tuan Muda, tapi Tuan melarang saya untuk mencegah tersebarnya berita ini." Alrix berkata setelah menyesap isi gelasnya. 

"Alasannya seperti yang saya ucapkan tadi, Tuan Muda ingin agar dia melihatnya. Dan satu lagi, Tuan Deondra ingin menunjukkan dirinya pada seseorang." 

"Seseorang? Siapa?" tanya Sudash, sudah hampir tersedak. 

Alrix mengangkat bahunya, tidak tahu. 

"Eh, apa mungkin Deondra mulai jatuh cinta pada seseorang, Alrix? Dia ingin menunjukan kehebatannya pada orang itu?" tanya Lukhe pula, membuat Alrix tertegun. 

"Benarkah? Tapi, siapa...?" 

Bersambung! 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status