Seketika seluruh isi Bar yang dimasuki oleh Deondra hening. Padahal tadi musik berdentum memekakkan telinga. Bahkan para bartender dan juga wanita penghibur yang awalnya meliuk-liukkan tubuh seksinya di lantai dansa juga ikut melihat kearah pintu. Tak percaya dengan tatapan mata mereka yang menampilkan sosok Deondra. Pria dewasa yang amat berpengaruh di seluruh kota. Perusahaannya yang besar dan bercabang-cabang, cukup membuat namanya tersohor dan sosoknya amat di kenali di seantero kota.
Kabar tentang Deondra yang menjauhkan diri dari hiburan malam, para wanita dan dunia luar cukup besar hingga sampai ke telinga masyarakat yang mengenalinya. Bahkan ada yang menyebarkan berita bahwa Deondra bersumpah untuk tak lagi ingin jatuh cinta. Sikapnya yang berubah 180° itu berhasil membuat orang-orang yang mengaguminya menjadi kecewa. Pasalnya dulu Deondra adalah seumpama malaikat tak bersayap yang rajin menyebarkan kebaikan dan juga tatapan penuh kasih sayangnya pada semua orang. Deondra sempat di cap sebagai orang terbaik di penjuru kota, pemuda yang paling ringan tangan dalam memberi dan juga idaman para ibu untuk putri mereka. Tapi sayangnya, semua sifatnya yang sempurna dan baik itu hilang. Deondra menjelma menjadi seorang pria tak tersentuh akhibat kematian kedua orang tuanya empat tahun silam.
Menyadari kedatangannya yang mengejutkan semua pengunjung bar. Deondra acuh tak acuh dan mulai melangkahkan kakinya kearah sofa yang sudah di duduki dua orang lelaki yang berumur sepantaran dengannya. Akan tetapi, tak jauh dari para pengunjung lain, kedua orang lelaki yang tengah duduk itupun tercengang tak percaya. Mereka yang belum benar-benar mabuk dapat mengenali dengan jelas, siapa sosok yang tengah berdiri tegak di hadapan mereka ini.
"Tuan Muda!" Alrix menerobos masuk, berlari kearah Tuan Mudanya yang tengah berdiri diantara dua sofa.
"Tuan Muda, ada yang salah dengan Anda?" tanya Alrix, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Alrix saja yang merupakan sekretaris, asisten dan orang terdekat Deondra saja bingung. Bagaimana tidak dengan orang lain?
"Deon, ka-kamukah itu?" Salah seorang temannya bertanya, menatap wajah dingin Deondra.
Mereka berdua bangkit, mendekati Deondra yang tak bergeming di tempatnya. Tatapan mata Deondra menelisik beberapa sudut, tak ada yang berubah, semua interiornya masih sama dengan apa yang dilihatnya empat tahun silam.
"Deondra, kamu baik-baik saja, bukan? Apa yang membawamu kemari?" Takut-takut satu lagi bertanya, tapi Deondra hanya tersenyum tipis.
Mengalihkan pandangan kearah Alrix, Sudash bertanya pada sekretaris pribadi Deondra yang juga ikut bingung.
"Alrix, apa yang telah terjadi padanya? Kenapa dia ada disini?" Sudash bertanya tapi tak mendapat jawaban.
Alrix sendiri tak tahu apa penyebab datangnya Deondra kemari. Tempat yang amat bersejarah dalam hidupnya dan tak lepas dari kejadian pahit empat tahun lalu.
Ya, tempat ini adalah tempat Deondra dan Anne bertemu. Tempat dimana perasaan cinta di hati mereka timbul lalu mulai menjalin kasih dengan bahagia. Hanya dua tahun mereka berhubungan, Deondra yang saat itu masih bisa diajak bicara dengan sesama manusia, menjadi pasangan yang paling romantis dengan wanitanya, Anne. Tapi, siapa sangka takdir kelam menghampirinya?
Setelah bertemu dengan Anne di tempat ini, di sini juga hubungan mereka berakhir. Anne tertangkap di sini dalam misi pelariannya. Dibawa oleh pihak berwajib, tapi sayangnya dia berhasil kabur sebelum di masukkan ke dalam penjara. Deondra tak menutup kasusnya, hanya saja Deondra membiarkan Anne berlari sejauh mungkin dan tersiksa sebagai buronan hingga akhir hidupnya nanti. Dari sanalah timbul sifat angkuh dan juga kejamnya, berawal dari pengkhianatan dan juga penipuan yang dilakukan oleh kekasihnya sendiri.
"Lanjutkan pestanya. Katakan pada mereka, Alrix!"
Singkat, padat dan angkuh suara Deondra keluar. Membuat Alrix yang masih tak percaya dengan apa yang di lihatnya, kini tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Tapi tak ada yang bisa dia lakukan selain hanya menunduk dan langsung memberi kode pada pemutar musik untuk melanjutkan apa yang tertunda. Setelahnya, Alrix langsung berjalan cepat, mengikuti Alrix ke lantai atas, ruangan khusus milik Deondra yang sudah empat tahun tak dilihat olehnya.
"Tuan Muda, ada yang Anda butuhkan?" tanya Alrix sopan, dia menghampiri Deondra yang sudah duduk di sana.
Dua buah gelas yang tertata di atas meja bundar itu diraih oleh Deondra. Dia mengalihkan pandangannya pada Alrix yang langsung paham dengan apa yang dibutuhkan oleh sang Tuan Muda.
Sebuah lemari kayu berbentuk persegi di bukanya, lalu mengeluarkan anggur dari sana. Dia menuangkannya ke gelas yang sudah di pegang oleh Deondra sedari tadi.
"Semua orang terkejut melihat kedatangan Anda, Tuan." Alrix berkata, berdiri melihat Deondra yang sudah menghabiskan hampir separuh dari isi gelasnya.
Deondra diam, tersenyum tipis mendengar ucapan Alrix.
"Apa yang membuat Anda kemari? Kalau hanya ingin minum, Anda bahkan punya bar mini di rumah."
Deondra tak langsung menjawab, dia juga bingung dengan dirinya. Rasanya, seperti ada perasaan rindu yang terselip di dalam hatinya akan tempat ini. Dimana, dulu dia amat bersuka cita menghabiskan malamnya dengan bersenang-senang dengan kedua temannya yang berada di lantai bawah tadi. Mereka hanya akan menghabiskan waktu, tidak ada bermain wanita dalam hidupnya. Dia amat setia pada Anne, walaupun tak menolak fakta bahwa ada banyak wanita yang tergila-gila dan berebutan ingin bisa duduk lebih dekat dengannya.
Dan hal yang terjadi padanya dan Arinda di malam itu, adalah kejadian pertama bagi keduanya.
"Aku hanya ingin mencari ketenangan." Deondra berkata dengan nada yang sudah sebulan ini tak di dengar Alrix.
Dingin dan tak bernada. Tatapan mata Deondra pun berubah saat pertama kali masuk ke dalam bar ini lagi. Suara dentuman musik di lantai bawah, sayup-sayup terdengar di telinga, tapi tak mereka pedulikan.
"Sebulan ini, jiwaku seakan tercampur aduk entah karena apa." Deondra menghela napas, meletakkan gelasnya yang sudah kosong.
"Aku tak ingin lama-lama seperti itu. Aku bukan Deondra lemah dan bodoh seperti empat tahun silam," tandasnya, lalu memejamkan mata.
Alrix tersenyum tipis, menyadari perubahan yang terjadi lagi pada Tuan Mudanya. Sosok tegap tinggi yang tengah duduk dan menyadarkan tubuhnya di sofa itu, mengeluarkan aura kesedihan yang cukup terlihat dan Alrix adalah orang yang paling sering melihatnya.
Sikap angkuh Tuan Mudanya itu berlaku untuk semua orang, termasuk dirinya. Namun, walaupun sering mendapat hinaan dan juga ejekan serius dari Deondra, Alrix hanya bisa menelannya. Dia paham, hal apa yang sudah membuat Tuan Mudanya berubah. Dan dia akan tetap ada di samping Deondra bahkan pada saat-saat yang lebih sulit.
"Tidak ada yang mengatakan Anda lemah, apalagi bodoh, Tuan Muda," ucap Alrix sopan, tapi Deondra tak meresponnya.
"Anda adalah seorang malaikat tanpa sayap bagi mereka yang mendapat uluran kasih sayang Anda. Bahkan, nama Anda sempat masuk menjadi The best of the best in town. Bukankah itu adalah peringkat yang bagus?" Deondra masih tak menjawab, walaupun sudut kecil hatinya mengakui hal itu.
"Berhentilah bicara yang tidak penting," sahutnya kemudian dengan mata terpejam. "Itu hanya perbuatan konyol yang dilakukan oleh orang yang bodoh!" tambahnya membuat Alrix terdiam.
Di pandanginya tubuh sempurna Deondra yang menyandar nyaman. Tersenyum tipis saat menyadari bahwa, tak semudah itu membuat Tuan Mudanya berubah. Dia harus berusaha lebih kuat lagi dan menjadi orang yang lebih sabar lagi.
Bola mata Deondra terbuka, dia menatap Alrix sambil tersenyum tipis.
"Tinggalkan botol anggur itu di sini, lalu keluarlah untuk mencari hiburan tersendiri untukmu, Alrix!"
Bersambung!
Arinda menjatuhkan tubuhnya ke ranjang miliknya setelah menyelesaikan tugas akhir. Diraihnya ponsel yang dia charger di atas meja kecil di sebelah tempat tidur, memeriksanya sebentar. Karena tak ada yang penting, diletakkannya ponsel itu sembarangan lalu menatap langit-langit kamar."Kapan Ayah bangun? Sudah sebulan lebih sejak kejadian itu, tapi tidak ada perubahan sama sekali," ungkapnya sedih, dia menghela napasnya pelan.Termenung sendirian sampai tak sadar air matanya sudah mengalir melewati pelupuk. Seharian ini dia berusaha kuat, berusaha terlihat kuat saat ada pelayan senior yang menyapa dan berbincang dengannya. Arinda masih berusaha memancarkan senyum, menampilkan bahwa dia baik-baik saja. Padahal, seluruh hatinya hancur dan pikirannya sedang bertengkar dengan semua bayangan malam itu yang selalu bergentayangan di kepalanya.Arinda hanya seorang gadis rapuh, manja dan juga mudah merasa hancur. Kasih sayan
"Siapa?" batin Alrix.Tapi Alrix tak berani menanyakannya langsung. Dia tak ingin membuat hati Tuan Mudanya berubah lagi. Saat ini, dia sudah dapat melihat bahwa Deondra mulai tenang, mungkin sebentar lagi akan tertidur."Keluarlah Alrix, aku ingin sendiri." Deondra berkata membuat Alrix akhirnya mengangguk."Baik Tuan, jika anda butuh sesuatu saya ada dibawah," ucapnya."Hmm," sahut Deondra malas.Saat Alrix sudah terdengar menutup pintu, matanya terbuka lagi. Dia menatap pintu itu dengan tatapan mata yang menyiratkan sesuatu. Kesedihan, itulah yang dapat di lihat dari sorot mata itu. Sorot mata yang selama ini selalu dia rahasiakan."Biarlah, aku tetap ingin menjadi seperti ini. Aku ingin menunjukkan padanya, aku tidak selemah dulu."Deondra bangkit dari duduknya, berjalan kearah balkon. Dia berdiri mematung, menatap pijar
Alrix membopong Deondra keluar dari mobil, dia mabuk dan tak sanggup membuka matanya. Namun dia masih sadar, seluruh tubuhnya dia berikan pada Alrix karena rasa malas yang menggerogoti dirinya. Di tambah rasa pening di kepalanya, membuatnya sedikit sempoyongan saat berjalan."Hati-hati, Tuan Muda."Alrix menaiki tangga penghubung antara halaman dan juga teras, sekalian memastikan kaki Deondra benar menaikinya. Setelahnya mereka masuk kedalam rumah.Pagi hari, para pelayan sudah hilir mudik mengerjakan isi rumah. Wajah mereka terlihat ingin tahu kenapa dengan Tuan mudanya? Tapi tak ada yang berani bertanya. Karena hal itu adalah sesuatu yang amat di larang di dalam peraturan rumah utama.Menaiki tangga, Alrix masih bersusah payah untuk membantu Deondra. Hingga tak lama kemudian seorang pelayan pria lewat membawa sapu panjang untuk membersihkan sarang laba-laba. Di belakangnya Arinda mengikuti sambil
Deondra keluar dari kamar mandi dengan memakai jubah handuk berwarna putih. Tubuhnya tampak segar, tetesan air di rambutnya, mengalir turun ke leher dan juga tengkuknya, menambah pesonanya yang semakin terlihat. Dia memang tampan, tubuhnya gagah dan juga memiliki pesona yang mengagumkan. Tidak hanya orang lain, Deondra sendiri mengakui hal itu.Ditariknya sebuah laci nakas, mengeluarkan map dari sana. Dia mengusap rambut basahnya sekilas, sebelum menjatuhkan tubuhnya ke ranjang lebar miliknya yang sudah tertata rapi. Spreinya sudah berganti warna, membuat pupil matanya membesar saat menyadari hal itu.Tanpa aba-aba, Deondra bangkit, meletakkan map yang di pegangnya di atas nakas lalu mulai menyingkap selimut untuk mencari sesuatu. Hilang! Bercak merah itu sudah tidak ada lagi di sana. Siapa yang sudah mengganti spreinya?Tanpa berpikir dua kali, Deondra langsung memencet remote pemanggil kepala pelayan, pasalnya Al
Arinda celingak-celinguk ke sana sini demi mencari keberadaan Riza. Dia sudah di sana selama lima belas menit, tapi sosok Riza yang meninggalkannya demi mengantar sang Tuan Muda sampai saat ini belum muncul."Mana sih Kak Riza? Kok tidak muncul juga?" Arinda bergumam, tangannya terangkat memijat pelipis yang terasa pusing."Arin!"Saat tengah memejamkan mata karena menahan pusing, seseorang memanggil nama dan sempat menyentuh pundaknya karena melihat tubuh Arinda yang sedikit terhuyung. Arinda membuka matanya, lalu tersenyum melihat siapa yang ada di hadapannya."Kok lama? Kakak darimana saja?" tanya Arinda, menatap wajah Riza yang berubah tak secerah tadi."Aku tadi...."Riza menghela napasnya, ragu dan juga takut untuk mengatakannya. Pasalnya baru kali ini dia di tantang oleh sang Tuan Muda. Entah apa kesalahannya Riza pun tak tahu.
"Tidak ada," jawab Deondra dingin, dia masih menatap Arinda sejenak sebelum tatapannya beralih ke arah Alrix.Deondra menatapnya sedikit kesal, kenapa sih Alrix suka sekali mengurusi urusannya? Menyebalkan sekali!"Aku hanya teringat sesuatu." Deondra berkata, sedikit bingung untuk melanjutkan."Ada yang tertinggal, Tuan?"Sementara Alrix bertanya, kedua pelayan itu memberanikan diri untuk permisi. Sepeninggal mereka, tatapan Deondra semakin terlihat datar."Kenapa dia biasa-biasa saja saat bertemu denganku?" tanya Deondra, dapat dilihat dengan jelas bahwa dia tengah kesal.Alrix mengernyit. "Arinda, maksud Anda?""Siapa lagi? Tidak mungkin wanita tua yangbersamanya tadi, 'kan!"Alrix meringis kecil, dia menoleh kearah yang di lalui oleh dua pelayan itu. "Dia belum tua, Tuan Muda. Usianya saja ma
Alrix mengangguk. "Ibunya sudah meninggal dua bulan lalu, ayahnya koma di rumah sakit. Hal itu yang membuat Arinda memutuskan untuk menunda kuliahnya dan menjadi seorang pelayan di rumah Anda."Deondra menatap Alrix dengan tatapan kosong. Pikirannya berlarian ke sana kemari, teringat tentang kesedihan yang menimpanya dulu. Bahkan sudut hatinya kembali berdenyut, dia amat ingat bagaimana rasanya mengalami kesedihan seperti itu."Aku sudah salah dengan menodainya. Pasti perasaannya semakin hancur atas perlakukanku. Tapi, sepertinya semua itu belum ada apa-apanya di bandingkan perasaan sakit yang kurasakan dulu," ucapnya dalam hati, berusaha menepis semua kenyataan tentang perasaan hati Arinda."Aku saja masih bisa bertahan hidup sampai saat ini, terlepas dari semua yang terjadi padaku dulu. Aku yakin, dia akan baik-baik saja," ungkapnya membandingkan.Suara dentingan pelan terdengar, Deondra se
"Memangnya Anda ingin, apa saja yang saya katakan?" Alrix bertanya, membuat Deondra diam berpikir."Memang apa yang akan mereka tanyakan?" Deondra balik bertanya, kedua tangannya menopang dagunya sembari menatap Alrix.Sekretarisnya itu terdiam sejenak, menggabungkan beberapa kejadian yang menimpa Tuan Mudanya akhir-akhir ini. Hingga, bibirnya terbit sebuah senyuman."Mungkin hal-hal yang berkaitan dengan sumpah Anda. Juga tentang club dan juga kisah masa lalu," ucap Alrix santai.Deondra menatapnya malas, sekaligus merasa kesal. Kisah masa lalu adalah hal tabu untuknya, apakah tidak ada bahasan lain?"Mereka benar-benar tak bisa membuatku hidup dengan tenang. Apa hubungannya club dengan kisah masa lalu?" Deondra mencibir dalam hati, suasana hatinya sudah berubah hanya dengan mendengar dan memikirkan kata 'Masa lalu'."Kalau begitu, kau saja yang menjadi juru bicara. Bawa wartawan itu ke ruanganmu. Aku mal