Alrix mengangguk. "Ibunya sudah meninggal dua bulan lalu, ayahnya koma di rumah sakit. Hal itu yang membuat Arinda memutuskan untuk menunda kuliahnya dan menjadi seorang pelayan di rumah Anda."
Deondra menatap Alrix dengan tatapan kosong. Pikirannya berlarian ke sana kemari, teringat tentang kesedihan yang menimpanya dulu. Bahkan sudut hatinya kembali berdenyut, dia amat ingat bagaimana rasanya mengalami kesedihan seperti itu.
"Aku sudah salah dengan menodainya. Pasti perasaannya semakin hancur atas perlakukanku. Tapi, sepertinya semua itu belum ada apa-apanya di bandingkan perasaan sakit yang kurasakan dulu," ucapnya dalam hati, berusaha menepis semua kenyataan tentang perasaan hati Arinda.
"Aku saja masih bisa bertahan hidup sampai saat ini, terlepas dari semua yang terjadi padaku dulu. Aku yakin, dia akan baik-baik saja," ungkapnya membandingkan.
Suara dentingan pelan terdengar, Deondra se
"Memangnya Anda ingin, apa saja yang saya katakan?" Alrix bertanya, membuat Deondra diam berpikir."Memang apa yang akan mereka tanyakan?" Deondra balik bertanya, kedua tangannya menopang dagunya sembari menatap Alrix.Sekretarisnya itu terdiam sejenak, menggabungkan beberapa kejadian yang menimpa Tuan Mudanya akhir-akhir ini. Hingga, bibirnya terbit sebuah senyuman."Mungkin hal-hal yang berkaitan dengan sumpah Anda. Juga tentang club dan juga kisah masa lalu," ucap Alrix santai.Deondra menatapnya malas, sekaligus merasa kesal. Kisah masa lalu adalah hal tabu untuknya, apakah tidak ada bahasan lain?"Mereka benar-benar tak bisa membuatku hidup dengan tenang. Apa hubungannya club dengan kisah masa lalu?" Deondra mencibir dalam hati, suasana hatinya sudah berubah hanya dengan mendengar dan memikirkan kata 'Masa lalu'."Kalau begitu, kau saja yang menjadi juru bicara. Bawa wartawan itu ke ruanganmu. Aku mal
Deondra beranjak dari kursinya setelah memeriksa beberapa berkas. Jam masih menunjukkan pukul sebelas siang, saat dia berjalan menuju sofa panjang yang ada di ruangannya. Membaringkan tubuhnya di sana, Deondra melamun, menatap lurus kearah langit-langit."Apa yang akan terjadi padaku di masa depan?" Pertanyaan konyol keluar dari mulutnya, lalu dia tertawa sesaat."Alrix sialan, dia sama sekali tidak datang ke ruanganku. Hah, dia mungkin lelah melihatku," ujarnya pelan, menyedekapkan tangannya di dada.Bayangan Anne timbul di atas langit-langit, seakan tersenyum padanya. Juga di susul potongan-potongan kejadian masa lalu yang silih berganti. Tentang Anne yang memintanya untuk segera melamar, kecelakaan yang menimpa orang tuanya, kematian, hingga saat dia mengiring pemakaman dengan air mata yang tak bisa di hapusnya dari wajah.Deondra menghela napas, membiarkan air matanya mengalir membasahi pipi. Dia memang seorang lelaki, tapi di ting
Arinda mendorong troli, memasuki bagian yang berisi sesak kebutuhan rumah tangga. Di belakangnya Jenika ikut berjalan, memegang kertas panjang yang di berikan oleh kepala pelayan. kertas itu bertuliskan bahan-bahan dapur yang mereka butuhkan. Sudah satu jam lebih mereka belanja, memastikan lagi tak ada yang tertinggal ataupun terselip hingga rela berputar-putar mengelilingi area perbelanjaan."Nah, ini sudah." Jenika meraih satu botol bahan makanan kualitas terbaik, memasukkannya ke dalam keranjang dan mencoret kertas yang di pegangnya."Lagi?" Arinda bertanya yang langsung di balas anggukan oleh Jenika."Bagian daging, aku lupa mengambil daging cincang dan juga udang. Ayo, Beb."Arinda tertawa kecil mendengar panggilan dari Jenika. Sesaat dia melupakan kesedihan yang menimpanya, asyik mendorong dan membawa troli itu berputar-putar, mengikuti kemanapun Jenika berkata.Sebenarnya kakinya yang memakai high heels itu sudah ter
Masih memperhatikan gerak-gerik pelayan cantik itu, Deondra mencoba berdamai dengan hatinya yang bergemuruh. Dia tak boleh terlihat cemburu, pasalnya dia memang belum tentu cemburu. Dia hanya merasa kesal dan itu entah apa penyebabnya. Deondra berdecih saat Alrix berjalan mendekati mobil. Di lihatnya lagi Arinda yang sudah tak ada di sana, sudah pergi menaiki mobil saat Deondra mengalihkan pandangannya sesaat. "Sedang apa gadis sialan itu? Apa dia baru saja menggoda seorang pria?" Deondra bertanya datar, sesaat Alrix memasuki mobil. "Tidak Tuan." Alrix memakai seatbelt, lalu menyalakan mobil. "Dia bertemu dengan teman seperkuliahannya. Temannya itu heran kenapa Arinda tidak pernah ada di kampus lagi selama dua bulan ini." Alrix melihat Deondra dari kaca, melihat raut malas Deondra yang sudah kembali normal. "Tadi dia sedang belanja, sewaktu berdiri tadi Arinda sedang menunggu Jenika mencari mobil. Jadi pertemuan itu tak di seng
Deondra bangkit bersama dengan insinyur pertanian yang baru saja bertukar pendapat dengannya. Melangkahkan kaki, sepatu pantofel crocodile miliknya sudah mulai terkena tanah yang di pihaknya, tapi Deondra tak terlalu mempedulikan hal itu dan tetap melangkah.Dihadapannya ratusan hektare lahan perkebunan teh mulai berproduksi. Hembusan angin yang turun dari lereng bukit di sebelah timur terasa menyejukkan. Saat Deondra menghirupnya, dia seakan menemukan separuh jiwanya yang sempat terbenam."Cih, aku benar-benar bisa melupakan kemarahanku setelah sampai di desa ini." Deondra bergumam, masih berdiri di dataran yang lebih tinggi, menatap kearah bawah untuk memperhatikan para pekerja yang mulai mengolah tanah.Saat sampai tadi, dirinya langsung merasakan aura kesejukan yang tak pernah di rasakannya di kota. Saat pertama kali menginjakkan kaki, keteduhan tempat ini sama seperti dia melihat pancaran mata dari Arinda.Ah, Arinda. Rasanya
Sepeninggal Arinda mulut Deondra masih terkatup rapat. Sama sekali dirinya tak menyangka, bahwa gadis yang lemah lembut dan juga anggun seperti Arinda, bisa bicara seperti itu padanya.Menatap mangkuk yang disiapkan Arinda untuknya, asap tipis masih mengepul di atasnya. Tangannya mulai meraih sumpit dan menjepit satu potong daging yang ada di sana."Apa dia bilang tadi? Karma?" Deondra berkata santai, menatap potongan iga yang di angkatnya dari mangkuk. "Aku tidak akan terkena karma, siapa yang berani melakukannya padaku?"Senyum miring tercetak di wajahnya, sebelum akhirnya Deondra menyantap potongan daging yang di pegangnya itu. Empuk, rasa daging yang sudah di kunyahnya terasa enak. Tak pernah Deondra menyantap makanan seenak ini, walaupun hati dan egonya menyangkal ucapan pujian yang akan di keluarkannya."Lagipula soal ketampanan dan juga kekayaanku, kita lihat saja sampai kapan dia mampu bertahan jika aku terus menerus membua
Arinda membuka ikat rambutnya saat sudah sampai di kamar. Menggerakkan leher, tulangnya berderak pelan, hingga dia mengusapnya lega."Dia mengingat kejadian malam itu rupanya," ucapnya seorang diri, lalu memutar tubuh untuk mengunci pintu kamar. "Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu padaku, tidak punya harga diri," lanjutnya, kemudian menghela napas.Berjalan menuju handuk, Arinda meraihnya dan mulai berjalan ke kamar mandi. Di dalam, dirinya masih terus berpikir tentang antisipasi yang akan dia lakukan jika Deondra tetap berulah."Kau tidak mendatangiku setelah malam itu? Kenapa?"Pertanyaan dengan nada lembut dan sedikit menjijikkan dari mulut Tuan Mudanya terngiang, membuat Arinda berdecih jijik sekaligus geram."Dia kira siapa dia? Sampai aku harus mendatanginya setelah dia merenggut kesucianku. Lalu, jika benar aku mendatanginya, aku harus bersimpuh lagi di bawah kakinya? Cih, cukup sekali. Hal itu takkan pernah terjadi
Di rumah sakit, para dokter sudah bersibuk ketika melihat pergerakan kecil dari pasien di kamar nomor dua belas. Awalnya seorang suster lelaki tengah membantu membersihkan tubuh pasien itu, namun dia tak sengaja menjatuhkan washlap. Ketika berusaha meraihnya, suster langsung memposisikan dirinya separuh berjongkok karena washlap itu ada di lantai di bawah lantai. Sesaat ketika mencoba meraih washlap, sebelah tangannya yang bersangga di pinggiran ranjang seakan di sentuh oleh tangan yang basah. Hal itu sukses membuatnya kaget, hingga akhirnya suster yang sudah meraih washlap itu langsung menegakkan tubuhnya dan melihat dengan jelas pergerakan tubuh bagian tangan dari pasien yang sudah koma hampir tiga bulan. Tanpa pikir panjang, suster itu langsung berlari keluar dan melaporkan apa yang di lihatnya pada dokter.Pemeriksaan ulang di lakukan untuk mengetahui kondisi dari pasien. Setengah jam melakukan pemeriksaan, akhirnya Dokter itu menghela napasnya pelan. "Ada sedikit k