"Jangan terlalu lemah, Arinda. Itu hanya akan membuatmu jatuh dan semakin terpuruk!"
Mengacuhkan ucapan Tuan Muda nya, Arinda mendongak menatap langit-langit mobil. Tangan kanannya masih meremas dadanya, seakan mengurangi rasa sakit.
Dia pernah mendengar sebuah kalimat. 'Jangan pernah berhenti berharap, berharaplah, jadikan harapanmu itu sebagai sebuah keyakinan yang akan membawamu pada kebahagiaan. Kita memang tak bisa mencegah sesuatu yang buruk terjadi, mungkin masa lalumu buruk, hancur dan gelap tanpa sinar. Tapi yakinlah, di balik sebuah musibah pahit akan datang sebuah hikmah dan juga kebahagiaan di masa depan. Melangkahlah, gapai masa depan itu dengan mimpi dan harapan yang kau genggam.'
"Anda yang membuat separuh dari kelemahan yang saya rasakan ini," ucapnya pelan, tapi itu berhasil membuat mulut Deondra bungkam.
Entah mengapa, setiap kali Arinda melayangkan ucapannya tentang kejadian di malam itu. Deondra seakan kehilangan kepe
Kepala pelayan memberikan obat di tangan Arinda dan juga bibirnya. Tak peduli gadis muda itu meringis, yang pasti luka di punggung tangannya cukup parah dan harus di obati agar tidak infeksi. Menekankan kapas berisi alkohol, lalu menutupnya dengan kain kasa dan plester. Sesudahnya, dia bangun dari duduk dan menatap wajah Arinda yang sembab oleh air mata."Mandi atau ganti pakaianmu, Arin. Kau bisa beristirahat setelahnya," ucapnya sambil menutup kotak obat itu dan berniat pergi."Kepala," panggil Arinda lirih membuat kepala pelayan itu terhenti."Maafkan saya, saya selalu tidak profesional dalam beberapa bulan ini. Tolong, jangan berniat untuk memecat saya. Saya mohon," ucapnya patah-patah, Arinda merasa amat bersalah beberapa hari ini.Semenjak di malam dia mengalami kejadian menyakitkan itu, dari sanalah Adinda tak pernah lagi fokus dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Terlebih saat dia mendapati Deondra yang seakan memperhatikan ge
Deondra berbalik, menatap Alrix dengan tatapan tajam. "Aku harus memiliki alasan yang kuat untuk melakukan hal itu, kau tahu?!" tukasnya kesal.Dalam hatinya, dia ingin tapi dia sadar itu takkan mudah."Oh ya? Alasan seperti apa?" Alrix bertanya, menutup tirai tempatnya mengintip ketiga orang yang tengah berpelukan itu. "Jika Anda tidak keberatan, saya bersedia membantu," tambahnya dengan di tambahi bubuhan senyum kecil di sana.Deondra terdiam, lalu menghela napasnya kasar. "Itu tidak perlu bantuan siapapun. Karena kalau memang terjadi, maka itu akan terjadi. Sudahlah, aku lelah. Aku akan beristirahat dan memikirkan hal apa yang akan kulakukan pada selebriti ceroboh itu."Berbalik lagi, Deondra menggelengkan kepalanya sejenak. Pemikiran yang terlintas di kepalanya tadi, benar-benar tak pernah di bayangkannya sebelumnya."Menikah dengan Arinda? Sepertinya hal itu akan sulit terjadi," ucapnya pelan, mulai melangkah kearah tan
Arinda menganggukkan kepalanya. "Kenapa, Om?"Jackson tersenyum aneh mendengar pertanyaan Arinda. "Tidak apa-apa," balasnya seakan menyimpan rahasia."Sampai kapan kamu akan bekerja di rumahnya?" tanya Jack, sengaja mengalihkan pembicaraan."Emm, sampai ayahku bangun. Ya, setidaknya sampai semua biaya pengobatannya selesai, ayah bisa melakukan kegiatan seperti biasanya dan juga tabunganku untuk merawatnya cukup. Arin juga tidak tahu kapan, Om.""Kamu tidak mau berhenti? Mencari pekerjaan lain, begitu?"Gadis itu tersenyum kecut, mencoba menenangkan hati tentang semua yang tadi dipikirkannya. "Mana ada yang mempercayai Arin lagi sejak tuduhan plagiat itu," ucapnya pelan.Jack terdiam, sedikit membenarkan ucapan Arinda. "Kamu benar juga. Tapi, bagaimana bisa kamu melamar pekerjaan di kediaman Jefferson? Apakah tidak ada yang mengetahui tentang masalahmu?"Arinda diam sejenak, terbayang lagi tent
Meraih jas dari dalam lemari, Deondra memakainya ogah-ogahan. Di pikirannya hanya ada gadis itu, juga di hati, pelupuk mata dan juga mimpi. Sudah hampir tiga hari dia tak melihatnya, hanya mendengar kabarnya. Gadis bersurai bersurai cokelat dengan rambut bergelombang itu tak lagi dia lihat di hadapannya. Dia merasa ada yang kurang, seakan apa yang di jalaninya tiga hari ini, tak sama dengan yang di lalui beberapa bulan ini.Mendesah kesal, Deondra menatap cermin di hadapannya dengan malas. "Kapan dia akan pulang? Aku sudah lama tidak melihat senyuman lebarnya itu," ujarnya sambil menarik napas.Menggelengkan kepalanya, Deondra berusaha menenangkan isi kepalanya yang penuh dengan bayangan Arinda. Dia merindukan gadis itu, bahkan dia sadar tentang rasa kerinduan itu. Kali ini dia tak bisa menahannya, menahan isi hatinya yang bergejolak tak biasa. Dia sadar, sedikit banyak di dalam hatinya sudah ada cinta yang tersemat untuk gadis itu. Hanya saja, dia terlalu
Arinda turun setelah mereka memarkirkan sepeda di dekat tiang listrik. Tak jauh dari sana, sekeluarga pencari barang bekas tengah terduduk di atas trotoar jalanan. Mendekati mereka, Arinda tersenyum seraya mengulurkan bungkusan makanan yang langsung membuat lelaki paruh baya itu tersentak."Permisi, Pak. Ini ada sedikit makanan untuk Bapak, di terima, ya?" ujarnya membuat lelaki paruh baya itu menerimanya dengan tangan gemetar."Terimakasih, terimakasih, Nona. Semoga rezekinya bertambah luas," ucapnya diikuti oleh anak dan istrinya.Arinda tersenyum ramah, balas membungkuk sebelum membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi. Walaupun memakai uang Tuan Mudanya, entah mengapa hatinya bahagia bisa berbagi dengan seseorang yang membutuhkan. Menghampiri Reta, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Meninggalkan Alrix yang berada di dalam mobil, tak jauh dari sana."Arinda? Memberi makan orang lain?" batinnya sambil melepas kaca mata cokelat
Arinda melihat kartu nama itu, lalu menatap poster besar di atas gerbang perumahan mewah yang di datanginya. Dia ragu, bagaimana kalau harganya mahal?"Reta," panggilnya sambil memasang wajah imut.Reta yang masih menaiki sepeda menatapnya, lalu menaikkan dagu sebagai penanda tanya.Arinda menampilkan deretan giginya. "Aku yakin di sini mahal. Jadi, karena aku lupa membawa uang, pakai uang kamu dulu sesuai dengan yang kita sepakati. Tapi-"Arinda tak melanjutkan ucapannya, dia ragu. "Tapi apa, Arin? Perumahan ini lebih cocok untukmu. Tempatnya cukup asri dan dekat dengan jalan besar yang ada toko dan warung-warungnya. Yang tadi sedikit terpelosok, lebih baik yang ini saja," ujarnya sambil memarkirkan sepeda."Aku tahu," balasnya merengut. "Tapi, kalau sewanya mahal bagaimana? Aku 'kan tidak bawa uang sama sekali," ucapnya dengan mencebikkan bibir.Reta berdecak pelan, lalu menarik tangan Arinda dan membawa
Beberapa hari lagi setelah menyelesaikan apa yang dia butuhkan, Arinda memutuskan untuk pulang ke rumah Deondra. Dia sudah terlalu lama di luar, bagaimanapun dia masih berstatus pelayan. Dia tetap merasa tidak enak jika berlama-lama meninggalkan tanggung jawabnya yang besar."Kamu sehat?" Mommy Reta bertanya, menatap wajah Arinda yang tak secerah biasanya."Sehat, Tante. Terima kasih sudah menerima Arin beberapa hari ini. Lain kali Arin akan datang lagi," ucapnya sambil memeluk Frianca, Ibu Reta.Frianca balas memeluknya, menepuk tulang belikat Arinda lembut. "Kabar itu sudah sedikit reda, kamu tidak lagi menjadi bahan pergunjingan orang-orang. Sekarang kabar tentang Denastry yang masih hangat, entah kemana selebriti itu pergi melarikan diri," ucapnya sambil melepas pelukan.Arinda terdiam, tapi senyum terbit di bibirnya. "Biarkan saja, Tante. Mudah-mudahan Tante Dena menyesapi kesalahannya dan juga memaafkan Arin. Kami berdua tida
Deondra duduk di atas sofa menunggu Arinda. Melihat perjuangan gadis itu untuk membeli obatnya, rasanya semua rasa sakitnya hilang. Dia sembuh saat menatap wajahnya dan mendengarkan suaranya. Di tambah lagi gadis itu berlari hanya untuk membelikan obatnya. Deondra tak tahu. Apakah ini adalah sebuah perasaan khawatir? Atau hanya sekedar tanggung jawab Arinda untuknya sebagai pelayan kepada majikan?Suara mobil terdengar di bawah sana, membuatnya beranjak dan kembali membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Menatap pintu, dia menunggu Arinda datang dan kembali merawatnya.Suara ketukan di susul terbukanya pintu, Deondra menatap wajahnya yang terlihat berkeringat. Bahkan ada bekas bercak darah di lututnya."Darimana kau?" tanyanya pura-pura tidak tahu.Arinda menghela napasnya sejenak. "Apotek, Tuan Muda. Em, ini obat pereda demam untuk Anda," ucapnya sambil menyodorkan satu kantung plastik putih berlogo apotek ternama.Saa