Share

BAB TIGA~I can see you

BAB TIGA

I can see you

STEVANO INTERNASIONAL , NYC | USA. At 09:15 AM.

"Kau sudah menemukannya?"

Alby berjalan dengan langkah panjang memasuki gedung Stevano lengkap dengan ponsel yang menempel di samping telinga. Setelan abu-abu di tubuhnya begitu menggoda untuk jamah, membungkus otot-otot tubuhnya yang keras dari balik kemeja. Dasi bercorak yang menggantung di lehernya nampak serasi dengan Rolex silver yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Sesekali tak sedikit ada beberapa pegawai yang menyapanya, sementara yang lain hanya menunduk begitu Alby melewati mereka. Iris matanya berpendar, tampak dingin hingga aura kewibawaannya terpancar semakin jelas.

"Aku tidak mendapat apa pun. Sebenarnya kau bertemu dengan wanita itu di mana? Sungguh merepotkan." gerutu seseorang di ujung telepon.

"Aku memintamu mencari tahu bukan bertanya padaku."

"Riwayat hidupnya bahkan sama sekali tidak ada. Kosong. Aku sempat mengira kau salah mengingat orang jika saja tidak menemukan sebuah foto dalam akun salah satu temannya."

Setelah sukses membuat Alby penasaran, perempuan yang tidak ia ketahui namanya itu menghilang begitu saja. Tanpa jejak, dan tanpa tanda-tanda. Sial! Sebenarnya siapa wanita itu? Berhasil mengacaukan pikirannya dan wanita itu tidak dapat di temukan. Ataukah dia sengaja? Supaya tidak dituntut?

Well, padahal Alby juga tidak berniat untuk itu. Dia murni ingin tahu karena rasa penasaran, bukan untuk mengganti rugi.

Melalui Logan hywell. Alby mengatakan padanya untuk segera menemukan wanita di kelab malam waktu itu. Sampai saat ini bahkan Logan kesulitan mendapatkan datanya. Perusahaan Hywell enterprises holdings adalah perusahaan data terbesar dan terpercaya di New York. Tapi sekali pun begitu, mengapa secuil informasi wanita itu sama sekali tidak dapat di temukan?

Alby tidak pernah mengira jika mencari tahu sosok wanita sepertinya sangatlah merepotkan. Dan, jika Logan saja kesulitan kemungkinan dia bukan orang biasa.

"Tiga hari. Aku tidak mau tahu dengan cara apa kau mendapatkannya." klik.

Alby memutuskan panggilan sepihak tanpa menerima bantahan. Tegas dan arogan. Begitulah sosok seorang Albyazka. Dan jika di pikir kembali ... Ini kali pertama dirinya mengambil tindakan untuk mencari tahu seorang wanita.

Huh, sejak kapan Alby peduli terhadap wanita selain keluarganya? Sangat bukan dirinya.

"Bagaimana penggantinya?" Alby bertanya pada seorang yang setia berdiri di belakangnya tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya.

Jean Thompson selaku tangan kanan Alby menunduk sekilas. "Kami telah menyeleksi beberapa, kemungkinan hari ini kami akan merundingkan."

"Bawa datanya ke ruanganku. Aku akan memilih sendiri."

Kening Jean mengerut. "Maaf?"

"Kau mendenggarnya, Jean." Alby berjalan masuk begitu Jean membuka pintu ruangannya. Punggung tegap Alby terlihat sangat berwibawa ketika sampai di kursi kebesarannya. Alby benar-benar terlihat seperti singa penguasa. Kuat dan tangguh.

Jean masih setia berdiri tegap di tempatnya, terlihat ragu-ragu. "Maaf jika saya lancang, Sir. Mengapa Anda bersikeras ingin memilihnya sendiri? Anda tidak harus mengambil tindakan hanya untuk masalah ini."

Sontak, pertanyaan Jean menghentikan kegiatan Alby. Pria itu sejenak mengalihkan pandangannya, menumpukkan dagu di antara simpul jemarinya. "Terakhir kali, aku sempat kecewa dengan pilihan kalian. Yang kubutuhkan adalah sekretaris, bukan wanita penggoda."

Melihat kilas balik beberapa bulan setelah pergantian sekertaris, Alby sempat di buat kesal dengan kecentilan lengkap dengan gaya pakaian kurang bahan yang di pakai mantan sekertaris lama untuk bekerja. Alby masih normal tapi dia sangat disiplin jika itu perihal pekerjaan. Alby seorang yang tidak mudah disentuh bahkan, cenderung menghindari makhluk jenis wanita selain keluarganya.

"Maafkan kami, Sir."

Alby mengibaskan tangannya sebelum kemudian kembali membaca berkas-berkas di tangannya. "Lupakan, lagipula itu sudah berlalu."

"Apa Anda sudah melihat proposal dokumen yang di kirimkan pihak Lau group, Sir?"

Sebelah alis Alby naik. "Mengenai pembangunan resort di Barcelona?"

"Benar. Saya telah mengirimkan kontrak sesuai keinginan Anda dan mereka menyetujuinya." jelas Jean pada intinya, tanpa berbelit.

Alby hanya menganggukkan kepala. Pandangannya tidak teralih, terus membaca berkas-berkas di tangannya secara bergantian.

Lima detik.

Sepuluh detik.

"Atur pertemuan dengan pihak Lau group secara terbuka. Paling lambat satu minggu. Dan—Wait...."

Ucapan Alby menggantung, membuat Jean segera mengangkat wajah.

"Ada yang salah, Sir?"

Alby masih diam sembari membolak-balikan berkas yang di pegangnya. Tatapannya fokus—terlihat serius. Perlahan senyumnya terbit. Lebih menyerupai seringaian. Melihat itu Jean berkedip dua kali.

Aku bahkan hampir lupa kapan terakhir kali melihat senyum tuan muda. Ucapnya dalam hati.

Sebuah map terangkat ke atas. "Ini?" tanya Alby memastikan.

"Data pelamar kerja. Kemarin sebelum pulang saya menaruhnya di sana."

"Kemari,"

Lantas, Jean bergegas mendekat. Ia berdiri tepat di samping kursi Alby sambil mencuri pandang berkas yang tengah Alby lihat. Untungnya, pada saat yang sama Alby menyerahkan berkas itu padanya hingga Jean tidak perlu lagi mengintip.

"Hubungi dia untuk mulai bekerja besok."

"Besok?" ulang Jean.

"Kenapa? Ada masalah?"

Jean menggeleng pelan, mengulas senyum sopan. "Saya akan segera menghubunginya." jawabnya kemudian undur diri.

"Jean?" panggil Alby.

Langkah Jean terhenti. Ia menoleh sambil bertanya. "Ya?"

"Pastikan kau mendapatkannya besok."

"Yes, Sir."

 ***

Sebelah alis Alessia terangkat. Menatap Arabella bertanya. "Gagal, huh?"

Anggukan kepala Arabella sejenak membuat suasana senyap. Wajah tirusnya terlihat lesu, tampak tidak bergairah. "Mau bagaimana lagi? Mommy sedang tidak sehat. Aku tidak punya alasan untuk menolak ajakan Daddy."

Velove meraih ponselnya sambil menyesap americano icenya. "Hanya mundur sehari. Itu bukan masalah besar." katanya dengan nada suara santai, seakan benar mengatakan bukan masalah besar. Well, mereka sudah sering berkumpul dan minum-minum bersama, tentu saja hanya memundur waktu bukanlah sesuatu yang mengganggu.

"Aku sih, tidak masalah." balas Keira tidak peduli.

"Padahal aku ingin menari sampai pagi." keluhnya.

Arabella mengaduh begitu satu jitakan mendarat sempurna ke keningnya. Matanya memelotot pada Keira yang di balas dengan cengiran tanpa dosa.

"Sampai pagi? Omong kosong! Paling-paling kau akan lebih memilih memburu pria tampan dan kaya yang bisa kau kencani." cibir Keira, membuat Arabella sontak tertawa geli di tempatnya.

"Satu minggu tanpa berganti pria dia akan merasa jelek esoknya." tambah Alessia yang mengundang tawa seisi meja.

Lagi-lagi, di mana pun mereka berada keberadaan mereka selalu saja mencuri perhatian pengunjung lain. Sikap mereka yang hangat membuat sekitar dapat merasakan bagaimana keakraban mereka. Saling mengejek hingga membuka aib masing-masing, melempar pujian dan makian hingga perdebatan kecil. Semuanya mereka lakukan dalam satu waktu ketika berkumpul bersama.

Tidak ada yang berubah. Tidak dulu atau pun sekarang. Semuanya masih sama meski sudah memasuki fase dewasa.

Bukankah arti dari sebuah kebersamaan memang seperti ini? Bukan perkumpulan yang hanya sebatas bertemu lalu menyibukkan diri dengan gadget.

Arabella tersenyum congkak, melirik Keira mengejek. "Setidaknya aku benar bersenang-senang. Tidak sepertimu," balasnya mencibir.

Tawa ringan kembali memenuhi meja. Keira mengacungkan jari tengah sambil mengumpat pelan. "Fuck you, Ara."

Uknow is calling...

Satu alis Alessia terangkat, ia meraih ponselnya dan meletakkan di samping telinga setelah menggeser tombol hijau.

"Hallo...."

"Dengan Nona Alessia Mikhayla? " sapa suara berat dari ujung sambungan.

Alessia mengendikkan bahu begitu tatapan ingin tahu Girls Knight terarah padanya. "Ya, saya sendiri." jawabnya dengan nada suara tenang.

"Saya perwakilan dari STEVANO internasional ingin menginformasikan kabar baik mengenai lamaran kerja yang anda kirimkan. Anda di terima dan di mohon untuk membawa kelengkapan data lainnya besok pagi. "

Senyum lebar Alessia tersungging. Mata birunya berkilat senang. Hal itu sontak kembali memacu keingintahuan mereka. Menatapnya dengan tatapan menyelidiki. "Benarkah? Secepat itu? Baik, saya akan membawanya besok. Terima kasih." katanya mengakhiri panggilan.

Alessia meletakkan ponsel ke atas meja sembari mempertahankan senyum di bibirnya. Pendar semangat memenuhi wajahnya, sangat kentara jika dia sedang dalam keadaan senang.

"Siapa?"

"Ada apa denganmu?" tanya Keira dan Arabella bersamaan.

Sementara kedua temannya sibuk melemparkan pertanyaan. Velove sendiri terlihat acuh—tidak peduli dan hanya diam mendengarkan sembari memainkan game di ponselnya.

"Yeah, Sudah pasti dia tengah mendapat buruan baru. Jika tidak mana mung—"

"Bukan." Alessia menyela cepat. Nada semangatnya masih terdengar layaknya seorang anak yang baru saja mendapat mainan baru. "Kali ini bukan itu. Aku sudah berhemat beberapa hari terakhir."

Satu alis Keira terangkat. "Dan kau merasa bangga? "

"Tentu saja," Alessia mendengus. Merasa tidak senang dan balas mencibir Keira pelan. "Itu rekor baru yang bisa kucapai."

"Oke, aku malas berdebat denganmu. So, hal apa yang membuatmu tersenyum lebar selain koleksi brandedmu?"

Alessia menatap mereka bergantian, lalu berhenti pada Arabella. "Aku sudah menghubungi kartu nama yang pernah kau berikan." Katanya dengan senyum yang masih terpatri di sana.

Ah, ini...

Arabella meletakkan gelasnya kembali ke meja. "Well, kalau begitu sudah pasti kau di terima, bukan begitu?"

"Tentu. Lagipula siapa yang bisa menolakku?" sombongnya.

"Jika bukan karena aku, kau bisa saja jatuh miskin dalam waktu dekat." lirikan sinis Arabella tampak jelas. "Jangan sombong di depanku." katanya mencibir.

Senyum Alessia masih terpatri. Mengabaikan cibiran Arabella dengan kembali menjawab dengan nada songongnya. "Aku sombong karena memang ada hal yang bisa kusombongkan, Ara. Lalu, apa masalahnya?"

Arabella mengibaskan tangan tak acuh. "Terserah. Kau bisa melakukan apa pun yang kau sukai. Aku tidak peduli." dengus Arabella kesal.

Alessia hanya terkekeh pelan sembari meminum minumannya sendiri. Sementara Velove yang sudah selesai dengan game di ponselnya mengalihkan atensi pada Alessia.

"I feel happy to hear that too. But, until when are you going to keep running, Ale?"

Seketika Alessia menoleh kearah Velove yang tengah memperhatikannya lekat-lekat. Senyumnya berganti menjadi satu garis. Wajahnya pun tampak datar—tanpa emosi. Namun, sungguh ... Pertanyaan yang Velove ajukan sanggup membuat Alessia membatu di tempat.

"Sudah lebih dari setahun, kau tidak berpikir akan terus menghindar, bukan?" tanya Velove lagi.

Keira dan Arabella lebih memilih diam, menyimak. Di antara mereka memang Velove-lah yang paling pengertian. Segala hal yang dia katakan entah mengapa selalu tepat dan sanggup membuat mereka kehilangan kata di saat-saat seperti ini. Dan itu sudah berlangsung lama bahkan, sudah sejak dulu selama mereka telah saling mengenal satu sama lain.

Mom in the geng. Julukan itu terasa sangat pantas untuknya.

"Aku tidak tahu, Vee. Keadaan ini membuatku terbiasa."

Tatapan Velove melembut. Ia tersenyum, tampak maklum sekali pun dia bersikeras meminta Alessia untuk memperbaiki hubungannya dengan keluarga. "Kau tidak akan selamanya melarikan diri, Ale. Kau bisa kembali dan membicarakan hal itu baik-baik."

"Tidak akan ada hal baik jika kami bicara, Vee. Mereka perlu disadarkan. Dan aku tidak akan menyerah sampai akhir." tegasnya.

Velove sendiri hanya menganggukan kepala seakan mengerti. Tidak berniat mencampuri kehidupan pribadi Alessia atau bahkan memaksa Alessia membuat keputusan. Tidak setelah ia sendiri juga turut merasakan bagaimana rasanya dipaksa oleh pilihan dan keadaan.

Rumit sekaligus membingungkan.

Siapa saja akan mudah menasihati ketika kita mendapat masalah. Bisa mendadak menjadi penasehat yang bijak untuk orang lain tetapi jarang yang bisa menerapkannya untuk dirinya sendiri.

Arabella menatap Alessia sambil menopang kedua pipinya dan berkata, "kalian sama keras kepalanya. Aku bahkan tidak bisa menebak siapa yang akan meminta lebih dulu." sahutnya menimpali. Mereka semua sadar dan tahu seperti apa sifat keduanya. Kalau Alessia adalah pribadi yang keras kepala, sudah pasti keluarganya akan lebih keras. Seperti pepatah yang mengatakan buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.

Alessia mengendik acuh, tidak berminat. "Tentunya itu bukan aku."

"Percaya diri sekali," cibir Keira membuat Alessia mendelik.

"Aku akan membuktikannya. Lagipula, aku sudah bertahan sampai sejauh ini, tidak ada yang perlu dipikirkan."

Hening. Seketika suasana mendadak berat hanya karena menyinggung hal itu lagi. Sesuatu yang memang sejak lama Alessia hindari. Sejauh mengenai keluarga, pastinya akan membuat siapa saja enggan membahas jika bukan sesuatu yang menyenangkan dan dapat di banggakan. Bukan begitu?

"Kapan kau akan mulai bekerja?"

Suara Arabella memecah keheningan. Setidaknya, itu sedikit membantu mencairkan kembali suasana yang tiba-tiba saja sesak.

Alessia kembali menyesap minumannya sejenak baru kemudian menjawab, "besok,"

"Bagaimana dengan Girls Knight?"

"Apanya yang bagaimana?" Alessia menopang sebelah pipi sambil mengaduk-aduk Matcha teanya. "Aku perlu lebih banyak pemasukan untuk menutup pengeluaranku, Kei." Katanya meminta pengertian.

"Lalu, bagaimana kalau kita mendapat misi sementara kau sudah bekerja di tempat lain?"

"Tidak ada yang bagaimana," senyum Alessia muncul. Ia menarik napas pelan. "Aku mendapat pekerjaan baru bukan berarti meninggalkan kalian. Hanya sampingan, seperti Ara. Kau tahu? Aku membutuhkan uang lebih untuk kebutuhanku selama kita libur dalam misi. Dan pastinya, aku masih bisa membagi waktuku dengan baik."

"Tidak belanja satu minggu saja dia menganggapnya puasa." Velove mencibir, menggeleng pelan begitu Alessia memukulnya main-main. "Dia mungkin akan menjadi mumi ketika bisa melihat tanpa bisa membelinya. Jiwanya akan terbakar."

Lantas, tawa riuh kembali memenuhi meja. Kadang-kadang, bersama Girls Knight lebih banyak mendapat celaan dari pada motivasi. Menyebalkan, tapi mereka tetap saling peduli.

"Jangan lupakan fashion show di Los Angeles bulan depan." tambah Arabella membuat Alessia mendesah panjang.

Benar, itu adalah target besarnya dalam berburu koleksi baru. Hanya tinggal menghitung mundur atau dia benar-benar akan kehilangan kesempatan. Untuk itu, Alessia membutuhkan banyak uang menunjang keinginannya.

Sepertinya, Alessia lebih bisa dikatakan seperti di kendalikan nafsu dan ego sosialitanya yang tinggi. Sekali pun begitu, Alessia sama sekali tidak merasa menyesal.

"Well, berhenti membuatku kesal. Intinya aku tidak akan meninggalkan Girls Knight meski pun aku punya pekerjaan. Jelas?"

Mereka saling bertukar pandang sebelum kemudian menjawab serentak. "Tidak."

"Sialan!"

HOPE YOU LIKE! 

Aku berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian, mohon untuk selalu support aku terus. Dengan cara like, coment and follow Ya!

Biar makin greget .. Ajak juga teman-temanmu, saudara, pacar, tetangga, kenalan atau bahkan mantanmu untuk baca babang Al dan qaqa Ale. Sekalian juga kalian bisa share ke wa, i* story, F******k, Twitter ataupun postingan kalian yang lain. Ajak mereka join bareng kamu disini!

Sebelumnya Aku ucapkan terima kasih sangat atas partisipasi dan keikhlasan klean klean klean semua. 

TANGKYUUU and LOVE U DEAR 💐

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status