Share

BAB DUA~It won't end here

BAB DUA

It won't end here

Marquee nightclub. New York, USA | At 9:46 PM.

Hingar-bingar musik dj mendengung, memenuhi ruangan yang temaram di bawah lampu kerap-kerlip di atas sana. Alunan musik masih menghentak keras, lengkap dengan tarian erotis di lantai dansa.

Pandangan Alessia menggedar, muak dan kesal mendominasi begitu tatapannya tidak sengaja menemukan orang-orang yang tengah bercumbu di sudut ruangan, kumpulan perempuan bergaun minim yang tengah menemani pelanggan dengan minuman, sementara beberapa yang lain hanya sekedar minum-minum seperti yang tengah Alessia dan teman-temannya lakukan.

"Ada apa denganmu?"

Teguran Velove mengalihkan atensi Alessia, perempuan itu hanya mengendikkan bahu sambil kembali menyesap anggurnya. Sejujurnya Alessia masih memikirkan kejadian siang tadi. Harinya yang indah mendadak mendung hanya karena seorang pria yang bahkan sama sekali tidak di kenalnya. Sialnya lagi ... Itu adalah ciuman pertamanya. Dan pria gila itu mengambilnya.

Marah dan kesal masih memenuhi dirinya bahkan setelah dia menghabiskan lima gelas anggurnya. Rasanya, Alessia bahkan tidak akan pernah puas hanya dengan mengumpatinya saja.

Mengapa tadi dia hanya menampar pria itu? Harusnya kan dia bisa lebih agresif lagi. Kalau tahu rasa kesalnya akan mmebengja seperti sekarang ini, Alessia pasti sudah memilih untuk menuntutnya saja.

Bukankah mencium tanpa seizin orangnya merupakan pelecehan? Ya, seharusnya begitu. Tetapi… ah, sudahlah.

"Aku bosan," seruan Keira menarik perhatian ke-tiganya. Tatapannya berubah sendi, sementara senyumannya berubah menjadi satu garis. "Sudah lebih dari setahun, tapi aku masih begini-begini saja." gerutunya malas.

Fakta tentang seorang Keira Sashenka ini memang belum ada yang tahu selain Girls Knight. Perempuan yang sudah melewati tahun ke dua puluh limanya itu masih belum bisa menemukan seseorang yang mampu membuatnya benar-benar basah.

Kekehan Arabella mengudara. Perempuan itu tetap tersenyum sekali pun binar matanya menunjukkan rasa kasihan. Lebih mirip seperti tengah mengejek. "Kita semua sama, Kei. Bedanya, kami bisa dan kau tidak." Katanya dengan nada humor.

"Sialan!" Arabella mengaduh begitu satu tinju melayang ke atas lengannya sebelum kemudian tawanya meledak. Melihat kegelian dari tatapan mereka membuat Keira kesal setengah mati. Demi Tuhan, masalah dirinya bukanlah sesuatu yang main-main. Ini menyangkut harga diri dan masa depannya. "Kau tahu sendiri masalahku sulit menemukan jalan keluar." desisnya tidak minat.

Velove menyenggol bahu Keira, berbisik cukup keras untuk bisa mereka dengar. "Lain kali kita coba lagi, bagaimana?" katanya dengan kedua alis yang naik turun.

Sontak, Keira memelotot. Ia mendelik dengan garang. "Tidak mau! Terakhir kali kalian membantuku, aku hampir kehilangan selaput daraku." sergahnya tidak setuju. Menolak terang-terangan usulan Velove.

“Tidak mau ya, sudah.” Balas Velove cuek. “Yang penasaran kan dirimu, bukan kami.”

Benar, Keira Sashenka memang memiliki kelainan dalam melakukan hubungan intim. Girls Knight selalu mencoba membantu tetapi pada akhirnya tetap sia-sia. Keira ... Kehilangan minat dan sulit terangsang. Kalau dalam istilah medis, dia mengalami sindrom Frigid. Kelainan seksual yang tidak sukar mendapat rangsangan meski sudah beberapa kali dia mencoba melakukan therapy.

Dan terakhir kali mereka membantu Keira menggunakan alat bantu, semuanya kacau. Keira bahkan terus memaki setiap kali dia mengingat kejadian itu. Sesuatu yang cukup menyebalkan namun cukup menghibur untuk di bicarakan. Oke, mari lupakan tentang Keira sejenak karena meski mereka bertiga tengah asik mengobrol dan menggoda, Alessia Mikhayla masih diam saja di kursinya. Tatapannya tampak menerawang, melamun di tengah kebisingan.

Apa yang terjadi?

"Satu jam dan kau bahkan tidak basah sama seka—"

"Aku bodoh...." gumaman Alessia menghentikan perkataan Arabella. Ketiganya menatap Alessia aneh, bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya Alessia pikirkan sejak sampai di sini. Pasalnya, biasanya Alessia adalah yang paling semangat kalau sudah urusan minum-minum.

Keira mengangguk setuju, mencibir membenarkan gumamannya. "Kau memang bodoh, Ale." sahutnya santai.

"Shut up your mouth, Babe."

Uwah, Alessia berkata ketus. Sepertinya perempuan itu memang tengah jengkel dengan sesuatu.

Sungguh ... Mengingat kejadian itu kembali membuat Alessia mendidih. Darahnya seakan tengah mengepul di ujung kepalanya. Mungkin kalau dia sedang dalam sebuah kartun, kedua telinganya pasti mengeluarkan asap.

Jujur saja, Alessia tidak terima. Tetapi menyesal untuk sekarang pun sudah percuma. Alessia bahkan tidak mengenal pria asing itu. Mustahil untuk bisa bertemu kembali di New York yang sepadat ini.

Seharusnya Alessia tidak hanya menamparnya saja. Jika waktu bisa diulang kembali, ia akan memilih untuk menghajar lelaki asing itu dengan keras. Sangat disayangkan...

Well ... Lain kali, Alessia harus membuat perhitungan dengan pria gila itu. Harus. Masalahnya, apa mereka akan bertemu lagi?

"Kau membuatku takut," Keira mencebik, menyesap isi gelasnya pelan dengan kening mengernyit. “Tatapanmu bisa membunuh orang.”

"Apa yang terjadi? Sepertinya siang tadi kau masih baik-baik saja."

Alessia mengibaskan tangannya tidak minat. Sama sekali tidak tertarik dengan pertanyaan Arabella barusan. "Bukan apa-apa."

Ketiga pasang mata itu memicingkan mata—menatapnya penuh selidik. Alessia itu responsif, mudah sekali di tebak dan pastinya tidak berbakat menyembunyikan perasaan sekali pun Alessia pandai menyimpan rahasia dirinya dengan baik.

Alessia memperhatikan mereka bergantian, mengembuskan napas panjang sebelum kemudian meninggalkan mereka tanpa sepatah kata. Alessia butuh waktu lebih lama untuk sekadar melupakan bayangan wajah tanpa dosa pelaku yang sudah berhasil mencuri ciuman darinya dua kali. Dua kali! Tolong di garis bawahi.

"Bukankah dia terlihat aneh?" tanya Keira sambil menggeleng pelan, memaklumi.

"Mungkin dia lelah," Velove mengangkat gelas, mengajak mereka bersulang. "Kau mendapat kabar baru?"

Keira mengendik. Tidak peduli. "Masih dalam penyelidikan." Lalu, pandangan mereka beralih. Memperhatikan sekeliling dan memicing begitu mendapati seseorang yang sering menjadi bahan gosip di kalangan para wanita.

Rambut cokelat keemasan itu terlihat rapi dan serasi dengan kaos oblong abu-abu yang terbalut jaket kulit mahal. Wajah tegasnya tetap menonjol paling tampan meski dia tengah berada berdesakan dengan banyak orang di lantai dansa. Benar-benar maskulin yang memikat.

"Kau melihatnya, Babe?"

Keira mengangguk pelan. Masih memperhatikan lelaki tinggi di lantai dansa yang tengah beradu argumen dengan seorang wanita berambut hitam sepinggang. Seorang wanita, huh?

"Siapa?" tanya Velove mengikuti arah pandangan Arabella dan Keira yang terfokus pada satu titik.

"Sulung Stevano. Lihat, dia bersama seorang wanita." jawab Keira.

Arabella menaikkan alis, bertanya. "Apa yang salah dari itu?" balasnya santai. Lalu, tatapannya menyipit. "Sebentar, gadis itu. Wanita yang bersamanya itu Elena Rose, kan? Musisi muda yang sejak awal debutnya berhasil memenangkan piala Oscar?"

"Ah, jadi benar. Pantas saja aku tidak asing dengan wajahnya."

Sementara mereka masih asik menggosip, di belakangnya Alessia baru saja kembali. Perempuan itu bergabung dengan yang lain dan begitu dia mengikuti arah pandangan mereka, seketika Alessia terpaku di tempatnya.

Bedebah gila tadi siang!

"Dari yang kudengar, dia tidak pernah terlihat bersama seorang wanita." Arabella menyesap minumannya sejenak lalu kembali berkata. Yeah, seperti yang kalian tahu. Di usianya yang baru menginjak 27 tahun, Albyazka Stevano sudah berhasil menjadi kandidat billionaire muda yang wajahnya paling sering menempati sampul depan majalah bisnis. Rekam jejak keberhasilannya sudah bukan rahasia lagi."

"Bukan perkara asing kalau pun dia bermain wanita." timpal Velove.

Keira menggeleng tidak setuju. "Tidak, Vee. Dalam kehidupan wanitanya dia dinyatakan bersih dari skandal apa pun mengenai wanita."

"Mungkin saja itu benar." Arabella menimpali.

"Kau pernah mengatakan untuk jangan terlalu naif terhadap apa pun juga, siapa pun."

"Dan, itu kenyataan."

Velove berdeham. Merasa enggan. "Lalu, apa masalahnya? Biarkan saja toh, dia bukan siapa-siapa." katanya menengahi dan kembali mengajak mereka bersulang tapi Alessia masih diam saja.

Ketiganya menatap Alessia ingin tahu. Perempuan itu tidak mengatakan apa-apa sejak kembalinya beberapa saat lalu. Bahkan, tatapan Alessia masih menajam—menatap lurus ke depan seolah dia bisa saja membunuh seseorang hanya dengan tatapan matanya saja.

Alessia yakin pria yang tengah menarik paksa lengan wanita dari lantai dansa itu adalah pria gila yang di temuinya siang tadi. Diam-diam, Alessia mengulas senyum—menyeringai penuh janji.

Pandangannya tidak teralih, ia masih diam mengamati mereka dengan tenang di kursinya. Menunggu waktu untuk bergerak.

Well, sepertinya Tuhan sedang baik padanya. Ia sempat menyesali pertemuan pertama mereka yang sangat merugikannya dan berjanji akan menuntut balas kalau mereka bertemu kembali, tidak di sangka waktunya begitu tepat. Kali ini Alessia tidak akan membiarkannya.

Mungkin waktu memang tidak dapat diputar kembali, tetapi waktu yang akan datang masih bisa direncanakan. Setidaknya, Alessia tengah memikirkan beberapa rencana yang cukup meganggumkan di dalam kepala cantiknya.

Let's see...

Alessia berjalan anggun menuju mobil sport hitam jenis Lamborghini veneno. Tanpa plat. Hanya sebuah logo huruf S di badan mobil. terlihat seperti baru. Atau, mungkin lebih bisa dikatakan keluaran terbaru.

Cih .. Mungkin benar yang dikatakan Keira, pria ini memang orang kaya.

Alessia baru saja akan menghajar pria itu tapi sayangnya dia bergegas lari begitu wanita yang dia tarik dari lantai dansa tiba-tiba saja kabur.

Ada apa dengan drama semua ini?

"Persetan denganmu!" Alessia menggeleng pelan, mengelus kaca depan mobil pria itu dengan gerakan lambat. Perlahan, seringainya melebar. Seakan tengah menantikan waktu ini tiba. "Sayang sekali, kau bertemu denganku di saat yang tidak tepat."

Kekehan Alessia terdengar janggal dan benar saja, kaca depan mobil itu seketika retak begitu Alessia membenturkan ujung high heelsnya di sana. Senyumnya mengembang, menikmati hasil karya yang baru saja dia buat. Alessia kemudian dengan santai bersandar pada kap mobil selesai memakai kembali sepatunya. Sungguh menyenangkan.

Beberapa menit setelahnya pria yang tidak Alessia ketahui namanya itu kembali dan sempat terdiam ketika melihat kaca mobilnya retak. Lalu, pandangannya teralih pada Alessia sepenuhnya. Manik cokelatnya berpendar marah, melemparkan tatapan tajam yang sayangnya sama sekali tidak berpengaruh untuk Alessia.

"Satu sama." ucap Alessia tanpa rasa bersalah.

Alby hanya diam sembari memperhatikannya lekat-lekat. Mengamatinya dengan tatapan menilai—tampak tengah mengingat-ingat ketika pada akhirnya Alessia kembali angkat bicara. "Aku bukan pendendam tapi denganmu, itu pengecualian." Alessia mengumpatinya dengan kasar. Membuat lelaki itu menatapnya heran. "Asal kau tahu, saat ini aku bahkan masih ingin menghajarmu, sialan!" sentak Alessia mengerang kesal.

Sebelah alis Alby terangkat, menatap Alessia terang-terangan. "Apa kita mengenal satu sama lain?"

Alessia tergelak. "Saling kenal, huh? Aku bahkan tidak sudi mengenalmu." Alessia mengibaskan tangannya tidak peduli. "Sudahlah, setidaknya aku sudah membalas."

"Apa?"

"Pikirkan saja sendiri."

"Kau tidak akan ke mana-mana sebelum mengatakan siapa kau." Alby menahan Alessia yang berniat pergi. "Kau merusak mobilku, Lady. Setidaknya aku perlu tahu alasannya." bisiknya tepat di depan wajah Alessia.

Harum maskulin dari tubuh pria di depannya sejenak membuat Alessia menahan napas. Lengan besar dengan otot kuat itu melingkupi tubuh mungil Alessia, membuatnya tidak bisa ke mana-mana. Andai dia bukan pria menyebalkan, Alessia yakin dia tidak keberatan untuk menjadikannya salah satu prianya. Sayang sekali…

Dengusan malas Alessia terdengar. Wajahnya tampak bosan dan kesal sekali pun begitu Alessia bergerak melarikan jemarinya menyentuh rahang tegas Alby, menahan dagunya untuk balas menatap matanya. "Apa kau selalu seperti ini? Melupakan wajah perempuan yang telah kau klaim sebagai wanitamu kemudian melupakannya begitu saja?" Alessia menggeleng pelan. Tidak percaya. "Tidak-tidak, aku bahkan tidak pernah menyetujuinya." Katanya dengan pelan, nyaris seperti bisikan.

Senyum Alby terbit, kembali memperlihatkan lesung pipi di kedua garis pipinya yang tegas. "Owh ... Jadi itu, kau?" katanya dengan nada suara yang ditarik-tarik.

Alessia menepis lengan Alby. Sudah cukup main-mainnya. Batinnya menggumam. Lantas, Alessia keluar dari kukungan Alby sambil menatapnya penuh dengan pendar permusuhan yang sangat kentara. Ia berdecih lalu berkata, "kau merusak hariku dan aku merusak mobilmu. Kita impas." katanya dan bergegas pergi dari sana.

"Kau tidak takut?"

Seruan itu membuat Alessia berhenti, ia menoleh kebelakang. "Dengan siapa?"

Sebelah alis Alby naik. "Menurutmu?"

Kali ini Alessia sepenuhnya menghadap Alby. Matanya berpendar geli, sama sekali tidak merasa terintimidasi dengan tatapan maut pria itu. "Who care? Selama makananmu bukan beling dan pecahan kaca, Kenapa aku harus?" kekehnya.

Alby memasukkan jemarinya ke dalam saku celana, begitu tegas, tinggi dan kuat. Sempurna kalau saja sikapnya tidak menyebalkan. Setidaknya, itu menurut pandangan Alessia sendiri.

"Kau begitu naif, Lady."

"Aku pernah mendengarnya,"

"Kau memang wanita yang menyenangkan. Ini kali pertama ada seorang wanita menentangku." ucapnya sambil tersenyum misterius.

Alessia tersenyum miring, balas menatap dengan tatapan meremehkan. "Jangan berlebihan. Sejujurnya kau juga pria yang menyenangkan. Dan, kuharap kita tidak bertemu kembali."

"Sampai nanti,"

Terdengar ganjal. Apalagi dengan senyum misterius di bibirnya. Tatapan Alby seolah menyimpan janji.

"Tidak akan ada lain kali," Alessia menjawab tidak peduli. Ia dengan cepat berbalik—hendak pergi sebelum kemudian kembali menoleh. "Tidak peduli bagaimana cara kita bertemu, kau hanya perlu tahu setiap pertemuan akan meninggalkan kesan. Kesan buruk juga termasuk di dalamnya." katanya sambil mengerling dan bergegas pergi, kembali masuk ke dalam club.

"Kau mengenalnya?"

Pertanyaan Elena membuyarkan perhatian Alby. Gadis itu hanya terpaku diam mendengarkan argumen Alessia dengan Alby dan tentunya, sikap perempuan yang tidak dia ketahui namanya itu yang tidak seperti wanita kebanyakan.

Galak dan ... Bar-bar.

Alby mengendik, tampak santai dengan senyum yang masih sama. "Aku bahkan tidak tahu namanya."

Elena mengangga. "Kau bercanda? Dia bahkan merusak mobilmu dan kau sama sekali tidak mengenalnya? Yang benar saja!" seru Elena tidak percaya.

Uwah, sepertinya dia melewatkan sesuatu di sini.

Senyum dingin Alby terulas, tatapannya masih terpaku pada punggung Alessia yang kali ini sudah hilang dibalik pintu. Seringai di bibirnya semakin melebar kala ia mengeluarkan ponselnya—terlihat menghubungi seseorang.

"Marquee nightclub, now."

Singkat, padat dan jelas. Alby bahkan tidak mau repot-repot mendengar jawaban seseorang di ujung sambungan.

Whoever you are, it won't end here, Lady.

HOPE YOU LIKE! 

Aku berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian, mohon untuk selalu support aku terus. Dengan cara like, coment and follow Ya!

Biar makin greget .. Ajak juga teman-temanmu, saudara, pacar, tetangga, kenalan atau bahkan mantanmu untuk baca babang Al dan qaqa Ale. Sekalian juga kalian bisa share ke wa, i* story, F******k, Twitter ataupun postingan kalian yang lain. Ajak mereka join bareng kamu disini!

Sebelumnya Aku ucapkan terima kasih sangat atas partisipasi dan keikhlasan klean klean klean semua. 

TANGKYUUU and LOVE U DEAR 💐

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status